Satu-satunya dasar penilaian tentang bid’ahnya
dzikir bersama itu sesungguhnya hanyalah apa yang dikemukakan oleh Al-`Allamah
Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad Al-Lakhmi As-Syathibi (beliau meninggal
dunia pada th. 790 H, rahimahullah wa askanahu fi jannatihi) dalam kitab
beliau Al-I’tisham. Beliau menerangkan padanya:
“Dimanakah di dalam Al-Kitab
(yakni Al-Qur’an, pent) atau di dalam As-Sunnah (yakni Al-Hadits, pent) yang
memberitakan adanya perkumpulan orang untuk berdzikir dengan satu suara
disertai suara yang terang dan keras. Padahal sungguh Allah Ta`ala telah
berfirman: (artinya) Berdoalah kepada Tuhanmu dengan merendah diri dan
dengan tersembunyi. Sesungguhnya Dia tidak suka kepada orang yang melampaui
batas. (Surat Al-A’raf 55). Dan
orang-orang yang melampaui batas sebagai disebutkan di ayat ini adalah
orang-orang yang mengeraskan suara dalam berdoa.”
Selanjutnya As-Syathibi menukilkan
sebuah riwayat:
“Dan dari Abi Musa, beliau menyatakan:
“Pernah kami bersama Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam dalam
satu perjalanan. Waktu itu
orang-orang pun menyuarakan dengan terang ucapan takbir. Maka Nabi shallallahu
`alaihi wa alihi wasallam bersabda: <Wahai sekalian manusia, tahanlah
diri kalian karena kalian tidaklah sedang berdoa kepada Dzat yang tuli dan
fiktif. Tetapi kalian sedang berdoa kepada Dzat yang Maha Mendengar dan Dekat,
dan Dia bersama kalian>.”
Kemudian beliau menerangkan
sebagai berikut:
“Dan
hadits ini adalah tafsir yang sempurna bagi ayat tersebut (yakni ayat ke 55
surat Al-A’raf, pent). Padahal para Shahabat tidaklah mengeraskan suara dengan
satu suara secara serempak. Akan tetapi Beliau melarang mereka untuk
meninggikan suara, agar mereka menunaikan perintah ayat ini. Dan telah datang
riwayat dari Salaf pula, adanya larangan untuk berkumpul dalam rangka berdzikir
dan berdoa dengan model seperti yang dilakukan oleh mereka para ahli bid’ah.
Dan juga telah datang larangan dari mereka para Salaf, untuk menjadikan masjid-masjid
sebagai tempat untuk menjalankan amalan itu (yakni dzikir dan doa bersama itu,
pent). Yaitu sebagai tempat yang diistilahkan sebagai Rubat yang
menyerupai As-Suffah (yakni tempat tinggalnya para Shahabat Nabi yang
tidak punya tempat tinggal di Al-Madinah setelah hijrah kepadanya, pent).
Disebutkan yang melarang demikian dari kalangan Salaf itu adalah Ibnu Wahhab
dan Ibnu Wadldlah dan selain dari keduanya, yang semestinya mencukupi bagi
mereka yang diberi taufiq oleh Allah.” Demikian As Syathibi menerangkan.[1]
Yang ditentang oleh
Al-`Allamah As-Syathibi dalam perkara dzikir bersama, bila disimpulkan dari
keterangan di atas ialah dua perkara:
1). Dzikir dan doa yang
dilakukan dengan bersuara. Jadi mestinya dzikir itu dilakukan dengan tanpa
suara.
2). Dzikir dan doa yang
dilakukan dengan satu komando dan bersama-sama. Jadi seharusnya dilakukan
dengan sendiri-sendiri.
Perlu pembaca pahami bahwa
dalam beragama itu haruslah dilakukan dengan berdasarkan dalil syar’i yaitu
dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Adapun omongan selain keduanya tidak dapat
dinamakan dalil agama. Hal ini telah ditegaskan oleh Rasulullah shallallahu
`alaihi wa alihi wasallam dalam sabdanya sebagai berikut:
(hadits 1)
“Aku tinggalkan di kalangan
kalian dua perkara. Kalian tidak akan sesat, selama kalian berpegang dengan
keduanya. Yaitu Kitab Allah (yakni Al-Qur’an, pent) dan Sunnah Rasul-Nya (Yakni
Al-Hadits –pent).” (HR. Malik secara mursal dan Al-Hakim dari
Ibnu Abbas radliyallahu `anhu. Al-Syaikh Al-Albani
menghasankannya dalam As-Shahihah 1761)
Rasulullah shallallahu `alaihi wa
alihi wasallam membimbing kita untuk berpegang dengan Sunnah para
Khulafa’ur Rasyidin dalam memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits, yaitu pemahaman dan
pengamalan beliau-beliau terhadap keduanya. Hal ini telah dinyatakan oleh
Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam sebagai berikut:
(hadits
2)
“Maka sesungguhnya siapa dari
kalian yang hidup sepeninggalku, dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh
karena itu wajib kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah para khulafa’
rasyidin sepeninggalku. Gigitlah ia dengan gigi gerahammu.” (HR. Abu Dawud
dalam Sunannya juz 4 hal. 200 bab Fi Luzumil Sunnah no. 4607 dari
Irbadl bin Sariyah, dan Ahmad dalam Musnadnya juz 4 hal.
126 – 127, At-Tirmidzi bab Ma Ja`a fil Akhadzi bis-Sunnah wajtanaabul
Bida` juz 5 hal. 44 no. 2676, Ibnu Majah bab Ittiba’u Sunnatal
Khulafaa’ juz 1 hal. 15 – 16 no. 42 – 44 dan Ibnu Jarir dalam Jamu’ul
Bayan 212, Ad-Darimi dan Al-Baghawi dan Ibnu Abi `Ashim dalam As-Sunnah
juz 1 hal. 205 no. 102)
Dengan demikian, kita tidak
boleh mencukupkan diri dengan pernyataan para Ulama’ untuk menghukumi suatu
masalah tanpa meneliti dalil yang dikemukan dalam pernyataan itu. Karena setiap
Ulama’ tidak akan lepas dari kemungkinan salah dalam fatwanya, sebagaimana
biasanya manusia biasa. Tabiat salah pada manusia itu telah diterangkan oleh
Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam dalam sabda beliau
sebagai berikut:
(hadits 3)
“Semua anak Adam banyak
bersalah, dan sebaik-baik orang yang banyak bersalah adalah yang banyak
bertaubat.” (HR. Ahmad)
Maka
dengan berdasarkan sabda beliau ini, Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah
menyatakan:
(hadits 4)
“Semua
omongan, bisa diambil dan bisa ditolak. Kecuali omongan penghuni kubur ini”.
Sembari beliau mengisyaratkan jari telunjuknya ke kubur Rasulullah shallallahu
`alaihi wa alihi wasallam.(Atsar riwayat Ibnu Abdul Hadi dalam Irsyadus
Suluk juz 1 hal. 227 dan Ibnu Abdil Bar dalam al-Jami` juz
2 / 91)
Demikian pula sikap kita terhadap
keterangan Al-`Allamah As-Syathibi rahimahullah dalam perkara ini. Kita
memeriksa dalil-dalil beliau dengan bimbingan para Ulama’ sehingga kita
memandang segala sesuatu itu dengan cara ilmiah dan bukan ikut-ikutan sebagai
simbol beragama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Maka
keterangan As-Syathibi bila kita periksa dengan keterangan para Ulama’ yang
lainnya adalah sebagai berikut:
1). Tentang dzikir dengan
bersuara yang dianggap oleh beliau sebagai perbuatan bid’ah, maka dalam hal ini
ada hadits dan keterangan Ulama’ yang menyelisihi beliau. Adapun haditsnya
adalah sebagai berikut:
(hadits 5)
“Rasulullah shallallahu
`alaihi wa alihi wasallam bersabda: Allah Ta`ala berfirman: Aku sesuai
dengan dugaan hamba-Ku terhadap-Ku. Dan Aku bersama hamba-Ku apabila dia
berdzikir kepada-Ku. Maka bila hamba-Ku berdzikir kepada-Ku dengan tersembunyi
pada dirinya, maka Aku akan mengingatnya dengan sendirian. Dan bila hamba-Ku
berdzikir kepada-Ku di depan halayak ramai, maka Aku akan menyebutnya di
hadapan halayak yang lebih dari halayaknya.” (HR. Bukhari dari Abu
Hurairah radliyallahu `anhu dan Muslim dalam Shahih
keduanya).
Dalam menjelaskan makna
hadits ini, Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah menerangkan:
“Yang dimaksud dengan berdzikir di depan khalayak ramai itu adalah berdzikir
dengan berjamaah.”
Kemudian beliau menerangkan
lebih lanjut: “Sebagian Ulama’ mengatakan bahwa dari hadits ini diambil
pengertian bahwa dzikir khafiy (yakni dengan tersembunyi, pent) itu
lebih utama dari dzikir jahriy (yakni berdzikir dengan bersuara).”
Demikian Ibnu Hajar menerangkan.[2]
Maka dari apa yang dinukil oleh Ibnu Hajar tersebut, dan juga dari ijtihad
beliau sendiri dari hadits ini, kita dapat kejelasan bahwa dzikir dengan
bersuara itu bukanlah sesuatu yang terlarang. Tetapi dzikir dengan tersembunyi
tanpa bersuara itu yang lebih utama dari dzikir dengan bersuara. Juga kita
mendapati pengertian bahwa Ibnu Hajar telah berijtihad dengan mengambil
pengertian dari hadits ini, bahwa dzikir itu ada yang dilakukan dengan
sendiri-sendiri dan ada pula dengan berjamaah.
Adapun dalil yang dikemukakan oleh
As-Syathibi yang daripadanya diambil pengertian beliau bahwa dzikir dengan
bersuara itu adalah terlarang, lebih-lebih lagi kalau dilakukan dengan
berjama’ah, maka pengertian tersebut perlu ditinjau kembali dengan keterangan
para Ulama’ yang lainnya. Dalam hal ini saya nukilkan keterangan Al-Imam
An-Nawawi rahimahullah dalam menerangkan pengertian hadits tersebut:
“Maka dalam hadits ini ada anjuran
untuk merendahkan suara dalam berdzikir apabila tidak ada keperluan untuk
mengeraskannya. Karena bila
dzikir itu dilirihkan suaranya, maka akan lebih utama dalam memuliakan dan
mengagungkan Allah. Tetapi bila diperlukan untuk mengeraskannya, maka dzikir
itupun dikeraskan, sebagaimana hal ini ditunjukkan oleh beberapa hadits.”[3] Demikian Al-Imam An-Nawawi rahimahullah
menerangkan.
2). Telah
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radliyallahu `anhuma, bagaimana para
Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam berdzikir ketika
selesai menunaikan shalat. Riwayatnya adalah sebagai berikut ini:
(hadits 6)
“Ibnu Abbas radliyallahu
`anhuma menceritakan adanya dzikir sesudah shalat dengan suara yang keras
di jaman Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam. Ibnu Abbas
menyatakan: Aku mengerti kalau orang-orang itu telah selesai menunaikan shalat
ketika aku mendengar suara dzikir itu.” (HR. Bukhari dan Muslim dalam
Shahih keduanya).
Ibnu Hajar
Al-Asqalani rahimahullah menerangkan: “Dalam hadits ini menunjukkan
bolehnya mengeraskan suara ketika berdzikir sesudah shalat.”
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah
menerangkan tentang komentar Ibnu Hajar tersebut di atas sebagai berikut:
“Seandainya Ibnu Hajar menyatakan: ‘Dalam hadits ini menunjukkan
disyariatkannya dzikir dengan suara keras, niscaya tentu lebih benar lagi.”[4]
Demikianlah dalil kedua ini juga menunjukkan bahwa
suara gemuruh takbir sesudah menunaikan shalat berjama’ah lima waktu. Maka tentunya dengan dalil ini, gugurlah pendapat
As-Syathibi yang melarang dikeraskannya suara dzikir.
3).
Riwayat Ibnu Mas’ud tentang larangan beliau terhadap sekelompok orang yang
melakukan halaqah dzikir di Masjid dengan dipimpin oleh seorang dalam
melafadhkan kalimat-kalimat dzikir sesungguhnya adalah riwayat yang lemah.
Padahal riwayat ini adalah satu-satunya dalil bagi As-Syathibi rahimahullah
untuk menganggap bid’ahnya dzikir berjamaah. Kelemahan riwayat tersebut
keterangannya adalah sebagai berikut:
a). As-Syathibi menyatakan: “Telah diriwayatkan oleh Ibnu
Wadl-dlah dari Al-A’masy dari sebagian sahabat beliau: Abdullah bin Mas’ud
lewat pada seorang yang sedang bercerita di depan para murid-muridnya dan orang
ini menyatakan kepada mereka: <Bertasbihlah kalian sepuluh kali (yakni
ucapkanlah subhanallah sepuluh kali, pent), dan bertahlillah kalian
sepuluh kali (yakni ucapkanlah Lailahaillallah sepuluh kali, pent)>.
Maka berkatalah Abdullah: <Rupanya kalian ini merasa lebih mendapat petunjuk
di banding para Shahabat Rasulillah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam,
atau kalian memang lebih sesat. Bahkan yang demikian ini adalah
sesat.”
Kelemahan riwayat ini karena dalam
sanadnya terdapat rawi (yakni nara sumber) yang tidak diketahui, yaitu
Al-A’masy tidak menyebutkan nama dari siapa beliau mendapatkan riwayat ini.
b). As-Syathibi menyatakan: “Dan
telah diriwayatkan pula daripadanya bahwa seorang pria mengumpulkan orang-orang
(di satu majlis) kemudian orang ini menyatakan kepada mereka: <Semoga Allah
merahmati orang yang mengucapkan sekian dan sekian kali kalimat Subhanallah>.
Maka orang-orang di majlis itu pun mengucapkannya. Kemudian dia menyatakan
kepada mereka: <Semoga Allah merahmati orang-orang yang mengatakan sekian
dan sekian kali kalimat Alhamdulillah>. Maka orang-orang di majlis
itu mengatakannya. Maka lewatlah di hadapan mereka Abdullah bin Mas’ud radliyallahu
`anhu, maka beliau menyatakan kepada mereka: <Sungguh kalian telah
merasa lebih mendapatkan petunjuk dari para Shahabat Nabi shallallahu
`alaihi wa alihi wasallam dengan sesuatu amalan yang tidak diajarkan oleh
Nabi kalian. Dan sesungguhnya kalian sedang memegang ekor kesesatan.”
Riwayat ini juga diriwayatkan oleh
Ibnu Wadl-dlah dalam kitab beliau Al-Bida’ dalam riwayat ke 20
dari jalan Al-Auza’i yang mendapatkan riwayat ini dari Abdah bin Abi Lubabah.
Dan riwayat ini juga lemah karena Abdah ini tidak pernah bertemu Ibnu Mas’ud
sehingga sanad riwayat ini tidak sambung sampai ke Ibnu Mas’ud.
c).
Selanjutnya As-Syathibi menerangkan: “Dan diriwayatkan pula oleh Ibnu Wadldlah
bahwa sekelompok orang di Kufah bertasbih dengan batu kerikil di Masjid. Maka
Ibnu Mas’ud mendatangi mereka dan didapati setiap orang dari mereka membawa
sekantong batu kerikil. Maka mereka terus-menerus menghitung bilangan dzikir
mereka dengan kerikil itu sampai Ibnu Mas’ud mengusir mereka dari masjid,
sembari menyatakan: “Sungguh kalian telah membikin perbuatan bid’ah dan
kedhaliman, apakah kalian menyangka bahwa kalian lebih berilmu dari para
Shahabat Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam.”
