“Dan apabila aku sakit, maka
Dialah (Allah) yang menyembuhkan aku”.{AsSyu’ara:80}
Akhir-akhir ini banyak kita temui
berbagai terapi penyembuhan dengan tawaran yang terkadang dibalut dengan
bungkus agama, bahkan ada yang pakai jaminan halal segala dengan mencantumkan
komentar para pasien lintas kalangan yang diduga mengalami kesembuhan.
Tujuannya tidak lain untuk menarik minat orang banyak, supaya ikut berobat dan
ia sendiri mendapat bonus bisnis MLM.
Mencari kesembuhan adalah
perintah agama. Islam mengajarkan, bahwa kalau kita sakit, maka diperintahkan
untuk berobat. Berobatnya harus dengan benda yang halal, cara-cara yang
dibenarkan, pakai obat yang tepat, sabar menjalani proses penyembuhan, sesuai
anjuran. Dan yang lebih penting lagi kepada sapa kita berobat dan dengan
perantaraan apa kita mencari kesembuhan.
Fatwa lajnah Da’imah, KSA dalam
Fatwa Ulama Al-Balad Al-Haram mengharamkan terapi pengobatan klenik, meskipun
pada kenyataanya menyembuhkan. Karena kesembuhan lewat jalan klenik hakekatnya
adalah istidraj (laknat secara pelan-pelan).
Hukum berobat pakai kalung /
gelang. Hukum berobat dengan sesuatu yang dikalungkan, baik di leher (kalung)
maupun di kaki (gelang) diperselisihkan statusnya hukumnya oleh para
ulama. Sebagian ada yang mentolerir, artinya
boleh bersyarat, sebagian besar lagi menyatakan tidak boleh sesuai prinsip
mencegah pintu kemusyrikan (syaddu zari’ah).
Boleh bersyariat, jika
kalung/gelang tadi tidak mengandung unsur-unsur syirik yang bisa menggeser
ketawakkalan seseorang, sehingga lebih bergantung kepada kalung/gelang dari
pada bergantung/bertawakkal kepada Allah Subhanallahu wata'ala sehingga hukum
kebolehan ini, dipandang sebagai rukhshah (pengecualian) bukan jaiz atau
pembolehan secara terbuka/normal, melainkan terbatas pada penyakitnya tertentu,
bukan penyakit secara umum. (Imam Al-Khatabi, Ma’alimus Sunan, 4/226).
Berangkat dari pertimbangan
syaddu zari’ah, Fatawa Lajnah Da’imah memilih keputusan tidak boleh, karena
mengarah kepada kesyirikan, sedang pintu syirik harus ditutup. (Fatawa no.
5318)
Dulunnya kalung/gelang digunakan
sebagai obat/penyembuhan lewat bacaan, karena memang teknologinya belum memadai
seperti saat sekarang ini. Bacaan-bacaan ini ada yang ditulis, ada pula yang
dibaca dalam bentuk rajah atau jimat secara umum. Hari ini, kalung/gelang itu
memakai cara-cara modern. Tapi tujuannya tetap sama, yaitu melindungi (jika
belum sakit) atau mengobati jika sudah kena penyakit.
Kedua pola ini dipertemukan oleh
niat dan keyakinan. Keyakinan untuk sembuh dari sisi pasien dan keyakinan dapat
menyembuhkan dari sisi kalung/gelang. Dalam prinsip pengobatan, sakit dan
sembuh harus digantungkan/dikembalikan sepenuhnya kepada zat yang menurukan
penyakit dan menurunkan obat, yaitu Allah Jalla Jalaluh. “Dan apabila aku
sakit, maka Dialah (Allah) yang menyembuhkanku.” (AsSyu’ara: 80). “Allah telah
menurunkan penyakit dan obat, dan menjadikan bagi setiap penyakit itu ada
obatnya. Karena itu, berobatlah kalian. Jangan berobat dengan yang diharamkan.”
(HR. Abu Dawud dan Thabarani Shahihul Jami’ no. 1762).
Berpegang pada prinsip
tauhidullah ini, maka mencari pengobatan di luar prinsip tauhid atau menjerumus
pada syirik dan praktek klenik, dilarang berdasarkan ijma’. Meskipun ada orang
yang berhelah, bahwa ini sekedar perantara, penentu kesembuhannya tetap kita
serahkan kepada Allah. Alasan ini tidak benar karena menyingkirkan aspek cara
dan hanya mengindahkan aspek niat. Padahal niat yang ikhlas, tidak dibenarkan
memakai cara-cara yang diharamkan (an-niyyatu shalihah la tubarriru’l haram).
Fatwa Syeikh
Abdul Aziz bin Abdullah bin Bazz
Yang mulia Fadhilatus Syeikh bin
Bazz, ketika ditanya hukum memakai gelang kuningan untuk pengobatan. Syeikh bin
Bazz menjawab: “Suratmu telah sampai kepadaku -semoga Allah memberikan
ridha-Nya kepadamu- dan aku telah mendalami banyaknya brosur-brosur iklan
gelang kuningan yang muncul akhir-akhir ini untuk mengatasi penyakit reumatik.
Aku beritahukan kepadamu bahwa aku telah banyak mempelajari masalah ini.
Aku sudah berkonsultasi mengenai
hal ini kepada sejumlah guru besar dan dosen universitas, kami sudah bertukar
pikiran mengenai hukumnya. Ternyata ada perbedaan pendapat. Sebagian dari
mereka berpendapat tentang kebolehannya, karena mengandung berbagai
keistimewaan untuk menolak penyakit reumatik. Sebagian lainnya berpendapat
tidak boleh, karena menggantungkannya menyerupai apa yang dilakukan oleh
masyarakat Jahiliah. Yaitu kebiasaan mereka menggantung wada’, tamimah, gelang
dan gantungan-gantungan lainnya yang biasa meraka lakukan, serta menyakini
bahwa itu dapat menyembuhkan penyakit. Memakai gelang / kalung menurut mereka
merupakan salah satu faktor keselamatan orang yang memakainya dari penyakit
‘ain. Diantaranya apa yang diriwayatkan dari Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu,
ia mengatakan,”Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,”barang siapa
menggantung tamimah, semoga Allah tidak mengabulkan keinginannya dan
barangsiapa menggantung wada’ah, semoga Allah tidak menentramkannya” (HR. Ahmad
dalam Al-Musnad no. 16951).
Dalam suatu riwayat. “Barangsiapa
menggantung tamimah, maka ia telah syirik”(HR. Ahmad dalam Musnad no. 16969)
Dari Imran bin Husain radhiyallhu
‘anhuma, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat sesorang di tangannya
terdapat gelang terbuat dari kuningan, lalu beliau bertanya. “Apakah ini?” Ia
menjawab, “Gelang pencegah kelemahan”. Beliau bersabda: “Lepaskan gelang itu,
karena ia tidak menambah kepadamu kecuali kelemahan. Sebab, sekiranya kamu mati
sementara gelang itu masih ada padamu, maka kamu tidak bahagia selamanya.”(HR.
Ibnu Majah, no. 3531, kitab AthThib dan Ahmad dalam Al-Musnad no. 19495
dihasankan oleh Al-Bushari dalam Az-Zawa’id).
Dalam hadist lainnya dari Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam suatu perjalanannya, beliau mengutus
seorang utusan untuk memeriksa unta tunggangan dan memutus semua yang
digantungkan padanya berupa kalung autar.(HR. Bukhori, no.3005, kitab
Al-Jihad). Kalung ini diyakini masyarakat jahiliyah bisa bermanfaat bagi unta
mereka dan bisa berfungsi sebagai perlindungan dari penyakit. Hadits-hadits ini
dan sejenisnya, bisa diambil kesimpulan, bahwa tidak boleh menggantungkan
sesuatu dari tamimah, wada’,gelang, autar dan sejenisnya untuk menolak atau
menghilangkan bala.
Menurut pendapatku tentang
masalah ini ialah lebih baik meninggalkan gelang-gelang tersebut dan tidak
memakainya untuk menutup pintu kesyirikan, menutup unsur fitnah dan
kecenderungan serta ketergantungan jiwa kepadanya. Cukuplah bagi orang mukmin
untuk mengarahkan hatinya kepada Allah Ta’ala semata dengan keyakinan penuh,
sandaran tawakal dan merasa cukup dengan sebab-sebab syar’I yang diketahui
kebolehannya secara pasti. Apa yang dibolehkan dan dimudahkan oleh Allah untuk
hamba-hambaNya tidak perlu terhadap apa yang diharamkan atas mereka, apalagi
jika belum jelas duduk perkaranya.
Diriwayatkan secara sah dari Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: “Barangsiapa menjaga diri
dari syubhat, maka ia telah melindungi agamanya dan kehormatannya dan barang
siapa terjerumus dalam syubhat, maka ia jatuh dalam keharaman. Seperti penggembala
yang menggembala di sekitar tempat terlarang maka nyaris ia akan masuk
kedalamnya”(HR. Bukhari no.52, kitab Al-Iman dan Muslim no. 1599, kitab
Al-Musaqah)
Dan beliau bersabda:”Tinggalkan
apa yang meragukanmu”(HR. At-Tirmidzi no. 2518, kitab Shifah Al-Qiyamah dan
An-Nasa’I no. 5711 kitab Al-Asyribah dan Tirmidzi menilainya sebagai hadist
hasan shahih).
Tidak diragukan lagi bahwa
menggantungkn gelang-gelang tersebut menyerupai perbuatan kaum jahiliyah tempo
dulu. Jadi, ini dua kemungkinan, termasuk perkara yang diharamkan lagi syirik
atau salah satu sarananya. Minimal, ini termasuk perkara yang syubhat. Dan yang
utama bagi setiap muslim dan yang paling berhati-hati ialah menjauhkan dirinya
dari perbuatan tersebut dan merasa cukup dengan pengobatan yang jelas
kebolehannya, yang jauh dari syubhat. Inilah yang tampak jelas bagiku serta
segolongan ulama dan guru-guru besar di universitas.
[sumber:
Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, Ibnu Bazz, hal.211-212]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar