Berikut pembahasan riba dengan
seluk-beluknya. Materi ini mungkin terasa berat, karenanya dibutuhkan perhatian
yang lebih saat membacanya. Harapan kami, tulisan yang singkat dan padat ini
bisa memberi manfaat bagi anda.
Pada beberapa edisi sebelumnya telah
dibahas syarat-syarat jual beli yang sesuai dengan
tuntunan Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Dari situ diketahui beberapa sistem jual beli yang dilarang
dalam Islam.Pada edisi kali ini akan dibahas secara khusus seputar masalah
riba, karena tema ini tergolong paling sulit dalam bab jual beli. Juga karena
terlalu banyak praktik riba di kalangan kaum muslimin, khususnya di Indonesia
ini.
Definisi RibaSecara bahasa, riba berarti bertambah, tumbuh,
tinggi, dan naik. Adapun menurut istilah syariat, para fuqaha sangat beragam
dalam mendefinisikannya. Sementara definisi yang tepat haruslah bersifat jami’
mani’ (mengumpulkan dan mengeluarkan), yaitu mengumpulkan hal-hal yang termasuk
di dalamnya dan mengeluarkan hal-hal yang tidak termasuk darinya.Definisi
paling ringkas dan bagus adalah yang diberikan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu dalam Syarah Bulughul Maram, bahwa makna riba
adalah: “Penambahan pada dua perkara yang diharamkan dalam syariat, adanya
tafadhul (penambahan) antara keduanya dengan ganti (bayaran), dan adanya ta`khir
(tempo) dalam menerima sesuatu yang disyaratkan qabdh (serah terima di tempat).”
(Syarhul Buyu’, hal. 124)Definisi di atas mencakup riba fadhl dan riba
nasi`ah. Permasalahan ini insya Allah akan dijelaskan nanti.Faedah penting:
Setiap jual beli yang diharamkan termasuk dalam kategori riba. Dengan cara
seperti ini, dapat diuraikan makna hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu
‘anhu:
الرِّبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُوْنَ بَابًا
“Riba itu ada 73
pintu.” (HR. Ibnu Majah, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi dalam
Shahihul Musnad, 2/42)Bila setiap sistem jual beli yang terlarang masuk
dalam kategori riba, maka akan dengan mudah menghitung hingga bilangan tersebut.
Namun bila riba itu hanya ditafsirkan sebagai sistem jual beli yang dinashkan
sebagai riba atau karena ada unsur penambahan padanya, maka akan sulit mencapai
bilangan di atas. Wallahu a’lam.Madzhab ini dihikayatkan dari sekelompok
ulama oleh Al-Imam Muhammad bin Nashr Al-Marwazi rahimahullahu dalam kitab
As-Sunnah (hal. 164). Lalu beliau berkata (hal. 173): “Menurut madzhab ini,
firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ
“Dan
Allah menghalalkan jual beli.” (Al-Baqarah: 275)memiliki makna umum yang
mencakup semua sistem jual beli yang tidak disebut riba. Dan setiap sistem jual
beli yang diharamkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk dalam firman Allah
Subhanahu wa Ta'ala:
وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Dan Allah mengharamkan
riba.” (Al-Baqarah: 275)Juga dihikayatkan oleh As-Subuki dalam Takmilah
Al-Majmu’, bahwa madzhab ini disandarkan kepada ‘Aisyah radhiyallahu 'anha dan
‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu 'anhu.Hal ini juga diuraikan oleh Ibnu
Hajar, Al-Imam Ash-Shan’ani, Al-Imam Asy-Syaukani, dan sejumlah ulama lainnya.
Madzhab ini shahih dengan dalil-dalil sebagai berikut:1. Atsar Ibnu Mas’ud
radhiyallahu 'anhu. Beliau berkata:
لاَ يَصْلُحُ صَفْقَتَانِ فِي
صَفْقَةٍ، إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ آكِلَ
الرِّبَا وَمُوْكِلَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَكَاتِبَهُ
“Tidak boleh ada dua akad
dalam satu akad jual beli. Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melaknat pemakan riba, yang memberi makan orang lain dengan riba, dua saksinya,
dan pencatatnya.” (HR. Ibnu Hibban no. 1053, Al-Bazzar dalam Musnad-nya no. 2016
dan Al-Marwazi dalam As-Sunnah (159-161) dengan sanad hasan)Al-Marwazi dalam
Sunnah-nya (hal. 166) menyatakan: “Pada ucapan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu
‘anhu ini ada dalil yang menunjukkan bahwa setiap jual beli yang dilarang adalah
riba.”2. Hadits Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
السَّلَفُ فِي حَبْلِ الْحَبَلَةِ
رِبًا
“Salaf (sistem salam) pada hablul habalah adalah riba.” (HR.
An-Nasa`i dengan sanad shahih, semua perawinya tsiqah (terpercaya))Al-Imam
As-Sindi dalam Hasyiyatun Nasa‘i (7/313, cetakan Darul Fikr) menjelaskan:
“Sistem salaf (salam) dalam hablul habalah adalah sang pembeli menyerahkan uang
(harga barang) kepada seseorang yang mempunyai unta bunting. Sang pembeli
berkata: ‘Bila unta ini melahirkan kemudian yang ada di dalam perutnya (janin)
telah melahirkan (pula), maka aku beli anaknya darimu dengan harga ini.’
Muamalah seperti ini diserupakan dengan riba sebab hukumnya haram seperti riba,
dipandang dari sisi bahwa ini adalah menjual sesuatu yang tidak dimiliki oleh si
penjual dan dia tidak mampu untuk menyerahkan barang tersebut. Sehingga ada
unsur gharar (penipuan) padanya.”
Hukum RibaRiba dengan segala
bentuknya adalah haram dan termasuk dosa besar, dengan dasar Al-Qur`an,
As-Sunnah, dan ijma’ ulama.Dalil dari Al-Qur`an di antaranya
adalah:
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Allah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Al-Baqarah: 275)Juga dalam
firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَا
بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ. فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا
فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ
“Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut)
jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangimu.” (Al-Baqarah: 278-279)Dalil dari As-Sunnah di antaranya:a.
Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ
الْمُوْبِيْقَاتِ -وَمِنْهَا- أَكْلَ الرِّبَا
“Jauhilah tujuh perkara yang
menghancurkan –di antaranya– memakan riba.” (Muttafaqun ‘alaih)b. Hadits Abu
Juhaifah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhari:
لَعَنَ اللهُ آكِلَ
الرِّبَا
“Semoga Allah melaknat pemakan riba.”(HR. Al-Bukhari)Dalam
hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan Al-Imam Muslim, yang dilaknat
adalah pemakan riba, pemberi riba, penulis dan dua saksinya, lalu Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan:
هُمْ سَوَاءٌ
“Mereka itu
sama.”Para ulama sepakat bahwa riba adalah haram dan termasuk dosa besar.
Keadaannya seperti yang digambarkan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullahu sebagai
berikut: “Tidak ada suatu ancaman hukuman atas dosa besar selain syirik yang
disebut dalam Al-Qur`an yang lebih dahsyat daripada riba.”Kesepakatan ini
dinukil oleh Al-Mawardi rahimahullahu dan An-Nawawi rahimahullahu dalam
Al-Majmu’ (9/294, cetakan Dar Ihya’ At-Turats Al-‘Arabi).Faedah: Para ulama
sepakat bahwa riba adalah haram di negara Islam secara mutlak, antara muslim
dengan muslim, muslim dengan kafir dzimmi, muslim dengan kafir harbi.Mereka
berbeda pendapat tentang riba yang terjadi di negeri kafir antara muslim dengan
kafir. Pendapat yang rajih tanpa ada keraguan lagi adalah pendapat jumhur yang
menyatakan keharamannya secara mutlak dengan keumuman dalil yang tersebut di
atas. Yang menyelisihi adalah Abu Hanifah dan dalil yang dipakai adalah lemah.
Wallahu a’lam.Para ulama juga berbeda pendapat tentang riba yang terjadi
antara orang kafir dengan orang kafir lainnya. Pendapat yang rajih adalah bahwa
hal tersebut juga diharamkan atas mereka, sebab orang-orang kafir juga dipanggil
untuk melaksanakan hukum-hukum syariat Islam, sebagaimana yang dirajihkan oleh
jumhur ulama. Wallahul muwaffiq.
Barang-barang yang Terkena Hukum
RibaDari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالفِضَّةُ
بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ وَالتَّمْرُ
بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ، مِثْلاً بِمِثْلٍ، يَدًا بِيَدٍ، فَمَنْ
زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى، اْلآخِذُ وِالْمُعْطِي فِيْهِ
سَوَاءٌ
“Emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya’ir
dengan sya’ir, kurma dengan kurma dan garam dengan garam harus sama
(timbangannya), serah terima di tempat (tangan dengan tangan). Barangsiapa
menambah atau minta tambah maka dia terjatuh dalam riba, yang mengambil dan yang
memberi dalam hal ini adalah sama.” (HR. Muslim)Demikian pula hadits ‘Umar
radhiyallahu ‘anhu yang muttafaq ‘alaih dan hadits ‘Ubadah bin Ash-Shamit dalam
riwayat Muslim hanya menyebutkan 6 jenis barang yang terkena hukum riba,
yaitu:1. Emas2. Perak3. Burr (suatu jenis gandum)4. Sya’ir
(suatu jenis gandum)5. Kurma6. GaramPara ulama berbeda pendapat,
apakah barang yang terkena riba hanya terbatas pada enam jenis di atas, ataukah
barang-barang lain bisa diqiyaskan dengannya?Untuk mengetahui lebih detail
masalah ini, perlu diklasifikasikan pembahasan para ulama menjadi dua
bagian:Pertama: kurma, garam, burr, dan sya’ir.Para ulama berbeda
pendapat sebagai berikut:1. Pendapat Zhahiriyyah, Qatadah, Thawus, ‘Utsman
Al-Buthi, dan dihikayatkan dari Masruq dan Asy-Syafi’i, juga dihikayatkan oleh
An-Nawawi dari Syi’ah dan Al-Kasani. Ini adalah pendapat Ibnu ‘Aqil Al-Hambali,
dikuatkan oleh Ash-Shan’ani dan beliau sandarkan kepada sejumlah ulama peneliti.
Dan ini adalah dzahir pembahasan Asy-Syaukani dalam Wablul Ghamam dan As-Sail,
serta pendapat ini yang dipilih oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu, Syaikhuna
Yahya Al-Hajuri, Syaikhuna Abdurrahman Al-’Adani, dan para masyayikh Yaman
lainnya; bahwa riba hanya terjadi pada enam jenis barang ini dan tidak dapat
diqiyaskan dengan yang lainnya.2. Pendapat jumhur ulama, bahwa barang-barang
lain dapat diqiyaskan dengan enam barang di atas, bila ‘illat (sebab hukumnya)
sama.Kemudian mereka berbeda pendapat mengenai batasan ‘illat-nya sebagai
berikut:a. An-Nakha’i, Az-Zuhri, Ats-Tsauri, Ishaq bin Rahawaih,
Al-Hanafiyyah dan pendapat yang masyhur di madzhab Hanabilah bahwa riba itu
berlaku pada barang yang ditakar dan atau ditimbang, baik itu sesuatu yang
dimakan seperti biji-bijian, gula, lemak, ataupun tidak dimakan seperti besi,
kuningan, tembaga, platina, dsb. Adapun segala sesuatu yang tidak ditimbang atau
ditakar maka tidak berlaku hukum riba padanya, seperti buah-buahan karena ia
diperjualbelikan dengan sistem bijian.Sehingga menurut mereka, tidak boleh
jual beli besi dengan besi secara tafadhul (beda timbangan), sebab besi termasuk
barang yang ditimbang. Menurut mereka, boleh jual beli 1 pena dengan 2 pena,
sebab pena tidak termasuk barang yang ditimbang atau ditakar. Mereka berdalil
dengan lafadz yang tersebut dalam sebagian riwayat:
إِلاَّ وَزْنًا
بِوَزْنٍ... إِلاَّ كَيْلاً بِكَيْلٍ
“Kecuali timbangan dengan timbangan…
kecuali takaran dengan takaran.”b. Pendapat terbaru Asy-Syafi’i, juga
disandarkan oleh An-Nawawi kepada Ahmad bin Hambal, Ibnul Mundzir, dan yang
lainnya, bahwa riba itu berlaku pada semua yang dimakan dan yang diminum, baik
itu yang ditimbang/ditakar maupun tidak. Menurut mereka, tidak boleh menjual 1
jeruk dengan 2 jeruk, 1 kg daging dengan 1,5 kg daging. Semua itu termasuk
barang yang dimakan. Juga tidak boleh menjual satu gelas jus jeruk dengan dua
gelas jus jeruk, sebab itu termasuk barang yang diminum.c. Pendapat Malik
bin Anas rahimahullahu dan dirajihkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullahu, bahwa
riba berlaku pada makanan pokok yang dapat disimpan.d. Pendapat Az-Zuhri dan
sejumlah ulama, bahwa riba berlaku pada barang-barang yang warna dan rasanya
sama dengan kurma, garam, burr, dan sya’ir.e. Pendapat Rabi’ah, bahwa riba
berlaku pada barang-barang yang dizakati.f. Pendapat Sa’id bin Al-Musayyib,
Asy-Syafi’i dalam pendapat lamanya, satu riwayat dari Ahmad, dan yang dipilih
oleh Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyyah, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin,
Al-Lajnah Ad-Da`imah yang diketuai Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz,
wakilnya Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz Alu Syaikh, anggota: Asy-Syaikh Shalih Fauzan,
Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid, mereka berpendapat bahwa riba berlaku pada setiap
barang yang dimakan dan diminum yang ditakar atau ditimbang.Sehingga segala
sesuatu yang tidak ditakar atau ditimbang, tidak berlaku hukum riba padanya.
Begitu pula segala sesuatu yang dimakan dan diminum namun tidak ditimbang atau
ditakar, maka tidak berlaku hukum riba padanya.Yang rajih –wallahu a’lam–
adalah pendapat Azh-Zhahiriyyah dan yang sepaham dengan mereka yaitu bahwa tidak
ada qiyas dalam hal ini, dengan argumentasi sebagai berikut:1. Hadits-hadits
yang tersebut dalam masalah ini, yang menyebutkan hanya enam jenis barang
saja.2. Kembali kepada hukum asal. Hukum asal jual beli adalah halal kecuali
ada dalil yang mengharamkannya. Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Al-Baqarah:
275)Sementara yang dikecualikan dalam hadits hanya enam barang saja.3.
‘Illat yang disebutkan oleh jumhur tidak disebutkan secara nash dalam sebuah
dalil. ‘Illat-’illat tersebut hanyalah hasil istinbath melalui cara ijtihad.
Oleh sebab itulah, mereka sendiri berbeda pendapat dalam menentukan
batasan-batasannya.
وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللهِ لَوَجَدُوا
فِيْهِ اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا
“Kalau kiranya bukan dari sisi Allah
tentulah mereka mendapati pertentangan yang banyak di dalamnya.” (An-Nisa`:
82)Untuk itulah kita tetap berpegang dan merujuk kepada dzahir hadits.
Wallahul muwaffiq.Adapun mereka yang beralasan dengan lafadz كَيْلاً
بِكَيْلٍ (takaran dengan takaran) dan (timbangan dengan timbangan) yang tersebut
dalam sebagian riwayat, maka jawabannya adalah bahwa hadits tersebut dibawa pada
pengertian yang ditimbang adalah emas dan perak, bukan barang yang lain, dalam
rangka mengompromikan dalil-dalil yang ada.Atau dengan bahasa lain, yang
dimaksud dengan lafadz-lafadz di atas adalah kesamaan pada sisi timbangan pada
barang-barang yang terkena hukum riba yang tersebut dalam hadits-hadits lain.
Wallahu a’lam.Adapun pengertian sha’ atau takaran atau hitungan (bijian)
pada sebagian riwayat, maka dijawab oleh Ash-Shan’ani dan Asy-Syaukani, yang
kesimpulannya adalah bahwa penyebutan hal-hal di atas hanyalah untuk menunjukkan
kesamaan dari sisi takaran atau timbangan pada barang-barang yang terkena hukum
riba yang disebut dalam hadits-hadits lain. Wallahu a’lam.Adapun masalah
muzabanah1 yang dijadikan dalil oleh jumhur, maka jawabannya adalah sebagai
berikut:1. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu ditanya tentang masalah ini,
beliau menjawab: “Tidak masalah kalau anggur termasuk barang yang terkena
riba.”2. Jawaban Ibnu Rusyd rahimahullah: “Muzabanah masuk dalam bab riba
dari satu sisi dan masuk dalam bab gharar dari sisi yang lain. Pada
barang-barang yang terkena riba maka masuk pada bab riba dan gharar sekaligus.
Namun pada barang-barang yang tidak terkena riba maka dia masuk pada sisi gharar
saja. Wallahul musta’an.”Kedua: Emas dan perakPara ulama berbeda
pendapat tentang ‘illat (sebab) emas dan perak dimasukkan sebagai barang
riba.1. Pendapat Azh-Zhahiriyyah dan yang sepaham dengan mereka, berpendapat
bahwa perkaranya adalah ta’abuddi tauqifi, yakni demikianlah yang disebut dalam
hadits, ‘illat-nya adalah bahwa dia itu emas dan perak.Atas dasar ini, maka
riba berlaku pada emas dan perak secara mutlak, baik itu dijadikan sebagai alat
bayar (tsaman) untuk barang lain maupun tidak. Pendapat ini dipegangi oleh
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu dalam sebagian
karyanya.2. Pendapat Al-Hanafiyah dan yang masyhur dari madzhab Hanabilah,
bahwa ‘illat-nya adalah karena emas dan perak termasuk barang yang ditimbang.
Sehingga setiap barang yang ditimbang seperti kuningan, platina, dan yang
semisalnya termasuk barang yang terkena riba, yaitu diqiyaskan dengan emas dan
perak.Namun pendapat ini terbantah dengan kenyataan adanya ijma’ ulama yang
membolehkan adanya sistem salam2 pada barang-barang yang ditimbang. Seandainya
setiap barang yang ditimbang terkena riba, niscaya tidak diperbolehkan sistem
salam padanya.3. Pendapat Malik, Asy-Syafi’i, dan satu riwayat dari Ahmad,
bahwa ‘illat-nya adalah tsamaniyyah (sebagai alat bayar) untuk barang-barang
lainnya. Namun menurut mereka, ‘illat ini khusus pada emas dan perak saja, tidak
masuk pada barang yang lainnya.Yang rajih, wallahu a’lam, adalah pendapat
pertama dan tidak bertentangan dengan pendapat ketiga. Sebab, yang ketiga
termasuk pada pendapat pertama, wallahu a’lam. Dalilnya adalah hadits Fudhalah
bin Ubaid radhiyallahu ‘anhu tentang jual beli kalung emas. Wallahu
a’lam.
Mata Uang KertasPara ulama berbeda pendapat dalam masalah ini:
apakah mata uang kertas sekarang yang dijadikan alat bayar resmi terkena riba
fadhl dan riba nasi`ah? Pendapat yang rajih insya Allah adalah bahwa mata uang
kertas adalah sesuatu yang berdiri sendiri sebagai naqd seperti emas dan perak.
Sehingga mata uang kertas itu berjenis-jenis, sesuai dengan perbedaan jenis
pihak yang mengeluarkannya.Ini adalah pendapat Malik, Asy-Syafi’i, satu
riwayat dari Ahmad, dan yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim,
mayoritas Ha`iah Kibarul Ulama. Dan ini yang kebanyakan dipilih oleh
seminar-seminar fiqih internasional semacam Rabithah ‘Alam Islami, dikuatkan
oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi.
Dan inilah fatwa ulama kontemporer.Mereka mengatakan bahwa mata uang kertas
disamakan dengan emas dan perak karena hampir mirip (serupa) dengan ‘illat
tsamaniyyah (sebagai alat bayar) yang ada pada emas dan perak.Mata uang
kertas sekarang berfungsi sebagai alat bayar untuk barang-barang lain, sebagai
harta benda, transaksi jual beli, pembayaran hutang piutang dan perkara-perkara
yang dengan dasar itu riba diharamkan pada emas dan perak.Atas dasar
pendapat di atas, maka ada beberapa hukum syar’i yang perlu diperhatikan
berkaitan dengan masalah ini. Disebutkan dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah
(13/442-444) diketuai Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz, anggota
Asy-Syaikh Abdurrazaq ‘Afifi, Asy-Syaikh Abdullah Al-Ghudayyan, Asy-Syaikh
Abdullah bin Qu’ud, sebagai berikut:1. Terjadi dua jenis riba (fadhl dan
nasi`ah) pada mata uang kertas sebagaimana yang terjadi pada emas dan
perak.2. Tidak boleh menjual satu jenis mata uang dengan jenis yang sama
atau dengan jenis mata uang yang lain secara nasi`ah (tempo) secara mutlak.
Misal, tidak boleh menjual 1 dolar dengan 5 real Saudi secara nasi`ah
(tempo).3. Tidak boleh menjual satu jenis mata uang dengan jenis yang sama
secara fadhl (selisih nominal), baik secara tempo maupun serah terima di tempat.
Misalnya, tidak boleh menjual Rp. 1000 dengan Rp. 1.100.4. Dibolehkan
menjual satu jenis mata uang dengan jenis mata uang yang berbeda secara mutlak,
dengan syarat serah terima di tempat. Misal, menjual 1 dolar dengan Rp.
10.000.5. Wajib mengeluarkan zakatnya bila mencapai nishab dan satu haul.
Nishabnya adalah nishab perak.6. Boleh dijadikan modal dalam syirkah atau
sistem salam.Wallahu a’lam bish-shawab.
1 Muzabanah yaitu membeli
burr yang masih di pohonnya dengan burr yang sudah dipanen, atau membeli anggur
yang masih di pohonnya dengan zabib (anggur kering/ kismis). (ed)2 Sistem
salam: seseorang menyerahkan uang pembayaran di muka dalam majelis akad untuk
membeli suatu barang yang diketahui sifatnya, tidak ada unsur gharar padanya,
dengan jumlah yang diketahui, takaran/timbangan yang diketahui, dan waktu
penyerahan yang diketahui.
Penulis : Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar