Berinteraksi dengan Jin
Jin memang diakui keberadaannya dalam syariat. Sayangnya, banyak masyarakat
yang menyikapinya dengan dibumbui klenik mistis. Bahkan belakangan, tema jin
dan alam ghaib menjadi salah satu komoditi yang menyesaki tayangan berbagai
media.
Fenomena alam jin akhir-akhir ini menjadi topik yang ramai diperbincangkan dan
hangat di bursa obrolan.
Menggugah keinginan banyak orang untuk mengetahui
lebih jauh dan menyingkap tabir rahasianya, terlebih ketika mereka banyak
disuguhi tayangan-tayangan televisi yang sok berbau alam ghaib. Lebih parah
lagi, pembahasan seputar itu tak lepas dari pemahaman mistik yang menyesatkan
dan membahayakan aqidah. Padahal alam ghaib, jin, dan sebagainya merupakan
perkara yang harus diimani keberadaannya dengan benar.
Membahas topik seputar jin sendiri sejatinya sangatlah panjang. Sampai-sampai
guru kami Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullahu mengatakan: “Bila ada
seseorang yang menulisnya, tentu akan keluar menjadi sebuah buku seperti
Bulughul Maram atau Riyadhus Shalihin, dilihat dari sisi klasifikasinya, yang
muslim dan yang kafir, penguasaan jin dan setan, serta godaan-godaannya
terhadap Bani Adam.”
Keagamaan Kaum Jin
Jin tak jauh berbeda dengan Bani Adam. Diantara mereka ada yang shalih dan ada
pula yang rusak lagi jahat. Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
menghikayatkan mereka:
وَأَنَّا مِنَّا الصَّالِحُوْنَ وَمِنَّا دُوْنَ ذَلِكَ
كُنَّا طَرَائِقَ قِدَدًا
“Dan sesungguhnya diantara kami ada orang-orang yang shalih dan diantara kami
ada (pula) yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan yang
berbeda-beda.” (Al-Jin: 11)
Dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَأَنَّا مِنَّا الْمُسْلِمُوْنَ وَمِنَّا
الْقَاسِطُوْنَ فَمَنْ أَسْلَمَ فَأُولَئِكَ تَحَرَّوْا رَشَدًا
“Dan sesungguhnya diantara kami ada orang-orang yang taat dan ada (pula)
orang-orang yang menyimpang dari kebenaran.” (Al-Jin: 14)
Diantara mereka ada yang kafir, jahat dan perusak, ada yang bodoh, ada yang
sunni, ada golongan Syi’ah, serta ada juga golongan sufi.
Diriwayatkan dari Al-A’masy, beliau berkata: “Jin pernah datang menemuiku, lalu
kutanya: ‘Makanan apa yang kalian sukai?’ Dia menjawab: ‘Nasi.’ Maka kubawakan
nasi untuknya, dan aku melihat sesuap nasi diangkat sedang aku tidak melihat
siapa-siapa. Kemudian aku bertanya: ‘Adakah di tengah-tengah kalian para
pengikut hawa nafsu seperti yang ada di tengah-tengah kami?’ Dia menjawab:
‘Ya.’
‘Bagaimana keadaan golongan Rafidhah yang ada di tengah kalian?” tanyaku. Dia
menjawab: ‘Merekalah yang paling jelek diantara kami’.”
Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Aku perlihatkan sanad riwayat ini pada guru
kami, Al-Hafizh Abul Hajjaj Al-Mizzi, dan beliau mengatakan: ‘Sanad riwayat ini
shahih sampai Al-A’masy’.” (Tafsir Al-Qur`anul ’Azhim, 4/451)
Mendakwahi Jin
Dakwah memiliki kedudukan yang sangat agung. Dakwah merupakan bagian dari
kewajiban yang paling penting yang diemban kaum muslimin secara umum dan para
ulama secara lebih khusus. Dakwah merupakan jalan para rasul, di mana mereka
merupakan teladan dalam persoalan yang besar ini.
Karena itulah Allah Subhanahu wa Ta'ala mewajibkan para ulama untuk menerangkan
kebenaran dengan dalilnya dan menyeru manusia kepadanya. Sehingga keterangan
itu dapat mengeluarkan mereka dari gelapnya kebodohan, dan mendorong mereka
untuk melaksanakan urusan dunia dan agama sesuai dengan apa yang telah
diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Dakwah yang diemban Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah dakwah yang
universal, tidak terbatas kepada kaum tertentu tetapi untuk seluruh manusia.
Bahkan kaum jin pun menjadi bagian dari sasaran dakwahnya.
Al-Qur`an telah mengabarkan kepada kita bahwa sekelompok kaum jin mendengarkan
Al-Qur`an, sebagaimana tertera dalam surat Al-Ahqaf ayat 29-32. Kemudian Allah
menyuruh Nabi kita Shallallahu 'alaihi wa sallam agar memberitahukan yang
demikian itu. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
قُلْ أُوْحِيَ إِلَيَّ أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِنَ
الْجِنِّ فَقَالُوا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا
“Katakanlah (hai Muhammad): ‘Telah diwahyukan kepadaku bahwasanya: sekumpulan
jin telah mendengarkan Al-Qur`an, lalu mereka berkata: ‘Sesungguhnya kami telah
mendengarkan Al-Qur`an yang menakjubkan’,” dan seterusnya. (Lihat Al-Qur`an
surat Al-Jin: 1)
Tujuan dari itu semua adalah agar manusia mengetahui ihwal kaum jin, bahwa
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus kepada segenap manusia dan jin. Di
dalamnya terdapat petunjuk bagi manusia dan jin serta apa yang wajib bagi
mereka yakni beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, Rasul-Nya, dan hari
akhir. Juga taat kepada Rasul-Nya dan larangan dari melakukan kesyirikan dengan
jin.
Jika jin itu sebagai makhluk hidup, berakal dan dibebani perintah dan larangan,
maka mereka akan mendapatkan pahala dan siksa. Bahkan karena Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam pun diutus kepada mereka, maka wajib atas seorang muslim
untuk memberlakukan di tengah-tengah mereka seperti apa yang berlaku di
tengah-tengah manusia berupa amar ma’ruf nahi mungkar dan berdakwah seperti
yang telah disyariatkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya. Juga seperti
yang telah diserukan dan dilakukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam atas mereka.
Bila mereka menyakiti, maka hadapilah serangannya seperti saat membendung
serangan manusia. (Idhahu Ad-Dilalah fi ‘Umumi Ar-Risalah, hal. 13 dan 16)
Mendakwahi kaum jin tidaklah mengharuskan seseorang untuk terjun menyelami
seluk-beluk alam dan kehidupan mereka, serta bergaul langsung dengannya. Karena
semua ini tidaklah diperintahkan. Sebab, lewat majelis-majelis ta’lim dan
kegiatan dakwah lainnya yang dilakukan di tengah-tengah manusia berarti juga
telah mendakwahi mereka.
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullahu berkata: “Bisa jadi ada sebagian orang
mengira bahwa para jin itu tidak menghadiri majelis-majelis ilmu. Ini adalah
sangkaan yang keliru. Padahal tidak ada yang dapat mencegah mereka untuk
menghadirinya, kecuali diantaranya ada yang mengganggu dan ada setan-setan.
Maka kita katakan:
وَقُلْ رَبِّ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ هَمَزَاتِ
الشَّيَاطِيْنِ. وَأَعُوْذُ بِكَ رَبِّ أَنْ يَحْضُرُوْنِ
“Ya Rabbku, aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan setan. Dan aku
berlindung (pula) kepada Engkau ya Rabbku, dari kedatangan mereka kepadaku.”
(Al-Mu`minun: 97-98) [lihat Nashihatii li Ahlis Sunnah Minal Jin]
Adakah Rasul dari Kalangan Jin?
Para ulama berselisih pendapat tentang masalah ini, apakah dari kalangan jin
ada rasul, ataukah rasul itu hanya dari kalangan manusia? Sementara Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يَامَعْشَرَ الْجِنِّ وَاْلإِنْسِ أَلَمْ يَأْتِكُمْ
رُسُلٌ مِنْكُمْ يَقُصُّوْنَ عَلَيْكُمْ آيَاتِي وَيُنْذِرُوْنَكُمْ لِقَاءَ
يَوْمِكُمْ هَذَا قَالُوا شَهِدْنَا عَلَى أَنْفُسِنَا وَغَرَّتْهُمُ الْحَيَاةُ
الدُّنْيَا وَشَهِدُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَنَّهُمْ كَانُوا كَافِرِيْنَ
“Wahai golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu rasul-rasul dari
golongan kamu sendiri yang menyampaikan kepadamu ayat-ayat-Ku dan memberi
peringatan kepadamu terhadap pertemuanmu dengan hari ini?” Mereka berkata:
‘Kami menjadi saksi atas diri kami sendiri’. Kehidupan dunia telah menipu
mereka, dan mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri bahwa mereka adalah
orang-orang yang kafir.” (Al-An’am: 130)
Sebagian ulama berdalil dengan ayat ini untuk menyatakan bahwa ada rasul dari
kalangan jin. Juga berdalilkan dengan sebuah atsar (riwayat) dari Adh-Dhahhak
ibnu Muzahim. Beliau mengatakan bahwa ada rasul dari kalangan jin. Yang
berpendapat seperti ini diantaranya adalah Muqatil dan Abu Sulaiman, namun
keduanya tidak menyebutkan sandaran (dalil)-nya. (Zadul Masir, 3/125) Yang
benar, wal ’ilmu ’indallah, tidak ada rasul dari kalangan jin. Dan pendapat
inilah yang para salaf dan khalaf berada di atasnya. Adapun atsar yang datang
dari Adh-Dhahhak, telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsir-nya (12/121).
Namun di dalam sanadnya ada syaikh (guru) Ibnu Jarir yang bernama Ibnu Humaid
yakni Muhammad bin Humaid Abu Abdillah Ar-Razi. Para ulama banyak
membicarakannya, seperti Al-Imam Al-Bukhari telah berkata tentangnya: “Fihi
nazhar (perlu ditinjau kembali, red.)." Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullahu
berkata: “Dia, bersamaan dengan kedudukannya sebagai imam, adalah mungkarul
hadits, pemilik riwayat yang aneh-aneh.” (Siyarul A’lam An-Nubala`, 11 / 530).
Lebih lengkapnya silahkan pembaca merujuk kitab-kitab al-jarhu wa ta’dil.
Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Tidak ada rasul dari kalangan jin seperti
yang telah dinyatakan Mujahid dan Ibnu Juraij serta yang lainnya dari para
ulama salaf dan khalaf. Adapun berdalil dengan ayat –yakni Al-An’am: 130–, maka
perlu diteliti ulang karena masih terdapatnya kemungkinan, bukan merupakan
sesuatu yang sharih (jelas pendalilannya). Sehingga kalimat ‘dari golongan kamu
sendiri’ maknanya adalah ‘dari salah satu golongan kamu’.” (Lihat Tafsir
Al-Qur`anul ‘Azhim, 2/188)
Menikah dengan Jin
Menikah adalah satu-satunya cara terbaik untuk mendapatkan keturunan. Karena
itulah Allah Subhanahu wa Ta'ala mensyariatkannya untuk segenap
hamba-hamba-Nya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَأَنْكِحُوا اْلأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِيْنَ
مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang
layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan.”(An-Nuur: 32)
Kaum jin memiliki keturunan dan anak keturunannya beranak-pinak, sebagaimana
manusia berketurunan dan anak keturunannya beranak-pinak. Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman:
أَفَتَتَّخِذُوْنَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ
دُوْنِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ
“Patutkah kalian mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin
selain-Ku, sedangkan mereka adalah musuh kalian?” (Al-Kahfi: 50)
Kalangan kaum jin itu ada yang berjenis laki-laki dan ada juga perempuan,
sehingga untuk mendapatkan keturunan merekapun saling menikah. Allah Subhanahu
wa Ta'ala berfirman:
لَمْ يَطْمِثْهُنَّ إِنْسٌ قَبْلَهُمْ وَلاَ جَانٌّ
“Tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni surga
yang menjadi suami mereka) dan tidak pula oleh jin.” (Ar-Rahman: 56)
Artha’ah Ibnul Mundzir rahimahullahu berkata: “Dhamrah ibnu Habib pernah
ditanya: ‘Apakah jin akan masuk surga?’ Beliau menjawab: ‘Ya, dan mereka pun
menikah. Untuk jin yang laki-laki akan mendapatkan jin yang perempuan, dan
untuk manusia yang jenis laki-laki akan mendapatkan yang jenis perempuan’.”
(Diriwayatkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya, 4/288)
Termasuk kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta'ala terhadap Bani Adam, Allah
Subhanahu wa Ta'ala menjadikan untuk mereka suami-suami atau istri-istri dari
jenis mereka sendiri. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ
أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya. Dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.” (Ar-Rum: 21)
Perkara ini, yakni pernikahan antara manusia dengan manusia adalah hal yang
wajar, lumrah dan sesuai tabiat, karena adanya rasa cinta dan kasih sayang di
tengah-tengah mereka. Persoalannya, mungkinkah terjadi pernikahan antara
manusia dengan jin, atau sebaliknya jin dengan manusia?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata: “Pernikahan antara manusia
dengan jin memang ada dan dapat menghasilkan anak. Peristiwa ini sering terjadi
dan populer. Para ulama pun telah menyebutkannya. Namun kebanyakan para ulama
tidak menyukai pernikahan dengan jin.” (Idhahu Ad-Dilalah hal. 16) [1]
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullahu mengatakan: “Para ulama telah
berselisih pendapat tentang perkara ini sebagaimana dalam kitab Hayatul Hayawan
karya Ad-Dimyari. Namun menurutku, hal itu diperbolehkan, yakni laki-laki yang
muslim menikahi jin wanita yang muslimah. Adapun firman Allah Subhanahu wa
Ta'ala:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ
أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepada-nya…” (Ar-Rum: 21),
maka –maknanya– ini adalah anugrah yang terbesar di mana manusia yang jenis
laki-laki menikah dengan manusia yang jenis perempuan, dan jin laki-laki dengan
jin perempuan.
Tetapi jika seorang laki-laki dari kalangan manusia menikah dengan seorang
perempuan dari kalangan jin, maka kita tidak memiliki alasan dari syariat yang
dapat mencegahnya. Demikian juga sebaliknya. Hanya saja Al-Imam Malik
rahimahullahu tidak menyukai bila seorang wanita terlihat dalam keadaan hamil,
lalu dia ditanya: “Siapa suamimu?” Dia menjawab: “Suamiku dari jenis jin.”
Saya (Asy-Syaikh Muqbil) katakan: “Memungkinkan sekali fenomena yang seperti
ini membuka peluang terjadinya perzinaan dan kenistaan.” (Nashihatii li Ahlis
Sunnah Minal Jin)
Meminta Bantuan Jin
Sangat rasional dan amatlah sesuai dengan fitrah bila yang lemah meminta
bantuan kepada yang kuat, dan yang kekurangan meminta bantuan kepada yang serba
kecukupan.
Manusia lebih mulia dan lebih tinggi kedudukannya daripada jin. Sehingga
sangatlah jelek dan tercela bila manusia meminta bantuan kepada jin. Selain
itu, bila ternyata yang dimintai bantuannya adalah setan, maka secara perlahan,
setan itu akan menyuruh kepada kemaksiatan dan penyelisihan terhadap agama
Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ اْلإِنْسِ يَعُوْذُوْنَ
بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوْهُمْ رَهَقًا
“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki diantara manusia meminta
perlindungan kepada beberapa laki-laki diantara jin. Maka jin-jin itu menambah
ketakutan bagi mereka.” (Al-Jin: 6)
Ibnu Mas’ud radhiallahu 'anhu berkata: “Ada sekelompok orang dari kalangan
manusia yang menyembah beberapa dari kalangan jin, lalu para jin itu masuk
Islam. Sementara sekelompok manusia yang menyembahnya itu tidak mengetahui keislamannya,
mereka tetap menyembahnya sehingga Allah Subhanahu wa Ta'ala mencela mereka.”
(Diambil dari Qa’idah ’Azhimah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah hal. 24)
Jin tidak mengetahui perkara yang ghaib dan tidak punya kekuatan untuk
memberikan kemudharatan tidak pula mendatangkan kemanfaatan. Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman:
فَلَمَّا قَضَيْنَا عَلَيْهِ الْمَوْتَ مَا دَلَّهُمْ
عَلَى مَوْتِهِ إِلاَّ دَابَّةُ اْلأَرْضِ تَأْكُلُ مِنْسَأَتَهُ فَلَمَّا خَرَّ
تَبَيَّنَتِ الْجِنُّ أَنْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُوْنَ الْغَيْبَ مَا لَبِثُوا فِي
الْعَذَابِ الْمُهِيْنِ
“Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang
menunjukkan kematiannya itu kepada mereka kecuali rayap yang memakan
tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau
mereka mengetahui yang ghaib tentulah mereka tidak tetap dalam siksa yang
menghinakan.” (Saba`: 14)
Jin tidak memiliki kemampuan untuk menolak mudharat atau memindahkannya. Jin
tidak bisa mentransfer penyakit dari tubuh manusia ke dalam tubuh binatang.
Demikian pula manusia, tidak punya kemampuan untuk itu. Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman:
وَمَا كَانَ لَهُ عَلَيْهِمْ مِنْ سُلْطَانٍ إِلاَّ
لِنَعْلَمَ مَنْ يُؤْمِنُ بِاْلآخِرَةِ مِمَّنْ هُوَ مِنْهَا فِي شَكٍّ وَرَبُّكَ
عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَفِيْظٌ. قُلِ ادْعُوا الَّذِيْنَ زَعَمْتُمْ مِنْ دُوْنِ
اللهِ لاَ يَمْلِكُوْنَ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ فِي السَّمَوَاتِ وَلاَ فِي اْلأَرْضِ
وَمَا لَهُمْ فِيْهِمَا مِنْ شِرْكٍ وَمَا لَهُ مِنْهُمْ مِنْ ظَهِيْرٍ
“Dan tidak adalah kekuasaan Iblis terhadap mereka, melainkan hanyalah agar Kami
dapat membedakan siapa yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat dari siapa
yang ragu-ragu tentang itu. Dan Rabbmu Maha Memelihara segala sesuatu.
Katakanlah: ‘Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai sesembahan) selain Allah,
mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat zarrahpun di langit dan di bumi. Dan
mereka tidak mempunyai suatu sahampun dalam (penciptaan) langit dan bumi dan
sekali-kali tidak ada diantara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya’.” (Saba`:
21-22)
Gangguan Jin
Secara umum, gangguan jin merupakan sesuatu yang tidak diragukan lagi
keberadaannya, baik menurut pemberitaan Al-Qur`an, As-Sunnah, maupun ijma’.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ
فَاسْتَعِذْ بِاللهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
“Dan jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan
kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
(Fushshilat: 36)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الشَّيْطَانَ عَرَضَ لِي فَشَدَّ عَلَيَّ
لِيَقْطَعَ الصَّلاَةَ عَلَيَّ فَأَمْكَنَنِي اللهُ مِنْهُ فَذَعَتُّهُ وَلَقَدْ
هَمَمْتُ أَنْ أُوْثِقَهُ إِلَى سَارِيَةٍ حَتَّى تُصْبِحُوا فَتَنْظُرُوا
إِلَيْهِ فَذَكَرْتُ قَوْلَ سُلَيْمَانَ عَلَيْهِ السَّلاَم: رَبِّ هَبْ لِي
مُلْكًا لاَ يَنْبَغِي لأَحَدٍ مِنْ بَعْدِي. فَرَدَّهُ اللهُ خَاسِيًا
“Sesungguhnya setan menampakkan diri di hadapanku untuk memutus shalatku. Namun
Allah memberikan kekuasaan kepadaku untuk menghadapinya. Maka aku pun
membiarkannya. Sebenarnya aku ingin mengikatnya di sebuah tiang hingga kalian
dapat menontonnya. Tapi aku teringat perkataan saudaraku Sulaiman
'alaihissalam: ‘Ya Rabbi anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki
seorang pun sesudahku’. Maka Allah mengusirnya dalam keadaan hina.” (HR.
Al-Bukhari no. 4808, Muslim no. 541 dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu)
Suatu ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang mendirikan shalat,
lalu didatangi setan. Beliau memegangnya dan mencekiknya. Beliau bersabda:
حَتَّى إِنِّي لأَجِدُ بَرْدَ لِسَانِهِ فِي يَدَيَّ
“Hingga tanganku dapat merasakan lidahnya yang dingin yang menjulur diantara
dua jariku: ibu jari dan yang setelahnya.” (HR. Ahmad, 3/82-83 dari Abu Sa’id
Al-Khudri radhiallahu 'anhu)
Diriwayatkan dari ‘Utsman bin Abil ‘Ash radhiallahu 'anhu, ia berkata:
يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ حَالَ
بَيْنِي وَبَيْنَ صَلاَتِي وَقِرَاءَتِي يَلْبِسُهَا عَلَيَّ. فَقَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ذَاكَ شَيْطَانٌ يُقَالُ لَهُ خَنْزَبٌ
فَإِذَا أَحْسَسْتَهُ فَتَعَوَّذْ بِاللهِ مِنْهُ وَاتْفِلْ عَلَى يَسَارِكَ
ثَلاَثًا. قَالَ: فَفَعَلْتُ ذَلِكَ فَأَذْهَبَهُ اللهُ عَنِّي
“Wahai Rasulullah, setan telah menjadi penghalang antara diriku dan shalatku
serta bacaanku." Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Itulah
setan yang bernama Khanzab. Jika engkau merasakannya, maka berlindunglah kepada
Allah darinya dan meludahlah ke arah kiri tiga kali." Aku pun melakukannya
dan Allah telah mengusirnya dari sisiku. (HR. Muslim no. 2203 dari Abul ’Ala`)
Gangguan jin juga bisa berupa masuknya jin ke dalam tubuh manusia yang
diistilahkan orang sekarang dengan kesurupan atau kerasukan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata: “Keberadaan jin merupakan
perkara yang benar menurut Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya serta kesepakatan
salaful ummah dan para imamnya. Demikian pula masuknya jin ke dalam tubuh manusia
adalah perkara yang benar dengan kesepakatan para imam Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبَا لاَ يَقُوْمُوْنَ
إِلاَّ كَمَا يَقُوْمُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.”
(Al-Baqarah: 275)
Dan dalam hadits yang shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:
إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنِ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى
الدَّمِ
“Sesungguhnya setan itu berjalan di dalam diri anak Adam melalui aliran darah.”
Tidak ada imam kaum muslimin yang mengingkari masuknya jin ke dalam tubuh orang
yang kesurupan. Siapa yang mengingkarinya dan menyatakan bahwa syariat telah
mendustakannya, berarti dia telah mendustakan syariat itu sendiri. Tidak ada
dalil-dalil syar’i yang menolaknya.” (Majmu’ul Fatawa, 24/276-277, diambil dari
tulisan Asy-Syaikh Ibnu Baz, Idhahul Haq)
Ibnul Qayyim juga telah panjang lebar menerangkan masalah ini. (Lihat Zadul
Ma’ad, 4/66-69)
Golongan yang Mengingkari Masuknya Jin ke dalam Tubuh Manusia (Kesurupan)
a. Kaum orientalis, musuh-musuh Islam yang tidak percaya kecuali kepada hal-hal
yang bisa diraba panca indra.
b. Para ahli filsafat dan antek-anteknya, mereka mengingkari keberadaan jin.
Maka secara otomatis merekapun mengingkari merasuknya jin ke dalam tubuh
manusia.
c. Kaum Mu’tazilah, mereka mengakui adanya jin tetapi menolak masuknya jin ke
dalam tubuh manusia.
d. Prof. Dr. ‘Ali Ath-Thanthawi, guru besar Universitas Al-Azhar, Kairo. Ia
mengingkari dan mendustakan terjadinya kesurupan karena jin dan menganggap hal
itu hanyalah sesuatu yang direkayasa (lihat artikel Idhahul Haq fi Dukhulil
Jinni Fil Insi, Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullahu)
e. Dr. Muhammad Irfan. Dalam surat kabar An-Nadwah tanggal 14/10/1407 H,
menyatakan bahwa: “Masuknya jin ke dalam tubuh manusia dan bicaranya jin lewat
lisan manusia adalah pemahaman ilmiah yang salah 100%.” (Idhahul Haq)
f. Persatuan Islam (PERSIS). Dalam Harian Pikiran Rakyat tanggal 5 September
2005, mengeluarkan beberapa pernyataan yang diwakili Dewan Hisbahnya, sebagai
berikut: “Poin 7 …Tidak ada kesurupan jin, keyakinan dan pengobatan kesurupan
jin adalah dusta dan syirik.”
Semua pengingkaran atas kemampuan masuknya jin ke dalam tubuh manusia adalah
batil. Hanya terlahir dari sedikitnya ilmu akan perkara-perkara yang syar’i dan
terhadap apa yang ditetapkan ahlul ilmi dari kalangan Ahlus Sunnah Wal Jamaah.
Abdullah bin Ahmad bin Hambal berkata: “Aku pernah berkata pada ayahku:
‘Sesungguhnya ada sekumpulan kaum yang berkata bahwa jin tidak dapat masuk ke
tubuh manusia yang kerasukan.’ Maka ayahku berkata: ‘Wahai anakku, tidak benar.
Mereka itu berdusta. Bahkan jin dapat berbicara lewat lidahnya’.” (Idhahu
Ad-Dilalah, atau lihat Majmu’ul Fatawa, 19/10)
Berikut ini pernyataan para mufassir (ahli tafsir) berkenaan dengan firman
Allah Subhanahu wa Ta'ala:
الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبَا لاَ يَقُوْمُوْنَ
إِلاَّ كَمَا يَقُوْمُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ
“Orang-orang yang makan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (Al-Baqarah: 275)
Al-Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari
rahimahullahu mengatakan: “Yakniq bahwa orang-orang yang menjalankan praktek riba
ketika di dunia, maka pada hari kiamat nanti akan bangkit dari dalam kuburnya
seperti bangkitnya orang yang kesurupan setan yang dirusak akalnya di dunia.
Orang itu seakan kerasukan setan sehingga menjadi seperti orang gila.” (Jami’
Al-Bayan Fi Tafsir Al-Qur`an, 3/96)
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu
menegaskan:q “Ayat ini adalah argumen yang mementahkan pendapat
orang yang mengingkari adanya kesurupan jin dan menganggap yang terjadi
hanyalah faktor proses alamiah dalam tubuh manusia serta bahwa setan sama
sekali tidak dapat merasuki manusia.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 3/355)
Al-Imam Ibnuq
Katsir rahimahullahu berkata: “Yakni mereka tidak akan bangkit dari kuburnya
pada hari kiamat melainkan seperti bangkitnya orang yang kesurupan setan saat
setan itu merasukinya.” (Tafsir Al-Qur`anul ‘Azhim, 1/359)
Penyebab Kesurupan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu menjelaskan bahwa masuknya jin pada
tubuh manusia bisa jadi karena dorongan syahwat, hawa nafsu dan rasa cinta
kepada manusia, sebagaimana yang terjadiantara manusia satu sama lainnya.
Terkadang -atau bahkan mayoritasnya- juga karena dendam dan kemarahan atas apa
yang dilakukan sebagian manusia seperti buang air kecil, menuangkan air panas
yang mengenai sebagian mereka, serta membunuh sebagian mereka meskipun manusia
tidak mengetahuinya.
Kalangan jin juga banyak melakukan kedzaliman dan banyak pula yang bodoh,
sehingga mereka melakukan pembalasan di luar batas. Masuknya jin ke tubuh
manusia terkadang disebabkan keisengan sebagian mereka dan tindakan jahat yang
dilakukannya. (Idhahu Ad-Dilalah Fi ‘Umumi Ar-Risalah, hal. 16)
Bagaimana kita menghindari gangguan-gangguan itu?
Ibnu Taimiyah rahimahullahu menjelaskan: “Adapun orang yang melawan permusuhan
jin dengan cara yang adil sebagaimana Allah dan Rasul-Nya perintahkan, maka dia
tidak mendzalimi jin. Bahkan ia taat kepada Allah dan Rasul-Nya dalam menolong
orang yang terdzalimi, membantu orang yang kesusahan, dan menghilangkan musibah
dari orang yang tertimpanya, dengan cara yang syar’i dan tidak mengandung
syirik serta tidak mengandung kedzaliman terhadap makhluk. Yang seperti ini,
jin tidak akan mengganggunya, mungkin karena jin tahu bahwa dia orang yang adil
atau karena jin tidak mampu mengganggunya. Tapi bila jin itu dari kalangan yang
sangat jahat, bisa jadi dia tetap mengganggunya, tetapi dia lemah. Untuk yang
seperti ini, semestinya ia melindungi diri dengan membaca ayat Kursi, Al-Falaq,
An-Nas (atau bacaan lain yang semakna, ed), shalat, berdoa, dan semacam itu
yang bisa menguatkan iman dan menjauhkan dari dosa-dosa...” (Idhahu Ad-Dilalah,
hal. 138)
Pembaca, demikian yang dapat kami paparkan di sini, mudah-mudahan dapat
mewakili apa yang belum lengkap penjelasannya.
Wal’ilmu ’indallah.
Footnote :
1. Diantara ulama yang berpendapat terlarangnya hal itu adalah Asy-Syaikh
Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullahu. Beliau mengatakan: “Saya tidak
mengetahui dalam Kitabullah maupun Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam adanya dalil yang menunjukkan bolehnya pernikahan antara manusia dan
jin. Bahkan yang bisa dijadikan pendukung dari dzahir ayat adalah tidak
bolehnya hal itu.” (Adhwa`ul Bayan, 3/321)
Badruddin Asy-Syibli dalam bukunya Akamul Mirjan mengemukakan bahwa sekelompok
tabi’in membenci pernikahan jin dengan manusia. Diantara mereka adalah
Al-Hasan, Qatadah, Az-Zuhri, Hajjaj bin Arthah, demikian pula sejumlah ulama
Hanafiyah.
(Dikutip dari tulisan Al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf, judul asli Berinteraksi
dengan Jin. Url sumber http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=350)
Bolehkah Meminta Bantuan Jin?
Jimat-jimat, penglaris, susuk pemikat, dan sebagainya adalah komoditi keghaiban
yang laris diburu orang. Dari pejabat hingga rakyat jelata, dari yang bukan
artis hingga selebritis, semuanya rela mengeluarkan dana ‘tidak terbatas’
–bahkan terkadang tumbal kematian kerabatnya– demi tujuan duniawi yang
sejatinya tidak kekal. Padahal, jika mereka mau menyadari, apa yang
dilakukannya itu tak lain adalah bentuk penghambaan kepada jin.
Aneh Tapi Nyata
Menyimak kisah atau mitos-mitos berkaitan dengan alam jin dan
‘pernak-pernik’-nya, yang banyak beredar di tengah masyarakat, jelas akan
membuat kita miris. Pasalnya, kisah-kisah tadi sedikit banyak membuat
masyarakat tertipu dan menjadi rancu. Yang mestinya urusan dan ilmunya hanya
dimiliki Allah Subhanahu wa Ta'ala, seolah menjadi ilmu yang bisa dimiliki oleh
banyak orang. Parahnya, yang paling berhak untuk menyandang ‘ilmu’ pawang jin
dan pawang alam ghaib menurut masyarakat umum adalah paranormal. Tidak
ketinggalan pula dalam hal ini para kyai yang melelang ilmunya demi pangkat,
pamor, dan harta benda duniawi. Demikianlah bila ilmu agama telah jauh dari
kaum muslimin.
Sesuatu yang mustahil diilmui dan dilakukan oleh manusia menjadi sebuah
‘kenyataan’ pada hari ini. Mengetahui yang ghaib, menerka sesuatu yang tidak
ada di hadapannya dan melukiskan setiap yang terlintas di dalam benak lalu
menjadikannya sebagai ilmu yang diperjualbelikan banyak pihak. Sungguh aneh
tapi nyata, mereka yang berani dan berlagak pintar dalam masalah ini menjadi
orang yang mendapat sanjungan setinggi langit. Bahkan jika surga ada di tangan,
niscaya akan diberikan kepada mereka.
Bisa terbang, kebal, memukul dari jarak jauh, berjalan di atas benang, tidak
terbakar oleh api, bisa berjalan di atas air dan bisa muncul di mana saja
sesuai yang diinginkan, seolah merupakan implementasi keghaiban kelas tinggi.
Padahal para pelakunya tak lain adalah khadamah (budak) para setan dan
orang-orang zindiq.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu menjelaskan: “Banyak diantara
mereka yang bisa terbang di udara, dan setan telah membawanya (ke berbagai
tempat, -pent.), terkadang ke Makkah dan selainnya. Padahal dia adalah seorang
zindiq, menolak shalat dan menentang perkara-perkara lain yang telah diwajibkan
Allah Subhanahu wa Ta'ala, serta menghalalkan segala yang telah diharamkan
Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya.
Setan bersedia membantunya karena kekafiran, kefasikan, dan maksiat yang
dilakukannya. Kecuali bila dia beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan
Rasul-Nya, bertaubat dan konsisten dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wa
Ta'ala dan Rasul-Nya. (Jika dia demikian,) niscaya setan akan meninggalkannya
dan segala ‘pengaruh’ pada dirinya akan hilang baik berupa penyampaian berita
atau amalan-amalan lain. Dan aku mengenal banyak orang yang melakukan demikian
di negeri Syam, Mesir, Hijaz dan Yaman.
Adapun di Jazirah, Iraq, Khurasan, dan Rum, lebih banyak dari apa yang terjadi
di negeri Syam dan selainnya. Dan tentunya di negeri-negeri kafir dari kalangan
kaum musyrikin dan ahli kitab tentu lebih banyak lagi.” (Majmu’ Fatawa, 11/250)
Tema alam jin kini juga kian laris dalam pentas sinetron atau film. Bahkan
perkara-perkara ghaib menjadi sebuah pertunjukan yang bisa dipancaindrakan.
Sungguh betapa liciknya Iblis dan bala tentaranya dalam mempergunakan kemajuan
teknologi untuk menyesatkan dan menjadikan manusia kafir serta ingkar kepada
Allah Subhanahu wa Ta'ala. Media massa menjadi pelicin langkah mereka untuk
menggiring umat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menuju Neraka Sa’ir.
Propaganda demi propaganda yang dilakukan serta manuver-manuver penyesatan yang
dilancarkan disambut dengan tangan terbuka dan dada yang lapang.
إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُوْنُوْا مِنْ أَصْحَابِ
السَّعِيْرِ
“Sesungguhnya dia (Iblis) menyeru para pengikutnya menuju Neraka Sa’ir.”
(Fathir: 6)
Beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah Hikmah Penciptaan Manusia dan
Jin
Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan manusia dan jin untuk suatu hikmah yang
besar dan mulia, yang akan mengangkat martabat mereka di sisi Allah Subhanahu
wa Ta'ala dan di hadapan seluruh makhluk. Hikmah yang karenanya diturunkan
kitab-kitab dan diutus para nabi dan rasul, serta karenanya pula ditegakkan
amanat jihad. Dengannya, seseorang akan masuk ke dalam Surga atau ke dalam
Neraka, dan karenanya ditegakkan balasan atas seluruh perbuatan yang dilakukan.
Tahukah anda apa hikmah tersebut?
Hikmah diciptakannya manusia dan jin adalah apa yang telah disebutkan Allah
Subhanahu wa Ta'ala di dalam firman-Nya:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ
لِيَعْبُدُوْنِ
“Dan tidaklah aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah
kepadaku.” (Adz-Dzariyat: 56)
Hikmah ini untuk menjelaskan apa yang telah difirmankan Allah Subhanahu wa
Ta'ala:
أَيَحْسَبُ اْلإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى
“Apakah manusia itu menyangka bahwa dia dibiarkan begitu saja?” (Al-Qiyamah:
36)
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا
وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لاَ تُرْجَعُوْنَ
“Apakah kalian menyangka bahwa Kami menciptakan kalian sia-sia dan kalian tidak
akan dikembalikan kepada Kami?” (Al-Mu`minun: 115)
Al-Imam Mujahid, Al-Imam Asy-Syafi’i dan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam
mengatakan: “Sia-sia artinya tidak diperintah dan tidak dilarang.” (Tafsir Ibnu
Katsir, 4/474 dan lihat Tafsir Ibnul Qayyim, hal. 504 serta Miftah Dar
As-Sa’adah, 2/13)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu menjelaskan: “Sungguh Allah
Subhanahu wa Ta'ala telah memberitakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala
menciptakan langit dan bumi serta segala apa yang ada di dalamnya dengan benar
dan Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak menciptakan mereka sia-sia. Dan (mereka
diciptakan sia-sia) merupakan dugaan orang-orang kafir.” (Majmu’ Fatawa,
16/174)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu berkata: “Barangsiapa
menyimpang dari (jalan) Rabbnya dan menyombongkan diri dari beribadah
kepada-Nya, maka sungguh dia telah melemparkan (menolak) hikmah dia diciptakan,
di mana Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakannya untuk beribadah. Dan
perbuatannya dalam mempersaksikan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala
menciptakannya adalah sia-sia belaka dan tidak berarti, meskipun dia tidak
mengucapkannya secara langsung. Demikianlah kandungan sikap penyimpangan dan
kesombongannya dari taat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.” (Fatawa ‘Aqidah wa
Arkanul Islam, hal. 83 masalah 59)
Jin dan Manusia Memiliki Tugas yang Sama
Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa jin dan manusia memiliki tugas yang
sama di hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Suatu tugas yang bila dilaksanakan
akan menjadikannya sebagai orang yang mulia di sisi-Nya dan menjadi orang yang
paling adil, serta sebagai penegak keadilan di muka bumi. Sebaliknya, bila
diabaikan akan menjadi orang yang celaka dan menjadi orang yang paling dzalim,
serta sebagai penegak kedzaliman di muka bumi.
Ibnul Qayyim rahimahullahu mengatakan: “Allah Subhanahu wa Ta'ala telah
memberitakan bahwa tujuan penciptaan dan perintah adalah agar Allah Subhanahu
wa Ta'ala diketahui dengan nama dan sifat-sifat-Nya serta agar Allah Subhanahu
wa Ta'ala semata yang disembah, tidak disekutukan dengan sesuatupun. Dan agar
manusia berbuat adil, yaitu keadilan yang langit dan bumi tegak karenanya.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ
وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيْزَانَ لِيَقُوْمَ النَّاسُ
بِالْقِسْطِ
“Dan sungguh Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan keterangan-keterangan
dan Kami menurunkan kepada mereka al-kitab (Al-Qur`an) dan timbangan agar
manusia berbuat adil.” (Al-Hadid: 25)
Allah Subhanahu wa Ta'ala memberitakan bahwa Dia mengutus para rasul dan
menurunkan Al-Kitab agar manusia berbuat adil. Dan keadilan yang paling besar
adalah mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ketauhidan juga merupakan puncak
dan tonggak keadilan. Sesungguhnya kesyirikan itu adalah sebuah kedzaliman,
sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ
“Sesungguhnya kesyirikan itu adalah kedzaliman yang paling besar.” (Luqman: 13)
Kesyirikan adalah kedzaliman terbesar, dan tauhid adalah keadilan yang paling
besar. Maka segala hal yang akan menafikan maksud ini, yaitu tauhid, maka
perkara itu merupakan dosa yang paling besar. (Al-Jawabul Kafi, hal. 109)
Tugas yang untuk itu diciptakan jin dan manusia adalah untuk menyembah Allah
Subhanahu wa Ta'ala dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ
لِيَعْبُدُوْنِ
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan untuk menyembah-Ku.”
(Adz-Dzariyat: 56)
وَاعْبُدُوا اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
“Sembahlah Allah dan jangan kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.”
(An-Nisa`: 36)
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي
خَلَقَكُمْ وَالَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
“Wahai sekalian manusia, sembahlah Rabb kalian yang telah menciptakan kalian
dan orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (Al-Baqarah: 21)
فَلاَ تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا
“Janganlah kalian menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah.” (Al-Baqarah: 22)
Oleh karena itu, orang-orang yang tidak mau melaksanakan tugas ini divonis oleh
Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai orang yang sombong dan angkuh, serta divonis
sebagai anggota dan bala tentara Iblis.
إِنَّ الَّذِيْنَ يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِي
سَيَدْخُلُوْنَ جَهَنَّمَ دَاخِرِيْنَ
“Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan dirinya dari beribadah kepada-Ku
akan masuk ke dalam neraka Jahnnam dalam keadaan hina.” (Ghafir: 60)
قَالَ اخْرُجْ مِنْهَا مَذْءُوْمًا مَدْحُوْرًا لَمَنْ
تَبِعَكَ مِنْهُمْ لأَمْلأَنَّ جَهَنَّمَ مِنْكُمْ أَجْمَعِيْنَ
“Allah berfirman: ‘Keluarlah kamu dari surga sebagai orang terhina lagi
terusir. Sesungguhnya orang-orang diantara mereka yang mengikuti kamu,
benar-benar Aku akan mengisi neraka Jahannam dengan kamu semuanya’.” (Al-A’raf:
18)
قَالَ اذْهَبْ فَمَنْ تَبِعَكَ مِنْهُمْ فَإِنَّ
جَهَنَّمَ جَزَاؤُكُمْ جَزَاءً مَوْفُوْرًا
“Allah berfirman: ‘Pergilah, barangsiapa diantara mereka yang mengikuti kamu
maka sesungguhnya neraka Jahannam adalah balasanmu semua, sebagai satu
pembalasan yang cukup’.” (Al-Isra`: 63)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ إِبْلِيْسَ يَضَعُ عَرْشَهُ عَلىَ الْمَاءِ ثُمَّ
يَبْعَثُ سَرَايَاهُ فَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ مِنْهُ
فِتْنَةً
“Sesungguhnya Iblis meletakkan singgasananya di atas air, lalu dari (tempat
itu) dia mengutus bala tentaranya. Dan orang yang paling dekat kedudukannya di
sisi Iblis adalah orang yang paling besar fitnah yang ditimbulkannya.” [1]
لأَمْلأَنَّ جَهَنَّمَ مِنْكَ وَمِمَّنْ تَبِعَكَ
مِنْهُمْ أَجْمَعِيْنَ
“Sesungguhnya Aku pasti akan memenuhi neraka Jahannam dengan jenis kamu dan
dengan orang-orang yang mengikuti kamu diantara mereka semuanya.” (Shad: 85)
Tolong Menolong adalah Ibadah
Manusia di dalam menjalani hidupnya sebagai manusia sangat membutuhkan bantuan
orang lain. Orang miskin butuh bantuan orang kaya, yang lemah butuh bantuan
orang yang kuat, yang sakit butuh bantuan para dokter, dan begitu seterusnya.
Karena itu, Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan kebijaksanaan-Nya telah meletakkan
anjuran untuk saling menolong dalam perkara yang dicintainya dan mengharamkan
untuk saling menolong dalam perkara yang dibenci. Ketergantungan dan
keterkaitan ini telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ
تَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan dan jangan kalian
tolong-menolong di dalam perbuatan dosa dan maksiat.” (Al-Ma`idah: 2)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ
الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، مَنْ
يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ
“Barangsiapa mengeluarkan seorang mukmin dari kesulitan dunia, maka Allah akan
mengeluarkannya dari kesulitan dunia dan akhirat. Dan barangsiapa memberikan
kemudahan kepada orang yang mengalami kesulitan, niscaya Allah akan memudahkan
semua urusannya di dunia dan akhirat.” [2]
وَاللهُ فِيْ عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِيْ
عَوْنِ أَخِيْهِ
“Pertolongan Allah selalu menyertai seorang hamba selama hamba itu menolong
saudaranya.” [3]
Dari ayat dan hadits di atas, sesungguhnya sangat jelas bahwa tolong menolong
di dalam kebaikan merupakan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dan karena
sebuah ibadah, maka harus dibangun di atas dua dasar yaitu ikhlas dan
meneladani Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Bila salah satu dari kedua
dasar ini gugur, walaupun perbuatan itu bentuknya ibadah, niscaya tidak akan
diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam telah menjelaskan:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ
رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan sebuah amalan yang tidak ada perintah dariku maka amalan
tersebut tertolak.” [4]
Hukum Meminta Tolong kepada Selain Allah Subhanahu wa Ta'ala
Dalam edisi yang telah lalu telah kita bahas hukum meminta tolong kepada selain
Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dan kita jelaskan bahwa meminta tolong itu adalah
sebuah ibadah, maka tidak boleh kita mengarahkan permintaan tersebut kepada
selain Allah Subhanahu wa Ta'ala.
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ
“Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami meminta tolong.”
(Al-Fatihah: 5)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ
فَاسْتَعِنْ بِاللهِ
“Dan apabila kamu meminta maka mintalah kepada Allah, dan bila kamu meminta
tolong maka minta tolonglah kepada Allah.” [5]
Apakah larangan meminta tolong kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala, memang
mutlak atau perlu dirinci?
Jawabannya perlu dirinci:
Bila meminta tolong kepada Allah dalam
perkara di mana tidak ada yang bisa melakukannyaqselain melainkan Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka
meminta tolong kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam masalah ini adalah
syirik.
Bila dalam sanggup untuk melakukannya
maka hukumnya perluqperkara yang manusia itu juga untuk dirinci:
- bila dalam perkara yang baik, hal itu diperbolehkan sebagaimana dalil di
atas.
- bila dalam perkara yang jahat, hal itu diharamkan. (Syarah Tsalatsatil Ushul,
Ibnu ‘Utsaimin hal. 58)
Bolehkah Meminta Tolong kepada Jin?
Sesungguhnya inilah yang menjadi inti pembahasan kali ini, yaitu bagaimana
hukum meminta tolong kepada jin? Apakah dalam pandangan agama diperbolehkan
atau diharamkan? Jika hal itu diperbolehkan, apakah kita bisa meminta tolong
dalam semua urusan atau dalam urusan tertentu saja?
Kita mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus kepada
tsaqalain –jin dan manusia– menyeru mereka kepada jalan Allah Subhanahu wa
Ta'ala dan agar beribadah hanya kepada-Nya semata. Sehingga bila bangsa jin itu
ingkar dan kafir kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, menurut nash dan ijma’,
mereka akan masuk ke dalam neraka. Dan bila mereka beriman kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala dan beriman kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam, menurut jumhur ulama mereka akan masuk ke dalam surga. Dan jumhur ulama
menegaskan pula bahwa tidak ada seorang rasul dari kalangan jin. Yang ada
adalah pemberi peringatan dari kalangan mereka. (Majmu’ Fatawa, 11/169,
Tuhfatul Mujib, hal. 364)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu menjelaskan:
“Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyebutkan bahwa meminta bantuan kepada jin ada
tiga bentuk:
Pertama: Meminta bantuan dalam perkara ketaatan kepada Allah Subhanahu wa
Ta'ala, seperti menjadi pengganti di dalam menyampaikan ajaran agama.
Contohnya, apabila seseorang memiliki teman jin yang beriman dan jin tersebut
menimba ilmu darinya. Maksudnya, jin tersebut menimba ilmu dari kalangan
manusia, kemudian setelah itu menjadikan jin tersebut sebagai da’i untuk menyampaikan
syariat kepada kaumnya atau menjadikan dia pembantu di dalam ketaatan kepada
Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka hal ini tidak mengapa.
Bahkan terkadang menjadi sesuatu yang terpuji dan termasuk dakwah kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala. Sebagaimana telah terjadi bahwa sekumpulan jin menghadiri
majelis Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan dibacakan kepada mereka
Al-Qur`an. Selanjutnya, mereka kembali kepada kaumnya sebagai pemberi
peringatan. Di kalangan jin sendiri terdapat orang-orang yang shalih, ahli
ibadah, zuhud dan ada pula ulama, karena orang yang akan memberikan peringatan
semestinya mengetahui tentang apa yang dibawanya, dan dia adalah seseorang yang
taat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam memberikan peringatan tersebut.
Kedua: Meminta bantuan kepada mereka dalam perkara yang diperbolehkan. Hal ini
diperbolehkan, dengan syarat wasilah (perantara) untuk mendapatkan bantuan jin
tersebut adalah sesuatu yang boleh dan bukan perkara yang haram. (Perantara
yang tidak diperbolehkan) seperti bilamana jin itu tidak mau memberikan bantuan
melainkan dengan (mendekatkan diri kepadanya dengan) menyembelih, sujud, atau
selainnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyebutkan sebuah riwayat bahwa ‘Umar
radhiallahu 'anhu terlambat datang dalam sebuah perjalanan hingga mengganggu
pikiran Abu Musa radhiallahu 'anhu. Kemudian mereka berkata kepada Abu Musa
radhiallahu 'anhu: “Sesungguhnya diantara penduduk negeri itu ada seorang
wanita yang memiliki teman dari kalangan jin. Bagaimana jika wanita itu diperintahkan
agar mengutus temannya untuk mencari kabar di mana posisi ‘Umar radhiallahu
'anhu?” Lalu dia melakukannya, kemudian jin itu kembali dan mengatakan: “Amirul
Mukminin tidak apa-apa dan dia sedang memberikan tanda bagi unta shadaqah di
tempat orang itu.” Inilah bentuk meminta pertolongan kepada mereka dalam
perkara yang diperbolehkan.
Ketiga: Meminta bantuan kepada mereka dalam perkara yang diharamkan seperti
mengambil harta orang lain, menakut-nakuti mereka atau semisalnya. Maka hal ini
adalah sangat diharamkan di dalam agama. Kemudian bila caranya itu adalah
syirik maka meminta tolong kepada mereka adalah syirik dan bila wasilah itu
tidak syirik, maka akan menjadi sesuatu yang bermaksiat. Seperti bila ada jin
yang fasik berteman dengan manusia yang fasik, lalu manusia yang fasik itu
meminta bantuan kepada jin tersebut dalam perkara dosa dan maksiat. Maka
meminta bantuan yang seperti ini hukumnya maksiat dan tidak sampai ke batas
syirik. (Al-Qaulul Mufid hal. 276-277, Fatawa ‘Aqidah Wa Arkanul Islam hal.
212, dan Majmu’ Fatawa 11/169)
Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu mengatakan: “Adapun masalah tolong menolong
dengan jin, Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjelaskan di dalam firman-Nya:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ
تَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kalian di dalam kebaikan dan ketakwaan dan jangan
kalian saling tolong menolong di dalam perbuatan dosa dan maksiat.”
(Al-Ma`idah: 2)
Boleh ber-ta’awun (kerja sama) dengan mereka. Tetapi ada sesuatu yang harus
kamu ketahui dulu tentang mereka, bahwa dia bukanlah setan yang secara perlahan
membantumu namun kemudian menjatuhkan dirimu dalam perbuatan maksiat dan
menyelisihi agama Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dan telah didapati, bukan hanya
satu orang dari kalangan ulama yang dibantu oleh jin.” (Tuhfatul Mujib, hal.
371)
Al-Lajnah Ad-Da`imah (Lembaga Fatwa Kerajaan Saudi Arabia) menjelaskan:
“Meminta bantuan kepada jin dan menjadikan mereka tempat bergantung dalam
menunaikan segala kebutuhan, seperti mengirimkan bencana kepada seseorang atau
memberikan manfaat, termasuk kesyirikan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan
termasuk bersenang-senang dengan mereka. Dengan terkabulkannya permintaan dan
tertunaikannya segala hajat, termasuk dari katagori istimta’ (bersenang-senang)
dengan mereka. Perbuatan ini terjadi dengan cara mengagungkan mereka,
berlindung kepada mereka, dan kemudian meminta bantuan agar bisa tertunaikan
segala yang dibutuhkannya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيْعًا يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ
قَدِ اسْتَكْثَرْتُمْ مِنَ اْلإِنْسِ وَقَالَ أَوْلِيَاؤُهُمْ مِنَ اْلإِنْسِ
رَبَّنَا اسْتَمْتَعَ بَعْضُنَا بِبَعْضٍ وَبَلَغْنَا أَجَلَنَا الَّذِي أَجَّلْتَ
لَنَا
“Dan ingatlah hari di mana Allah menghimpun mereka semuanya dan Allah
berfirman: ‘Wahai segolongan jin (setan), sesungguhnya kamu telah banyak
menyesatkan manusia.’ Kemudian berkatalah kawan-kawan mereka dari kalangan
manusia: ‘Ya Rabb kami, sesungguhnya sebahagian dari kami telah mendapatkan
kesenangan dari sebahagian yang lain dan kami telah sampai kepada waktu yang
telah Engkau tentukan bagi kami’.” (Al-An’am: 128)
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ اْلإِنْسِ يَعُوْذُوْنَ
بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوْهُمْ رَهَقًا
“Dan bahwasanya ada beberapa orang dari laki-laki diantara manusia meminta
perlindungan kepada laki-laki diantara jin kemudian jin-jin itu menambah kepada
mereka rasa takut.” (Al-Jin: 6)
Meminta bantuan jin untuk mencelakai seseorang atau agar melindunginya dari
kejahatan orang-orang yang jahat, hal ini termasuk dari kesyirikan. Barangsiapa
demikian keadaannya, niscaya tidak akan diterima shalat dan puasanya, berdasarkan
firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ
“Jika kamu melakukan kesyirikan, niscaya amalmu akan terhapus.” (Az-Zumar: 65)
Barangsiapa diketahui melakukan demikian, maka tidak dishalatkan jenazahnya,
tidak diringi jenazahnya, dan tidak dikuburkan di pekuburan orang-orang Islam.”
(Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, 1/162-163)
Kesimpulan
Meminta bantuan kepada jin adalah boleh dalam perkara yang bukan maksiat kepada
Allah Subhanahu wa Ta'ala. Namun demikian, kami memandang agar hal itu
dihindari pada zaman ini, mengingat kebodohan yang sangat menyelimuti umat.
Sehingga banyak yang tidak mengerti perkara yang mubah dan yang tidak
mengandung maksiat, atau mana tata cara yang boleh dan tidak mengandung
pelanggaran agama serta mana pula yang mengandung hal itu. Wallahu a’lam (ed).
Sedangkan bila perkara itu bermaksiat, hukumnya bisa jatuh kepada tingkatan
haram yaitu bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, bahkan bisa juga
menjadi kufur keluar dari agama.
Wallahu a’lam.
1. HR. Al-Imam Muslim no. 2813 dari shahabat Jabir bin Abdullah radhiallahu
'anhuma
2. HR. Al-Imam Muslim no. 2699 dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu 'anhu
3. HR. Al-Imam Muslim no. 2699 dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu 'anhu
4. HR. Al-Imam Muslim no. 1718 dari shahabat ‘Aisyah radhiallahu 'anha
5. HR. Al-Imam At-Tirmidzi no. 2518 dan Al-Imam Ahmad no. 2804 dari shahabat
Abdullah bin Abbas radhiallahu 'anhuma
Penulis: Al Ustadz Abu Hamzah Yusuf dan Al Ustadz Abdurrahman
(Dikutip dari tulisan Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah, judul asli
Berinteraksi dengan Jin. Url sumber
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=354)
Makkah 'Isha - 25th December 2024
-
*Makkah Isha *
(Surah Hashr: Ayaah 18-24) *Sheikh Baleelah*
Download 128kbps Audio
4 jam yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar