Pertanyaan :
Apakah hari perhitungan itu hanya sehari ?
Jawab
:Memang hari perhitungan itu hanya sehari, akan tetapi sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun, sebagaimana difirmankan Allah Ta'ala.
"Artinya : Seorang peminta
telah meminta kedatangan azab yang bakal terjadi. Untuk
orang-orang kafir, yang
tidak seorangpun dapat menolaknya, (Yang datang) dari Allah, Yang mempunyai
empat-tempat naik. Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Rabb
dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun". (Al-Ma'arij : 1-4)
Yakni,
azab ini akan menimpa orang-orang kafir dalam sehari yang kadarnya lima puluh
ribu tahun. Dalam hadits Shahih Muslim disebutkan hadits dari sahabat Abu
Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda : "Tiada seorangpun dari pemilik emas atau pemilik perak yang
tidak menunaikan haknya, melainkan pada hari kiamat akan dibentangkan untuknya
papan dari logam dan dipanaskan di atasnya dalam naar Jahannam, lalu
dipangganglah lambungnya, dahinya dan punggungnya. Ketika telah dingin,
dikembalikan lagi dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun sehingga
tertunaikanlah segala yang berkaitan dengan hamba". Hari yang panjang
ini adalah hari yang menyusahkan bagi orang-orang kafir.
Allah Ta'ala berfirman.
Allah Ta'ala berfirman.
"Artinya : Dan adalah
(hari itu), hari yang penuh kesukaran bagi orang-orang yang kafir".
(Al-Furqan : 26)
"Artinya
: Maka waktu itu adalah waktu (datangnya) hari yang sulit, bagi orang-orang
kafir lagi tidak mudah". (Al-Mudatsir : 10)
Namun
dapat dipahami dari dua ayat ini bahwa bagi orang-orang mukmin adalah mudah.
Hari yang amat panjang ini dan penuh dengan hal-hal yang menakutkan dan
perkara-perkara yang luar biasa djadikan mudah oleh Allah Ta'ala bagi orang
mukmin dan menyusahkan bagi orang kafir. Kita memohon kepada Allah Ta'ala
kiranya berkenan menjadikan kita dan saudara-saudara kita termasuk golongan
yang diberi kemudahan oleh Allah pada hari kiamat.
Terlalu
berlebihan dalam memikirkan dan menyelami masalah-masalah ghaib, seperti ini
termasuk perbuatan tanatthu' (berlebihan/melampaui batas) yang pernah
disinyalir oleh Nabi melalui sabdanya; "Celakalah orang-orang yang
berlebihan, celakalah orang-orang yang berlebihan, celakalah orang-orang yang
berlebihan". Tugas kita sebagai manusia dalam masalah-masalah semacam ini adalah pasrah saja dan mengambil zhahirnya makna tanpa perlu menyelami atau berusaha mengqiyaskan dengan hal-hal yang terdapat di dunia ; karena hal-hal yang ada di akhirat itu tidak seperti yang ada di dunia. Meskipun terdapat keserupaan secara makna, akan tetapi antara keduanya terdapat perbedaan yang besar. Sebagai contoh, Allah Ta'ala menyebutkan bahwa di dalam surga itu terdapat kurma, delima, buah-buahan, daging burung, madu, air, susu, khamr, dan sejenisnya namun Allah Ta'ala berfirman.
"Artinya : Seorangpun
tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu (bermacam-macam
nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah
mereka kerjakan". (As-Sajadah : 17)
Dalam
sebuah hadits qudsi disebutkan bahwa Allah berkata :
"Artinya : Aku sediakan
bagi hamba-hamba-Ku yang shalih sesuatu yang belum pernah dilihat oleh mata,
belum pernah didengar oleh telinga, dan belum pernah terdetik dalam hati
manusia".
Nama-nama
ini yang memiliki substansi di dunia ini tidak berarti bahwa hal itu sama
seperti yang disebutkan oleh Allah mengenai hal-hal yang ada di akhirat,
meskipun secara asalnya maknanya ada kesamaan.
Setiap
hal-hal yang ghaib yang memiliki kesamaan asal maknanya dengan hal-hal yang
bisa kita lihat di alam dunia ini tidak memiliki kesamaan dalam substansi.
Karena kita dan siapa saja mesti memperhatikan kaedah ini dan hendaklah dalam
menghadapi masalah-masalah yang ghaib seperti ini dibiarkan menurut makna
zhairnya saja tanpa perlu berusaha mencari-cari arti lain dibalik itu. Oleh karena itulah ketika Imam Malik Rahimahullah ditanya mengenai firman Allah Ta'ala.
"Artinya : Yang Maha
Rahman beristiwa di atas 'Arsy".
"Bagaimana
Ia beristiwa ?", beliau menggeleng-gelengkan kepala sampai keringatnya
bercucuran, karena pertanyaan tersebut terasa amat berat baginya. Kemudian
beliau berkata yang kemudian jawaban beliau ini menjadi masyhur dan menjadi
neraca untuk setiap apa yang disifatkan oleh Allah bagi diri-Nya. Kata beliau :
"Istiwa' itu tidak majhul, kaifiatnya tidak ma'qul (tidak masuk akal atau
tidak bisa dimengerti), iman dengannya wajib, dan mempertanyakannya adalah
bid'ah".
Mempertanyakan
secara mendalam mengenai masalah-masalah semacam ini merupakan bid'ah, karena
para sahabat Radhiyallahu 'Anhum yang merupakan generasi yang paling tamak
terhadap ilmu dan kebaikan, apalagi kalau dibandingkan dengan kita, tidak
pernah bertanya kepada Nabi dengan sejenis pertanyaan-pertanyaan semacam itu.
Cukuplah kiranya mereka itu mejadi teladan. Apa yang kami katakan di sini yang ada kaitannya dengan masalah hari akhir, tak berbeda permasalahannya dengan segala yang terkait dengan sifat-sifat Allah 'Azza wa Jalla yang Dia sendiri sifatkan untuk diri-Nya. Di antaranya : Dia memiliki ilmu, kekuasaan, pendengaran, penglihatan, perkataan dan sebagainya. Maka substansi dari itu semua jika dinisbatkan kepada Allah 'Azza wa Jalla, tentu tidak ada sesuatupun yang menyerupai atau menyamainya, yang jika hal itu dinisbatkan kepada manusia apa yang menyerupainya. Setiap sifat mengikuti maushufnya (yang disifati), karena Allah Ta'ala tidak ada yang menyerupainya dalam hal sifat-sifat-Nya.
Pendek kata, bahwa hari akhir adalah satu hari. Ia merupakan hari yang amat menyusahkan bagi orang-orang kafir, dan bagi orang-orang mukmin ringan dan mudah. Segala pahala dan siksa yang ada di hari akhir itu termasuk perkara yang tidak bisa diketahui hakekatnya di kehidupan dunia ini, meskipun asal maknanya dapat kita ketahui dalam kehidupan dunia ini.
Oleh: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar