Ketika iman bersemi dalam hati sesuai tuntunan syariat, niscaya hati ini rindu terbang ke jannah dan takut siksa neraka

Selasa, 20 Maret 2012

Mencari Kesembuhan dengan Memakai Gelang dan Kalung


“Dan apabila aku sakit, maka Dialah (Allah) yang menyembuhkan aku”.{AsSyu’ara:80}
Akhir-akhir ini banyak kita temui berbagai terapi penyembuhan dengan tawaran yang terkadang dibalut dengan bungkus agama, bahkan ada yang pakai jaminan halal segala dengan mencantumkan komentar para pasien lintas kalangan yang diduga mengalami kesembuhan. Tujuannya tidak lain untuk menarik minat orang banyak, supaya ikut berobat dan ia sendiri mendapat bonus bisnis MLM.

Mencari kesembuhan adalah perintah agama. Islam mengajarkan, bahwa kalau kita sakit, maka diperintahkan untuk berobat. Berobatnya harus dengan benda yang halal, cara-cara yang dibenarkan, pakai obat yang tepat, sabar menjalani proses penyembuhan, sesuai anjuran. Dan yang lebih penting lagi kepada sapa kita berobat dan dengan perantaraan apa kita mencari kesembuhan.
Fatwa lajnah Da’imah, KSA dalam Fatwa Ulama Al-Balad Al-Haram mengharamkan terapi pengobatan klenik, meskipun pada kenyataanya menyembuhkan. Karena kesembuhan lewat jalan klenik hakekatnya adalah istidraj (laknat secara pelan-pelan).
Hukum berobat pakai kalung / gelang. Hukum berobat dengan sesuatu yang dikalungkan, baik di leher (kalung) maupun di kaki (gelang) diperselisihkan statusnya hukumnya oleh para ulama.  Sebagian ada yang mentolerir, artinya boleh bersyarat, sebagian besar lagi menyatakan tidak boleh sesuai prinsip mencegah pintu kemusyrikan (syaddu zari’ah).
Boleh bersyariat, jika kalung/gelang tadi tidak mengandung unsur-unsur syirik yang bisa menggeser ketawakkalan seseorang, sehingga lebih bergantung kepada kalung/gelang dari pada bergantung/bertawakkal kepada Allah Subhanallahu wata'ala sehingga hukum kebolehan ini, dipandang sebagai rukhshah (pengecualian) bukan jaiz atau pembolehan secara terbuka/normal, melainkan terbatas pada penyakitnya tertentu, bukan penyakit secara umum. (Imam Al-Khatabi, Ma’alimus Sunan, 4/226).
Berangkat dari pertimbangan syaddu zari’ah, Fatawa Lajnah Da’imah memilih keputusan tidak boleh, karena mengarah kepada kesyirikan, sedang pintu syirik harus ditutup. (Fatawa no. 5318)
Dulunnya kalung/gelang digunakan sebagai obat/penyembuhan lewat bacaan, karena memang teknologinya belum memadai seperti saat sekarang ini. Bacaan-bacaan ini ada yang ditulis, ada pula yang dibaca dalam bentuk rajah atau jimat secara umum. Hari ini, kalung/gelang itu memakai cara-cara modern. Tapi tujuannya tetap sama, yaitu melindungi (jika belum sakit) atau mengobati jika sudah kena penyakit.
Kedua pola ini dipertemukan oleh niat dan keyakinan. Keyakinan untuk sembuh dari sisi pasien dan keyakinan dapat menyembuhkan dari sisi kalung/gelang. Dalam prinsip pengobatan, sakit dan sembuh harus digantungkan/dikembalikan sepenuhnya kepada zat yang menurukan penyakit dan menurunkan obat, yaitu Allah Jalla Jalaluh. “Dan apabila aku sakit, maka Dialah (Allah) yang menyembuhkanku.” (AsSyu’ara: 80). “Allah telah menurunkan penyakit dan obat, dan menjadikan bagi setiap penyakit itu ada obatnya. Karena itu, berobatlah kalian. Jangan berobat dengan yang diharamkan.” (HR. Abu Dawud dan Thabarani Shahihul Jami’ no. 1762).
Berpegang pada prinsip tauhidullah ini, maka mencari pengobatan di luar prinsip tauhid atau menjerumus pada syirik dan praktek klenik, dilarang berdasarkan ijma’. Meskipun ada orang yang berhelah, bahwa ini sekedar perantara, penentu kesembuhannya tetap kita serahkan kepada Allah. Alasan ini tidak benar karena menyingkirkan aspek cara dan hanya mengindahkan aspek niat. Padahal niat yang ikhlas, tidak dibenarkan memakai cara-cara yang diharamkan (an-niyyatu shalihah la tubarriru’l haram).
Fatwa Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Bazz
Yang mulia Fadhilatus Syeikh bin Bazz, ketika ditanya hukum memakai gelang kuningan untuk pengobatan. Syeikh bin Bazz menjawab: “Suratmu telah sampai kepadaku -semoga Allah memberikan ridha-Nya kepadamu- dan aku telah mendalami banyaknya brosur-brosur iklan gelang kuningan yang muncul akhir-akhir ini untuk mengatasi penyakit reumatik. Aku beritahukan kepadamu bahwa aku telah banyak mempelajari masalah ini.
Aku sudah berkonsultasi mengenai hal ini kepada sejumlah guru besar dan dosen universitas, kami sudah bertukar pikiran mengenai hukumnya. Ternyata ada perbedaan pendapat. Sebagian dari mereka berpendapat tentang kebolehannya, karena mengandung berbagai keistimewaan untuk menolak penyakit reumatik. Sebagian lainnya berpendapat tidak boleh, karena menggantungkannya menyerupai apa yang dilakukan oleh masyarakat Jahiliah. Yaitu kebiasaan mereka menggantung wada’, tamimah, gelang dan gantungan-gantungan lainnya yang biasa meraka lakukan, serta menyakini bahwa itu dapat menyembuhkan penyakit. Memakai gelang / kalung menurut mereka merupakan salah satu faktor keselamatan orang yang memakainya dari penyakit ‘ain. Diantaranya apa yang diriwayatkan dari Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan,”Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,”barang siapa menggantung tamimah, semoga Allah tidak mengabulkan keinginannya dan barangsiapa menggantung wada’ah, semoga Allah tidak menentramkannya” (HR. Ahmad dalam Al-Musnad no. 16951).
Dalam suatu riwayat. “Barangsiapa menggantung tamimah, maka ia telah syirik”(HR. Ahmad dalam Musnad no. 16969)
Dari Imran bin Husain radhiyallhu ‘anhuma, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat sesorang di tangannya terdapat gelang terbuat dari kuningan, lalu beliau bertanya. “Apakah ini?” Ia menjawab, “Gelang pencegah kelemahan”. Beliau bersabda: “Lepaskan gelang itu, karena ia tidak menambah kepadamu kecuali kelemahan. Sebab, sekiranya kamu mati sementara gelang itu masih ada padamu, maka kamu tidak bahagia selamanya.”(HR. Ibnu Majah, no. 3531, kitab AthThib dan Ahmad dalam Al-Musnad no. 19495 dihasankan oleh Al-Bushari dalam Az-Zawa’id).
Dalam hadist lainnya dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam suatu perjalanannya, beliau mengutus seorang utusan untuk memeriksa unta tunggangan dan memutus semua yang digantungkan padanya berupa kalung autar.(HR. Bukhori, no.3005, kitab Al-Jihad). Kalung ini diyakini masyarakat jahiliyah bisa bermanfaat bagi unta mereka dan bisa berfungsi sebagai perlindungan dari penyakit. Hadits-hadits ini dan sejenisnya, bisa diambil kesimpulan, bahwa tidak boleh menggantungkan sesuatu dari tamimah, wada’,gelang, autar dan sejenisnya untuk menolak atau menghilangkan bala.
Menurut pendapatku tentang masalah ini ialah lebih baik meninggalkan gelang-gelang tersebut dan tidak memakainya untuk menutup pintu kesyirikan, menutup unsur fitnah dan kecenderungan serta ketergantungan jiwa kepadanya. Cukuplah bagi orang mukmin untuk mengarahkan hatinya kepada Allah Ta’ala semata dengan keyakinan penuh, sandaran tawakal dan merasa cukup dengan sebab-sebab syar’I yang diketahui kebolehannya secara pasti. Apa yang dibolehkan dan dimudahkan oleh Allah untuk hamba-hambaNya tidak perlu terhadap apa yang diharamkan atas mereka, apalagi jika belum jelas duduk perkaranya.
Diriwayatkan secara sah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: “Barangsiapa menjaga diri dari syubhat, maka ia telah melindungi agamanya dan kehormatannya dan barang siapa terjerumus dalam syubhat, maka ia jatuh dalam keharaman. Seperti penggembala yang menggembala di sekitar tempat terlarang maka nyaris ia akan masuk kedalamnya”(HR. Bukhari no.52, kitab Al-Iman dan Muslim no. 1599, kitab Al-Musaqah)
Dan beliau bersabda:”Tinggalkan apa yang meragukanmu”(HR. At-Tirmidzi no. 2518, kitab Shifah Al-Qiyamah dan An-Nasa’I no. 5711 kitab Al-Asyribah dan Tirmidzi menilainya sebagai hadist hasan shahih).
Tidak diragukan lagi bahwa menggantungkn gelang-gelang tersebut menyerupai perbuatan kaum jahiliyah tempo dulu. Jadi, ini dua kemungkinan, termasuk perkara yang diharamkan lagi syirik atau salah satu sarananya. Minimal, ini termasuk perkara yang syubhat. Dan yang utama bagi setiap muslim dan yang paling berhati-hati ialah menjauhkan dirinya dari perbuatan tersebut dan merasa cukup dengan pengobatan yang jelas kebolehannya, yang jauh dari syubhat. Inilah yang tampak jelas bagiku serta segolongan ulama dan guru-guru besar di universitas.
[sumber: Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, Ibnu Bazz, hal.211-212]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar