1. Orang yang sakit memiliki
kewajiban untuk senantiasa ridha terhadap qadha Allah Subhanahu wa Ta’ala,
bersabar atas taqdir-Nya serta berbaik sangka kepada Rabbnya. Itu yang lebih
baik baginya. Rasulullah Shallallahu’alaihi wa
Sallam bersabda:
عَجَبًا
لاَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لاَحَدٍ إِلا
لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ
أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh mengagumkan urusan seorang
mukmin, semua urusannya adalah baik dan tidaklah yang demikian itu ada kecuali
pada seorang mukmin. Yaitu jika ia mendapatkan kelapangan ia bersyukur, maka
itu menjadi kebaikan baginya. Dan jika mendapat kesempitan ia bersikap sabar,
itu pun menjadi kebaikan baginya.”
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa
Sallam juga bersabda:
لا
يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلا وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Janganlah salah seorang kalian mati
kecuali dalam keadaan ia berbaik sangka kepada Allah Ta’aala.” (Dikeluarkan oleh Imam Muslim, Imam Al-Baihaqi dan Imam
Ahmad)
2. Seyogyanya orang yang sedang
sakit memiliki perasaan antara rasa takut dan harap, yaitu takut akan siksa
Allah ‘Azza wa Jalla atas dosa-dosanya dan berharap akan rahmat Allah ‘Azza wa
Jalla kepadanya. Sikap ini didasarkan pada hadits
dari Anas bin Malik Radhiyallahu’anhu yang mengatakan:
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَى شَابٍّ وَهُوَ فِي
الْمَوْتِ فَقَالَ كَيْفَ تَجِدُكَ قَالَ وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنِّي
أَرْجُو اللَّهَ وَإِنِّي أَخَافُ ذُنُوبِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَجْتَمِعَانِ فِي قَلْبِ عَبْدٍ فِي مِثْلِ هَذَا
الْمَوْطِنِ إِلَّا أَعْطَاهُ اللَّهُ مَا يَرْجُو وَآمَنَهُ مِمَّا يَخَافُ
Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam
datang kepada seorang pemuda yang hendak meninggal, maka beliau berkata: “Bagaimana
keadaanmu?” Pemuda itu menjawab: “Demi Allah ya Rasulullah, sungguh saya
sangat berharap kepada (rahmat) Allah dan saya sangat takut akan (siksa Allah)
atas dosa-dosa saya.” Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam
berkata: “Tidaklah dua perkara tersebut ada pada hati seorang hamba yang
dalam kadaan seperti ini, kecuali Allah akan memberikan apa yang diharapkannya
dan akan Allah amankan ia dari apa yang ditakutkannya.”
Dikeluarkan oleh Imam Tirmidzi dan
sanadnya hasan. Juga Imam Ibnu Majah dan Imam Abdullah bin Imam Ahmad dalam
Zawa’id Az-Zuhd (halaman 34-35), juga Imam Ibnu Abid Dunya sebagaimana dalam
At-Targhib (4/141) dan lihat juga dalam Al-Misykah-nya (1612).
3. Seberat apapun sakit yang
diderita, tidak boleh baginya untuk berangan-angan ingin mati. Hal ini karena ada hadits Ummul Fadhl Radhiyallahu’anha,
bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam pernah datang kepada
mereka tatkala ‘Abbas Radhiyallahu’anhu (paman Rasulullah) menderita
sakit, hingga ‘Abbas berangan-angan ingin mati. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi
wa Sallam berkata:
يَا
عَمَّي لا تَتَمَنَّ الْمَوْتَ إِنْ كُنْتَ مُحْسِنًا فأن تؤخّر تَزْدَادُ
إِحْسَانًا إِلَى إِحْسَانِكَ خَيْرٌ لَكَ وَإِنْ كُنْتَ مُسِيئًا فَإِنْ
تُؤَخَّرْ تَسْتَعْتِبْ خَيْرٌ لَكَ فَلَا تَتَمَنَّ الْمَوْتَ
“Wahai pamanku, janganlah engkau
berangan-angan ingin mati, karena sesungguhnya jika engkau termasuk orang yang
suka beramal baik, apabila ditangguhkan ajalmu lalu engkau bisa menambah
kebaikan lagi kepada kebaikanmu, itu akan lebih baik bagimu. (Sebaliknya), jika
engkau termasuk orang yang suka beramal buruk, apabila ditangguhkan ajalmu lalu
engkau merasa bersalah atas amal-amal burukmu (menyesal), itu juga lebih baik
bagimu. Maka janganlah berangan-angan ingin mati.”
Dikeluarkan oleh Imam Ahmad (6/339),
Imam Abu Ya’laa (7076) dan Imam Al-Hakim (1/339), dan beliau katakan: Hadits
ini shahih atas persyaratan Syaikhaini (Bukhari dan Muslim). Pernyataan ini
disepakati oleh Imam Adz-Dzahabi. Tetapi sebenarnya hanya memenuhi persyaratan
Imam Bukhari saja.
Dikeluarkan juga oleh Syaikhaini dan
Al-Baihaqi (3/377) maupun yang lain dari Anas bin Malik Radhiyallahu’anhu
hadits yang semisalnya secara marfu’, di dalamnya terdapat perkataan: “Kalau
terpaksa mesti melakukannya maka ucapkanlah:
اللَّهُمَّ
أَحْيِنِي مَا كَانَتْ الْحَيَاةُ خَيْرًا لِي وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتْ
الْوَفَاةُ خَيْرًا لِي
“Ya Allah, hidupkanlah aku selama
hidup itu lebih baik bagiku dan matikanlah aku apabila mati itu lebih baik
bagiku.”
Hadits ini juga dikeluarkan dalam
Al-Irwa’ (683).
4. Jika ia masih memiliki tanggungan
atas hak-hak orang lain, hendaklah ia tunaikan kepada yang berhak apabila hal
itu mudah baginya. Jika tidak mudah, hendaklah ia
berwasiat (kepada keluarganya). Sesungguhnya Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam
berkata:
مَنْ
كَانَتْ عنده مَظْلَمَةٌ لاَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْماله فليؤدّه اليه قَبْلَ
أَنْ يَأتي يوم القيامة لا يقبل فيه دِينَارٌ وَلا دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ
عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ وأعطي صاحبه وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ عمل صالح
أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَت عَلَيْهِ
“Barang siapa pernah mendhalimi hak
saudaranya dalam hal harga diri[1] atau hartanya, hendaklah ia selesaikan
sebelum datang hari kiamat, hari yang tidak diterima dinar tidak pula dirham.
Jika ia punya amalan shalih maka diambil darinya lalu diberikan kepada orang
yang punya hak. Jika ia tidak punya amalan shalih, maka diambil dosa-dosa orang
yang bersangkutan lalu dibebankan kepadanya.”
Dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan
Imam Al-Baihaqi (3/369).
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa
Sallam juga berkata:
أَتَدْرُونَ
مَا الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لا دِرْهَمَ لَهُ وَلا مَتَاعَ
فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ
وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ
هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ
وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا
عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ
“Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut?” Para sahabat menjawab: “Orang yang bangkrut di antara kami
adalah orang yang sudah tidak punya dirham dan tidak punya harta benda.”
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam kemudian berkata: “Orang yang
bangkrut di antara umatku (adalah orang yang) datang pada hari kiamat dengan
membawa (pahala) shalat, puasa dan zakat, tetapi ia juga datang dengan membawa
(dosa) mencaci orang itu, menuduh orang ini dan memakan harta si itu,
menumpahkan darah si ini dan pernah memukul si itu. Maka diberikan kepada si
ini dari kebaikannya dan kepada si itu dari kebaikannya. Jika telah habis
kebaikannya, sedangkan belum terlunasi tanggungannya, diambillah dosa-dosa
mereka lalu dibebankan kepadanya, lalu ia dilemparkan ke dalam neraka.” Dikeluarkan
oleh Imam Muslim (8/18).
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa
Sallam juga bersabda:
من
مات و عليه دين, فليس ثمّ دينار ولا درهم, ولكنها الحسنات والسيئات
“Barang siapa yang meninggal dan
masih punya tanggungan hutang, maka disana tidak ada dinar tidak pula dirham,
tetapi yang ada adalah amalan-amalan baik atau amalan-amalan buruk.”
Dikeluarkan oleh Imam Al-Hakim
(2/27) dan konteks hadits ini dalam riwayatnya. Juga Imam Ibnu Majah dan Imam
Ahmad (2/70-82) dari dua jalan dari Ibnu Umar, jalan yang pertama shahih
sebagaimana dinyatakan oleh Imam Al-Hakim dan disepakati oleh Imam Adz-Dzahabi,
sedangkan jalan yang kedua hasan sebagaimana dinyatakan oleh Imam Al-Mundziri
(3/34).
Diriwayatkan juga oleh Imam
Ath-Thabrani dalam Al-Kabir dengan lafadz:
“Hutang itu ada dua macam. Barang
siapa yang mati sedangkan ia berniat untuk melunasi hutangnya maka aku yang
menjadi walinya. Barang siapa mati sedangkan ia tidak berniat untuk melunasinya
maka itulah orang yang diambil amalan baiknya, tidak ada pada hari itu dinar
tidak pula dirham.”[2]
Jabir bin Abdillah Radhiyallahu’anhu
berkata: Ketika terjadi peperangan Uhud, ayahku memanggilku pada malam harinya,
lalu berkata: “Tidaklah ditampakkan kepadaku dalam mimpi kecuali aku menjadi
orang yang pertama terbunuh di antara para sahabat Nabi Shallallahu’alaihi wa
Sallam. Sesungguhnya aku tidak meninggalkan setelah matiku orang yang lebih aku
cintai daripadamu selain diri Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam.
Aku punya tanggungan hutang maka lunaskanlah, serta berilah wasiat kebaikan
kepada saudara-saudaramu.” Maka ketika pagi harinya dialah orang yang pertama
terbunuh, semoga Allah meridhainya. Dikeluarkan oleh Imam Bukhari (1351).
5. Orang yang sakit hendaknya
bersegera untuk menyiapkan wasiat
karena ada sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam:
مَا
حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ و لَهُ شَيْءٌ يُرِيدُ أَنْ يُوصِيَ
فِيهِ إِلا وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَهُ
“Tidak benar bagi seorang muslim
yang bermalam dua malam sedangkan ia punya sesuatu yang ingin diwasiatkannya
kecuali semestinya wasiat itu telah ditulis di sisinya.”
Ibnu Umar Radhiyallahu’anhuma
berkata: “Tidaklah berlalu satu malam sejak aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi
wa Sallam mengatakan itu kecuali sudah kutulis wasiatku.” Diriwayatkan
oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim juga Ashabus Sunan maupun yang lain.
6. Wajib baginya untuk memberikan
wasiat kepada sanak kerabatnya yang tidak menerima warisan darinya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
كُتِبَ
عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ
لِلْوَالِدَيْنِ
وَالْأَقْرَبِينَ
بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
“Diwajibkan atas kamu, apabila
seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) kematian, jika ia meninggalkan
harta yang banyak, berwasiatlah untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara
ma`ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” (Al-Baqarah: 180)
7. Boleh baginya untuk berwasiat
dengan sepertiga hartanya, tidak boleh lebih.
Bahkan yang afdhal (lebih utama) kurang dari sepertiga, karena adanya hadits
dari Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu’anhu, ia mengatakan:
“Ketika aku bersama Rasulullah
Shallallahu’alaihi wa Sallam pada waktu haji wada’, aku jatuh sakit yang
mendekati kematian. Maka Rasulullah mejengukku. Lalu kukatakan kepada beliau:
“Ya Rasulullah, saya memiliki harta yang sangat banyak, tetapi tidak ada yang
mewarisi kecuali anak perempuan saya. Apa boleh saya berwasiat dengan dua
pertiga harta saya?” Beliau menjawab: “Tidak boleh.” Kata Sa’ad: Aku
berkata lagi: “Kalau separoh hartaku?” Beliau menjawab: “Tidak boleh”.
Kukatakan lagi: “Kalau sepertiga hartaku?” Kata beliau: “Ya sepertiga, itu
sudah banyak. Sesungguhnya engkau wahai Sa’ad, kau tinggalkan ahli warismu
dalam keadaan kecukupan itu lebih baik bagimu daripada kau meninggalkan mereka
dalam keadaan miskin minta-minta kepada manusia (dengan tangannya). Wahai
Sa’ad, tidaklah engkau menafkahkan satu nafkah dalam rangka mencari wajah Allah
kecuali engkau akan diberi pahala. Sampai-sampai suapan yang engkau suapkan ke
mulut istrimu.” (Kata Sa’ad: “Maka yang kurang dari sepertiga boleh.”)
Dikeluarkan oleh Imam Ahmad (1524)
dan konteks hadits ini ada dalam riwayat beliau. Juga oleh Syaikhaini. Tambahan
dalam kurung ada dalam riwayat Imam Muslim dan Ashabus Sunan. Ibnu ‘Abbas
Radhiyallahu’anhu berkata: Saya sangat senang kalau orang-orang menurunkan dari
sepertiga hingga seperempat dalam wasiat, karena Nabi Shallallahu’alaihi wa
Sallam mengatakan: “Sepertiga itu sudah banyak.” Dikeluarkan oleh Imam Ahmad
(2029, 2076), Syaikhaini, juga Al-Baihaqi (6/269) maupun yang lain.
8. Hendaklah dalam berwasiat ini
disaksikan oleh dua orang yang jujur yang muslim. Jika tidak ada maka bisa dengan dua orang (yang jujur) non
muslim dengan diminta agar keduanya bersumpah untuk bisa dipercaya apabila ragu
akan persaksiannya, sesuai dengan apa yang diterangkan dalam firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala:
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا شَهَادَةُ بَيْنِكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ
حِينَ الْوَصِيَّةِ اثْنَانِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ أَوْ ءَاخَرَانِ مِنْ
غَيْرِكُمْ إِنْ أَنْتُمْ ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَأَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةُ
الْمَوْتِ تَحْبِسُونَهُمَا مِنْ بَعْدِ الصَّلَاةِ فَيُقْسِمَانِ بِاللَّهِ إِنِ
ارْتَبْتُمْ لَا نَشْتَرِي بِهِ ثَمَنًا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى وَلَا نَكْتُمُ
شَهَادَةَ اللَّهِ إِنَّا إِذًا لَمِنَ الْآثِمِينَ
فَآخَرَانِ
يَقُومَانِ مَقَامَهُمَا مِنَ الَّذِينَ اسْتَحَقَّ عَلَيْهِمُ الْأَوْلَيَانِ
فَيُقْسِمَانِ بِاللَّهِ لَشَهَادَتُنَا أَحَقُّ مِنْ شَهَادَتِهِمَا وَمَا
اعْتَدَيْنَا إِنَّا إِذًا لَمِنَ الظَّالِمِينَ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يَأْتُوا
بِالشَّهَادَةِ عَلَى وَجْهِهَا أَوْ يَخَافُوا أَنْ تُرَدَّ أَيْمَانٌ بَعْدَ
أَيْمَانِهِمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاسْمَعُوا وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ
الْفَاسِقِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman,
apabila salah seorang kalian menghadapi kematian sedangkan ia akan berwasiat,
maka hendaklah disaksikan (wasiat itu) oleh dua orang yang adil/jujur di antara
kalian atau dua orang yang selain kalian. Jika kalian dalam perjalanan di muka
bumi lalu kalian ditimpa bahaya kematian, maka kalian tahan kedua orang saksi
tersebut setelah shalat agar mereka berdua bersumpah dengan nama Allah jika
kalian ragu (dengan mereka mengatakan): Demi Allah kami tidak akan menjual
sumpah kami dengan harga yang sedikit walaupun (yang disaksikan) adalah karib
kerabat kami, dan tidak pula kami akan menyembunyikan persaksian Allah.
Sesungguhnya kami kalau demikian termasuk orang-orang yang berdosa. Jika
diketahui bahwa kedua saksi itu berbuat dosa[3] maka digantikan oleh dua orang
yang lain di antara ahli waris yang lebih berhak (mendapat warisan), lalu
keduanya bersumpah dengan nama Allah dengan mengatakan: Sesungguhnya persaksian
kami lebih layak untuk diterima dari pada persksian kedua saksi itu, dan kami
tidak melanggar batas. Sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk
orang-orang yang dhalim. Yang demikian itu lebih dekat untuk menjadikan para
saksi mengemukakan persaksiannya dengan sebagaimana mestinya, atau mereka takut
kalau ditolak sumpahnya setelah mereka bersumpah. Dan bertaqwalah kalian kepada
Allah serta dengarkanlah (taatlah). Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang fasiq.” (Al-Maidah:
106-108)
9. Adapun berwasiat agar hartanya
diberikan kepada kedua orang tua dan sanak kerabat yang berhak menerima warisan
dari orang yang meninggalkan warisan itu, maka ini tidak boleh dilakukan. Karena hal ini sudah dimansukh dengan ayat tentang warisan.
Dan telah dijelaskan pula oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam
dengan penjelasan yang paling sempurna, ketika beliau berkhutbah pada haji
Wada’. Kata beliau:
إِنَّ
اللَّهَ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ وَلا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
“Sesungguhnya Allah telah memberikan
hak kepada setiap yang punya hak,
dan tidak ada wasiat bagi ahli
waris.”[4]
Dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud dan
Imam Tirmidzi serta hasankan oleh beliau. Juga Imam Al-Baihaqi (6/264) dan
mengisyaratkan kuatnya hadits ini. Sungguh beliau telah benar, karena sanadnya
memang hasan. Hadits ini memiliki banyak penguat dalam riwayat Imam Al-Baihaqi.
Lihatlah Majma’az Zawa’id (4/212).
10. Diharamkan membuat wasiat yang
mendatangkan mudharat (kerugian) bagi orang lain, seperti berwasiat agar sebagian ahli waris jangan diberikan
hak warisnya atau berwasiat agar melebihkan sebagian ahli waris atas sebagian
yang lain. Hal ini disebabkan adanya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
لِلرِّجَالِ
نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ
مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ
نَصِيبًا مَفْرُوضًا
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari
harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian
(pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau
banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.” (An-Nisaa’: 7)
Di akhir ayat waris ini disebutkan:
مِنْ
بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ وَصِيَّةً مِنَ
اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ
“Sesudah ditunaikan wasiat yang
dipesan olehnya atau dibayar hutangnya dengan tidak menimbulkan mudharat
(kerugian kepada ahli waris). Semua itu sebagai wasiat dari Allah. Allah adalah
Dzat Yang Maha Mengetahui lagi Maha Lembut.”
(An-Nisaa’: 12)
Juga karena adanya sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi
wa Sallam:
لا
ضرر ولا ضرار, من ضارّ ضارّه الله, ومن شاقّ شاقّه الله
“Janganlah mendatangkan mudharat
bagi orang lain dan jangan saling mendatangkan mudharat. Barang siapa yang
berbuat kemudharatan niscaya Allah datangkan kemudharatan padanya. Dan Barang
siapa yang berbuat permusuhan maka Allah memusuhinya.”
Dikeluarkan oleh Imam Ad-Daruquthni
(522) dan Imam Al-Hakim (2/57-58) dari Abu Sa’id Al-Khudry. Imam Adz-Dzahabi
menyepakati Imam Al-Hakim atas perkataannya: “Shahih memenuhi persyaratan
Muslim.” Yang benar bahwa hadits ini adalah hadits hasan sebagaimana yang
dikatakan Imam Nawawi dalam Al-Arba’in dan Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa
(3/262) karena banyaknya jalan dan banyaknya penguat. Telah disebutkan oleh
Al-Hafidh Ibnu Rajab dalam Syarah Arba’in (hal. 219 dan 220). Kemudian juga
telah saya takhrij dalam Irwa’ul Ghalil (no. 888).
11. Wasiat yang lalim (tidak adil)
hukumnya batil lagi tertolak,
karena adanya sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam:
من
احدث في امرنا هذا ما ليس منه فهو ردّ
“Barang siapa yang mengada-adakan
perkara baru dalam (agama) kami ini yang tidak ada asal darinya, maka ia
tertolak.”
Dikeluarkan oleh Syaikhaini dalam
Shahih keduanya dan Imam Ahmad maupun yang lain. Lihatlah Al-Irwa’ (88).
Juga karena adanya hadits ‘Imran bin
Husein: Bahwa ada seseorang yang memerdekakan enam budak laki-laki setelah
kematiannya (padahal ia tidak punya harta selain mereka). Lalu datanglah ahli
warisnya yang berasal dari orang-orang Arab. Mereka memberitahukan apa yang
diperbuat ini kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam. Rasulullah
pun berkata: “Apa benar ia berbuat demikian?” Beliau melanjutkan: “Kalau
saja kami tahu Insya Allah kami tidak menshalatkannya.” Kata ‘Imran:
“Beliau kemudian mengundi budak-budak yang telah dimerdekakan, lalu
memerdekakan dua orang di antara mereka dan mengembalikan yang empat orang
tetap sebagai budak.”
Dikeluarkan oleh Imam Ahmad (4/446)
dan Imam Muslim yang semisal itu, demikian pula Imam Ath-Thahawi dan Imam Al-Baihaqi
maupun yang lain. Tambahan dalam kurung ada dalam riwayat Imam Muslim, juga
dalam salah satu riwayat Imam Ahmad.
12. Ketika banyak terjadi kebid’ahan
pada sebagian besar kaum muslimin di masa ini. Begitu pula dalam permasalahan
yang berkaitan dengan jenazah. Maka termasuk kewajiban seorang muslim adalah
untuk berwasiat agar disiapkan (urusan kematiannya) dan agar dikuburkan
berdasarkan Sunnah (tuntunan Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam), sebagai pengamalan terhadap firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala:
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ
وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا
أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman,
jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya
manusia dan batu, penjaganya para malaikat yang kasar lagi keras, yang tidak
pernah mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan
mereka senantiasa melakukan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)
Oleh karena itu para sahabat
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam berwasiat dengan hal itu.
Atsar-atsar (riwayat) dari mereka dalam hal yang kami sebutkan sagatlah banyak.
Tidak mengapa kami cukupkan sebagiannya saja, yaitu:
1. Dari ‘Amar bin Sa’ad bin Abi
Waqqash Radhiyallahu’anhu, bapaknya pernah berkata ketika sakit yang menjadi
sebab kematiannya: “Buatkanlah untukku liang lahat dan tegakkanlah di atasku
batu bata sebagaimana hal itu juga dilakukan kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi
wa Sallam.” Dikeluarkan oleh Imam Muslim dan Imam Al-Baihaqi (3/407) maupun
selain beliau berdua.
2. Dari Abu Burdah, ia berkata:
Ketika menjelang kematiannya, Abu Musa Radhiyallahu’anhu berwasiat,
katanya: “Apabila kalian mengatarkan jenazahku maka cepatkanlah langkah kalian
dan janganlah mengiringkan jenazahku dengan tempat bara api (anglo). Juga
jangan jadikan di hadapanku sesuatupun yang menghalangi antara aku dengan
tanah. Jangan pula mendirikan bangunan apapun di atas kuburku. Dan aku persaksikan
kepada kalian bahwa aku berlepas diri dari setiap haliqah[5] atau saliqah[6]
atau khariqah[7].” Mereka bertanya: “Apakah engkau mendengar sesuatu dalam hal
itu?” Jawabnya: “Ya, dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam.”
Dikeluarkan oleh Imam Ahmad (4/397),
Imam Baihaqi (3/395) dan Imam Ibnu Majah dengan sanad yang hasan.
3. Dari Hudzaifah Radhiyallahu’anhu
ia mengatakan: ” Jika aku, mati jangan kalian umumkan kematianku kepada
seorangpun, sesungguhnya aku takut kalau perbuatan itu termasuk na’i
(mengumumkan kematian yang dilarang), karena sesungguhnya aku mendengar
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam melarang dari na’i.” Dikeluarkan
oleh Imam Tirmidzi (2/129) dan beliau berkata: “Ini hadits hasan.” Diriwayatkan
pula oleh yang lain hadits yang semisal dan akan datang pembahasannya dalam bab
Na’i.
Dalam bab ini ada pula atsar lain
yang akan datang dalam masalah ke 47. Tentang wasiat penguburan ini, Imam
Nawawi Rahimahullah berkata dalam Al-Adzkar: “Dianjurkan baginya dengan anjuran
yang kuat (ditekankan) untuk berwasiat kepada mereka agar menjauhi adat
kebiasaan yang berlaku yang termasuk bid’ah dalam perkara jenazah. Hendaknya ia
memperkuat perjanjian dalam masalah ini.”
Foot Note:
[1]. Harga diri adalah tempat pujian
atau celaan pada seseorang. Sama saja apakah itu pada dirinya sendiri ataukah
pada moyangnya atau siapa saja yang urusannya mengharuskannya (dipuji atau
dicela).
[2]. Ini adalah hadits yang shahih
dengan adanya hadits yang sebelumnya dan dengan adanya hadits ‘Aisyah yang akan
datang di akhir masalah ke-17.
[3]. Yaitu jika telah diketahui
secara sepakat bahwa kedua saksi yang bersumpah itu melakukan perbuatan dosa
berupa dusta dan menyambunyikan persaksian atau berupa khianat dan
menyembunyikan sebagian harta peninggalan ketika keduanya diberi amanah. Maka
yang wajib, atau yang harus dilakukan untuk menerngkan yang benar adalah
dikembalikannya sumpah itu kepada para ahli waris. Yaitu dengan cara kedua
orang saksi itu digantikan oleh dua orang dari wali mayit yang mewarisinya, yang
dianggap lebih layak sebagai saksi karena adanya dosa (pada dua saksi awal
tadi) yang akan menjadi kejahatan dan pengkhianatan terhadap mereka (ahli
waris). Demikian disebutkan dalam Tafsir Al Manar. Untuk kesempurnaan
pembahasan ini merujuklah ke sana (7/222).
[4]. Yang memansukh (menghapus)
hukumnya adalah Al-Qur’an itu sendiri. sedangkan As-sunnah hanya
menjelaskannya, sebagaimana yang kami sebutkan. Juga sebagaimana nampak jelas
dari khutbah Rasulullah n. Tidak seperti apa yang dituduhkan oleh banyak orang,
bahwa hadits inilah yang memansukhkannya. Kemudian sebagian orang di masa ini
merasa dengki dengan kenyataan ini hingga mereka menuduh bahwa hadits ini
adalah hadits ahad yang tidak bisa untuk menghapus Al-Qur’an. Selain tuduhan
ini sendiri batil, karena yang benar bahwa hadits ahad bisa menghapus
Al-Qur’an. Padahal sungguh telah anda ketahui jawabnya bahwa yang menghapus
hukum ini adalah Al-Qur’an. Kalaupun toh kita terima bahwa yang menghapus
adalah hadits ini, maka hadits ini juga bisa menghapuskannya berdasar
kesepakatan ulama’. Karena para ulama’ semuanya mengambilnya dengan penuh
terima. Apalagi hadits ini hadits yang mutawatir yang bisa diketahui oleh orang
yang meneliti jalan-jalannya yang banyak dan dikuatkan di dalam kitab-kitab
kumpulan Sunnah maupun musnad. Semoga kami diberi taufiq untuk mentakhrijnya
dan memberikan tahqiq kepadanya dalam juz yang tersendiri.
Kemudian telah saya kumpulkan
jalan-jalannya dan saya keluarkan dalam Irwa’ul Ghalil (no.16). Dan lebih dari
sepuluh jalan, dari delapan sahabat. Sebagiannya shahih, sebagian lagi hasan
dan sebagian lagi dhaif munjabir (ringan kelemahannya).
[5]. Haliqah adalah wanita yang
menggundul kepalanya ketika mendapat musibah.
[6]. Saliqah adalah wanita yang
berteriak meraung-raung ketika mendapat musibah.
[7]. Khariqah adalah wanita yang
menyobek-nyobek baju (krah) ketika mendapat musibah
[Disalin ulang dari kitab Ahkamul
Janaiz karya Asy Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullahu
ta'ala, edisi Indonesia terbitan Ash Shaf]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar