Islam memiliki cara dan metode dalam
berdakwah sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. Tentunya hal itu
tidak lepas dari bimbingan syari’at. Terkadang dakwah harus disampaikan dengan
sikap lemah lembut dan terkadang dengan sikap keras, tegas, dan lugas. Namun
sikap yang kedua ini sering dianggap sebagai sikap yang salah dan tidak
mengandung hikmah. Bahkan terkadang dianggap dapat menimbulkan akibat yang
fatal bagi dakwah itu sendiri.
Sehingga muncul protes dari berbagai pihak
ketika salah seorang da’i bersikap keras, tegas dan lugas dalam dakwahnya.
Fenomena ini tampak ketika salah seorang Ahlus Sunnah berdakwah kepada sunnah
dan membela Ahlus Sunnah sekaligus membantah bid’ah dan ahlul bid’ah dengan
tegas. Maka muncul berbagai macam protes dari berbagai kelompok dakwah yang
ada. Mereka menganggap bahwa sikap keras, tegas, dan lugas dalam dakwah tidak
mencerminkan akhlak mulia karena mengandung kezhaliman terhadap pihak lain dan
menyebabkan umat lari dari seruan dakwah. Anggapan mereka ini timbul dari
prinsip dakwah mereka yang bathil berupa semboyan yang mengajak kepada
perasatuan kaum Muslimin walaupun di atas kebathilan. Setiap hal yang berakibat
memecah-belah kaum Muslimin harus dijauhkan dari dakwah [1]. Fakta ini sering
memunculkan di tengah-tengah dakwah mereka sikap basa-basi, tidak terus terang
dan lemah lembut yang bukan pada tempatnya. Justru keberadaan dakwah mereka
beserta segala sikap yang menyimpang itu menambah kekaburan bagi kaum Muslimin
dalam menilai Al Haq. Sehingga banyak kaum Muslimin tak bisa membedakan antara
yang haq dan yang bathil serta tak sedikit pula diantara mereka yang menyangka
bahwa yang haq itu adalah bathil dan yang bathil itu adalah haq. Lalu bagaimana
sebenarnya Islam berbicara tentang sikap keras, tegas, dan lugas dalam dakwah?
Untuk menjawab pertanyaan ini marilah kita lihat nash-nash Al Qur’an dan As
Sunnah serta beberapa penjelasan para ulama dalam masalah ini. Nash Al Quran
Dan As Sunnah Serta Penjelasan Para Ulama Tentang Sikap Keras Ketika
Pengharaman Allah Dilanggar Dan Ketika Hukum Had Ditegakkan Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman: لزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا
كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ وَلاَ تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ
فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina maka deralah tiap-tiap
seorang dari keduanya seratus kali dera dan janganlah belas kasihan kepada
keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah jika kamu beriman kepada
Allah dan hari akhir ….” (QS. An Nur: 2) Imam Bukhari dalam menafsirkan firman
Allah yang berbunyi: “ … janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu
untuk (menjalankan) agama Allah.” Mengatakan: “Maksudnya adalah janganlah mencegah
kalian untuk menegakkan hukum-hukum had karena belas kasihan kepada orang yang
akan dihukum dan janganlah kalian memperingan pukulan agar tidak menyakitkan.
Pendapat ini adalah pendapat sekelompok Ahli Tafsir” (Tafsir Al Qurthubi jilid
6 halaman 111, cetakan Darul Kutub IImiyah) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam
menafsirkan ayat di atas berkata: “Secara umum Allah Subhanahu wa Ta’ala
melarang segala perkara (baca: belas kasihan) yang diperintahkan oleh setan
ketika memberikan siksa (pada setiap pelanggaran, pent.). Demikian pula
terlebih khusu pada perbuatan-perbuatan keji. Karena hal itu dibangun atas
dasar cinta, syahwat atau kasih sayang yang dihiasi oleh setan dengan rasa
kecenderungan hati dan sifat kasih sayang kepada para pelaku kekejian. Akhirnya,
kebanyakan manusia disebabkan oleh penyakit ini masuk ke dalam sikap kurang
cemburu dan kurang semangat (dalam menegakkan hukum-hukum Allah yang telah
ditetapkan, pent.). Mereka beranggapan bahwa sikap ini termasuk sikap kasih
sayang, lemah lembut, dan akhlak mulia terhadap makhluk. Padahal yang demikian
adalah sikap yang menunjukkan kurang rasa cemburu, kerendahan, tidak agamis,
dan keimanan yang lemah. Membantu mereka atas sikap yang demikian berarti
saling tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan serta meninggalkan
sikap untuk saling mencegah dari kekejian dan kemungkaran.” (Daqaiqut Tafsir
karya Ibnu Taimiyah 3/385) Dalam sebuah hadits dari ‘Aisyah radliyallahu ‘anha,
beliau berkata: “Tidaklah Nabiyullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ketika
diberi dua pilihan melainkan beliau memilih yang paling mudah dari keduanya
selama tidak mengandung dosa. Apabila mengandung dosa, maka beliau menjauhkan
diri dari keduanya. Demi Allah, beliau tidak pernah marah karena hal yang
dilakukan terhadapnya kecuali jika pengharaman Allah dilanggar maka beliau
marah karena Allah.” (HR. Bukhari) Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani
menjelaskan dalam mengomentari hadits ini: “Dalam hadits ini terdapat anjuran
untuk memberi maaf kecuali terhadap haq-haq Allah (yang tidak ditunaikan).”
(Fathul Bari karya Ibnu Hajar 5/576) Imam Ar Razi rahimahullah berkata: “Sikap
lemah lembut dan kasih sayang hanya diperbolehkan apabila tidak menyebabkan
pengabaian terhadap salah satu haq Allah. Jika sikap itu membawa kepada kondisi
yang demikian maka tidak diperbolehkan.” (At Tafsirul Kabir 9/64 dan Gharaibul
Qur’an wa Gharaibul Furqan karya An Naisaburi 4/ 107) Pada sebuah riwayat yang
shahihah dari ‘Aisyah radliyallahu ‘anha diceritakan bahwa orang-orang Quraisy
merasa belas kasihan terhadap seorang wanita dari Bani Makhzum yang telah
mencuri. Mereka berkata: “Tak ada seorang pun yang berani membicarakan tentang
pembelaannya (terhadap wanita tersebut) kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wa Sallam melainkan Usamah bin Zaid, kekasih Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam.” Maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda: “Apakah engkau
(Usamah) memberi pembelaan bagi pelanggaran terhadap salah satu batas-batas
Allah?!” Kemudian beliau berdiri dan berkhutbah lalu bersabda: “Wahai sekalian
manusia, tidaklah orang-orang sebelum kalian sesat melainkan karena apabila
seorang yang mulia mencuri, mereka membiarkannya. Sedangkan apabila seorang
yang lemah mencuri, mereka tegakkan hukuman atasnya. Demi Allah, kalaulah
seandainya Fatimah binti Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mencuri, aku
akan memotong tangannya.” (HR. Bukhari dalam Kitabul Hudud bab Karahiyah
Syafaah Fil Hadd Idza Rufi’a Ilas Sulthan hadits nomor 6778, 12/87) Nash Al
Qur’an Dan As Sunnah Serta Penjelasan Para Ulama Tentang Sikap Keras Ketika
Muncul Sikap Penentangan Dan Peremehan Terhadap Dakwah Al Qur’an telah
menceritakan tentang sikap keras para Nabi terhadap kaum mereka yang menentang
dakwah dan terus-menerus dalam kebodohan. Sebagai contoh kita mendapatkan dalam
Al Qur’an ucapan Nabi Nuh ‘Alaihis Salam kepada kaumnya yang menentang
dakwahnya. Allah berfirman menceritakan ucapan Nabi Nuh ‘Alaihis Salam: وَلَكِنِّي أَرَاكُمْ قَوْمًا تَجْهَلُونَ “
… akan tetapi aku memandang kalian sebagai kaum yang bodoh.” (QS. Hud: 29)
Demikian pula Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam berkata kepada kaumnya sebagaimana
yang diceritakan dalam Al Qur’an: قَالَ
أَفَتَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لاَ يَنْفَعُكُمْ شَيْئًا وَلاَ
يَضُرُّكُمْ ﴿٦٦﴾ أُفٍّ لَكُمْ وَلِمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَفَلاَ
تَعْقِلُونَ ﴿٦٧﴾ Ibrahim berkata: “Maka mengapakah kalian menyembah
selain Allah yaitu sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikit pun dan
tidak (pula) memberi mudharat kepada kalian. Ah (celakalah) kalian dan apa yang
kalian sembah selain Allah. Maka apakah kalian tidak berakal.” (QS. Al Anbiya’:
66-67) Juga ucapan Nabi Luth ‘Alaihis Salam kepada kaumnya: تَأْتُونَ الذُّكْرَانَ مِنَ الْعَالَمِينَ ﴿١٦٥﴾ وَتَذَرُونَ مَا خَلَقَ
لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ عَادُونَ “Mengapa
kalian mendatangi jenis lelaki diantara manusia, kalian tinggalkan
isteri-isteri yang dijadikan oleh Rabb kalian untuk kalian bahkan kalian adalah
orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Asy Syu’ara: I65-166) DR. Fadll Ilahi
setelah membawakan beberapa ayat di atas menyatakan: “Pada ayat-ayat di atas
terdapat teguran keras yang ditujukan kepada kaum –kaun para Nabi. Para Nabi
bersikap demikian tatkala mereka mendapatkan penentangan, peremehan, dan
pelecehan terhadap dakwah diri kaum mereka. Wallahu Ta’ala A’lamu Bish Shawab.”
(Al Lin wa Ar Rifq, karya DR. Fadll Ilahi halaman 40) Allah Subhanahu wa Ta’ala
memerintahkan kepada Nabi-Nya yang mulia, Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam, untuk mendebat ahlul kitab dengan cara yang terbaik kecuali terhadap
orang-orang yang berlaku zhalim diantara mereka. Allah berfirman: وَلاَ تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلاَّ بِالَّتِي هِيَ
أَحْسَنُ إِلاَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ وَقُولُوا ءَامَنَّا بِالَّذِي
أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَأُنْزِلَ إِلَيْكُمْ وَإِلَهُنَا وَإِلَهُكُمْ وَاحِدٌ
وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ “Dan janganlah kalian berdebat dengan Ahli
Kitab melainkan dengan cara yang terbaik kecuali dengan orang-orang zhalim
diantara mereka ….” (QS. Al Ankabut: 46) Dalam ayat lain Allah memerintahkan
Nabi-Nya untuk menggunakan sikap keras dan tegas ketika berhujjah dengan kaum
munafik. Allah berfirman: يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ
جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ وَمَأْوَاهُمْ
جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ “Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang
kafir dan orang-orang munafik itu dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat
mereka adalah neraka Jahannam. Dan itulah tempat kembali yang
seburuk-buruknya.” (QS. At Taubah: 73) Ibnu Abbas radliyallahu 'anhu dalam
menafsirkan ayat di atas berkata: “Allah memerintahkannya (yakni Nabi Muhammad
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam) untuk berjihad (melawan) orang-orang kafir
dengan pedang sedangkan orang-orang munafiq dengan lisan dan menghilangkan
sikap lemah lembut terhadap mereka.” (Tafsir Ath Thabari 14/358-359 dan Tafsir
Al Baghawi 5/311) Perintah ini telah dilaksanakan oleh Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam dengan sebaik-baiknya. Dalam sebuah hadits, Nabi Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam berdakwah dengan mengancam kaum munafiq yang berpaling dari shalat
jamaah di masjid. Beliau bersabda: “Tak ada shalat yang lebih berat bagi kaum
munafiq (selain) dari shalat fajar dan shalat Isya’. Kalau seandainya mereka
mengetahui keutamaan pada keduanya niscaya mereka akan mendatanginya walaupun
dengan merangkak. Sungguh aku berkeinginan memerintahkan seorang muadzin (untuk
beradzan) kemudian iqamah. Selanjutnya aku perintahkan seseorang mengimami
manusia. Setelah itu aku nyalakan api dan aku bakar orang-orang yang tidak
keluar untuk shalat.” (HR. Bukhari) Al Hafizh lbnu Hajar berkata: “Dalam uraian
hadits ini terungkap bahwa beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam melarang kaum
munafiqdari meninggalkan shalat jamaah dengan ucapan. Sampai akhirnya mereka
berhak mendapatkan ancaman dengan suatu hukuman yang akan beliau perbuat
(kepada mereka). Hal ini juga telah dijelaskan oleh Bukhari dalam Kitabul
Asykhash dan Kitabul Ahkam, keduanya dalam bab tentang mengeluarkan ahli
maksiat dan keraguan dari rumah-rumah mereka setelah diketahui.” (Fathul Bari
2/130) Disebutkan dalam Shahih Muslim bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
mendoakan kejelekan terhadap orang yang tidak mau menjalani perintah beliau
karena sombong. Dari Salamah bin Al Akwa’ radliyallahu 'anhu, bahwasanya
seseorang makan di sisi Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dengan tangan
kirinya. Maka beliau bersabda: “Makanlah dengan tangan kananmu!” “Aku tidak
bisa”, jawab orang tersebut. Selanjutnya Nabi bersabda: “Engkau tidak akan
pernah bisa.” Tidak ada yang mencegahnya kecuali karena sombong. Dia (perawi)
berkata: “Maka dia tidak mampu mengangkat tangannya sampai ke mulutnya.” (HR.
Muslim 2021, 3/1599) Nash As Sunnah Dan Beberapa Penjelasan Para Ulama Tentang
Sikap Keras terhadap Penyelisihan Syari’at Yang Dilakukan Oleh Orang-Orang Yang
Tidak Pantas Hal Hal itu Terjadi pada Dirinya Imam Bukhari meriwayatkan dari
Abu Mas’ud Al Anshari radliyallahu 'anhu, dia berkata: “Seorang laki-laki
berkata (kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam): “Wahai Rasulullah, hampir
saja aku tidak mengerti shalat kami yang diimami oleh si fulan karena sangat
panjang.” Maka aku (perawi) tidak pernah melihat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam marah dalam menasehati yang lebih keras daripada hari itu. Beliau
bersabda : “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian telah membuat orang
lari. Maka barangsiapa shalat mengimami manusia hendaklah dia memperingan
(shalatnya) karena diantara mereka ada orang yang sakit, lemah, dan orang yang
memiliki kebutuhan.” (HR. Bukhari) Al ’Allamah Al ’Ainy berkata dalam
mengomentari hadits di atas: “Pada hadits ini terdapat makna yang menunjukkan
tentang bolehnya marah karena perkara-perkara agama yang diingkari.” (‘Umdatul
Qari’ 2/107) Pada riwayat Imam Bukhari yang lain dari Abi Hurairah radliyallahu
'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam pernah melihat
seseorang yang menggiring seekor unta yang akan disembelih di Mekah. Nabi
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda: “Naiki unta itu!” Orang tersebut
menjawab: “Sesungguhnya ini adalah unta yang akan disembelih di Mekah.” Nabi
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda: “Celaka kamu, naiki unta itu!” (Beliau
menyatakan hal ini) pada kali yang ketiga atau kedua. DR. Fadll Ilahi berkata:
“Perkataan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam kepadanya 'Celaka kamu' adalah
pendidikan agar dia kembali kepada (perintah) Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam. Karena dia mengetahui dengan jelas bahwa tidak boleh seorang Mukmin
bersikap ragu dan menahan diri dari melaksanakan perintah Nabi Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Al-Qurthubi.
(Al Lin wa Ar Rifq halaman 52) Imam Ad Darimi telah meriwayatkan dari Jabir
radliyallahu 'anhu bahwasanya Umar bin Khaththab radliyallahu 'anhu mendatangi
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dengan membawa satu naskah dari Taurat
seraya berkata: “Ya Rasulullah, ini adalah satu naskah dari Taurat.” Kemudian
beliau diam. Setelah itu beliau mulai membacanya. Wajah Rasulullah pun berubah.
Maka Abu Bakr radliyallahu 'anhu berkata: “Celaka engkau, apakah engkau tidak
melihat wajah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam? Umar menoleh kepada
wajah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam seraya berkata: “Aku berlindung
kepada Allah dari kemarahan Allah dan Rasul-Nya. Kami ridla Allah sebagai Rab
(kami), Islam sebagai agama (kami), dan Muhammad sebagai Nabi (kami).” Maka
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku
berada di tangan-Nya, kalau seandainya Musa muncul di hadapan kalian niscaya
kalian akan mengikutinya dan meninggalkanku. Sungguh kalian telah sesat dari
jalan yang lurus. Kalau seandainya Musa itu hidup dan mendapatkan kenabianku
niscaya dia akan mengikutiku.” (Sunan Ad Darimi nomor hadits 44, 1/95) Imam
Bukhari dalam Shahih-nya membuat dua bab yang berkaitan dengan masalah ini.
Yang pertama, bab tentang marah dalam memberi nasehat dan pelajaran apabila dia
melihat sesuatu yang dibenci. Yang kedua, bab tentang perkara-perkara yang
diperbolehkan marah dan bersikap keras karena perintah Allah Ta’ala. Kemudian
Imam Bukhari membawakan beberapa hadits yang menunjukkan bahwa Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam marah dan bersikap keras ketika melihat sebagian
shahabatnya melakukan perkara-perkara yang dibencinya[2]. Demikianlah beberapa
dalil dan hujjah dari Al Qur’an dan As Sunnah serta beberapa perkataan para
ulama yang berbicara tentang sikap keras, tegas, dan lugas dalam dakwah.
Tentunya masih banyak yang lainnya. Kami sebutkan beberapa saja di atas untuk
meringkas. Hakekat Sikap Keras Dalam Dakwah Penjelasan-penjelasan yang telah
lalu menggambarkan kepada kita bahwa Islam sebenarnya juga mengajarkan untuk
bersikap keras, tegas, dan lugas dalam dakwah di samping memerintahkan untuk
bersikap lemah lembut pada tempatnya. Hanya saja ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam masalah ini: 1. Sikap keras, tegas, dan lugas dilakukan
setelah sikap lemah lembut dan kasih sayang dalam dakwah tidak berhasil merubah
orang-orang yang terus-menerus dalam kemungkaran. Syaikh Muhammad Amin Asy
Syanqithi pernah berkata: “Ketahuilah bahwasanya dakwah ke jalan Allah (dilakukan)
dengan dua cara. Pertama dengan cara lemah lembut dan kedua dengan cara
kekerasan. Adapun cara yang lemah lembut yaitu berdakwah ke jalan Allah dengan
hikmah dan memberikan nasehat yang baik. Apabila engkau berhasil dengan cara
ini alangkah baiknya dan inilah yang diinginkan. Namun jika engkau tidak
berhasil, gunakanlah cara kekerasan dengan pedang sampai hanya Allah sajalah
yang diibadahi dan ditegakkan hukum-hukum-Nya, dilaksanakan
perintah-perintah-Nya, serta ditinggalkan larangan-larangan-Nya. Hal inilah
yang telah diisyaratkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam firman-Nya: لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا
مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ وَأَنْزَلْنَا
الْحَدِيدَ فِيهِ بَأْسٌ شَدِيدٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ ‘Sesungguhnya Kami
telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah
Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia
dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat
kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia ….’ (QS. Al Hadid: 25)
Pada ayat ini terdapat isyarat untuk menggunakan pedang setelah tegaknya hujah
sehingga apabila kitab-kitab tidak bermanfaat maka batalyon pasukan sangat
berguna (dalam merubah kemungkaran). Karena terkadang Allah mencegah suatu
(kemungkaran) melalui para penguasa, tidak melalui Al Qur’an (yang dibacakan).”
(Tafsir Adlwa’ul Bayan, Syaikh Muhammad Amin Asy Syanqithi 2/174-175) 2. Sikap
keras, tegas, dan lugas dalam dakwah diperlakukan kepada orang yang menentang
Al Haq dan menampakkan kefasikan dan kejelekannya secara terang-terangan. Imam
Ahmad rahimahullah berkata: “Manusia membutuhkan bujuk rayuan dan sikap lemah
lembut tanpa kekerasan saat mereka diajak kepada kebaikan kecuali seorang yang
menentang (Al Haq) dan menampakkan kefasikan berserta kejelekannya secara
terang-terangan. Maka wajib atasmu mencegahnya (dengan keras) dan
mengumumkannya (di hadapan khalayak ramai), karena dahulu dikatakan bahwa tak
ada kehormatan bagi seorang yang fasiq. Oleh sebab itu orang yang seperti ini
tak ada kehormatan baginya.” (Al Amru bil Ma’ruf Wa An Nahyu ‘Anil Munkar, Al
Khallal halaman 47) Al ‘Allamah Ibnu Qayyim Al Jauziyah berkata tentang makna
firman Allah Ta’ala yang artinya: ادْعُ إِلَى سَبِيلِ
رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ
أَحْسَنُ “Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan
peringatan yang baik serta bantahlah mereka dengan cara yang terbaik.” (QS. An
Nahl: 125) “Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan tingkatan-tingkatan dakwah
dan menjadikannya tiga bagian sesuai dengan keadaan orang yang didakwahi.
(Pertama), orang yang didakwahi adalah pencari dan pecinta Al Haq. Dia lebih
mendahulukan Al Haq daripada yang selainnya bila dia mengetahuinya. Maka orang
ini didakwahi dengan hikmah, tidak butuh diperingatkan (dengan ancaman) dan
perdebatan. (Kedua), orang yang didakwahi sibuk dengan selain Al Haq. Akan
tetapi kalau dia mengetahuinya, dia akan lebih mendahulukan Al Haq dan
mengikutinya. Maka orang ini butuh (didakwahi) dengan peringatan yang
memberikan semangat dan peringatan yang memberikan ancaman. (Ketiga), orang
yang didakwahi suka menentang dan melawan (Al Haq). Maka orang ini perlu
didebat dengan cara yang terbaik jika dia mau kembali. Kalau tidak, orang ini
dibawa kepada kekerasan jika memungkinkan.” (Fathul Majid Syaikh Abdurrahman
Alu Syaikh dengan ta’liq Syaikh bin Baz dan tahqiq Syaikh Asyraf bin Abdil
Maqsud halaman 101) 3. Mempertimbangkan mashlahat dan madlarat yang akan timbul
akibat sikap keras dan tegas dalam dakwahnya. Jika seorang da’i
mempertimbangkan dengan praduga yang kuat dalam hatinya dan tanda-tanda yang
ada di sekitarnya, bahwa dengan sikap keras dan tegas dalam dakwahnya akan
menimbulkan kemungkaran yang lebih besar daripada kemungkaran yang dia cegah,
atau akan luput suatu kebaikan yang lebih penting daripada kebaikan yang dia
dakwahkan dengan cara yang keras, maka tidak boleh dia bersikap keras dan tegas
dalam dakwahnya yang akan berakibat pada keadaan yang lebih fatal. Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata tentang hal ini: “Sesungguhnya (dakwah) amar ma’ruf
nahi munkar yang mengandung mashlahat dan menolak kerusakan perlu dilihat
akibat yang muncul karenanya. Apabila berakibat hilangnya mashlahat (yang lebih
penting) dan timbulnya kerusakan yang lebih besar maka tidaklah diperintahkan
untuk berdakwah amar ma’ruf nahi mungkar. Bahkan haram bila kerusakan (yang
timbul) lebih besar daripada mashlahatnya. Akan tetapi mengukur (besar dan
kecil) mashlahat-mashlahat dan kerusakan-kerusakan (hendaklah) dengan timbangan
syari’ah.” Selanjutnya beliau berkata: “Termasuk dalam hal ini adalah perbuatan
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam membiarkan Abdullah bin Ubai dan para tokoh
kemunafikan serta kejahatan yang semisalnya, karena mereka memiliki
pengikut-pengikut (yang banyak). Menghilangkan kemungkaran (dari mereka) dengan
cara menghukum mereka akan melenyapkan kebaikan yang lebih banyak. Sebab
kaumnya akan marah dan membela dengan sikap fanatik. Manusia pun akan lari
(dari dakwah) bila mereka mendengar bahwasanya Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam membunuh shahabatnya.” (Al Amru bil Ma’ruf wa An Nahyu ‘Anil Munkar, Al
Khallal halaman 21) Masalah ini juga dapat dilihat dalam kitab karya Ibnu
Qayyim Al Jauziyah yang berjudul I’lamul Muwaqqi’in 3/15-16. Demikianlah Islam
berbicara tentang sikap keras, tegas, dan lugas dalam dakwah. Dari semua
keterangan di atas ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil: 1. Islam
mengajarkan untuk bersikap keras, tegas, dan lugas dalam dakwah ketika: a.
Timbulnya pelanggaran terhadap pengharaman-pengharaman Allah dan saat
ditegakkan hukum-hukum had. b. Timbulnya penentangan dan pelecehan terhadap
dakwah. c. Timbulnya penyimpangan dari syari’ah yang dilakukan oleh orang-orang
yang tidak pantas hal itu terjadi pada dirinya. Seperti orang yang paham
tentang syari’at kemudian menyelisihinya. Demikian pula orang yang menentang Al
Haq padahal telah ditegakkan hujah atasnya dan lain-lain. 2. Sikap keras,
tegas, dan lugas dalam dakwah dibenarkan apabila: a. Sikap lemah lembut dan
kasih sayang tidak mampu merubah orang yang terus-menerus dalam kemungkaran. b.
Dilakukan pada orang yang menentang Al Haq dan menampakkan kefasikan beserta
kejelekannya secara terang-terangan. c. Menimbulkan mashlahat yang lebih besar
daripada kerusakan. 3. Telah salah orang yang beranggapan bahwa Islam hanya
mengajarkan dakwah dengan sikap lemah lembut dan kasih sayang saja. 4. Dakwah
dengan sikap keras, tegas, dan lugas jika pada tempatnya bukanlah suatu
kezhaliman. 5. Dakwah dengan sikap keras, tegas, dan lugas yang pada tempatnya
termasuk dakwah Ilallah yang menggunakan hikmah. Karena Islam mengajarkan untuk
berdakwah dengan sikap yang demikian pada tempatnya. Mustahil Islam mengajarkan
sesuatu yang tidak mengandung hikmah. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala membalas
kita dengan kebaikan dan pahala yang tidak terkira dan mudah-mudahan kaum
Muslimin juga mendapatkan manfaat dengan membacanya. Wallahu A’lamu Bish
Shawwab. ------------------------------------------------------ [1] Penjelasan
tentang semboyan yang menjadi prinsip dakwah mereka ini dapat dibaca lebih
lanjut dalam Kitab Al Quthbiyah karya Syaikh Abu Ibrahim bin Shulthan Al Adnan.
[2] Disadur dari buku Al Lin wa Ar Rifq karya DR. Fadll Ilahi halaman 34-53.
(Dikutip
dari majalah Salafy Edisi XV/Tahun 1417 H/1997 M, penulis Al Ustadz Abdul
Mu'thi al Maidani, judul asli "Salahkah Sikap Keras Dalam Dakwah".)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar