Ketika iman bersemi dalam hati sesuai tuntunan syariat, niscaya hati ini rindu terbang ke jannah dan takut siksa neraka

Selasa, 20 Maret 2012

Apa yang Menjadi Rujukan dalam Menafsirkan Al Quran?


Oleh: Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

Tafsir Al Quran dirujuk kepada referensi berikut:
A. Kalamullah ta’ala (Al Quran –pent.)
Maka Al Qur’an ditafsirkan dengan Al Qur’an, karena Allah subhanahu wata’ala-lah yang menurunkannya, dan Dia-lah yang paling tahu dengan apa yang dimaksud di dalam Al Qur’an.
Ada beberapa contoh untuk perkara ini, di antaranya:
1. Firman Allaah subhanahu wata’ala,

”Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Yunus: 62)
Sungguh kata  (wali-wali Allah) telah ditafsirkan oleh firman Allah di ayat berikutnya,
”(Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa.” (Yunus: 63)
2). Firman Allah subhanahu wata’ala,
”Tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari itu?” (Ath Thariq: 2).
Sungguh “Ath-Thariq” ditafsirkan dengan firman Allah subhanahu wata’ala pada ayat yang kedua (demikian yang tertulis di dalam kitab, mungkin yang diinginkan adalah ayat ketiga, wallahu a’lam –pent.),
”(Yaitu) bintang yang cahayanya menembus.” (Ath Thariq: 3)
3). Firman Allah subhanahu wata’ala,
”Dan bumi sesudah itu dihamparkan- Nya.” (An Naazi’aat: 30)
Kata ditafsirkan dengan dua ayat setelahnya,
”Ia memancarkan darinya mata airnya, dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhan. Dan gunung-gunung dipancangkan- Nya dengan teguh.” (An Naazi’aat: 31-32)
2. Ucapan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Maka Al Qur’an ditafsirkan dengan As Sunnah, karena rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah penyampai wahyu dari Allah subhanahu wata’ala, maka beliau adalah manusia yang paling mengetahui maksud-maksud yangterkandung dalam firman Allah subhanahu wata’ala.
Dalam hal ini ada beberapa contoh:
1). Firman Allah subhanahu wata’ala,
”Bagi orang-orang yang berbuat baik ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya” (Yunus: 26)
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam telah menafsirkan kata æóÒöíóÇÏóÉñ (tambahan) dengan melihat wajah Allah subhanahu wata’ala sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim secara sharih dari hadits Abu Musa [1] dan Ubay bin Ka’ab [2] dan diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari hadits Ka’ab bin ‘Ujrah [3].
Dan di dalam Shahih Muslim [4] dari Shuhaib bin Sinan dari Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam sebuah hadits beliau bersabda,

”Maka disingkapkanlah hijab, maka tidaklah mereka diberi sesuatu yang lebih mereka cintai daripada melihat Rabb mereka ‘azza wa jalla”
Lalu beliau membaca ayat ini,
”Bagi orang-orang yang berbuat baik ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya” (Yunus: 26)
2). Firman Allah subhanahu wata’ala,
”Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi” (Al-Anfaal: 60)
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam menafsirkan kata  ÇáúÞõæøÉ dengan “melempar”. Diriwayatkan oleh Al Imam Muslim [5] dan yang selainnya dari hadits ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallaahu ‘anhu.
3. Ucapan Sahabat radhiyallaahu ‘anhum
Terutama kalangan sahabat yang berilmu dan memiliki perhatian terhadap tafsir, karena Al Qur’an turun dengan bahasa mereka dan pada zaman mereka. Dan juga setelah para nabi, merekalah yang paling jujur dalam mencari kebenaran, paling selamat dari hawa nafsu, dan paling bersih dari penyimpangan yang dapat menghalangi seseorang untuk mendapatkan taufik dari Allah subhanahu wata’ala.

Dalam hal ini ada banyak contoh, di antaranya:
1. Firman Allah ta’ala:
”Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau mulamasah wanita” (Al-Maidah: 6).
Telah shahih dari Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma bahwa beliau menafsirkan al-mulamasah (yang arti letterlijk-nya menyentuh –pent.) dengan jima’ (melakukan hubungan seks) [6].
4. Ucapan Para Tabi’in yang perhatian dengan pengambilan tafsir dari para sahabat radhiyallaahu ‘anhum. Hal ini karena tabi’in adalah sebaik-baik manusia setelah para sahabat dan paling selamat dari hawa nafsu daripada generasi setelahnya. Selain itu, bahasa Arab belum banyak berubah pada masa mereka, sehingga mereka adalah orang-orang yang lebih dekat kepada kebenaran dalam memahami Al Qur’an daripada generasi setelahnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam berkata [7],
”Apabila mereka –yaitu para tabi’in- sepakat atas suatu perkara, maka tidak diragukan lagi bahwa ini merupapan hujjah. Namun apabila mereka berselisih, maka perkataan sebagian mereka tidak menjadi hujjah atas sebagian yang lain dan tidak pula menjadi hujjah atas orang-orang setelah mereka. Maka hal tersebut dikembalikan kepada bahasa Al Qur’an atau Sunnah atau keumuman bahasa Arab atau perkataan sahabat tentang hal itu”.
Beliau juga berkata,

”Siapa yang menyimpang dari mazhab-mazhab para sahabat dan para tabi’in serta tafsir mereka kepada hal-hal yang menyelisi mazhab dan tafsir para sahabat dan tabi’in maka dia telah berbuat kesalahan dalam hal tersebut, bahkan dia telah berbuat bid’ah. Apabila ia adalah orang yang berijtihad (mujtahid), maka diampuni kesalahan-kesalahan nya”. Lalu beliau berkata, ”Maka barangsiapa yang menyelisihi perkataan mereka dan menafsirkan Al Qur’an berbeda dengan tafsir mereka, maka dia telah berbuat kesalahan dalam hal dalil dan madlul (makna)”.

5. Apa yang merupakan konsekuensi kata-kata tersebut, apakah dimaknai secara syar’i atau lughawi (secara bahasa), tergantung dengan konteksnya.
Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wata’ala,
”Sesungguhnya kami telah menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Qur’an) dengan membawa kebenaran supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa-apa yang telah Allah wahyukan kepadamu” (An Nisaa’: 105)
Dan firman Allah subhanahu wata’ala,
ÅöäøÇ ÌóÚóáúäóÇåõ ÞõÑúÂäÇð ÚóÑóÈöíøÇð áøÚóáøßõãú ÊóÚúÞöáõæäó
”Sesungguhnya Kami telah menurunkannya berupa Al Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya” (Az Zukhruf: 3)
Dan firman Allah subhanahu wata’ala,
æóãó ÃóÑúÓóáúäóÇ ãöä ÑøÓõæáò ÅöáÇø ÈöáöÓóÇäö Þóæúãöåö áöíõÈóíøäó áóåõãú
”Tidakkah Kami mengutus seorag Rasul pun melainkan dengan bahasa kaumnya supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka” (Ibrahim: 4)
Apabila makna syar’i dan makna lughawi (bahasa) berbeda, maka yang diambil adalah makna syar’i. Hal karena Al Qur’an diturunkan untuk menjelaskan syari’at, bukan untuk menjelaskan bahasa, kecuali jika terdapat dalil yang lebih merajihkah (menguatkan) makna lughawi, maka yang dipakai adalah makna lughawi tersebut.
Contoh perbedaan antara dua makna tersebut, dan dikedepankannya makna syar’I adalah firman Allah subhanahu wata’ala tentang orang-orang munafiq,
æóáÇó ÊõÕóáø Úóáóìó ÃóÍóÏò ãøäúåõã ãøÇÊó ÃóÈóÏÇð
”Dan janganlah kamu sekali-kali shalat atas seorang yang mati di antara mereka” (At Taubah: 84)
Sesungguhnya makna shalat secara bahasa berarti doa, dan secara syar’i makna shalat di sini adalah berdiri di hadapan orang yang meninggal dunia untuk mendoakannya dengan tata cara tertentu. Maka didahulukanlah makna syar’i, karena maksud dari mutakallim (orang yang bicara) adalah apa yang dipahami oleh mukhathab (orang yang diajak bicara)
Adapun larangan mendoakan mereka secara mutlak, maka berasal dari dalil yang lainnya.
Contoh ayat yang di dalamnya mengandung perbedaan di antara dua makna, lalu didahulukan makna lughawi karena ada dalil yang menguatkan adalah firman Allah subhanahu wata’ala,
ÎõÐú ãöäú ÃóãúæóÇáöåöãú ÕóÏóÞóÉð ÊõØóåøÑõåõãú æóÊõÒóßøíåöãú ÈöåóÇ æóÕóáø Úóáóíúåöãú
 “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka” (At Taubah: 103)
Yang dimaksud dengan shalat di sini adalah doa, dengan dalil apa yang diriwayatkan oleh Al Imam Muslim dari Abdullah bin Abi ‘Aufa [8], dia berkata,
”Apabila Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dikirimi shadaqah dari suatu kaum, beliau mendoakan mereka”.
Maka bapakku mendatangi beliau dengan membawa shadaqah, lalu beliau berdoa,
”Ya Allah, berikanlah keselamatan atas keluarga Abu ‘Aufa”.
Dan contoh ayat yang mengandung kesamaan makna syar’i dan makna lughawi banyak sekali, seperti ÇáÓøóãóÂÁõ (langit), ÇáÃóÑúÖõ (bumi), ÇáÕøöÏúÞõ (kejujuran), ÇúáßóÐöÈõ (kedustaan), ÇáÍóÌóÑõ (batu), dan ÇáÅäúÓóÇäõ (manusia).
(Diterjemahkan untuk blog http://ulamasunnah. wordpress. com dari Kitab Ushul Fit Tafsir karya Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, halaman 30-33, terbitan Darul Ibnil Jauzy, KSA)
Catatan Kaki:
1. Dikeluarkan oleh Al Imam Ibnu Abi Hatim dalam Tafsir beliau (2/1945), hadits nomor 10341. Dikeluarkan pula oleh Al Lalika-i dalam Syarh Ushul I’tiqad jilid kedua (3/458-459), hadits nomor 785
2. Dikeluarkan oleh Al Imam Ath Thabrani dalam tafsir beliau (15/69), hadits no 17633, dan Al Lalika-i dalam Syarh Ushul I’tiqad, jilid kedua (3/456).
3. Dikeluarkan oleh Al Imam At Thabrani dalam tafsri beliau (15/67), hadits nomor 17631, dan Al Lalika-i dalam Syarh Ushul I’tiqad, jilid kedua (3/456-457).
4. Dikeluarkan oleh Al Imam Muslim halaman 709, Kitabul Iman, Bab 80 Penetapan Bahwa Kaum Mukminin Melihat Rabb mereka subhanahu wata’ala di Hari Akhir, nomor hadits 449 [297] 181, 450 [297] 181.
5. Dikeluarkan oleh Al Imam Muslim halaman 1020, Kitabul Imarah, Bab 52 Keutamaan Melontar dan Anjuran untuk Melakukannya. Hadits no 4946 [167] 1917. At Tirmidzi hal. 1963, Kitab Tafsir Al Qur’an, Bab 8, Tafsir Beberapa Ayat dari Al Anfaal, hadits nomor 3083. Di dalam sanad At Tirmidzi ada rawi yang mubham. Dikeluarkan pula oleh Abu Dawud hal. 1409, Kitabul Jihad, bab 23 Permasalahan Melontar, hadits no. 2514. Ibnu Majah halaman 2647, Kitabul Jihad, bab 19: Melontar di Jalan Allah, hadits nomor 2813, dan dikeluarkan pula oleh yang selain mereka.
6. Dikeluarkan oleh Abdurrazzaq di dalam Al Mushannaf (1/134). Dan Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf beliau (1/192)
7. Majmu’ Fatawa
8. Dikeluarkan oleh Al Imam Al Bukhari hal 342, Kitab Al Maghazi, bab 36 Perang Hudaibiyah. Hadits no 4166, dan Muslim 849, Kitabuz Zakah, Bab 54: Doa bagi Orang yang Memberi Shadaqah, hadits no 2492 [176] 1078.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar