Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Peribahasa ini sangat tepat untuk
menggambarkan keadaan kaum wanita di era kiwari.
Ini terkait perjuangan emansipasi yang menghendaki kebebasan kaum wanita manggung di ruang publik. Betapa tidak. Kala gerakan emansipasi ini menggerus feodalisme yang mengungkung kaum wanita, dan menyuarakan kebebasan untuk berkarir, pada saat itu kaum wanita terpelanting pada arus budaya kapitalisme. Wanita menjadi komoditas, barang dagangan utama. Wanita dieksploitasi para pemilik modal (kapitalis).1 Suara kebebasan yag didengungkan hanya mengantarkan kaum wanita menjadi mesin-mesin ekonomi. Harkat, martabat, dan kemuliaan yang dicitakan cuma sebatas angan. Malang nian nasib kaum wanita. Lepas dari mulut buaya, masuk mulut harimau. Emansipasi tak mampu mengangkatnya dari titik nadir keterpurukan.
Ini terkait perjuangan emansipasi yang menghendaki kebebasan kaum wanita manggung di ruang publik. Betapa tidak. Kala gerakan emansipasi ini menggerus feodalisme yang mengungkung kaum wanita, dan menyuarakan kebebasan untuk berkarir, pada saat itu kaum wanita terpelanting pada arus budaya kapitalisme. Wanita menjadi komoditas, barang dagangan utama. Wanita dieksploitasi para pemilik modal (kapitalis).1 Suara kebebasan yag didengungkan hanya mengantarkan kaum wanita menjadi mesin-mesin ekonomi. Harkat, martabat, dan kemuliaan yang dicitakan cuma sebatas angan. Malang nian nasib kaum wanita. Lepas dari mulut buaya, masuk mulut harimau. Emansipasi tak mampu mengangkatnya dari titik nadir keterpurukan.
Masih berkutat di ruang publik. Angin kebebasan bagi kaum wanita berembus pula
ke kubangan politik. Wanita berpacu memperebutkan kursi. Entah kursi eksekutif
atau legislatif. Kaum wanita pun sudah tak sungkan dan malu lagi untuk turun ke
jalan. Mereka demonstrasi mengikuti arus kebebasan. Walau untuk itu, mereka
harus menggendong anaknya, berbaur dengan lawan jenis, mendedahkan aurat
berteriak di jalanan dan keluar rumah dengan keperluan yang tak dilandasi
syar’i.
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu pernah ditanya terkait
aktivitas kaum Hawa di luar rumah. Beliau rahimahullahu menuturkan bahwa pokok
masalah (hukum asal) pembicaraan tentang wanita ini berdasar firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala terkait individu para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ
الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُولَى
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah
laku seperti orang-orang jahiliah yang dahulu.” (Al-Ahzab: 33)
Lantas beliau rahimahullahu mengutip pernyataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullahu: “Sesungguhnya, hukum asal bagi laki-laki (adalah) pergi dan
keluar (dari rumah). Sedangkan bagi wanita (adalah) tetap tinggal di rumah,
tidak keluar, kecuali jika ada keperluan yang mengharuskan dia keluar rumah.”
Lebih lanjut, beliau rahimahullahu menuturkan bahwa dalam Shahih Al-Bukhari,
tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan hijab kepada kaum wanita, Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قَدْ أَذِنَ اللهُ لَكُنَّ أَنْ تَخْرُجْنَ
لِحَوَائِجِكُنَّ
“Allah telah mengizinkan bagi kalian (para wanita) untuk keluar (rumah) tatkala
kalian memiliki keperluan.”2
Maka, bila seorang wanita keluar dari rumahnya dengan memakai jilbabnya, tidak
memakai parfum (wewangian), lantaran ada keperluan, maka yang demikian
diperbolehkan. Apabila dia keluar rumah diiringi pelanggaran terhadap hal-hal
yang kami isyaratkan tadi (seperti tidak menutup aurat atau mengenakan
wewangian, pen.) atau mengganggu sebagian kewajiban di rumahnya, maka
berlakulah ayat Al-Qur`an:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ
“Dan hendaklah kamu tetap di rumah-rumahmu.”
Tidak boleh bagi seorang wanita keluar (rumah) dan meninggalkan anak-anaknya
bersama pembantu. Karena, seorang ibu lebih mengetahui apa saja kebutuhan yang
diminta anak-anaknya. Dia pun mengetahui kebaikan apa saja bagi anak-anaknya
berkenaan dengan arahan dan pendidikan. (Masa`il Nisa`iyyah Mukhtarah min Fiqhi
Al-’Allamah Al-Albani rahimahullahu, Ummu Ayyub Nurah bintu Ahsan Ghawi, hal.
79)
Demikian Islam membimbing kaum wanita. Namun bagi kalangan pegiat emansipasi,
bimbingan semacam ini dianggap sebagai tindak mengekang kebebasan wanita.
Mereka, dengan gelap mata, menuduh bahwa kaum wanita cuma diposisikan untuk
urusan domestik: kasur, pupur, dapur. Atau istilah lain: macak, masak, manak3.
Dengan segala latar belakang sejarah dan pemikiran gerakan emansipasi yang
bertolak belakang dengan Islam, maka bagi kalangan pegiat emansipasi melihat
Islam dari sudut negatif. Karena benak mereka telah dirasuki sejarah dan
pemikiran emansipasi tersebut, mereka mendekati Islam dengan dasar curiga.
Sehingga, mereka melihat apa yang telah diatur dalam Islam sebagai bentuk
penistaan terhadap kaum wanita. Mereka melihat kemajuan dan kemuliaan wanita
adalah manakala telah mampu melampaui atau sama dengan yang dicapai kaum pria.
Kemajuan dan kemuliaan wanita identik dengan jabatan, gelar, atau status sosial
yang dicapai. Hal-hal yang bersifat keakhiratan, keshalihan, ketaatan dan
keimanan dianggap sebagai angin lalu.
Dengan corak pemikiran semacam itu, yang tidak bertumpu pada nilai-nilai Islam
yang benar, maka keberadaan kaum wanita yang memainkan peran domestiknya
dianggap sebagai kemunduran. Tak terbetik dalam diri mereka nilai keutamaan
seorang wanita yang sabar dalam menghadapi kesulitan mengurusi rumah tangga.
Tak terbetik pula dalam diri mereka, keutamaan seseorang yang tetap mengingat
Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan dzikir kala sulit melilit rumah tangganya.
Dikisahkan dari hadits Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya
Fathimah radhiyallahu ‘anha mengeluhkan tangannya akibat penggilingan (yang
digerakkan tangannya). Sedangkan pada saat itu terbetik berita bahwa
didatangkan tawanan perang (budak) kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka, bertolaklah Fathimah untuk menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
(dengan maksud bisa meminta budak untuk dijadikan pembantu di rumahnya). Namun,
ternyata dia tak bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia bertemu Aisyah
radhiyallahu ‘anha. Diungkapkanlah apa yang menjadi keinginan hatinya kepada
Aisyah radhiyallahu ‘anha. Maka, ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tiba, Aisyah radhiyallahu ‘anha mengabarkan tentang hal itu kepada beliau.
Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi mereka berdua. Saat
ditemui, mereka berdua tengah berbaring di tempat tidur. “Tetaplah kalian di
tempat,” kata Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau duduk di antara
keduanya (Ali dan Fathimah radhiyallahu ‘anhuma). Kata Ali, “Hingga aku rasakan
dinginnya kedua kaki beliau di perutku.” Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
أَلَا أُعَلِّمُكُمَا خَيْرًا مِمَّا سَأَلْتُمَا؟ إِذَا
أَخَذْتُمَا مَضَاجِعَكُمَا أَنْ تُكَبِّرَا اللهَ أَرْبَعًا وَثَلَاثِيْنَ
وَتُسَبِّحَاهُ ثَلَاثَةً وَثَلَاثِيْنَ وَتَحْمَدَاهُ ثَلَاثًا وَثَلَاثِيْنَ،
فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمَا مِنْ خَادِمٍ
“Maukah aku ajari kalian berdua tentang sesuatu yang lebih baik dari (pembantu)
yang kalian berdua minta? Apabila kalian berdua telah mendapati tempat
pembaringan (menjelang tidur), hendaknya bertakbir (mengagungkan-Nya) 34 kali,
bertasbih (menyucikan-Nya) 33 kali, dan bertahmid (memuji-Nya) 33 kali. Maka,
itu (semua) lebih baik daripada seorang pembantu.” (HR. Al-Bukhari, Bab ‘Amalil
Mar`ah fi Baiti Zaujiha, no. 5361, dan Bab Khadimul Mar`ah, no. 5362; Muslim,
Bab At-Tasbih Awwalan Nahar wa ‘indan Naum, no. 2727)
Berkenaan hadits di atas, Al-Imam Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu
menjelaskan, bahwa dengan membiasakan berdzikir kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala niscaya akan diberikan kekuatan yang lebih besar dibanding kekuatan yang
mampu dikerjakan oleh seorang pembantu. Atau (dengan membiasakan berdzikir
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala) akan mempermudah urusan. Sekiranya terjadi
seseorang diberi beragam urusan, dengan (dzikir) itu akan lebih memudahkan
dibanding diberi seorang pembantu kepadanya. Yang jelas, kandungan hadits di
atas memiliki maksud betapa manfaat tasbih (menyucikan Allah Subhanahu wa
Ta’ala) dikhususkan terhadap kampung akhirat, sedangkan manfaat adanya pembantu
khusus menggapai (apa yang ada) di dunia saja. Padahal akhirat itu lebih baik
dan lebih kekal adanya. (Fathul Bari, Bab ‘Amalil Mar`ah fi Baiti Zaujiha,
penjelasan hadits no. 5361, 9/484)
Begitulah solusi yang dibangun melalui pendekatan keimanan dan keshalihan.
Kisah Fathimah radhiyallahu ‘anha semoga bisa memberi secercah cahaya bagi mata
hati nan gulita. Sepenggal kisah tersebut semoga pula bisa meneduhkan kalbu
yang galau menatap kilau dunia. Beragam kesulitan yang silih berganti tiada
henti, yang menerpa para wanita di kala mengurusi rumah tangganya, ternyata
memendam untaian pahala tiada ternilai. Ketika tugas-tugas domestik itu bisa
ditunaikan dengan penuh kesabaran, ikhlas semata karena Allah Subhanahu wa
Ta’ala, maka urusan-urusan rumah yang digelutinya menjadi ladang kebaikan. Ia
akan senantiasa mereguk pahala kebaikan yang tercurah padanya. Maka, keutamaan
mana lagi yang harus dia kejar?
Tentu, bagi kalangan feminis –aktivis perempuan yang getol menyuarakan
kebebasan– hal-hal keshalihan, ketaatan, keimanan, dan kesabaran dalam
menggarap ladang kebaikan di rumah tak akan menggiurkannya. Jangankan tergiur,
untuk menoleh sesaat saja dada terasa menyempit. Sesak terasa. Rumah baginya
adalah penjara yang membelenggu kebebasannya untuk berkiprah di luar rumah.
Ingatlah, bahwa akhirat itu lebih baik dan lebih kekal. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى
“Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (Al-A’la: 17)
وَلَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ اْلأُولَى
“Dan sesungguhnya akhirat itu lebih baik bagimu dari permulaan (dunia).”
(Adh-Dhuha: 4)
Menurut Ibnu Katsir rahimahullahu, maksud ayat ini, bahwa kehidupan akhirat
lebih baik bagimu dari (kehidupan) di dunia ini. (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim,
7/395)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan perumpamaan tentang
kehidupan dunia. Berdasar hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidur di atas selembar tikar. Tatkala
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangun, nampak bekas tikar di bagian
rusuknya. Lantas kami katakan kepada beliau: ‘Wahai Rasulullah, (bagaimana)
seandainya (tempat tidurmu) kami lapisi lembaran yang lebih baik?’ Maka beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا لِي وَمَا لِلدُّنْيَا، مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا
إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا
“Apa urusanku dengan dunia?! Tiadalah aku dalam (menyikapi dunia) kecuali
seperti seorang pengelana yang berteduh di bawah pohon, kemudian beristirahat
dan meninggalkan pohon tersebut.” (Sunan At-Tirmidzi, no. 2377. Hadits ini
dishahihkan Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu)
Bila dicermati, semakin laju zaman, keengganan –bahkan penolakan– terhadap
peran domestik ini makin menguat. Berpokok pada kejahilan umat terhadap Islam,
diperparah dengan gempuran budaya materialistik kapitalistik sehingga membentuk
cara berpikir yang pragmatis, simpel, praktis, dengan meninggalkan idealisme
beragama. Bahkan kondisi demikian menggejala nyaris di semua lini kehidupan.
Tak terkecuali dengan nilai-nilai Islam. Beberapa kalangan dari kaum muslimin,
khususnya mereka yang fokus terhadap emansipasi wanita, mulai bersuara sumbang.
Mereka katakan, tafsir terkait masalah wanita dihasilkan dari dominasi penafsir
laki-laki sehingga cenderung membela laki-laki. Terlontar pula dari mereka
bahwa tafsir terkait masalah wanita dihasilkan pada abad-abad pertengahan yang
merupakan abad kemunduran. Ungkapan-ungkapan yang mereka lansir adalah upaya
untuk mengecoh umat dari nilai-nilai Islam. Sengaja mereka tebarkan ungkapan
sejenis itu guna menjatuhkan kredibilitas para ulama. Jika umat sudah tidak
lagi memercayai ulamanya, kepada siapa lagi mereka menyandarkan diri dalam
masalah agama? Dari sinilah kita memahami bahwa ada rencana besar di balik ini
semua, yaitu menghancurkan kaum muslimin. Kita berlindung kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala dari semua ini.
Islam tidak mengajarkan umatnya untuk taqlid buta. Namun, Islam pun mengajarkan
kepada umatnya untuk menghormati para ulama. Tidak melecehkan mereka, apalagi
menghilangkan kepercayaan terhadapnya. Para ulama adalah orang-orang yang takut
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah
ulama.” (Fathir: 28)
Al-Imam Al-Ajurri rahimahullahu dalam Akhlaqul ‘Ulama` (hal. 47), menjelaskan
tentang sifat-sifat para ulama atau seorang yang alim. Beberapa pernyataan
salafush shalih yang beliau nukil, seperti apa yang dinyatakan Al-Imam
Al-Auza’i rahimahullahu yang berkata: “Aku telah mendengar Yahya bin Abi Katsir
menyatakan, seorang alim adalah orang yang takut kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Dan (yang) takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah orang yang
wara’ (yang menjauhi maksiat dan syubuhat).”
Kata Masruq rahimahullahu, “Cukuplah seorang termasuk berilmu, manakala dia
takut kepada Allah k. Dan cukuplah seseorang termasuk dalam kebodohan (jahil)
manakala dia merasa ujub (bangga) dengan ilmunya.”
Atas dasar sikap takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan akhlak terpuji
lainnya, para ulama menyampaikan bimbingannya. Apa yang disampaikan para ulama
benar-benar didasari rasa tanggung jawab yang besar. Tak cuma di hadapan umat,
lebih dari itu semuanya bakal dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Karenanya, sungguh tidak memiliki dasar ilmiah sama sekali, mereka
yang melansir ucapan bahwa tafsir masalah wanita cenderung membela laki-laki,
atau yang semakna dengan itu. Selain itu, dalam khazanah Islam telah terbentuk
tradisi metodologi keilmuan yang ketat. Ini bisa dikaji secara ilmiah. Sehingga
apa yang disampaikan para ulama bukan sesuatu yang asal ucap tanpa dasar
pijakan yang kokoh.
Kebenaran itu datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti firman-Nya:
الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلاَ تَكُونَنَّ مِنَ
الْمُمْتَرِينَ
“Kebenaran itu adalah dari Rabbmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk
orang-orang yang ragu.” (Al-Baqarah: 147)
Jalan untuk menggapai kebenaran itu pun hanya satu. Tidak ada jalan selain jalan
yang telah ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Karenanya, segenap manusia diseru untuk menempuh jalan yang
satu tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ
وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ
وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan bahwa inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu
mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan
kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu
bertakwa.” (Al-An’am: 153)
Ibnu Katsir rahimahullahu dalam tafsirnya menyebutkan hadits yang diriwayatkan
Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Dia
berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggaris satu guratan garis
dengan tangannya, kemudian bersabda, ‘Ini jalan Allah yang lurus.’ Lantas
mengguratkan di sebelah kanan dan kiri garis tadi, kemudian bersabda, ‘Ini
jalan-jalan, tak ada dari salah satu jalan tersebut kecuali setan menyeru
kepadanya.’ Kemudian beliau membaca ayat di atas (Al-An’am: 153).”
Menempuh jalan –dalam memahami, meyakini dan mengamalkan agama– dengan jalan
yang bukan dituntunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu
‘alaihi wa sallam, niscaya tertolak.
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ اْلإِسْلاَمِ دِينًا فَلَنْ
يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي اْلآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang
rugi.” (Ali ‘Imran: 85)
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ
فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini sesuatu yang tidak ada
padanya, maka dia tertolak.” (HR. Al-Bukhari, no. 2697, Muslim, no. 1718)
Untuk memalingkan muslimah dari jalan Islam, kalangan feminis (baca: para
aktivis emansipasi) terus mempropagandakan ide-idenya. Bisa dilihat selembar
potret kusam yang menggambarkan rekayasa penghancuran kaum muslimah di Timur
Tengah. Meski apa yang terjadi di Indonesia tak kalah dahsyat tentunya. Sebut
misal, Markus Fahmi, seorang Qibthi Mesir, penulis buku Wanita di Timur. Dengan
lantang tanpa ragu dia menuntut lima hal:
(1) Singkirkan hijab (jilbab syar’i, ed.),
(2) Membolehkan ikhtilath (membaurkan kaum wanita dengan laki-laki),
(3) Nikahkan muslimah dengan laki-laki Kristen,
(4) Menolak poligami,
(5) Talak harus di depan hakim (bukan menjadi hak suami, pen.). (Mu’amaratul
Mar`ah Al-Kubra, Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam, 1/70-71)
Maka, adakah dari kelima hal di atas, yang kini merebak di Indonesia?
Bandingkan dengan suara wanita Indonesia –meski tak semuanya– pada acara
Kongres Perempuan Pertama di Yogyakarta: “Menoeroet hoekoem agama Islam, orang
lelaki itoe boleh mempoenjai isteri lebih dari seorang, ja hingga empat
orangpoen boleh djoega. Hal inilah jang menjakitkan hati kita kaoem perempoean,
dan djoega merendahkan deradjatnja orang perempoean....” (Kongres Perempuan Pertama,
Tinjauan Ulang, Susan Blackburn, 1/98)
Seruan yang nyaris sepadan disuarakan pula oleh Ana Maria Ilyas, feminis asal
Suriah, penulis Kepemimpinan atas Wanita Islam. Dia menggagas acara festival
yang menjiplak mentah-mentah Festival Paris di Perancis. Festival ini menjadi
ajang berbaur bebas antara pria dan wanita. Dari berbagai orang Eropa, Mesir,
dan orang-orang Barat yang bermukim di Mesir, khususnya dari kalangan
Kristiani, mereka berkumpul. Latar belakang mereka, selain orang-orang Eropa,
juga memiliki pikiran sekularis dan Yahudi. Maka, kata Asy-Syaikh Muhammad bin
Abdullah Al-Imam hafizhahullah, inilah hakikat seruan kepada (kebebasan)
hak-hak wanita. Mungkinkah bisa terjadi seruan terhadap (kebebasan) hak-hak
wanita tersebut tanpa menerima kelompok orang-orang berdosa dan menyimpang itu?
(Tentunya, tidak mungkin). Bahkan, mereka adalah sumber dan tempat merujuk.
Perhatikanlah, bagaimana (lantaran menyuarakan hak-hak wanita) mereka
bergelimang pada perkara-perkara kekufuran, dan saling mengasihi serta
melindungi! La haula wala quwwata illa billah. (Mu’amarah Al-Kubra, 1/71)
Tersebut juga nama Duriyah Syafiq. Sekembali dari studi di Perancis dengan
menggondol gelar doktor, ia mendirikan partai politik. Dengan lantang dia
menyuarakan kebebasan kaum wanita untuk dipilih dan masuk parlemen,
menghapuskan poligami, serta memasukkan sistem perundangan Eropa dalam masalah
talak ke dalam undang-undang Mesir. (Mu’amarah Al-Kubra, 1/72)
Bandingkan dengan fenomena yang terjadi di Indonesia. Perjuangan kaum wanita
untuk mendapatkan kuota dalam pemilihan anggota legislatif semakin menganga.
Kini, syarat sebuah partai politik berdiri, harus menyertakan keterwakilan
perempuan paling rendah 30%.
Mestikah kemajuan materi yang digapai kini hanya akan mengeraskan hati manusia?
Sehingga, dengan itu manusia tak mau tunduk patuh kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mestikah laju pengetahuan yang demikian canggih, menjadikan manusia angkuh,
merasa diri mampu atas segalanya?
Sudah tiba saatnya, kaum muslimah berkaca diri. Menatap tentang keadaan
dirinya. Sudahkah bersolek dengan hiasan keimanan, ketaatan, dan keshalihan?
Lalu menggubah rumah menjadi madrasah bagi masa depan anak-anaknya.
وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا
وَوَلَدِهِ
“Dan seorang wanita adalah pemimpin bagi rumah suami dan anaknya.” (HR.
Al-Bukhari, no. 5200, dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma)
Wallahu a’lam.
1 Dijadikan pemikat guna melariskan dan memuluskan usaha. Baik di perkantoran,
di dunia periklanan, atau lainnya, nyaris selalu mengedepankan kaum wanita.
2 Lihat Shahih Al-Bukhari, Kitabun Nikah, Bab Khurujun Nisa` li Hawa`ijihinna,
hadits no. 5237. (pen)
3 Pupur (jw)=bedak, macak (jw)=berdandan, manak (jw)=melahirkan. Maksudnya,
wanita dicitrakan tak jauh-jauh dari urusan ‘ranjang’, dandan, memasak, dan
melahirkan anak.
Penulis: Al-Ustadz Abul Faruq Ayip Syafruddin
http://asysyariah.com/print.php?id_online=612
Tidak ada komentar:
Posting Komentar