Riwayat ini juga lemah karena sanadnya
terputus, berhubung rawi yang menjadi nara sumber berita tentang peristiwa
tersebut bernama Sayyar Abul Hakam. Beliau ini tidak ketemu Ibnu Mas’ud yang
berarti beliau tidak menyaksikan sendiri peristiwa tersebut. Akan tetapi ia mendengarnya dari nara sumber yang lainnya
yang tidak disebutkan dalam riwayat ini. Sehingga
riwayat ini dilemahkan oleh para Ulama.
Maka dengan kenyataan bahwa segenap
riwayat pengingkaran Ibnu Mas’ud terhadap dzikir dengan berjamaah ini lemah,
maka penilaian As-Syathibi tentang bid’ahnya perbuatan tersebut sangat
dipertanyakan sisi akurasi keilmiahannya. Juga
dengan kenyataan beberapa hadits shahih yang memberitakan adanya dzikir dengan
bersuara, maka pendapat As-Syathibi yang mengatakan bahwa berdzikir itu
haruslah dengan tanpa suara, adalah pendapat yang amat diragukan kebenarannya.
Lalu kalau memang demikian, apakah pantas pendapat yang demikian ini dijadikan
landasan dalam memvonis pelaku dzikir berjamaah itu sebagai ahli bid’ah atau
orang yang melakukan perbuatan bid’ah? Tentu yang demikian ini tidak bisa
diterima dalam prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Adapun pendapat dan ijtihad
Al-`Allamah As-Syathibi rahimahullah, tentu amat kita hargai sebagai
suatu ijtihad. Namun kita dilarang bertaqlid (yakni mengikut dengan
membabi buta) kepada As-Syathibi atau kepada siapapun. Dan yang terpenting pula
dalam perkara ini ialah: janganlah kita membiasakan diri untuk bermudah-mudah
memvonis satu perbuatan sebagai bid’ah atau bahkan memvonis orang sebagai ahli
bid’ah. Tetapi seharusnya kita berupaya mengembangkan penelitian dan
pemeriksaan terhadap keterangan para Ulama dalam segala masalah, sebelum pada
akhirnya kita memutuskan dengan penuh keyakinan ilmiah tentang benar atau
tidaknya masalah atau pendapat itu. Kalau ternyata kita tidak mampu melakukan
penelitian terhadap keterangan para Ulama itu, maka sebaiknya kita diam dan
tidak mengatakan apapun tentangnya.
KRITIK DAN SARAN UNTUK SAUDARA MUHAMMAD ARIFIN ILHAM
Untuk menutup tulisan ini,
saya memandang perlu untuk menyertakan beberapa kritik dan saran bagi majlis
dzikir yang diadakan oleh saudara Muhammad Arifin Ilham. Sekaligus ini sebagai
suara kekhawatiranku terhadap masa depan majlis dzikir tersebut dan sekaligus
masa depan saudaraku Muhammad Arifin Ilham. Kritik
dan saranku adalah sebagai berikut:
1). Tampaknya saudara Muhammad Arifin
Ilham hanya berupaya mengumpulkan kaum Muslimin dan belum tampak program nyata
apa yang ia canangkan melalui majlis ini, yaitu perjuangan menegakkan Syari’ah
Islamiyah. Oleh karena itu, majlis dzikir ini harus diperbanyak sisi pembekalan
kaum Muslimin dengan ilmu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan majlis ini seharusnya
membangkitkan semangat kaum Muslimin untuk mendatangi majlis ilmu untuk
mempelajari Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan rutin dan konstan di setiap daerah
yang diadakan padanya acara dzikir bersama itu. Karena melalui jalan pembekalan
ilmu yang demikian inilah kaum Muslimin akan bangkit semangatnya mentaati Allah
dan Rasul-Nya dalam naungan Syari’ah Islamiyah.
2). Tampaknya sudara Muhammad
Arifin Ilham kurang memperhatikan kemestian dalam mendidik ummat. Yaitu kemestian
menumbuhkan sikap furqan, yaitu sikap membedakan Al-Haq dari Al-Bathil,
Al-Bid’ah dari As-Sunnah, Ahlul Haq dari Ahlul Bathil, Ahlus Sunnah wal Jamaah
dari Ahlul Bid’ah wal Furqah. Majlis dzikir tersebut sedang mengarah kepada
majlis legitimasi bagi tokoh-tokoh masyarakat, atau menjadi majlis galeri
tokoh. Maka dengan sebab nuansa yang demikian ini, target yang ingin dicapai
oleh panitia setiap mengadakan majlis dzikir tersebut adalah pengumpulan massa
Muslimin yang sebanyak-banyaknya. Panitia merasa sangat bangga dan sangat
berhasil bila acara dzikir yang diadakannya dapat menghadirkan ribuan atau
ratusan ribu kaum Muslimin. Sikap yang demikian akan membahayakan masa depan
perjuangan dakwah Islamiyah dan bahkan menyimpan bom waktu problem perpecahan
ummat di masa depan. Karena esensi permasalahan perpecahan Ummat Islam tidak
disentuh sama sekali. Yang dilakukan di majlis ini hanya seruan persatuan
seluruh Ummat Islam dengan melupakan segala perbedaan yang ada di kalangan
mereka. Padahal perbedaan yang terjadi di kalangan Ummat Islam sangat mendasar
dan banyak menyangkut permasalahan ushul (pokok) dan tidak hanya
perbedaan dalam permasalahan furu’ (cabang).
3). Disarankan kepada saudara
Muhammad Arifin Ilham untuk mengajak jamaahnya memahami dengan seksama setiap
lafadh dzikir yang diucapkan dalam majlis dzikir tersebut, agar dengan
pembekalan tentang makna lafadh dzikir yang dibacakan dalam majlis itu, maka
kaum Muslimin yang menghadirinya akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat di dunia
dan akherat.
4). Disarankan juga kepada
saudara Muhammad Arifin Ilham untuk memperbanyak halaqah-halaqah ilmu di
samping halaqah induk dalam bentuk acara dzikir bersama. Mereka yang telah
dibangkitkan ruh agamanya dalam acara dikir bersama itu, diarahkan untuk
komitmen dalam menghadiri acara pembekalan ilmu di halaqah-halah tersebut yang
mengajarkan Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, cara shalat dan berwudlu yang
benar menurut tuntunan Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam,
Sirah (yakni peri hidup) Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi
wasallam, cara membaca Al-Qur’an yang benar sesuai dengan tuntunan
tajwidnya. Mengenal hadits Arba’in An-Nawawiyah (yakni kumpulan hadits
Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam), kitab Riyadlus
Shalihin dan sebagainya.
5). Perkuatlah semangat
mengikhlaskan pengamalan agama ini untuk Allah semata dan perkuatlah semangat
mengikuti tuntunan Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam dalam
meyakini dan menjalankan agama ini.
PENUTUP
Semoga dengan kritik dan
saran ini, saudara Muhammad Arifin Ilham dan majlis dzikirnya, tidak mengalami
nasib yang amat dikuatirkan oleh banyak pihak. Yaitu menjadi sebuah gerakan thariqat
sufiyah yang cenderung menggampang-gampangkan perkara bid’ah dan syirik
sehingga menjadi pintu sinkretisme agama sebagaimana nasib berbagai gerakan thariqat
sufiyah dulu dan sekarang. Dan semoga dengan uraian ini akan bermanfaat
bagi para pembaca yang budiman dalam menyoroti berbagai fenomena dakwah
Islamiyah. Amin ya mujibas sa’ilin.
Penulis: Al-Ustadz Ja’far Umar Thalib
cet. Th.1414 H / 1994 M.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar