Syaikh
Muhammad Shalih Al-Utsaimin ditanya:
Apakah
wanita boleh melakukan shalat dalam keadaan memakai kaos tangan tanpa ada
laki-laki yang bukan mahramnya hadir di sisinya?
Maka
beliau menjawab: Kaos tangan adalah pakaian tangan dan wanita haram memakainya
ketika ihram, karena Nabi -Shallallaahu 'alaihi wa sallam-
bersabda:
"Wanita yang ihram tidak memakai niqab (tutup muka) dan
tidak memakai kaos tangan."
Maka
wanita diharamkan memakai kaos tangan ini ketika dalam ihram. Tetapi ketika ia
tidak ihram atau shalat dan di sekitarnya tidak ada laki-laki yang bukan
mahramnya maka yang lebih utama dia melepaskannya dari tangannya supaya dia
dapat menyentuhkan langsung kedua tangannya di tempat shalat.
Sepantasnya pula ketika di sekitarnya adalah laki-laki agar
dia menutup wajahnya dari mereka, lalu ketika dia sujud hendaknya membuka
wajahnya karena seseorang sujud di atas sesuatu yang bersambung dengan dirinya
seperti pakaian dan kerudung wanita dimakruhkan kecuali karena ada hajat. Dalilnya adalah perkataan Anas bin Malik radhiyallahu
'anhu-:
"Kami shalat bersama Nabi Shallallaahu 'alaihi wa
sallam dalam kondisi sangat panas. Jika salah seorang dari kami tidak mampu
menempelkan dahinya di atas tanah, maka ia membentangkan pakaiannya lalu sujud
di atasnya."
Perkataan:
"Jika salah seorang dari kami tidak mampu menempelkan dahinya di atas
tanah", menunjukkan bahwa hal ini tidak dilakukan kecuali darurat.
(Sumber: edisi Indonesia: Wanita
Bertanya Ulama Menjawab (Kumpulan Fatwa tentang Wanita), hal. 157-158,
penyusun: Abu Malik Muhammad bin Hamid bin Abdul Wahhab, hal. 157-158,
penerjemah: Abu Najiyah Muhaimin, penerbit: Penerbit An Najiyah Surakarta)
Maka apa yang nampak darinya tidaklah daku halalkan
- Tidak menampakkan kulit tubuh yang ada di balik pakaian
- Bersih dari najis
- Bukan pakaian yang haram untuk dikenakan seperti sutera bagi laki-laki, atau pakaian yang melampaui/melebihi mata kaki bagi laki-laki (isbal).
- Pakaian tersebut tidak membuat bahaya bagi pemakainya. (Lihat pembahasan dan dalil-dalil masalah ini dalam Asy-Syarhul Mumti', 2/148-151)
3) Dira' adalah pakaian lebar/lapang yang menutupi sampai kedua telapak kaki, kata Asy-Syaikh Ibnu 'Utsaimin (Asy-Syarhul Mumti', 2/164).
4) Izar adalah milhafah (Al-Qamushul Muhith, hal. 309), makna milhafah sendiri diterangkan dalam Al-Qamush (hal. 767) adalah pakaian yang dikenakan di atas seluruh pakaian (sehingga menutup/menyelubung i seluruh tubuh seperti abaya dan jilbab. Lihat Asy-Syarhul Mumti', 2/164-165)
5) Isnadnya sahih, kata Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Tamamul Minnah, hal. 162)
6) Yakni satu pakaian yang menutupi seluruh tubuh sebenarnya sudah mencukupi namun disenangi bila ditambah lagi dengan pakaian-pakaian yang disebutkan.
7) Yakni satu pakaian yang menutupi seluruh tubuh sebenarnya sudah mencukupi namun disenangi bila ditambah lagi dengan pakaian-pakaian yang disebutkan.
Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al Atsariyyah
Pakaian
wanita saat mengerjakan shalat memiliki aturan tersendiri. Tiap wanita
hendaknya memperhatikan pakaiannya ketika shalat, tidak boleh seenaknya, meski
shalatnya dilakukan sendirian.
Di
masa jahiliyah, kata Ibnu 'Abbas, wanita biasa thawaf di Ka`bah dalam keadaan
tanpa busana. Yang tertutupi hanyalah bagian kemaluannya. Mereka thawaf seraya
bersyair:
Pada hari
ini tampak tubuhku sebagiannya atau pun seluruhnya
Maka
turunlah ayat:
"Wahai anak Adam kenakanlah zinah1 kalian setiap kali
menuju masjid". (Al-A`raf: 31)
[Shahih, HR. Muslim no. 3028]
Al-Imam
An-Nawawi rahimahullah berkata: "Dulunya orang-orang jahiliyah
thawaf di Ka`bah dalam keadaan telanjang. Mereka melemparkan pakaian mereka dan
membiarkannya tergeletak di atas tanah terinjak-injak oleh kaki orang-orang
yang lalu lalang. Mereka tidak lagi mengambil pakaian tersebut untuk selamanya,
hingga usang dan rusak. Demikian kebiasaan jahiliyah ini berlangsung hingga
datanglah Islam dan Allah memerintahkan mereka untuk menutup aurat sebagaimana
firman-Nya:
"Wahai anak Adam kenakanlah zinah kalian setiap kali
shalat di masjid". (Al-A`raf: 31)
Nabi
shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
"Tidak boleh orang yang telanjang thawaf di Ka`bah".
(Shahih, HR. Al-Bukhari
no. 1622 dan Muslim no. 1347) [Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi,
18/162-163]
Hadits
di atas selain disebutkan Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah pada nomor di atas, pada
kitab Al-Haj bab "Tidak boleh orang yang telanjang thawaf di Baitullah
dan tidak boleh orang musyrik melaksanakan haji", disinggung
pula oleh beliau dalam kitab Ash-Shalah, bab "Wajibnya
shalat dengan mengenakan pakaian." Al-Hafizh Ibnu Hajar
Al-Asqalani rahimahullah dalam syarahnya (penjelasan) terhadap hadits di
atas dalam kitab Ash-Shalah berkata: "Sisi pendalilan hadits ini
terhadap judul bab yang diberikan Al-Imam Al-Bukhari adalah bila dalam thawaf
dilarang telanjang maka pelarangan hal ini di dalam shalat lebih utama lagi
karena apa yang disyaratkan di dalam shalat sama dengan apa yang disyaratkan di
dalam thawaf bahkan dalam shalat ada tambahan. Jumhur berpendapat menutup aurat
termasuk syarat shalat". (Fathul Bari, 1/582)
Al-Imam
Asy-Syaukani rahimahullah berkata dalam tafsirnya: "Mereka
diperintah untuk mengenakan zinah ketika datang ke masjid untuk
melaksanakan shalat atau thawaf di Baitullah. Ayat ini dijadikan dalil untuk
menunjukkan wajibnya menutup aurat di dalam shalat. Demikian pendapat yang
dipegangi oleh jumhur ulama. Bahkan menutup aurat ini wajib dalam segala
keadaan sekalipun seseorang shalat sendirian sebagaimana ditunjukkan dalam
hadits-hadits yang shahih." (Fathul Qadir, 2/200).
Ada
perbedaan antara batasan aurat yang harus ditutup di dalam shalat dengan aurat
yang harus ditutup di hadapan seseorang yang tidak halal untuk melihatnya,
sebagaimana ada perbedaan yang jelas antara aurat laki-laki di dalam shalat
dengan aurat wanita.
Ibnu
Taimiyyah rahimahullah mengatakan: "Mengenakan pakaian di dalam
shalat adalah dalam rangka menunaikan hak Allah maka tidak boleh seseorang
shalat ataupun thawaf dalam keadaan telanjang, walaupun ia berada sendirian di
malam hari. Maka dengan ini diketahuilah bahwa mengenakan pakaian di dalam
shalat bukan karena ingin menutup tubuh (berhijab) dari pandangan manusia, karena
ada perbedaan antara pakaian yang dikenakan untuk berhijab dari pandangan
manusia dengan pakaian yang dikenakan ketika shalat". (Majmu` Fatawa,
22/113-114)
Perlu
diperhatikan di sini, menutup aurat di dalam shalat tidaklah cukup dengan
berpakaian ala kadarnya yang penting menutup aurat, tidak
peduli pakaian itu terkena najis, bau dan kotor misalnya. Namun perlu
memperhatikan sisi keindahan dan kebersihan, karena Allah subhanahu wa
ta'ala dalam firman-Nya memerintahkan untuk mengenakan zinah
(pakaian sebagai perhiasan) ketika shalat, sebagaimana dalam ayat di atas.
Sehingga sepantasnya seorang hamba shalat dengan mengenakan pakaiannya yang
paling bagus dan paling indah karena dia akan ber-munajat dengan Rabb
semesta alam dan berdiri di hadapan-Nya. Demikian secara makna dikatakan oleh
Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Al-Ikhtiyarat hal. 43, sebagaimana
dinukil dalam Asy-Syarhul Mumti' 'ala Zadil Mustaqni', 2/145.
Asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullah membawakan beberapa syarat
pakaian yang dikenakan dalam shalat. Ringkasnya adalah sebagai berikut:
Bagian Tubuh yang Harus Ditutup
Berkata
Al-Khaththabi rahimahullah: "Ulama berbeda pendapat tentang bagian
tubuh yang harus ditutup oleh wanita merdeka (bukan budak) dalam shalatnya.
Al-Imam Asy-Syafi`i dan Al-Auza`i berkata: 'Wanita menutupi seluruh badannya
ketika shalat kecuali wajahnya dan dua telapak tangannya.' Diriwayatkan hal ini
dari Ibnu Abbas dan 'Atha. Lain lagi yang dikatakan Abu Bakar bin Abdirrahman
bin Al-Harits bin Hisyam: 'Semua anggota tubuh wanita merupakan aurat sampaipun
kukunya.' Al-Imam Ahmad sejalan dengan pendapat ini, beliau menyatakan:
'Dituntunkan bagi wanita untuk melaksanakan shalat dalam keadaan tidak terlihat
sesuatupun dari anggota tubuhnya tidak terkecuali kukunya'." (Ma`alimus
Sunan, 2/343)2.
Sebenarnya
dalam permasalahan ini tidak ada dalil yang jelas yang bisa menjadi pegangan,
kata Asy-Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah. (Asy-Syarhul
Mumti`, 2/156). Oleh karena itu Ibnu Taimiyyah rahimahullah
berpendapat seluruh tubuh wanita merdeka itu aurat (di dalam shalatnya) kecuali
bagian tubuh yang biasa nampak darinya ketika di dalam rumahnya, yaitu wajah,
dua telapak tangan dan telapak kaki. (Majmu` Fatawa, 22/109-120)
Dengan
demikian ketika seorang wanita shalat sendirian atau di hadapan sesama wanita
atau di hadapan mahramnya dibolehkan baginya untuk membuka wajah, dua telapak
tangan dan dua telapak kakinya. (Jami' Ahkamin Nisa, 1/333-334). Walaupun yang lebih utama bila
ia menutup dua telapak kakinya. (Majmu' Fatawa wa Rasail Asy-Syaikh Ibnu 'Utsaimin).
Dan bila ada laki-laki yang bukan mahramnya maka ia menutup
seluruh tubuhnya termasuk wajah. (Asy-Syarhul
Mumti', 2/157). (bagi yang berpendapat wajibnya menutup wajah, red)
Pakaian Wanita di Dalam Shalat
Di
sekitar kita banyak kita jumpai wanita shalat dengan mengenakan mukena/rukuh
yang tipis transparan sehingga terlihat rambut panjangnya tergerai di balik
mukena. Belum lagi pakaian yang dikenakan di balik mukena, terlihat tipis,
tanpa lengan, pendek dan ketat menggambarkan lekuk-lekuk tubuhnya. Pakaian
seperti ini jelas tidak bisa dikatakan menutup aurat. Bila ada yang berdalih,
"Saya mengenakan pakaian shalat yang seperti itu hanya di dalam rumah,
sendirian di dalam kamar dan lampu saya padamkan!" Maka kita katakan
pakaian shalat seperti itu (mukena ditambah pakaian minim di baliknya) tidak
boleh dikenakan walaupun ketika shalat sendirian, tanpa ada seorang pun yang
melihat, karena pakaian demikian tidak mencukupi untuk menutup aurat sementara
wanita ketika shalat tidak boleh terlihat bagian tubuhnya kecuali wajah,
telapak tangan dan telapak kaki. (Lihat ucapan Ibnu Taimiyyah dalam Majmu` Fatawa
sebagaimana dinukilkan di atas).
Terlebih
lagi pelarangannya bahkan pengharamannya bila pakaian seperti ini dipakai
keluar rumah untuk shalat di masjid atau di hadapan laki-laki yang bukan
mahram.
Bila
demikian, bagaimana sebenarnya pakaian yang boleh dikenakan oleh wanita di
dalam shalatnya?
Permasalahan
pakaian wanita di dalam shalat ini datang penyebutannya dalam beberapa hadits
yang marfu'
namun kedudukan hadits-hadits tersebut diperbincangkan oleh ulama, seperti
hadits Aisyah radhiyallahu 'anha:
"Allah tidak menerima shalat wanita yang telah haidh
(baligh) kecuali bila ia mengenakan kerudung (dalam shalatnya)". (HR. Abu Dawud no. 641 dan
selainnya)
Hadits
ini kata Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam At-Talkhisul
Habir (2/460) dianggap cacat oleh Ad-Daraquthni karena mauquf-nya
(hadits yang berhenti hanya sampai shahabat)), sedangkan Al-Hakim menganggapnya
mursal (hadits yang terputus antara tabi'in dan Rasulullah).
Ummu
Salamah radhiyallahu 'anha pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam: "Apakah wanita boleh shalat dengan mengenakan
dira`3 dan kerudung tanpa izar4?"
Rasulullah
shallallahu
'alaihi wa sallam menjawab:
"(Boleh), apabila dira`nya itu luas/lapang hingga
menutupi punggung kedua telapak kakinya". (HR. Abu Dawud no. 640)
Hadits
Ummu Salamah ini tidak shahih sanadnya baik secara marfu' maupun mauquf
karena hadits ini berporos pada Ummu Muhammad bin Zaid, sementara dia rawi yang
majhul
(tidak dikenal). Demikian diterangkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Tamamul Minnah,
hal. 161.
Walaupun
demikian, ada riwayat-riwayat yang shahih dari para shahabat dalam pemasalahan
ini sebagaimana akan kita baca berikut ini.
Abdurrazzaq
Ash-Shan'ani rahimahullah meriwayatkan dari jalan Ummul Hasan, ia
berkata: "Aku melihat Ummu Salamah istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
shalat dengan mengenakan dira' dan kerudung." (Al-Mushannaf,
3/128)5.
Ubaidullah
Al-Khaulani, anak asuh Maimunah radhiyallahu 'anha mengabarkan bahwa
Maimunah shalat dengan memakai dira` dan kerudung tanpa izar.
(Diriwayatkan oleh Al-Imam Malik dalam Al-Muwaththa' dan Ibnu Abi Syaibah
dalam Al-Mushannaf)6
Masih
ada atsar lain dalam permasalahan ini yang kesemuanya menunjukkan shalatnya
wanita dengan mengenakan dira' dan kerudung adalah perkara yang
biasa dan dikenal di kalangan para shahabat, dan ini merupakan pakaian yang
mencukupi bagi wanita untuk menutupi auratnya di dalam shalat.
Bila
wanita itu ingin lebih sempurna dalam berpakaian ketika shalat maka ia
menambahkan izar atau jilbab pada dira' dan
kerudungnya. Dan ini yang lebih sempurna dan lebih utama, kata Asy-Syaikh
Al-Albani rahimahullah. Dengan dalil riwayat dari Umar ibnul Khaththab
radhiyallahu
'anhu, ia berkata: "Wanita shalat dengan mengenakan tiga
pakaian yaitu dira', kerudung dan izar. (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dengan
isnad yang shahih, lihat Tamamul Minnah, hal. 162).
Jumhur
ulama sepakat, pakaian yang mencukupi bagi wanita dalam shalatnya adalah dira'
dan kerudung. (Bidayatul Mujtahid, hal. 100).
Ibnu
Qudamah rahimahullah mengatakan: "Disenangi bagi wanita untuk
shalat mengenakan dira` yaitu pakaian yang sama dengan gamis
hanya saja dira` ini lebar dan panjang menutupi sampai kedua telapak
kaki, kemudian mengenakan kerudung yang menutupi kepala dan lehernya,
dilengkapi dengan jilbab yang diselimutkan ke tubuhnya di atas dira`.
Demikian yang diriwayatkan dari 'Umar, putra beliau (Ibnu 'Umar), 'Aisyah,
Ubaidah As-Salmani dan 'Atha. Dan ini merupakan pendapatnya Al-Imam Asy-Syafi`i
rahimahullah,
beliau berkata: "Kebanyakan ulama bersepakat untuk pemakaian dira`
dan kerudung, bila menambahkan pakaian lain maka itu lebih baik dan lebih
menutup." (Al-Mughni, 1/351)
Ibnu
Taimiyyah rahimahullah berkata: "Disenangi bagi wanita untuk
shalat dengan mengenakan tiga pakaian, dira`, kerudung dan jilbab yang
digunakan untuk menyelubungi tubuhnya atau kain sarung di bawah dira`
atau sirwal
(celana panjang yang sangat lapang dan lebar) karena lebih utama daripada
sarung. Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata: 'Wanita shalat dengan mengenakan
dira`, kerudung dan milhafah.' 'Aisyah radhiyallahu 'anha
pernah shalat dengan mengenakan kerudung, izar dan dira`, ia
memanjangkan izar-nya untuk berselubung dengannya. Ia pernah berkata: 'Wanita yang
shalat harus mengenakan tiga pakaian bila ia mendapatkannya yaitu kerudung,
izar dan dira`.' (Syarhul 'Umdah, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah, 4/322)
Bolehkah Shalat dengan Satu Pakaian?
Di
dalam shalat, wanita dituntunkan untuk menutup seluruh tubuhnya kecuali bagian
yang boleh terlihat, walaupun ia hanya mengenakan satu pakaian yang menutupi
kepala, dua telapak tangan, dua telapak kaki dan seluruh tubuhnya kecuali
wajah. Seandainya ia berselimut dengan satu kain sehingga seluruh tubuhnya
tertutupi kecuali muka, dua telapak tangan dan telapak kakinya maka ini
mencukupi baginya menurut pendapat yang mengatakan dua telapak tangan dan
telapak kaki tidak termasuk bagian tubuh yang wajib ditutup. (Asy-Syarhul
Mumti', 2/165)
Berkata
Ikrimah: "Seandainya seorang wanita shalat dengan menutupi tubuhnya dengan
satu pakaian/kain maka hal itu dibolehkan." (Shahih
Al-Bukhari, kitab Ash-Shalah bab Berapa pakaian
yang boleh dikenakan wanita ketika shalat).
Al-Hafizh
Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah menyatakan: "Ibnul
Mundzir setelah menghikayatkan pendapat jumhur bahwa wajib bagi wanita untuk
shalat memakai dira` dan kerudung, beliau berkata: 'Yang diinginkan dengan
pendapat tersebut adalah ketika shalat seorang wanita harus menutupi tubuh dan
kepalanya. Seandainya pakaian yang dikenakan itu lapang/lebar lalu ia menutupi
kepalanya dengan sisa/kelebihan pakaiannya maka hal itu dibolehkan.' Ibnul
Mundzir juga berkata: 'Apa yang kami riwayatkan dari Atha' bahwasanya ia
berkata: 'Wanita shalat dengan mengenakan dira`, kerudung dan izar',
demikian pula riwayat yang semisalnya dari Ibnu Sirin dengan tambahan milhafah,
maka aku menyangka hal ini dibawa pemahamannya kepada istihbab7."
(Fathul
Bari, 1/602-603)
Mujahid
dan 'Atha pernah ditanya tentang wanita yang memasuki waktu shalat sementara ia
tidak memiliki kecuali satu baju, lalu apa yang harus dilakukannya? Mereka
menjawab: "Ia berselimut dengannya." Demikian pula yang dikatakan
Muhammad bin Sirin. (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 2/226)
Demikian
apa yang dapat kami nukilkan dalam permasalahan ini untuk pembaca. Semoga
memberi manfaat.
Wallahu ta'ala a'lam bish shawab.
Footnote:
1) Zinah
adalah sesuatu yang dikenakan untuk berhias/memperindah diri, (Mukhtarush
Shihah, hal. 139), seperti pakaian.
(Sumber:
Majalah Asy Syariah, Vol. I/No. 05/Agustus 2003/Jumadil Akhir 1424H, kategori:
Wanita dalam Sorotan, hal. 70-74. Dicopy dari http://www.asysyari
ah.com/print. php?id_online= 121)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar