(Hadits ke-1
Arba’in An-Nawawiy)
“Dari Amirul mu’minin Umar bin
Al-Khotthob rodiallahu’anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam bersabda, Sesungguhnya amalan-amalan itu berdasarkan niatnya
dan sesungguhnya bagi setiap orang apa yang ia niatkan, maka barangsiapa yang
berhijrah kepada Allah dan RasulNya maka hijrahnya adalah kepada Allah dan
RasulNya, dan barangsiapa yang hijrahnya karena untuk menggapai dunia atau
wanita yang hendak dinikahinya maka hijrahnya kepada apa yang hijrahi”. (HR. Al-Bukhari:
1).
Berkata Abdurrahman bin Mahdi,
“Kalau seandainya aku menulis sebuah kitab yang terdiri atas bab-bab maka aku
akan menjadikan hadits Umar bin Al-Khattab yaitu hadits Al A’maalu bin Niyyaat
di setiap bab” (Jami’ul Ulum 1/8).
Imam Asy-Syafi’i berkata, “Hadits
ini adalah sepertiga ilmu” (Jami’ul ‘Ulum 1/9).
Imam Ahmad berkata, “Pokok-pokok
Islam ada tiga hadits, hadits Umar rodiallahu’anhu, ”Hanya saja amal-amal itu
berdasarkan niatnya”, hadits ‘Aisyah rodiallahu’anha, Barangsiapa yang berbuat
perkara-perkara yang baru dalam agama ini yang bukan dari agama maka ia
tertolak” dan hadits Nu’man bin Basyir rodiallahu’anhu ”Yang halal jelas dan
yang haram jelas”. (Jami’ul ‘Ulum 1/9).
Sesungguhnya pembahasan tentang
ikhlas adalah pembahasan yang sangat penting yang berkaitan dengan agama Islam
yang hanif (lurus) ini, hal dikarenakan tauhid adalah inti dan poros dari agama
dan Allah tidaklah menerima kecuali yang murni diserahkan untukNya sebagaimana
firman Allah, “Hanyalah bagi Allah agama yang murni”. (QS. Az-Zumar : 3).
Maka perkara apa saja yang merupakan
perkara agama Allah jika hanya diserahkan kepada Allah maka Allah akan
menerimanya, adapun jika diserahkan kepada Allah dan juga diserahkan kepada
selain Allah (siapapun juga ia) maka Allah tidak akan menerimanya, karena Allah
tidak menerima amalan yang diserikatkan, Dia hanyalah meneriman amalan agama
yang kholis (murni) untukNya. Allah akan menolak dan mengembalikan amalan
tersebut kepada pelakunya bahkan Allah memerintahkannya untuk mengambil pahala
(ganjaran) amalannya tersebut kepada yang dia syarikatkan, hal ini sebagaimana
disabdakan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, yang artinya:
Allah berfirman “Aku adalah yang
paling tidak butuh kepada syarikat, maka barangsiapa yang beramal suatu amalan
untuku lantas ia mensyerikatkan amalannya tersebut (juga) kepada selainku maka
Aku berlepas diri darinya dan ia untuk yang dia syarikatkan” (HR. Ibnu Majah
2/1405 no. 4202, dan ia adalah hadits yang shahih, sebagaimana perkataan Syaikh
Abdul Malik Ar-Romadhoni, adapun lafal Imam Muslim (4/2289 no 2985) adalah,
“aku tinggalkan dia dan ksyirikannya”).
Berkata Syaikh Sholeh Alu Syaikh, “Lafal
‘amalan’ disini adalah nakiroh dalam konteks kalimat syart maka memberi faedah
keumuman sehingga mencakup seluruh jenis amalan kebaikan baik amalan badan,
amalan harta. Maupun amalan yang mengandung amalan badan dan amalan harta
(seperti haji dan jihad)”. (At-Tamhid hal. 401).
Definisi ikhlas menurut etimologi
(menurut peletakan bahasa)
Ikhlas menurut bahasa adalah sesuatu yang murni yang tidak tercampur dengan hal-hal yang bisa mencampurinya. Dikatakan bahwa “madu itu murni” jika sama sekali tidak tercampur dengan campuran dari luar, dan dikatakan “harta ini adalah murni untukmu” maksudnya adalah tidak ada seorangpun yang bersyarikat bersamamu dalam memiliki harta ini. Hal ini sebagaimana firman Allah tentang wanita yang menghadiahkan dirinya untuk Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam,
Ikhlas menurut bahasa adalah sesuatu yang murni yang tidak tercampur dengan hal-hal yang bisa mencampurinya. Dikatakan bahwa “madu itu murni” jika sama sekali tidak tercampur dengan campuran dari luar, dan dikatakan “harta ini adalah murni untukmu” maksudnya adalah tidak ada seorangpun yang bersyarikat bersamamu dalam memiliki harta ini. Hal ini sebagaimana firman Allah tentang wanita yang menghadiahkan dirinya untuk Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam,
Dan perempuan mu’min yang
menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai
pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mu’min. (QS. Al Ahzaab: 50).
Dan sesungguhnya pada binatang
ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum
daripada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi
dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya. (QS. An Nahl:
66).
Maka tatkala mereka berputus asa
daripada (putusan) Yusuf mereka menyendiri sambil berunding dengan
berbisik-bisik. Berkatalah yang tertua diantara mereka: “Tidakkah kamu ketahui
bahwa sesungguhnya ayahmu telah mengambil janji dari kamu dengan nama Allah dan
sebelum itu kamu telah menyia-nyiakan Yusuf. Sebab itu aku tidak akan
meninggalkan negeri Mesir, sampai ayahku mengizinkan kepadaku (untuk kembali),
atau Allah memberi keputusan terhadapku. Dan Dia adalah hakim yang
sebaik-baiknya”. (QS. Yusuf: 80).
Yaitu para saudara Yusuf menyendiri untuk saling berbicara diantara mereka
tanpa ada orang lain yang menyertai pembicaraan mereka.
Definisi ikhlas menurut istilah
syar’i (secara terminologi)
Syaikh Abdul Malik menjelaskan, Para ulama bervariasi dalam mendefinisikan ikhlas namun hakikat dari definisi-definisi mereka adalah sama. Diantara mereka ada yang mendefenisikan bahwa ikhlas adalah “menjadikan tujuan hanyalah untuk Allah tatkala beribadah”, yaitu jika engkau sedang beribadah maka hatimu dan wajahmu engkau arahkan kepada Allah bukan kepada manusia. Ada yang mengatakan juga bahwa ikhlas adalah “membersihkan amalan dari komentar manusia”, yaitu jika engkau sedang melakukan suatu amalan tertentu maka engkau membersihkan dirimu dari memperhatikan manusia untuk mengetahui apakah perkataan (komentar) mereka tentang perbuatanmu itu. Cukuplah Allah saja yang memperhatikan amalan kebajikanmu itu bahwasanya engkau ikhlas dalam amalanmu itu untukNya. Dan inilah yang seharusnya yang diperhatikan oleh setiap muslim, hendaknya ia tidak menjadikan perhatiannya kepada perkataan manusia sehingga aktivitasnya tergantung dengan komentar manusia, namun hendaknya ia menjadikan perhatiannya kepada Robb manusia, karena yang jadi patokan adalah keridhoan Allah kepadamu (meskipun manusia tidak meridhoimu).
Syaikh Abdul Malik menjelaskan, Para ulama bervariasi dalam mendefinisikan ikhlas namun hakikat dari definisi-definisi mereka adalah sama. Diantara mereka ada yang mendefenisikan bahwa ikhlas adalah “menjadikan tujuan hanyalah untuk Allah tatkala beribadah”, yaitu jika engkau sedang beribadah maka hatimu dan wajahmu engkau arahkan kepada Allah bukan kepada manusia. Ada yang mengatakan juga bahwa ikhlas adalah “membersihkan amalan dari komentar manusia”, yaitu jika engkau sedang melakukan suatu amalan tertentu maka engkau membersihkan dirimu dari memperhatikan manusia untuk mengetahui apakah perkataan (komentar) mereka tentang perbuatanmu itu. Cukuplah Allah saja yang memperhatikan amalan kebajikanmu itu bahwasanya engkau ikhlas dalam amalanmu itu untukNya. Dan inilah yang seharusnya yang diperhatikan oleh setiap muslim, hendaknya ia tidak menjadikan perhatiannya kepada perkataan manusia sehingga aktivitasnya tergantung dengan komentar manusia, namun hendaknya ia menjadikan perhatiannya kepada Robb manusia, karena yang jadi patokan adalah keridhoan Allah kepadamu (meskipun manusia tidak meridhoimu).
Ada juga mengatakan bahwa ikhlas
adalah “samanya amalan-amalan seorang hamba antara yang nampak dengan yang
ada di batin”, adapun riya’ yaitu dzohir (amalan yang nampak) dari seorang
hamba lebih baik daripada batinnya dan ikhlas yang benar (dan ini derajat yang
lebih tinggi dari ikhlas yang pertama) yaitu batin seseoang lebih baik daripada
dzohirnya, yaitu engkau menampakkan sikap baik dihadapan manusia adalah karena
kebaikan hatimu, maka sebagaimana engkau menghiasi amalan dzohirmu dihadapan
manusia maka hendaknya engkaupun menghiasi hatimu dihadapan Robbmu.
Ada juga yang mengatakan bahwa
ikhlas adalah, “melupakan pandangan manusia dengan selalu memandang kepada
Allah”, yaitu engkau lupa bahwasanya orang-orang memperhatikanmu karena
engkau selalu memandang kepada Allah, yaitu seakan-akan engkau melihat Allah
yaitu sebagaimana sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam tentang ihsan “Engkau
beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya dan jika engkau tidak
melihatNya maka sesungguhnya Ia melihatmu”. Barangsiapa yang berhias
dihadapan manusia dengan apa yang tidak ia miliki (dzohirnya tidak sesuai
dengan batinnya) maka ia jatuh dari pandangan Allah, dan barangsiapa yang jatuh
dari pandangan Allah maka apalagi yang bermanfaat baginya? Oleh karena itu
hendaknya setiap orang takut jangan sampai ia jatuh dari pandangan Allah karena
jika engkau jatuh dari pandangan Allah maka Allah tidak akan perduli denganmu
dimanakah engkau akan binasa, jika Allah meninggalkan engkau dan menjadikan
engkau bersandar kepada dirimu sendiri atau kepada makhluk maka berarti engkau
telah bersandar kepada sesuatu yang lemah, dan terlepas darimu pertolongan
Allah, dan tentunya balasan Allah pada hari akhirat lebih keras dan lebih
pedih. (Dari ceramah beliau yang berjudul ikhlas. Definisi-definisi ini
sebagaimana juga yang disampaikan oleh Ahmad Farid dalam kitabnya “Tazkiyatun
Nufus” hal. 13).
Berkata Syaikh Abdul Malik, “Ikhlas
itu bukan hanya terbatas pada urusan amalan-amalan ibadah bahkan ia juga
berkaitan dengan dakwah kepada Allah. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
saja (tetap) diperintahkan oleh Allah untuk ikhlas dalam dakwahnya”.
Katakanlah, “Inilah jalanku (agamaku).
Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah
yang nyata. Mahasuci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.”
(QS. Yusuf: 108).
Yaitu dakwah hanyalah kepada Allah
bukan kepada yang lainnya, dan dakwah yang membuahkan keberhasilan adalah
dakwah yang dibangun karena untuk mencari wajah Allah. Aku memperingatkan
kalian jangan sampai ada diantara kita dan kalian orang-orang yang senang jika
dikatakan bahwa kampung mereka adalah kampung sunnah, senang jika masjid-masjid
mereka disebut dengan masjid-masjid ahlus sunnah, atau masjid mereka adalah
masjid yang pertama yang menghidupkan sunnah ini dan sunnah itu, atau masjid
pertama yang menghadirkan para masyayikh salafiyyin dalam rangka mengalahkan
selain mereka, namun terkadang mereka tidak sadar bahwa amalan mereka hancur
dan rusak padahal mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat yang
sebaik-baiknya. Dan ini adalah musibah yang sangat menyedihkan yaitu syaitan
menggelincirkan seseorang sedikit-demi sedikit hingga terjatuh ke dalam jurang
sedang ia menyangka bahwa ia sedang berada pada keadaan yang sebaik-baiknya.
Betapa banyak masjid yang aku lihat yang Allah menghancurkan amalannya padahal
dulu jemaahnya dzohirnya berada di atas sunnah karena disebabkan rusaknya batin
mereka, dan sebab berlomba-lombanya mereka untuk dikatakan bahwa jemaah masjid
adalah yang pertama kali berada di atas sunnah, hendaknya kalian berhati-hati…”
(Dari ceramah beliau yang berjudul ikhlas).
Syuhroh (Popularitas)
Ketenaran (popularitas) memang mahal harganya. Betapa banyak orang yang rela mengorbankan banyak harta benda hanya karena untuk memperoleh ketenaran. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh para penyanyi, ataupun para bintang film. Mereka selalu berusaha tampil beda agar bisa menarik perhatian umat dunia. Bahkan ada yang rela untuk melakukan hal-hal yang aneh dan yang diharamkan oleh Allah hanya untuk memperoleh popularitas (sebagaimana penulis membaca pengakuan seorang wanita yang rela untuk berfoto setengah telanjang -bukan setengah lagi, tapi 90%, karena hanya tersisa beberapa utas benang atau secarik kain yang menutupi tubuhnya, “awas jangan dibayangkan!!”-, padalah dia hanya dibayar sangat rendah. Dia mengaku bahwasanya semua itu agar dia menjadi tenar. Na’udzu billahi min dzalik), yang toh setelah perjuangan dan pengorbanannya tersebut dia belum tentu tersohor. Kalaupun terkenal, toh belum tentu bertahan lama. Namun bagaimanapun popularitas merupakan sesuatu impian yang didambakan oleh banyak manusia (kafir maupun muslim).
Ketenaran (popularitas) memang mahal harganya. Betapa banyak orang yang rela mengorbankan banyak harta benda hanya karena untuk memperoleh ketenaran. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh para penyanyi, ataupun para bintang film. Mereka selalu berusaha tampil beda agar bisa menarik perhatian umat dunia. Bahkan ada yang rela untuk melakukan hal-hal yang aneh dan yang diharamkan oleh Allah hanya untuk memperoleh popularitas (sebagaimana penulis membaca pengakuan seorang wanita yang rela untuk berfoto setengah telanjang -bukan setengah lagi, tapi 90%, karena hanya tersisa beberapa utas benang atau secarik kain yang menutupi tubuhnya, “awas jangan dibayangkan!!”-, padalah dia hanya dibayar sangat rendah. Dia mengaku bahwasanya semua itu agar dia menjadi tenar. Na’udzu billahi min dzalik), yang toh setelah perjuangan dan pengorbanannya tersebut dia belum tentu tersohor. Kalaupun terkenal, toh belum tentu bertahan lama. Namun bagaimanapun popularitas merupakan sesuatu impian yang didambakan oleh banyak manusia (kafir maupun muslim).
Sebagaimana yang kita saksikan
sekarang ini. Hampir seluruh keanehan-keanehan yang dilakukan oleh manusia
sesungguhnya dikarenakan cinta popularitas. Kita lihat ada orang yang mengecet
rambutnya bewarna warni, ada yang kepalanya setengah gundul dan setengahnya
rambutnya panjang hingga bahunya dan dicat hijau (sebagaimana yang pernah
dilihat oleh Syaikh Abdur Rozaq), ada yang rambutnya cuma ditengah saja panjang
adapun sisanya gundul (sebagaimana penulis pernah lihat seorang dari tanah air
yang model cukurannya seperti itu padahal dia lagi umroh), ada yang dipotong
seperti warna macan tutul (botak gundul, botak gundul), ada yang tengahnya
gundul dan kanan kiri kepalanya ada rambutnya, ada yang seluruh kepalanya
gundul namun tersisia satu pelintiran yang panjang sekali, dan model-model yang
lainnya yang banyak sekali dan aneh-aneh. Ini, padahal baru masalah rambut,
belum masalah telinga, hiasan leher, apalagi model pakaian. Yang semua ini
hanyalah dilakukan demi ketenaran. Demi Allah, seandainya salah mereka
itu tinggal di hutan yang tidak ada manusianya sama sekali kecuali dia sendiri,
dan dia hanya berteman binatang dan pepohonan, demi Allah dia tidak akan
melakukan hal-hal aneh yang telah dia lakukan, karena tidak ada manusia yang
memperhatikannya. Kalau dia tetap aneh juga maka dia akan terkenal diantara
para hewan. Popularitas merupakan kenikmatan dunia yang mahal harganya.
Penyakit cinta ketenaran ternyata
tidak hanya menimpa orang awam saja yang tidak mengetahui perkara-perkara
agama, namun juga menjangkiti para ahli ibadah dan para penuntut ilmu syar’i.
Walaupun memang bentuknya berbeda, namun hakekatnya sama adalah cinta
popularitas. Ahli ibadah juga pingin kesungguhannya dalam beribadah diketahui
oleh para ahli ibadah yang lain, ahli ilmu pun ingin orang lain tahu bahwasanya
dia adalah seorang yang pandai, sehingga akhirnya martabatnya tinggi dihadapan
manusia. Penyakit inilah yang dalam kamus agama disebut penyakit riya’ (pingin
dilihat orang) dan sum’ah (pingin didengar orang).
Manusia begitu bersemangat untuk
menutupi kejelekan-kejelekan mereka, mereka tutup sebisa mungkin, kejelekan
sekecil apapun, dibungkus rapat jangan sampai ketahuan. Hal ini dikarenakan
mereka menginginkan mendapatkan kehormatan dimata manusia. Dengan terungkapnya
kejelekan yang ada pada mereka maka akan turun kedudukan mereka di mata
manusia. Seandainya mereka juga menutupi kebaikan-kebaikan mereka, -sekecil
apapun kebaikan itu, jangan sampai ada yang tahu, siapapun orangnya
(saudaranya, sahabat karibnya, guru-gurunya, anak-anaknya, bahkan istrinya)
tidak ada yang mengetahui kebaikannya- , tentunya mereka akan mencapai martabat
mukhlisin (orang-orang yang ikhlas). Mereka berusaha sekuat mungkin agar yang
hanya mengetahui kebaikan-kebaikan yang telah mereka lakukan hanyalah Allah. Karena
mereka hanya mengharapkan kedudukan di sisi Allah. Berkata Abu Hazim Salamah
bin Dinar “Sembunyikanlah kebaikan-kebaikanmu sebagaimana engkau
menyembunyikan kejelekan-kejelekanmu.” (Berkata Syaikh Abdul Malik
Romadhoni , “Diriwayatkan oleh Al-Fasawi dalam Al-Ma’rifah wa At-Tarikh
(1/679), dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (3/240), dan Ibnu ‘Asakir dalam tarikh
Dimasyq (22/68), dan sanadnya sohih”. Lihat Sittu Duror hal. 45).
Dalam riwayat yang lain yang
diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman no 6500 beliau berkata, “Sembunyikanlah
kebaikan-kebaikanmu sebagiamana engkau menyembunyikan keburukan-keburukanmu,
dan janganlah engkau kagum dengan amalan-amalanmu, sesungguhnya engkau tidak
tahu apakah engkau termasuk orang yang celaka (masuk neraka) atau orang yang
bahagia (masuk surga)”.
Berkata Syaikh Abdul Malik, “Namun
mengapa kita tidak melaksanakan wasiat Abu Hazim ini?? Kenapa??, hal ini
menunjukan bahwa keikhlasan belum sampai ke dalam hati kita sebagaimana yang
dikehendaki Allah” (Dari ceramah beliau yang berjuduk ikhlas).
Oleh karena itu banyak para imam
salaf yang benci ketenaran. Mereka senang kalau nama mereka tidak
disebut-sebut oleh manusia. Mereka senang kalau tidak ada yang mengenal mereka.
Hal ini demi untuk menjaga keihlasan mereka, dan karena mereka kawatir hati
mereka terfitnah tatkala mendengar pujian manusia.
Berkata Hammad bin Zaid: “Saya
pernah berjalan bersama Ayyub (As-Sikhtyani), maka diapun membawaku ke
jalan-jalan cabang (selain jalan umum yang sering dilewati manusia-pen), saya
heran kok dia bisa tahu jalan-jalan cabang tersebut ?! (ternyata dia melewati
jalan-jalan kecil yang tidak dilewati orang banyak) karena takut manusia
(mengenalnya dan) mengatakan, “Ini Ayyub” (Berkata Syaikh Abdul Malik
Romadhoni: “Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad (7/249), dan Al-Fasawi dalam
Al-Ma’rifah wa At-Tarikh (2/232), dan sanadnya shahih.” (Sittu Duror hal 46)).
Berkata Imam Ahmad: “Aku ingin
tinggal di jalan-jalan di sela-sela gunung-gunung yang ada di Mekah hingga aku
tidak dikenal. Aku ditimpa musibah ketenaran”. (As-Siyar 11/210).
Tatkala sampai berita kepada Imam
Ahmad bahwasanya manusia mendoakannya dia berkata: “Aku berharap semoga hal ini
bukanlah istidroj”. (As-Siyar 11/211).
Imam Ahmad juga pernah berkata
tatkala tahu bahwa manusia mendoakan beliau: “Aku mohon kepada Allah agar tidak
menjadikan kita termasuk orang-orang yang riya”. (As-Siyar 11/211).
Pernah Imam Ahmad mengatakan kepada
salah seorang muridnya (yang bernama Abu Bakar) tatkala sampai kepadanya kabar
bahwa manusia memujinya: “Wahai Abu Bakar, jika seseorang mengetahui (aib-aib)
dirinya maka tidak bermanfaat baginya pujian manusia”. (As-Siyar 11/211).
Berkata Hammad, “Pernah Ayyub
membawaku ke jalan yang lebih jauh, maka akupun perkata padanya, “Jalan yang
ini yang lebih dekat”, maka Ayyub menjawab: ”Saya menghindari majelis-majelis
manusia (menghindari keramaian manusia-pen)”. Dan Ayyub jika memberi salam
kepada manusia, mereka menjawab salamnya lebih dari kalau mereka menjawab salam
selain Ayyub. Maka Ayyub berkata: ”Ya Allah sesungguhnya Engkau mengetahui
bahwa saya tidaklah menginginkan hal ini !, Ya Allah sesungguhnya Engkau
mengetahui bahwa saya tidaklah menginginkan hal ini!.” Berkata Syaikh Abdul
Malik: ”Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d (7/248) dan Al-Fasawi (2/239), dan sanadnya
shahih”. (Sittu Duror hal 47).
Berkata Abu Zur’ah Yahya bin Abi
‘Amr, “Ad-Dlohhak bin Qois keluar bersama manusia untuk sholat istisqo (sholat
untuk minta hujan), namun hujan tak kunjung datang, dan mereka tidak melihat
adanya awan. Maka beliau berkata: ”Dimana Yazid bin Al-Aswad?” (Dalam riwayat
yang lain: Maka tidak seorangpun yang menjawabnya, kemudian dia berkata:
”Dimana Yazid bin Al-Aswad?, Aku tegaskan padanya jika dia mendengar
perkataanku ini hendaknya dia berdiri”), maka berkata Yazid :”Saya di sini!”,
berkata Ad-Dlohhak: ”Berdirilah!, mintalah kepada Allah agar menurunkan hujan
bagi kami!”. Maka Yazid pun berdiri dan menundukan kepalanya diantara dua
bahunya, dan menyingsingkan lengan banjunya lalu berdoa: ”Ya Allah,
sesungguhnya para hambaMu memintaku untuk berdoa kepadaMu”. Lalu tidaklah dia
berdoa kecuali tiga kali kecuali langsung turunlah hujan yang deras sekali,
hingga hampir saja mereka tenggelam karenanya. Kemudian dia berkata: ”Ya Allah,
sesungguhnya hal ini telah membuatku menjadi tersohor, maka istirahatkanlah aku
dari ketenaran ini”, dan tidak berselang lama yaitu seminggu kemudian diapun
meninggal.” Lihat takhrij kisah ini secara terperinci dalam buku Sittu Duror
karya Syaikh Abdul Malik Romadloni hal. 47.
Lihatlah wahai saudaraku, bagaimana
Yazid Al-Aswad merasa tidak tentram dengan ketenarannya bahkan dia meminta
kepada Allah agar mencabut nyawanya agar terhindar dari ketenarannya. Ketenaran
di mata Yazid adalah sebuah penyakit yang berbahaya, yang dia harus
menghindarinya walaupun dengan meninggalkan dunia ini. Allahu Akbar.. !
inilah akhlak salaf (Berkata Guru kami Syaikh Abdul Qoyyum, “Adapun orang-orang
yang memerintahkan para pengikutnya atau rela para pengikutnya mencium
tangannya lalu ia berkata bahwa ia adalah wali Allah maka ia adalah dajjal”).
Namun banyak orang yang terbalik, mereka malah menjadikan ketenaran merupakan
kenikmatan yang sungguh nikmat sehingga mereka berusaha untuk meraihnya dengan
berbagai macm cara.
Dari Abu Hamzah Ats-Tsumali, beliau
berkata: ”Ali bin Husain memikul sekarung roti diatas pundaknya pada malam hari
untuk dia sedekahkan, dan dia berkata, ”Sesungguhnya sedekah dengan tersembunyi
memadamkan kemarahan Allah”. Ini merupakan hadits yang marfu’ dari Nabi, yang
diriwayatkan dari banyak sahabat, seperti Abdullah bin Ja’far, Abu Sa’id
Al-Khudri, Ibnu “Abbas, Ibnu Ma’ud, Ummu Salamah, Abu Umamah, Mu’awiyah bin
Haidah, dan Anas bin Malik. Berkata Syaikh Al-Albani: ”Kesimpulannya hadits ini
dengan jalannya yang banyak serta syawahidnya adalah hadits yang shahih, tidak
diragukan lagi. Bahkan termasuk hadits mutawatir menurut sebagian ahli hadits
muta’akhirin” (As-Shohihah 4/539, hadits no. 1908).
Dan dari ‘Amr bin Tsabit berkata,
”Tatkala Ali bin Husain meninggal mereka memandikan mayatnya lalu mereka
melihat bekas hitam pada pundaknya, lalu mereka bertanya: ”Apa ini”, lalu
dijawab: ”Beliau selalu memikul berkarung-karung tepung pada malam hari untuk
diberikan kepada faqir miskin yang ada di Madinah”.
Berkata Ibnu ‘Aisyah: ”Ayahku
berkata kepadaku: ”Saya mendengar penduduk Madinah berkata: ”Kami tidak pernah
kehilangan sedekah yang tersembunyi hingga meninggalnya Ali bin Husain” Lihat
ketiga atsar tersebut dalam Sifatus Sofwah (2/96), Aina Nahnu hal. 9.
Lihatlah bagaimana Ali bin Husain
menyembunyikan amalannya hingga penduduk Madinah tidak ada yang tahu, mereka
baru tahu tatkala beliau meninggal karena sedekah yang biasanya mereka terima
di malam hari berhenti, dan mereka juga menemukan tanda hitam di pundak beliau.
Seseorang bertanya pada Tamim
Ad-Dari ”Bagaimana sholat malam engkau”, maka marahlah Tamim, sangat
marah, kemudian berkata, “Demi Allah, satu rakaat saja sholatku ditengah
malam, tanpa diketahui (orang lain), lebih aku sukai daripada aku sholat
semalam penuh kemudian aku ceritakan pada manusia” (Dinukil dari kitab Az-
Zuhud, Imam Ahmad).
Tidak seorangpun diantara kita yang
meragukan akan kesungguhan para sahabat dalam beribadah. Namun walaupun
demikian, mereka tidaklah ujub, atau memamerkan amalan mereka kapada manusia,
jauh sekali dengan kita. Adapun sebagian kita (atau sebagian besar, atau
seluruhnya (kecuali yang dirahmati oleh Allah), Allahu Al-Musta’an,
sudah amalannya sedikit, namun diceritakan kemana-mana (Bahkan kalau bisa orang
sedunia mengetahuinya). Ada yang berkata, ”Dakwah saya disana…, disini…”,
ada juga yang berkata,”Yang menghadiri majelis saya jumlahnya sekian dan
sekian…” (padahal kalau dihitung belum tentu sebanyak yang disebutkan, atau
memang benar yang hadir majelisnya banyak tetapi tidak selalu. Terkadang yang
hadir dalam sebagian majelisnya cuma sedikit, namun tidak dia ceritakan, atau
yang hadir banyak tapi pada ngantuk semua, juga tidak dia ceritakan. Pokoknya
dia ingin gambarkan pada manusia bahwa dia adalah da’i favorit), ada
yang berkata, “Saya sudah baca kitab ini, kitab itu.. hal ini sebagaimana
termuat dalam kitab ini atau kitab itu…”(padahal belum tentu satu kitabpun dia
baca dari awal hingga akhir, atau bahkan belum tentu dia baca sama sekali
secara langsung kitab itu. Namun dia ingin gambarkan pada manusia bahwa
mutola’ahnya banyak, agar mereka tahu bahwa dia adalah orang yang berilmu dan
gemar membaca). Yang mendorong ini semua adalah karena keinginan mendapat
penghargaan dan penghormatan dari manusia.
Lihatlah Tamim Ad-Dari tidak membuka
pintu yang bisa mengantarkannya terjatuh dalam riya, sehingga dia tidak mau
menjawab orang yang bertanya tentang ibadahnya. Namun sebaliknya, sebagian kaum
muslimin sekarang justru menjadikan kesempatan pertanyaan seperti itu untuk
bisa menceritakan seluruh ibadahnya, bahkan menanti-nanti untuk ditanya tentang
ibadahnya, atau dakwahnya, atau perkara yang lainnya.
Ayyub As-Sikhtiyani sholat sepanjang
malam, dan jika menjelang fajar maka dia kembali untuk berbaring di tempat
tidurnya. Dan jika telah terbit fajar maka diapun mengangkat suaranya
seakan-akan dia baru saja bangun pada saat itu. (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim
dalam Al-Hilyah 3/8).
Berkata Muhammad bin A’yun, ”Aku
bersama Abdullah bin Mubarok dalam peperangan di negeri Rum. Tatkala kami
selesai sholat isya’ Ibnul Mubarok pun merebahkan kepalanya untuk menampakkan
padaku bahwa dia sudah tertidur. Maka akupun –bersama tombakku yang ada
ditanganku- menggenggam tombakku dan meletakkan kepalaku diatas tombak
tersebut, seakan-akan aku juga sudah tertidur. Maka Ibnul Mubarok menyangka bahwa
aku sudah tertidur, maka diapun bangun diam-diam agar tidak ada sorangpun dari
pasukan yang mendengarnya lalu sholat malam hingga terbit fajar. Dan tatkala
telah terbit fajar maka diapun datang untuk membagunkan aku karena dia
menyangka aku tidur, seraya berkata “Ya Muhammad bangunlah!”, Akupun berkata:
”Sesungguhnya aku tidak tidur”. Tatkala Ibnul Mubarok mendengar hal ini dan
mengetahui bahwa aku telah melihat sholat malamnya maka semenjak itu aku tidak
pernah melihatnya lagi berbicara denganku. Dan tidak pernah juga ramah padaku
pada setiap peperangannya. Seakan-akan dia tidak suka tatkala mengetahui bahwa
aku mengetahui sholat malamnya itu, dan hal itu selalu nampak di wajahnya
hingga beliau wafat. Aku tidak pernah melihat orang yang lebih menymbunyikan
kebaikan-kebaikannya daripada Ibnul Mubarok” (Al-Jarh wa At-Ta’dil, Ibnu Abi
Hatim 1/266).
Wahai saudaraku, ketahuilah…
sesungguhnya ikhlas adalah sesuatu yang sangat berat, penuh perjuangan untuk
bisa meraihnya. Pintu-pintu yang bisa dimasuki syaitan untuk bisa merusak
keikhlasan kita terlalu banyak. Tatkala kita sedang beramal maka syaitanpun
berusaha untuk bisa menjadikan kita riya’, kalau tidak bisa menjadikan kita
riya’ di permulaan amal, maka dia akan berusaha agar kita riya’ di pertengahan
amal. Kalau tidak mampu lagi maka di akhir amalan kita. Oleh karena itu kita
dapati para salaf dahulu memngecek niat mereka ditengah amalan mereka, apakah
masih tetap ikhlas atau sudah berubah?. Diriwayatkan dari Sualaiman bin Dawud
Al-Hasyimi: ”Terkadang saya menyampaikan sebuah hadits dan niat saya ikhlas,
(namun) tatkala saya sampaikan sebagian hadits tersebut berubahlah niat saya,
ternyata satu hadits saja membutuhkan banyak niat” Disebutkan oleh Al-Khotib
Al-Bagdadi dalam Tarikh beliau (9/31), Al-Mizzi dalam Tahdzibul Kamal (11/412),
dan Ad-Dazahabi dalam Siyar (10/625), lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hal 83,
tahqiq Al-Arnauth).
Lihatlah bagaimana hati-hatinya
salaf dalam menjaga niat mereka, untuk bisa menyampaikan satu hadits saja (yang
mungkin hanya beberapa buah kata) dia memperhatikan niatnya berulang-ulang.
Bagaimana dengan kita sekarang? Bukan cuma berpuluh-puluh kata yang kita
lontarkan, bahkan beribu-ribu kata (tatkala mengisi pengajian, atau memberi
pendapat atau nasehat tatkala diminta, atau yang lainnya…) pernahkah kita
mengecek niat kita disela-sela pembicaraan kita??. Terkadang seseorang di awal
sedang mengisi pengajian, dia mendapati niatnya ikhlas. Namun tatkala di tengah
pengajian, disaat dia memandang bagaimana para pendengarnya terkagum-kagum dengan
kefasihannya melontarkan dalil disaat itulah syaitan berperan aktif untuk
merubah niatnya. Waspadalah wahai para saudaraku… sesungguhnya hanya sedikit
yang selamat dari tipu daya syaitan.
Sungguh benarlah perkataan Sufyan
Ats-Tsauri, ”Saya tidak pernah menghadapi sesuatu yang lebih berat daripada
niat, karena niat itu berbolak-balik (berubah-ubah)” (Hilyatul Auliya (7/ hal 5
dan 62), lihat Jami’ul ‘Ulul wal Hikam hal 70, tahqiq Al-Arnauth).
Kalau seseorang telah selamat dari
tipu daya syaitan hingga selesai amalnya, ingatlah…syaitan tidak putus asa. Dia
mulai menggelitik hati orang tersebut dan merayu orang tersebut untuk
menceritakan amalan solehnya pada manusia, dan syaitan menipunya dengan
berkata, ”Ini bukanlah riya…, supaya kamu bisa dicontohi manusia…”. Akhirnya
terjebaklah orang tersebut dan diapun mengungkapkan kebaikan-kebaikannya
dihadapan orang, maka bisa jadi diapun menceritakan kabaikan-kebaikannya pada
manusia karena riya’, maka ini merupakan kecelakaan baginya, atau kalau tidak
maka minimal pahalanya berkurang. Karena pahala amalan yang sirr (disembunyikan)
lebih baik daripada amalan yang diketahui orang lain.
Allah berfirman, yang artinya:
“Jika kalian menampakkan sedekah kalian maka itu adalah baik sekali. Dan jika kalian menyembunyikannya dan kalian berikan kepada orang-orang fakir maka menyembunyikanya itu lebih baik bagi kalian. Dan Allah akan menghapuskan dari kalian sebagian kesalahan-kesalahan kalian, dan Allah maha mengetahui apa yang kalian kerjakan” (QS. Al-Baqoroh: 271).
“Jika kalian menampakkan sedekah kalian maka itu adalah baik sekali. Dan jika kalian menyembunyikannya dan kalian berikan kepada orang-orang fakir maka menyembunyikanya itu lebih baik bagi kalian. Dan Allah akan menghapuskan dari kalian sebagian kesalahan-kesalahan kalian, dan Allah maha mengetahui apa yang kalian kerjakan” (QS. Al-Baqoroh: 271).
Berkata Ibnu Kasir dalam Tafsirnya,
”Asalnya isror (amalan secara tersembunyi tanpa diketahui orang lain) adalah
lebih afdol dengan dalil ayat ini dan hadits dalam shohihain (Bukhori dan
Muslim) dari Abu Huroiroh, beliau berkata: “Berkata Rasulullah : ”Tujuh
golongan yang berada dibawah naungan Allah pada hari dimana tidak ada naungan
kecuali naungan Allah, Imam yang adil, dan seorang yang bersedekah lalu dia
menyembunyikannya hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan
oleh tangan kanannya” Diriwayatkan oleh Al-Bukhori (1423) dan Muslim
(2377). Berkata Imam Nawawi: ”Berkata para Ulama bahwanya penyebutan tangan
kanan dan kiri menunjukan kesungguhan dan sangat dismbunyikannya serta tidak
diketuhinya sedekah. Perumpamaan dengan kedua tangan tersebut karena dekatnya
tangan kanan dengan tangan kiri, dan tangan kanan selalu menyertai tangan kiri.
Dan maknanya adalah seandainya tangan kiri itu seorang laki-laki yang terjaga
maka dia tidak akan mengetahui apa yang diinfak oleh tangan kanan karena saking
disembunyikannya.” (Al-Minhaj 7/122), hal ini juga sebagaimana penjelasan Ibnu
Hajr (Al-Fath 2/191).
Rosulullah bersabda: ”Tatkala
Allah menciptakan bumi, bumi tersebut bergoyang-goyang, maka Allah pun
menciptakan gunung-gunung kalau Allah lemparkan gunung-gunung tersebut di atas
bumi maka tenanglah bumi. Maka para malaikatpun terkagum-kagum dengan
penciptaan gunung, mereka berkata, ”Wahai Tuhan kami, apakah ada dari makhluk
Mu yang lebih kuat dari gunung?” Allah berkata, “Ada yaitu besi”. Lalu mereka
bertanya (lagi), ”Wahai Tuhan kami, apakah ada dari makhlukMu yang lebih kuat
dari besi?”, Allah menjawab, ”Ada yaitu api.”, mereka bertanya (lagi), ”Wahai
Tuhan kami, apakah ada makhluk Mu yang lebih kuat dari pada api?”, Allah
menjawab, ”Ada yaitu air”, mereka bertanya (lagi), ”Wahai Tuhan kami, apakah
ada makhlukMu yang lebih kuat dari pada air?”, Allah menjawab, ”Ada yaitu air”
mereka bertanya (lagi), ”Wahai Tuhan kami, apakah ada makhlukMu yang lebih kuat
dari pada air?”, Allah menjawab, ”Ada yaitu angin” mereka bertanya (lagi),
”Wahai Tuhan kami, apakah ada makhlukMu yang lebih kuat dari pada angin?”,
Allah menjawab, ”Ada yaitu seorang anak Adam yang bersedekah dengan tangan
kanannya lalu dia sembunyikan agar tidak diketahui tangan kanannya”.
Diriwayatkan oleh Imam Ahamad dalam Musnadnya 3/124 dari hadits Anas bin Malik.
Berkata Ibnu Hajar, ”Dari hadits Anas dengan sanad yang hasan marfu’” (Al-Fath
2/191).
Sungguh benar orang yang berkata,
“Jangan heran kalau engkau melihat seorang yang bisa jalan di atas air, karena
syaitan juga bisa berjalan di atas air. Janganlah heran kalau engkau melihat
seorang yang berjalan terbang diudara, karena syaitan juga bisa terbang di
udara. Tapi heranlah engkau jika engkau melihat seorang yang bersedekah dengan
tangan kanannya namun tangan kirinya tidak mengetahuinya, karena syaitan tidak
bersedekah (apalagi dengan ikhlas) (Untaian kalimat ini, penulis tidak
mengetahui siapa yang mengucapkannya. Namun penulis pernah mendengarnya dari
seorang petugas penjaga mushola dikapal laut, tatkala menyampaikan nasehat pada
awak penumpang kapal. Mungkin saja dialah yang mengucapkan perkataan ini
pertama kali. Namun bagaimanapun perkataan ini benar maknanya jika ditinjau
dari kacamata syar’i, Wallahu A’lam).
Ingat perkataan Ibnul Qoyyim,
“Tidaklah akan berkumpul keikhlasan dalam hati bersama rasa senang untuk dipuji
dan disanjung dan keinginan untuk memperoleh apa yang ada pada manusia kecuali
sebagaimana terkumpulnya air dan api…” (Fawaid Al-Fawaid, Ibnul Qoyyim, tahqiq
Syaikh Ali Hasan, hal 423). Wahai Dzat yang membolak-balikan hati-hati
(manusia) tetapkanlah hatiku di atas agamaMu.
Hukum menyembunyikan amal
Para ulama menjelaskan bahwa keutamaan menyembunyikan amalan kebajikan (karena hal ini lebih menjauhkan dari riya) itu hanya khusus bagi amalan-amalan mustahab bukan amalan-amalan yang wajib. Berkata Ibnu Hajar: ”At-Thobari dan yang lainnya telah menukil ijma’ bahwa sedekah yang wajib secara terang-terangan lebih afdhol daripada secara tersembunyi. Adapun sedekah yang mustahab maka sebaliknya.” (Al-Fath 3/365). Sebagian mereka juga mengecualikan orang-orang yang merupakan teladan bagi masyarakat, maka justru lebih afdhol bagi mereka untuk beramal terang-terangan agar bisa diikuti dengan syarat mereka aman dari riya’, dan hal ini tidaklah mungkin kecuali jika iman dan keyakinan mereka yang kuat.
Para ulama menjelaskan bahwa keutamaan menyembunyikan amalan kebajikan (karena hal ini lebih menjauhkan dari riya) itu hanya khusus bagi amalan-amalan mustahab bukan amalan-amalan yang wajib. Berkata Ibnu Hajar: ”At-Thobari dan yang lainnya telah menukil ijma’ bahwa sedekah yang wajib secara terang-terangan lebih afdhol daripada secara tersembunyi. Adapun sedekah yang mustahab maka sebaliknya.” (Al-Fath 3/365). Sebagian mereka juga mengecualikan orang-orang yang merupakan teladan bagi masyarakat, maka justru lebih afdhol bagi mereka untuk beramal terang-terangan agar bisa diikuti dengan syarat mereka aman dari riya’, dan hal ini tidaklah mungkin kecuali jika iman dan keyakinan mereka yang kuat.
Imam Al-Iz bin Abdus Salam telah
menjelaskan hukum menyembunyikan amalan kebajikan secara terperinci sebagai
berikut. Beliau berkata, “Keta’atan (pada Allah) ada tiga:
- Yang pertama, adalah amalan yang disyariatkan secara
dengan dinampakan seperti adzan, iqomat, bertakbir, membaca Quran dalam
sholat secara jahr, khutbah-kutbah, amar ma’ruf nahi mungkar, mendirikan
sholat jumat dan sholat secara berjamaah, merayakan hari-hari ‘ied, jihad,
mengunjungi orang-orang yang sakit, mengantar jenazah, maka hal-hal
seperti ini tidak mungkin disembunyikan. Jika pelaku amalan-amalan
tersebut takut riya, maka hendaknya dia berusaha bersungguh-sungguh untuk
menolaknya hingga dia bisa ikhlas kemudian dia bisa melaksanakannya dengan
ikhlas, sehingga dengan demikian dia akan mendapatkan pahala amalannya dan
juga pahala karena kesungguhannya menolak riya, karena amalan-amalan ini
maslahatnya juga untuk orang lain.
- Yang kedua, amalan yang jika diamalkan secara
tersembunyi lebih afdhol dari pada jika dinampakkan. Contohnya seperti
membaca qiro’ah secara perlahan tatkala sholat (yaitu sholat yang tidak
disyari’atkan untuk menjahrkan qiro’ah), dan berdzikir dalam sholat secara
perlahan. Maka dengan perlahan lebih baik daripada jika dijahrkan.
- Yang ketiga, amalan yang terkadang disembunyikan dan
terkadang dinampakkan seperti sedekah. Jika dia kawatir tertimpa riya’
atau dia tahu bahwasanya biasanya kalau dia nampakan amalannya dia akan
riya’, maka amalan (sedekah) tersebut disembunyikan lebih baik daripada
jika dinampakkan.
Adapun orang yang aman dari riya’
maka ada dua keadaannya:
- Yang pertama, dia bukanlah termasuk orang yang diikuti,
maka lebih baik dia menyembunyikan sedekahnya, karena bisa jadi dia
tertimpa riya’ tatkala menampakkan sedekahnya.
- Yang kedua, dia merupakan orang yang dicontohi, maka
dia menampakan sedekahnya lebih baik karena hal itu membantu fakir miskin
dan dia akan diikuti. Maka dia telah memberi manfaat kepada fakir miskin
dengan sedekahnya dan dia juga menyebabkan orang-orang kaya bersedekah
pada fakir miskin karena mencontohi dia, dan dia juga telah memberi
manfaat pada orang-orang kaya tersebut karena mengikuti dia beramal
soleh.” Qowa’idul Ahkam 1/125 (Sebagaimana dinukil oleh Sulaiman Al-Asyqor
dal kitabnya Al-Ikhlash hal 128-129).
Tentunya kita lebih mengetahui diri
kita, kita termasuk orang yang aman dari riya atau tidak.
Mengobati penyakit cinta ketenaran
Berkata Abdullah bin Mas’ud, “Seandainya kalian mengetahui dosa-dosaku maka tidak ada dua orangpun yang berjalan di belakangku, dan kalian pasti akan melemparkan tanah di kepalaku, aku sungguh berangan-angan agar Allah mengampuni satu dosa dari dosa-dosaku dan aku dipanggil dengan Abdullah bin Rowtsah”. (Al-Mustadrok 3/357 no. 5382).
Berkata Abdullah bin Mas’ud, “Seandainya kalian mengetahui dosa-dosaku maka tidak ada dua orangpun yang berjalan di belakangku, dan kalian pasti akan melemparkan tanah di kepalaku, aku sungguh berangan-angan agar Allah mengampuni satu dosa dari dosa-dosaku dan aku dipanggil dengan Abdullah bin Rowtsah”. (Al-Mustadrok 3/357 no. 5382).
Berkata Syaikh Sholeh Alu Syaikh,
((“Untaian kalimat ini adalah madrasah (pelajaran), dan hal ini tidak diragukan
lagi karena tersohornya seseorang mungkin terjadi jika orang tersebut memiliki
kelebihan diantara manusia, bahkan bisa jadi orang-orang mengagungkannya, bisa
jadi orang-orang memujinya, bisa jadi mereka mengikutinya berjalan di
belakangnya. Seseorang jika semakin bertambah ma’rifatnya kepada Allah maka ia
akan sadar dan mengetahui bahwa dosa-dosanya banyak, dan banyak, dan sangat
banyak. Oleh karena tidaklah suatu hal yang mengherankan jika Nabi shalallahu
‘alaihi wasallam mewasiatkan kepada Abu Bakar –padahal ia adalah orang yang
terbaik dari umat ini dari para sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam - yang
selalu membenarkan (apa yang dikabarkan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi
wasallam-pen), yang Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam telah berkata tentangnya,
“Jika ditimbang iman Abu Bakar dibanding dengan iman umat maka akan lebih berat
iman Abu Bakar”, namun Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam mewasiatkannya untuk
berdo’a di akhir sholatnya, “Robku, sesungguhnya aku telah banyak mendzolimi
diriku dan tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali engkau maka ampunilah
aku dengan pengampunanMu”. Yang mewasiatkan adalah Nabi shalallahu ‘alaihi
wasallam dan yang diwasiatkan adalah Abu Bakar As-Shiddiq. Semakin bertambah
ma’rifat seorang hamba kepada Robnya maka ia akan takut kepada Allah, takut
kalau ada yang mengikutinya dari belakang, khawatir ia diagungkan diantara
manusia, khawatir diangkat-angkat diantara manusia, karena ia mengetahui
hak-hak Allah sehingga dia mengetahui bahwa ia tidak akan mungkin menunaikan
hak Allah, ia selalu kurang dalam bersyukur kepada Allah, dan ini merupakan
salah satu bentuk dosa.
Diantara manusia ada yang merupakan
qori’ Al-Qur’an dan tersohor karena keindahan suaranya, keindahan bacaannya,
maka orang-orangpun berkumpul di sekitarnya. Diantara manusia ada yang alim,
tersohor dengan ilmunya, dengan fatwa-fatwanya, dengan kesholehannya,
kewaro’annya, maka orang-orangpun berkumpul di sekelilingnya.
Diantara mereka ada yang menjadi
da’i yang terkenal dengan pengorbanannya dan perjuangannya dalam berdakwah maka
orang-orang pun berkumpul di sekelilingnya karena Allah telah memberi petunjuk
kepada mereka dengan perantaranya. Demikian juga ada yang terkenal dengan
sikapnya yang selalu menunaikan amanah, ada yang tersohor dengan sikapnya yang
menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar, dan demikianlah… Posisi terkenalnya
seseorang merupakan posisi yang sangat mudah menggelincirkan seseorang, oleh
karena itu Ibnu Mas’ud mewasiatkan kepada dirinya sendiri dengan menjelaskan
keadaan dirinya (yang penuh dengan dosa), dan menjelaskan apa yang wajib bagi
setiap orang yang memiliki pengikut…
Hendaknya setiap orang yang tersohor
(dengan kebaikan) atau termasuk orang yang terpandang untuk selalu merendahkan
dirinya diantara manusia dan menampakkan hal itu, bukan malah untuk semakin
naik derajatnya di hadapan manusia namun agar semakin terangkat derajatnya di
hadapan Allah, dan ini semua kembali kepada keikhlasan, karena diantara manusia
ada yang merendahkan dirinya di hadapan manusia namun agar tersohor dan ini
adalah termasuk (tipuan) syaitan. Dan diantara manusia ada yang merendahkan
dirinya di hadapan manusia dan Allah mengetahui hatinya bahwasanya ia benar
dengan sikapnya itu, ia takut pertemuan dengan Allah, ia takut hari di mana
dibalas apa-apa yang terdapat dalam dada-dada, hari di mana nampak apa yang ada
disimpan di hati-hati, tidak ada yang tersembunyi di hadapan Allah dan mereka
tidak bisa menyembunyikan pembicaraan mereka di hadapan Allah.
Ini adalah pelajaran yang berharga
bagi setiap yang dipanuti dan yang mengikuti. Adapun pengikut maka hendaknya ia
tahu bahwa orang yang diikutinya itu tidak boleh diagungkan, namun hanyalah
diambil faedah darinya berupa syari’at Allah atau faedah yang diambil oleh
masyarakat, karena yang diagungkan hanyalah Allah kemudian Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam. Adapun manusia yang lain maka jika mereka baik
maka bagi mereka rasa cinta pada diri kita. Dan hendaknya orang yang tersohor
untuk selalu takut, rendah, dan mengingat dosa-dosanya, mengingat bahwa ia akan
berdiri di hadapan Allah, ingat bahwasanya ia bukanlah orang yang berhak
diikuti oleh dua orang di belakangnya.
Oleh karena itu tatkala Abu Bakar
dipuji di hadapan manusia maka ia berkutbah setelah itu dan riwayat ini shahih
sebagaimana diriwayatkan oleh imam Ahmad dan yang lainnya ia berkata: “Ya
Allah jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka persangkakan dan
ampunkanlah apa-apa yang mereka tidak ketahui”, ia mengucapkan doa ini
dengan keras untuk mengingatkan manusia bahwasanya ia memiliki dosa sehingga
mereka tidak berlebih-lebihan kepadanya. Apakah hal ini sebagaimana yang kita
lihat pada kenyataan dimana orang yang diagungkan semakin menjadi-jadi agar
diagungkan dirinya??, orang yang mengagungkan juga semakin mengagungkan orang
yang diikutinya?? Ini bukanlah jalan para sahabat radhiallahu ‘anhum, Umar
terkadang ujub dengan dirinya -dan dia adalah seorang khalifah, orang kedua
yang dikabarkan dengan masuk surga setelah Abu Bakar-, maka ia pun memikul
suatu barang di tengah pasar untuk merendahkan dirinya hingga ia tidak merasa
dirinya besar.
Diantara kesalahan-kesalahan adalah
sifat ujub (takjub dengan diri sendiri), yaitu seseorang memandang dirinya waw
(hebat). Ada diantara salafus shalih yang jika hendak menyampaikan suatu
(mau’idzoh) dan jika ia melihat orang-orang berkumpul maka iapun meninggalkan
majelis tersebut, kenapa?, karena keselamatan jiwanya lebih utama dibandingkan
keselamatan jiwa orang lain, karena ia melihat ramainya orang yang telah
berkumpul dan ia menyadari bahwa dirinya mulai merasakan bahwa dirinya senang
karena kehadiran mereka, yang pada diam memperhatikannya, dan memperhatikannya,
maka iapun mengobati dirinya dengan meninggalkan mereka maka merekapun
membicarakannya akibat hal tersebut, Namun yang paling penting adalah
keselamatan jiwa dan hatinya dihadapan Allah. Dan keselamatan hatinya lebih
utama dibandingkan keselamatan hati orang lain…”)). (Dari ceramah Syaikh Sholeh
Alu Syaikh yang berjudul Waqofaat ma’a kalimaat li Ibni Mas’ud).
Riya itu samar
Sungguh benar sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya riya itu samar sehingga terkadang menimpa seseorang padahal ia menyangka bahwa ia telah melakukan yang sebaik-baiknya. Dikisahkan bahwasanya ada seseorang yang selalu sholat berjama’ah di shaf yang pertama, namun pada suatu hari ia terlambat sehingga sholat di saf yang kedua, ia pun merasa malu kepada jama’ah yang lain yang melihatnya sholat di shaf yang kedua. Maka tatkala itu ia sadar bahwasanya selama ini senangnya hatinya, tenangnya hatinya tatkala sholat di shaf yang pertama adalah karena pandangan manusia. (Tazkiyatun Nufus hal 15).
Sungguh benar sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya riya itu samar sehingga terkadang menimpa seseorang padahal ia menyangka bahwa ia telah melakukan yang sebaik-baiknya. Dikisahkan bahwasanya ada seseorang yang selalu sholat berjama’ah di shaf yang pertama, namun pada suatu hari ia terlambat sehingga sholat di saf yang kedua, ia pun merasa malu kepada jama’ah yang lain yang melihatnya sholat di shaf yang kedua. Maka tatkala itu ia sadar bahwasanya selama ini senangnya hatinya, tenangnya hatinya tatkala sholat di shaf yang pertama adalah karena pandangan manusia. (Tazkiyatun Nufus hal 15).
Berkata Abu ‘Abdillah Al-Anthoki,
“Fudhail bin ‘Iyadh bertemu dengan Sufyan Ats-Tsauri lalu mereka berdua saling
mengingat (Allah) maka luluhlah hati Sufyan atau ia menangis. Kemudian Sufyan
berkata kepada Fudhail, “Wahai Abu ‘Ali sesungguhnya aku sangat berharap
majelis (pertemuan) kita ini rahmat dan berkah bagi kita”, lalu Fudhail berkata
kepadanya, “Namun aku, wahai Abu Abdillah, takut jangan sampai majelis kita ini
adalah suatu mejelis yang mencelakakan kita “, Sufyan berkata, “Kenapa wahai
Abu Ali?”, Fudhail berkata, “Bukankah engkau telah memilih perkataanmu yang
terbaik lalu engkau menyampaikannya kepadaku, dan akupun telah memilih
perkataanku yang terbaik lalu aku sampaikan kepadamu, berarti engkau telah
berhias untuk aku dan aku pun telah berhias untukmu”, lalu Sufyan pun menangis
dengan lebih keras daripada tangisannya yang pertama dan berkata, “Engkau telah
menghidupkan aku semoga Allah menghidupkanmu”. (Tarikh Ad-Dimasyq 48/404).
Perhatikanlah wahai saudaraku…
sesungguhnya hanyalah orang-orang yang beruntung yang memperhatikan gerak-gerik
hatinya, yang selalu memperhatikan niatnya. Terlalu banyak orang yang lalai
dari hal ini kecuali yang diberi taufik oleh Allah. Orang-orang yang lalai akan
memandang kebaikan-kebaikan mereka pada hari kiamat menjadi
kejelekan-kejelekan, dan mereka itulah yang dimaksudkan oleh Allah dalam
firman-Nya.
“Dan (jelaslah) bagi mereka akibat
buruk dari apa yang telah mereka perbuat dan mereka diliputi oleh pembalasan
yang mereka dahulu selalu memperolok-olokkannya.” (QS. Az Zumar: 48).
“Yaitu orang-orang yang telah
sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa
mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al Kahfy: 104).
Maroji’:
- Fathul Bari, Ibnu Hajar Al-‘Asqolani, dar As-Salam,
Riyadh, cetakan pertama Tahun 2000 masehi
- Al-Minhaj syarh Sohih Muslim, Imam Nawawi, Dar
Al-Ma’rifah
- Jami Al-‘Ulum wa Al-Hikam, Ibnu Rojab, tahqiq
Al-Arnauth
- Sittu Duror min Ushuli Ahlil Atsar, Syaikh Abdul Malik
Romadhoni, maktabah Al-Asholah
- Tafsir Ibnu Katsir, tahqiq Al-Banna, dar Ibnu Hazm,
cetakan pertama
- Fawaid Al-Fawaid, Ibnul Qoyyim, tahqiq Syaikh Ali
Hasan, Dar Ibnul Jauzi
- Al-Ikhlash, Sulaiman Al-Asyqor, dar An-Nafais
- Silsilah Al-Ahadits As-Sohihah, Syaikh Al-Albani
- Aina Nahnu min Akhlak As-Salaf, Abdul Aziz bin Nasir
Al-Jalil, Dar Toibah
- Waqofaat ma’a kalimaat li Ibni Mas’ud, transkrip dari
ceramah Syaikh Sholeh Alu Syaikh
- Tazkiyatun Nufus, Ahmad Farid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar