Oleh: Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
Tafsir
Al Quran dirujuk kepada referensi berikut:
A. Kalamullah
ta’ala (Al Quran –pent.)
Maka Al Qur’an ditafsirkan dengan Al
Qur’an, karena Allah subhanahu wata’ala-lah yang menurunkannya, dan Dia-lah
yang paling tahu dengan apa yang dimaksud di dalam Al Qur’an.
Ada beberapa contoh untuk perkara
ini, di antaranya:
1. Firman Allaah subhanahu wata’ala,
”Ingatlah, sesungguhnya wali-wali
Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati.” (Yunus: 62)
Sungguh kata (wali-wali Allah) telah ditafsirkan oleh firman Allah di ayat berikutnya,
”(Yaitu) orang-orang yang beriman dan
mereka selalu bertaqwa.” (Yunus: 63)
2). Firman Allah subhanahu wata’ala,
”Tahukah kamu apakah yang datang pada
malam hari itu?” (Ath Thariq: 2).
Sungguh “Ath-Thariq” ditafsirkan
dengan firman Allah subhanahu wata’ala pada ayat yang kedua (demikian yang
tertulis di dalam kitab, mungkin yang diinginkan adalah ayat ketiga, wallahu
a’lam –pent.),
”(Yaitu) bintang yang cahayanya
menembus.” (Ath Thariq: 3)
3). Firman Allah subhanahu wata’ala,
”Dan bumi sesudah itu dihamparkan-
Nya.” (An Naazi’aat: 30)
Kata ditafsirkan dengan dua
ayat setelahnya,
”Ia memancarkan darinya mata airnya,
dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhan. Dan gunung-gunung dipancangkan- Nya dengan
teguh.” (An Naazi’aat: 31-32)
2. Ucapan
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Maka Al Qur’an ditafsirkan dengan As
Sunnah, karena rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah penyampai wahyu
dari Allah subhanahu wata’ala, maka beliau adalah manusia yang paling
mengetahui maksud-maksud yangterkandung dalam firman Allah subhanahu wata’ala.
Dalam hal ini ada beberapa contoh:
1). Firman Allah subhanahu wata’ala,
”Bagi orang-orang yang berbuat baik
ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya” (Yunus: 26)
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam
telah menafsirkan kata æóÒöíóÇÏóÉñ (tambahan) dengan melihat wajah Allah
subhanahu wata’ala sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir
dan Ibnu Abi Hatim secara sharih dari hadits Abu Musa [1] dan Ubay bin Ka’ab
[2] dan diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari hadits Ka’ab bin ‘Ujrah [3].
Dan di dalam Shahih Muslim [4] dari
Shuhaib bin Sinan dari Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam sebuah hadits
beliau bersabda,
”Maka disingkapkanlah hijab, maka
tidaklah mereka diberi sesuatu yang lebih mereka cintai daripada melihat Rabb
mereka ‘azza wa jalla”
Lalu beliau membaca ayat ini,
”Bagi orang-orang yang berbuat baik
ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya” (Yunus: 26)
2). Firman Allah subhanahu wata’ala,
”Dan persiapkanlah untuk menghadapi
mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi” (Al-Anfaal: 60)
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam
menafsirkan kata ÇáúÞõæøÉ dengan “melempar”. Diriwayatkan oleh Al Imam
Muslim [5] dan yang selainnya dari hadits ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallaahu ‘anhu.
3. Ucapan Sahabat
radhiyallaahu ‘anhum
Terutama kalangan sahabat yang
berilmu dan memiliki perhatian terhadap tafsir, karena Al Qur’an turun dengan
bahasa mereka dan pada zaman mereka. Dan juga setelah para nabi, merekalah yang
paling jujur dalam mencari kebenaran, paling selamat dari hawa nafsu, dan
paling bersih dari penyimpangan yang dapat menghalangi seseorang untuk
mendapatkan taufik dari Allah subhanahu wata’ala.
Dalam hal ini ada banyak contoh, di
antaranya:
1. Firman Allah ta’ala:
”Dan jika kamu sakit atau dalam
perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau mulamasah wanita”
(Al-Maidah: 6).
Telah shahih dari Ibnu ‘Abbas
radhiyallaahu ‘anhuma bahwa beliau menafsirkan al-mulamasah (yang
arti letterlijk-nya
menyentuh –pent.) dengan jima’ (melakukan hubungan seks) [6].
4. Ucapan Para Tabi’in yang perhatian
dengan pengambilan tafsir dari para sahabat radhiyallaahu ‘anhum. Hal ini
karena tabi’in adalah sebaik-baik manusia setelah para sahabat dan paling
selamat dari hawa nafsu daripada generasi setelahnya. Selain itu, bahasa Arab
belum banyak berubah pada masa mereka, sehingga mereka adalah orang-orang yang
lebih dekat kepada kebenaran dalam memahami Al Qur’an daripada generasi
setelahnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam
berkata [7],
”Apabila mereka –yaitu para tabi’in-
sepakat atas suatu perkara, maka tidak diragukan lagi bahwa ini merupapan
hujjah. Namun apabila mereka berselisih, maka perkataan sebagian mereka tidak
menjadi hujjah atas sebagian yang lain dan tidak pula menjadi hujjah atas
orang-orang setelah mereka. Maka hal tersebut dikembalikan kepada bahasa Al
Qur’an atau Sunnah atau keumuman bahasa Arab atau perkataan sahabat tentang hal
itu”.
Beliau juga
berkata,
”Siapa yang menyimpang dari
mazhab-mazhab para sahabat dan para tabi’in serta tafsir mereka kepada hal-hal
yang menyelisi mazhab dan tafsir para sahabat dan tabi’in maka dia telah
berbuat kesalahan dalam hal tersebut, bahkan dia telah berbuat bid’ah. Apabila
ia adalah orang yang berijtihad (mujtahid), maka diampuni kesalahan-kesalahan
nya”. Lalu beliau berkata, ”Maka barangsiapa yang menyelisihi perkataan mereka
dan menafsirkan Al Qur’an berbeda dengan tafsir mereka, maka dia telah berbuat
kesalahan dalam hal dalil dan madlul (makna)”.
5. Apa yang
merupakan konsekuensi kata-kata tersebut, apakah dimaknai secara syar’i atau
lughawi (secara bahasa), tergantung dengan konteksnya.
Hal ini berdasarkan firman Allah
subhanahu wata’ala,
”Sesungguhnya kami telah menurunkan
kepadamu Al-Kitab (Al Qur’an) dengan membawa kebenaran supaya kamu mengadili
antara manusia dengan apa-apa yang telah Allah wahyukan kepadamu” (An Nisaa’:
105)
Dan firman Allah subhanahu wata’ala,
ÅöäøÇ ÌóÚóáúäóÇåõ ÞõÑúÂäÇð ÚóÑóÈöíøÇð
áøÚóáøßõãú ÊóÚúÞöáõæäó
”Sesungguhnya Kami telah
menurunkannya berupa Al Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya”
(Az Zukhruf: 3)
Dan firman Allah subhanahu wata’ala,
æóãó ÃóÑúÓóáúäóÇ ãöä ÑøÓõæáò ÅöáÇø
ÈöáöÓóÇäö Þóæúãöåö áöíõÈóíøäó áóåõãú
”Tidakkah Kami mengutus seorag Rasul
pun melainkan dengan bahasa kaumnya supaya ia dapat memberi penjelasan dengan
terang kepada mereka” (Ibrahim: 4)
Apabila makna syar’i dan makna lughawi
(bahasa) berbeda, maka yang diambil adalah makna syar’i. Hal karena Al Qur’an
diturunkan untuk menjelaskan syari’at, bukan untuk menjelaskan bahasa, kecuali
jika terdapat dalil yang lebih merajihkah (menguatkan) makna lughawi, maka yang
dipakai adalah makna lughawi tersebut.
Contoh perbedaan antara dua makna
tersebut, dan dikedepankannya makna syar’I adalah firman Allah subhanahu
wata’ala tentang orang-orang munafiq,
æóáÇó ÊõÕóáø Úóáóìó ÃóÍóÏò ãøäúåõã
ãøÇÊó ÃóÈóÏÇð
”Dan janganlah kamu sekali-kali
shalat atas seorang yang mati di antara mereka” (At Taubah: 84)
Sesungguhnya makna shalat secara
bahasa berarti doa, dan secara syar’i makna shalat di sini adalah berdiri di
hadapan orang yang meninggal dunia untuk mendoakannya dengan tata cara
tertentu. Maka didahulukanlah makna syar’i, karena maksud dari mutakallim
(orang yang bicara) adalah apa yang dipahami oleh mukhathab (orang yang diajak
bicara)
Adapun larangan mendoakan mereka
secara mutlak, maka berasal dari dalil yang lainnya.
Contoh ayat yang di dalamnya
mengandung perbedaan di antara dua makna, lalu didahulukan makna lughawi karena
ada dalil yang menguatkan adalah firman Allah subhanahu wata’ala,
ÎõÐú ãöäú ÃóãúæóÇáöåöãú ÕóÏóÞóÉð
ÊõØóåøÑõåõãú æóÊõÒóßøíåöãú ÈöåóÇ æóÕóáø Úóáóíúåöãú
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka,
dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk
mereka” (At Taubah: 103)
Yang dimaksud dengan shalat di sini
adalah doa, dengan dalil apa yang diriwayatkan oleh Al Imam Muslim dari
Abdullah bin Abi ‘Aufa [8], dia berkata,
”Apabila Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam dikirimi shadaqah dari suatu kaum, beliau mendoakan mereka”.
Maka bapakku mendatangi beliau dengan
membawa shadaqah, lalu beliau berdoa,
”Ya Allah, berikanlah keselamatan
atas keluarga Abu ‘Aufa”.
Dan contoh ayat yang mengandung
kesamaan makna syar’i dan makna lughawi banyak sekali, seperti ÇáÓøóãóÂÁõ
(langit), ÇáÃóÑúÖõ (bumi), ÇáÕøöÏúÞõ (kejujuran), ÇúáßóÐöÈõ (kedustaan), ÇáÍóÌóÑõ
(batu), dan ÇáÅäúÓóÇäõ (manusia).
(Diterjemahkan untuk blog http://ulamasunnah.
wordpress. com dari Kitab Ushul Fit Tafsir karya Asy Syaikh Muhammad bin
Shalih Al Utsaimin, halaman 30-33, terbitan Darul Ibnil Jauzy, KSA)
Catatan Kaki:
1. Dikeluarkan oleh Al Imam Ibnu Abi
Hatim dalam Tafsir beliau (2/1945), hadits nomor 10341. Dikeluarkan pula oleh
Al Lalika-i dalam Syarh Ushul I’tiqad jilid kedua (3/458-459), hadits nomor 785
2. Dikeluarkan oleh Al Imam Ath
Thabrani dalam tafsir beliau (15/69), hadits no 17633, dan Al Lalika-i dalam
Syarh Ushul I’tiqad, jilid kedua (3/456).
3. Dikeluarkan oleh Al Imam At
Thabrani dalam tafsri beliau (15/67), hadits nomor 17631, dan Al Lalika-i dalam
Syarh Ushul I’tiqad, jilid kedua (3/456-457).
4. Dikeluarkan oleh Al Imam Muslim halaman
709, Kitabul Iman, Bab 80 Penetapan Bahwa Kaum Mukminin Melihat Rabb mereka
subhanahu wata’ala di Hari Akhir, nomor hadits 449 [297] 181, 450 [297] 181.
5. Dikeluarkan oleh Al Imam Muslim
halaman 1020, Kitabul Imarah, Bab 52 Keutamaan Melontar dan Anjuran untuk
Melakukannya. Hadits no 4946 [167] 1917. At
Tirmidzi hal. 1963, Kitab Tafsir Al Qur’an, Bab 8, Tafsir Beberapa Ayat dari Al
Anfaal, hadits nomor 3083. Di dalam sanad At Tirmidzi ada rawi yang mubham.
Dikeluarkan pula oleh Abu Dawud hal. 1409, Kitabul Jihad, bab 23 Permasalahan
Melontar, hadits no. 2514. Ibnu Majah halaman 2647, Kitabul Jihad, bab 19:
Melontar di Jalan Allah, hadits nomor 2813, dan dikeluarkan pula oleh yang
selain mereka.
6. Dikeluarkan oleh Abdurrazzaq di
dalam Al Mushannaf (1/134). Dan Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf beliau (1/192)
7. Majmu’ Fatawa
8. Dikeluarkan oleh Al Imam Al
Bukhari hal 342, Kitab Al Maghazi, bab 36 Perang
Hudaibiyah. Hadits no 4166, dan Muslim 849, Kitabuz Zakah, Bab 54: Doa bagi
Orang yang Memberi Shadaqah, hadits no 2492 [176] 1078.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar