Banyak tradisi berkembang di
masyarakat yang mengiringi orang yang hendak menunaikan ibadah haji.
Sebagai ibadah yang membutuhkan pengorbanan besar, seyogyanya kita
jangan sampai melakukan amalan yang bisa merusak ibadah haji ini. Yang
pasti, ibadah haji harus dilakukan di atas niat yang tulus yaitu untuk
mengharap balasan dari Allah Subhanahu wa
Ta’ala semata dan dijalankan
di atas tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Rambu-rambu Penting dalam Beribadah
Manusia adalah satu-satunya makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala yang
menyatakan diri siap memikul “amanat berat” yang tidak dimampui oleh
makhluk-makhluk besar seperti langit, bumi, dan gunung-gunung. Padahal
makhluk yang bernama manusia ini berjati diri zhalum (amat dzalim) dan
jahul (amat bodoh). Amanat itu adalah menjalankan segala apa yang Allah
Subhanahu wa Ta’ala perintahkan dan menjauhi segala apa yang Allah
Subhanahu wa Ta’ala haramkan (beribadah kepada-Nya). Sebagaimana dalam
firman-Nya:
إِِنَّا عَرَضْنَا اْلأََمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ
وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا
وَحَمَلَهَا اْلإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُوْمًا جَهُوْلاً
“Sesungguhnya Kami telah tawarkan amanat kepada langit, bumi, dan
gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu karena
khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh.” (Al-Ahzab: 72)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata: “Allah
Subhanahu wa Ta’ala mengangkat permasalahan amanat yang Dia amanatkan
kepada para mukallafiin. Yaitu amanat menjalankan segala yang
diperintahkan dan menjauhi segala yang diharamkan, baik dalam keadaan
tampak maupun tidak. Dia tawarkan amanat itu kepada makhluk-makhluk
besar; langit, bumi dan gunung-gunung sebagai tawaran pilihan bukan
keharusan, ‘Bila engkau menjalankan dan melaksanakannya niscaya bagimu
pahala, dan bila tidak, niscaya kamu akan dihukum’. Maka makhluk-makhluk
itu pun enggan untuk memikulnya karena khawatir akan mengkhianatinya,
bukan karena menentang Rabb mereka dan bukan pula karena tidak butuh
akan pahala-Nya. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menawarkannya kepada
manusia, maka ia pun siap menerima amanat itu dan memikulnya dengan
segala kedzaliman dan kebodohan yang melekat pada dirinya. Maka amanat
berat itu pun akhirnya berada di pundaknya.” (Taisirul Karimir Rahman,
hal. 620)
Allah Subhanahu wa Ta’ala Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Yang
Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana, tidaklah membiarkan manusia mengarungi
kehidupannya dengan memikul amanat berat tanpa bimbingan Ilahi. Maka Dia
pun mengutus para Rasul sebagai pembimbing mereka dan menurunkan Kitab
Suci agar berpegang teguh dengannya serta mengambil petunjuk darinya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ اْلكِتَابَ وَالْمِيْزَانَ لِيَقُوْمَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ
“Sungguh Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa
bukti-bukti yang nyata, dan Kami turunkan bersama mereka Kitab Suci dan
neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.”
(Al-Hadid: 25)
Maka dari itu, jalan untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
amatlah jelas dan terang, termasuk ibadah haji. Karena semuanya telah
tercakup dalam Al-Qur`an dan Sunnah Nabi shallallah ‘alaihi wa sallam.
Adapun rambu-rambu penting dalam beribadah yang dikandung Al-Qur`an dan
Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut, semuanya bermuara
pada dua perkara penting:
1. Mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala semata.
2. Mengikuti tuntunan dan jejak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dua perkara tersebut merupakan pangkal kesuksesan dalam kehidupan di dunia dan juga di akhirat.
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Barangsiapa yang
memerhatikan kondisi alam ini, niscaya ia akan mengetahui bahwasanya
sebab dari semua kebaikan yang ada di muka bumi ini adalah beribadah
hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata (tauhidullah) dan taat
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan sebab dari
kerusakan, fitnah, bala`, paceklik, dan kekalahan dari musuh adalah
menyelisihi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyeru kepada
selain jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.” (Bada`i’ul
Fawa`id, 3/17)
Bahkan keduanya merupakan barometer, apakah sebuah ibadah yang dilakukan
seseorang diterima di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala ataukah ditolak.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin berkata: “Sebuah ibadah
tidak bisa untuk bertaqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahkan
tidak diterima oleh-Nya kecuali dengan dua syarat:
1. Ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan mempersembahkan
ibadah tersebut semata-mata mengharap wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala
dan kebahagian di negeri akhirat, tanpa ada niatan mengharap pujian dan
sanjungan manusia.
2. Mengikuti (tuntunan) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
beribadah, baik dalam hal ucapan atau pun perbuatan. Mengikuti
(tuntunan) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mungkin
terealisasi dengan baik kecuali dengan mengetahui Sunnah (ajaran) Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, siapapun yang
berkeinginan untuk mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka dia
harus mempelajari Sunnah (ajaran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tersebut dari para ulama yang mumpuni. Bisa dengan berkoresponden
ataupun dengan berkomunikasi secara langsung. Dan merupakan kewajiban
bagi para ulama, sang pewaris Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, untuk
menerapkan (terlebih dahulu, pen.) Sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam ibadah, akhlak, dan muamalah mereka. Kemudian berupaya
untuk menyampaikan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut
kepada umat agar kehidupan mereka terwarnai dengan warisan beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam baik dalam bentuk ilmu, amal perbuatan,
dan dakwah. Sehingga mereka termasuk orang-orang sukses yang beriman
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, beramal shalih, dan saling berwasiat
dengan kebenaran dan kesabaran.” (Al-Manhaj Limuridil ‘Umrah wal Hajj)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu berkata: “Jika
kebahagiaan umat terdahulu dan yang akan datang dikarenakan mengikuti
jejak para Rasul, maka dapatlah diketahui bahwa orang yang paling
berbahagia adalah yang paling berilmu tentang ajaran para Rasul dan
paling mengikutinya. Maka dari itu, orang yang paling mengerti tentang
sabda para Rasul dan amalan-amalannya serta benar-benar mengikutinya,
mereka itulah sesungguhnya orang yang paling berbahagia di setiap masa
dan tempat. Dan merekalah golongan yang selamat dalam setiap agama (yang
dibawa para Rasul tersebut, pen.). Dan dari umat ini adalah Ahlus
Sunnah wal Hadits.” (Ad-Durar As-Saniyyah, juz 2, hal. 21)
Al-Imam Malik rahimahullahu berkata: “Barangsiapa mengada-adakan perkara
baru dalam agama (bid’ah) yang dia pandang itu adalah baik, sungguh ia
telah menuduh bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
berkhianat terhadap risalah (yang beliau emban). Karena Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman (artinya): “Pada hari ini telah Kusempurnakan agama
bagi kalian, dan Aku telah lengkapkan nikmat-Ku atas kalian dan Aku
ridha Islam sebagai agama kalian.” Atas dasar ini, segala perkara yang
pada waktu itu (yakni di masa Nabi/para shahabat) bukan bagian dari
agama, maka pada hari ini pula perkara itu bukan termasuk agama.”
(Al-I’tisham, 1/49)
Ibadah Haji dan Keutamaannya
Para pembaca yang mulia, di antara sekian bentuk ketaatan (ibadah) yang
paling utama dan sarana bertaqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
yang termulia adalah ibadah haji. Bahkan ia termasuk ibadah yang Allah
wajibkan, dan termasuk salah satu dari rukun Islam. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاّ إِلَهَ إِلاَّ
اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ،
وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَصِيَامِ رَمَضَانَ، وَحَجِّ الْبَيْتِ
“Agama Islam dibangun di atas lima perkara; bersyahadat bahwasanya
tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah dan Nabi Muhammad itu
utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, shaum di bulan
Ramadhan, dan berhaji ke Baitullah.” (HR. Al-Bukhari no. 8 dan Muslim
no. 16, dari shahabat Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyeru para hamba-Nya untuk berhaji melalui
lisan Nabiyullah Ibrahim ‘alaihissalam, agar para hamba dapat
menyaksikan segala yang bermanfaat bagi kebaikan hidup dunia dan akhirat
mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوْكَ رِجَالاً وَعَلَىكُلِّ
ضَامِرٍ يَأْتِيْنَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيْقٍ لِِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ
لَهُمْ
“Dan umumkanlah kepada manusia untuk berhaji, niscaya mereka akan
mendatangimu dengan berjalan kaki atau mengendarai unta kurus dari
segala penjuru yang jauh untuk menyaksikan segala yang bermanfaat bagi
mereka.” (Al-Hajj: 27-28)
Sebagaimana pula Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan
orang-orang yang mampu berhaji agar mereka mempersembahkan ibadah
hajinya hanya untuk-Nya semata. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ البَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ
سَبِيْلاً وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِيْنَ
“Dan hanya karena Allahlah haji ke Baitullah itu diwajibkan bagi
manusia yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa yang kafir
maka sesungguhnya Allah tidak butuh terhadap seluruh alam semesta.”
(Ali ‘Imran: 97)
Junjungan kita Nabi besar Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
mendorong umatnya untuk menunaikan ibadah yang mulia ini. Sebagaimana
sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ.
فَقَامَ اْلأَقْرَعُ بْنُ حَابِسٍ فَقَالَ: أَفِي كُلِّ عَامٍ يَا رَسُولَ
اللهِ؟ قَالَ: لَوْ قُلْتُهَا لَوَجَبَتْ، وَلَوْ وُجِبَتْ لَمْ تَعْمَلُوا
بِهَا وَلَمْ تَسْتَطِيْعُوا أَنْ تَعْمَلُوا بِهَا، الْحَجُّ مَرَّةً،
فَمَنْ زَادَ فَتَطَوَّعَ
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
mewajibkan kepada kalian ibadah haji!” Maka berdirilah Al-Aqra’ bin
Habis seraya mengatakan: “Apakah haji itu wajib ditunaikan setiap tahun,
ya Rasulullah?” Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab:
“Kalau aku katakan; ya, niscaya akan menjadi kewajiban setiap tahun.
Dan bila diwajibkan setiap tahun, niscaya kalian tidak akan
menunaikannya, bahkan tidak akan mampu untuk menunaikannya. Kewajiban
haji itu hanya sekali (seumur hidup). Barangsiapa menunaikannya lebih
dari sekali, maka dia telah bertathawwu’ (melakukan perbuatan sunnah).”
(HR. Abu Dawud, An-Nasa`i, Ad-Darimi, Ad-Daraquthni, Al-Hakim dan Ahmad,
dari shahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Lihat Irwa`ul
Ghalil, karya Asy-Syaikh Al-Albani juz 4 hal. 149-150)
Bahkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan akan pahalanya
yang besar, ganjarannya yang banyak dan sebagai penebus bagi segala
dosa. Sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمٍ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
“Barangsiapa berhaji karena Allah lalu tidak berbuat keji dan
kefasikan (dalam hajinya tersebut), niscaya dia pulang dari ibadah
tersebut seperti di hari ketika dilahirkan oleh ibunya (bersih dari
dosa).” (HR Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 1521 dan Muslim no. 1350,
dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا، وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةَ
“Antara satu umrah dengan umrah berikutnya merupakan penebus
dosa-dosa yang ada di antara keduanya, dan haji mabrur itu tidak ada
balasan baginya kecuali Al-Jannah.” (HR Muslim no. 1349, dari shahabat
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Kewajiban Menunaikan Ibadah Haji dengan penuh Keikhlasan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Setiap jamaah haji berkewajiban
untuk memurnikan niat hajinya karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dan untuk
bertaqarrub kepada-Nya semata. Sebagaimana pula harus berhati-hati dari
tujuan duniawi, berbangga diri, mengejar gelar/sebutan (pak haji/bu
haji, pen.), ingin dilihat orang atau mencari pamor. Karena semua itu
dapat membatalkan amalan (haji anda, pen.) dan menjadikannya tidak
diterima di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Lihat Taudhihul Ahkam, juz
4 hal. 3-4)
Hal senada disampaikan Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah.
Beliau berkata: “Merupakan suatu kewajiban atas seorang yang berhaji
untuk meniatkan haji dan umrahnya karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
mengharapkan kebahagiaan di negeri akhirat serta meniatkannya untuk
bertaqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan segala perkataan dan
perbuatan yang diharapkan dapat mendatangkan ridha-Nya di tempat-tempat
yang mulia tersebut. Dan hendaknya selalu waspada dari tujuan duniawi,
riya` (ingin dilihat orang), mencari pamor, dan untuk gagah-gagahan
semata. Karena ini merupakan sejelek-jelek niatan dan termasuk sebab
tertolaknya suatu amalan.” (At-Tahqiq wal Idhah Lil-Katsir Min Masa`ilil
Hajji wal ‘Umrah, hal.12)
Kewajiban Menunaikan Ibadah Haji sesuai Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Perjalanan suci menuju Baitullah membutuhkan bekal yang cukup. Di
samping bekal harta, ilmu pun merupakan bekal yang mutlak dibutuhkan.
Dengan ilmu lah, seseorang menjadi terbimbing dalam melakukan ibadah
hajinya dan sesuai dengan Sunnah (tuntunan) Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Lebih dari itu, akan terhindar dari berbagai macam bid’ah dan
kesalahan, sehingga hajinya pun sebagai haji mabrur yang tiada balasan
baginya kecuali Al-Jannah.
Dalam momentum hajjatul wada’ (haji terakhir), Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah menyampaikan pesan khusus kepada umatnya, agar mereka
menunaikan ibadah haji sesuai dengan tuntunan manasik beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خُذُوا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ
“Ambillah dariku tuntunan manasik haji kalian.” (HR. Muslim no. 1297)
Para shahabat pun sangat memerhatikan pesan beliau ini. Tak heran, jika
banyak didapati berbagai riwayat tentang manasik haji yang mereka jalani
bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula para ulama,
tidak sedikit dari mereka yang menyusun kitab-kitab tentang manasik haji
baik yang detail atau pun yang sederhana. Semua itu menggambarkan
kepada kita bahwasanya para pendahulu umat ini telah mempersembahkan
untuk kita ilmu tentang manasik haji, agar kita dapat berhaji sesuai
dengan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka dari itu, di antara nasehat yang selalu disampaikan para ulama kita
kepada calon jamaah haji adalah; hendaknya mereka serius untuk
mempelajari dan mendalami ilmu (tuntunan) manasik haji sebelum
menunaikannya, dengan satu harapan agar ibadah haji yang ditunaikannya
benar-benar sempurna dan diterima di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani berkata: “Kami nasehatkan
kepada calon jamaah haji, agar belajar terlebih dahulu tentang manasik
haji yang dituntunkan di dalam Al-Qur`an dan Sunnah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam sebelum menunaikan ibadah hajinya. Sehingga amalan
haji yang ditunaikannya itu benar-benar sempurna dan diterima di sisi
Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Hajjatun Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, hal. 10)
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata: “Sudah seharusnya bagi seseorang
yang hendak berhaji untuk mempelajari dan mendalami segala yang
disyariatkan tentang haji dan umrahnya. Dan hendaknya dia juga
menanyakan hal-hal yang belum dipahaminya (kepada seorang yang berilmu,
pen.) agar ibadah haji yang ditunaikannya benar-benar di atas bashirah
(ilmu).” (At-Tahqiq wal Idhah, hal. 13)
Fenomena Taqlid dan Mengikuti Tradisi dalam Berhaji
Para pembaca yang mulia, bila kita memerhatikan sekian kesalahan yang
terjadi pada kebanyakan jamaah haji, maka penyebabnya bermuara pada dua
faktor:
1. Faktor dari dalam
2. Faktor dari luar
Faktor dari dalam adalah penyebab yang berasal dari diri jamaah haji itu
sendiri. Hal ini terjadi manakala seorang jamaah haji mengabaikan bekal
ilmu yang hakikatnya merupakan bekal utama yang harus dia persiapkan.
Tentunya, ketika bekal ilmu tidak dimiliki maka manasik hajinya pun jauh
dari manasik haji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia akan
lebih cenderung mengikuti manasik haji yang dilakukan oleh mayoritas
orang (tradisi) di sekitarnya. Padahal apa yang dilakukan oleh mayoritas
orang itu belum tentu sesuai dengan tuntunan manasik Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Permasalahan pun semakin runyam manakala
di antara jamaah haji itu ada yang berkeyakinan bahwasanya mengikuti
manasik haji/ tradisi yang biasa dilakukan mayoritas orang itu merupakan
jaminan kebenaran.
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan berkata: “Di antara masalah (yang
terjadi di masa, pen.) jahiliyyah adalah bahwasanya mereka mengukur
suatu kebenaran dengan jumlah mayoritas, dan menilai suatu kesalahan
dengan jumlah minoritas. Sehingga sesuatu yang diikuti oleh kebanyakan
orang berarti benar, sedangkan yang diikuti oleh segelintir orang
berarti salah. Inilah patokan yang ada pada diri mereka dalam menilai
yang benar dan yang salah. Padahal patokan ini keliru, karena Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي اْلأَرْضِ يُضِلُّوْكَ عَنْ سَبِيْلِ
اللهِ إِنْ يَتَّبِعُوْنَ إِلاَّ الظَّنَّ وَإِنْ هُم إِلاَّ يَخْرُصُوْنَ
“Dan jika kamu menuruti mayoritas orang-orang yang ada di muka bumi
ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak
lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain
hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (Al-An’am: 116)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
وَلكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُوْنَ
“Tetapi mayoritas manusia tidak mengetahui.” (Al-A’raf: 187)
وَمَا وَجَدْنَا لأَكْثَرِهِمْ مِنْ عَهْدٍ وَإِنْ وَجَدْنَا أَكْثَرَهُمْ لَفَاسِقُوْنَ
“Dan Kami tidak mendapati mayoritas mereka memenuhi janji.
Sesungguhnya Kami mendapati mayoritas mereka orang-orang yang fasik.”
(Al-A’raf: 102)
Dan lain sebagainya.” (Syarh Masa`il Al-Jahiliyyah, hal. 60)
Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdullah Alusy-Syaikh berkata: “Dalam hadits
ini1 terdapat bantahan terhadap orang yang berdalih dengan hukum
mayoritas, dan beranggapan bahwa kebenaran itu selalu bersama mereka.
Tidaklah demikian adanya. Bahkan yang semestinya adalah mengikuti
Al-Qur`an dan As-Sunnah bersama siapa saja dan di mana saja.” (Taisir
Al-‘Azizil Hamid, hal.106).
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alusy-Syaikh berkata: “Hendaknya
seorang muslim berhati-hati agar tidak tertipu dengan jumlah mayoritas,
karena telah banyak orang-orang yang tertipu (dengannya). Termasuk
orang-orang yang mengaku berilmu sekalipun. Mereka berkeyakinan di dalam
beragama sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang bodoh lagi sesat
(mengikuti mayoritas manusia, pen.) dan tidak mau melihat kepada apa
yang dikatakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.” (Qurratu
‘Uyunil Muwahhidin, dinukil dari ta’liq kitab Fathul Majid, hal. 83, no.
1)
Para pembaca, dengan demikian “budaya” ngikut tradisi atau ngikut
mayoritas orang dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
(termasuk dalam menunaikan ibadah haji), tidak bisa dibenarkan dalam
syariat Islam. Oleh karena itu, sudah saatnya bagi umat Islam untuk
berupaya meniti jejak Rasulullah shallallhu ‘alaihi wa sallam dalam
segala amal ibadahnya, agar apa yang dipersembahkan kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala tersebut tidak sia-sia bahkan tercatat sebagai
amalan shalih.
Adapun faktor penyebab dari luar adalah adanya orang-orang yang mudah
berfatwa tentang urusan agama (termasuk masalah haji) tanpa ilmu.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata:
“Sebagian kaum muslimin –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan
hidayah dan taufiq-Nya kepada mereka– melakukan banyak perkara ibadah
tanpa berasaskan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Terlebih dalam masalah haji, yang seringkali penyebabnya adalah
adanya orang-orang yang mudah berfatwa tanpa ilmu, serta saling
berlomba untuk mengeluarkan fatwa demi meraih pujian dan popularitas.
Sehingga terjadilah kesesatan dan penyesatan (terhadap umat).” –Hingga
perkataan beliau–: “Kebanyakan kesalahan yang terjadi pada jamaah haji
berpangkal dari sini (yakni; fatwa tanpa ilmu) dan saling meniru di
antara mereka (orang-orang awam) tanpa ada kejelasan dalilnya.”
(Akh-tha`un Yartakibuha Ba’dhul Hujjaj)
Maka dari itu, kami serukan kepada segenap jamaah haji untuk benar-benar
selektif dalam memilih guru pembimbing haji. Carilah guru pembimbing
yang berilmu dan berpegang teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah
shallallhu ‘alaihi wa sallam, agar haji yang anda lakukan tergolong
haji mabrur.
Sebagaimana pula kami serukan kepada segenap jamaah haji agar menjauhi
sikap taqlid buta dalam beribadah, termasuk ketika berhaji. Baik taqlid
buta terhadap tradisi, ormas, partai, atau pun
tokoh/panutan/ustadz/kyai, dsb. Allah Subhanahu wa Ta’ala mencela sikap
taqlid buta dalam beberapa ayat-Nya dan menjelaskan kepada kita
bahwasanya sikap taqlid buta itu merupakan kebiasaan kaum musyrikin2
ketika dakwah para nabi sampai kepada mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
أَمْ آتَيْنَاهُمْ كِتَابًا مِنْ قَبْلِهِ فَهُمْ بِهِ
مُسْتَمْسِكُوْنَ. بَلْ قَالُوا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ
وَإِنَّا عَلَى آثَارِهِمْ مُهْتَدُونَ
“Apakah seandainya telah kami datangkan kepada mereka sebuah kitab
(hujjah) sebelum munculnya kesyirikan yang mereka lakukan, kemudian
mereka mau berpegang dengannya? Ternyata justru mereka berkata:
“Sesungguhnya kami telah mendapati nenek moyang kami di atas sebuah
prinsip (aqidah yang mereka yakini), maka kami adalah orang-orang yang
mendapat petunjuk dengan mengikuti jejak pendahulu kami.” (Az-Zukhruf:
21-22)
Para imam yang empat sendiri, tidak menganjurkan murid-muridnya dan
segenap kaum muslimin untuk taqlid buta kepada mereka. Bahkan mereka
berpesan agar umat ini kembali kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya
yang shahih. Berikut ini kami bawakan beberapa nukilan dari perkataan
mereka yang terdapat dalam kitab Shifat Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam karya Asy-Syaikh Al-Albani (hal. 46-53):
Al-Imam Abu Hanifah rahimahullah mengatakan: “Tidak halal bagi siapa
pun mengambil pendapat kami tanpa mengetahui dari mana dasar hujjah yang
kami ambil.” Dalam riwayat lainnya, beliau mengatakan: “Haram bagi
siapa pun yang tidak mengetahui dalil yang saya pakai, untuk berfatwa
dengan pendapat saya. Karena sesungguhnya kami adalah manusia, pendapat
yang sekarang kami ucapkan, mungkin besok kami rujuk darinya (kami
tinggalkan pendapat tersebut).”
Al-Imam Malik rahimahullah mengatakan: “Saya hanyalah manusia biasa
yang mungkin salah dan mungkin benar. Maka telitilah pendapatku, apabila
sesuai dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah maka ambillah. Dan apabila tidak
sesuai dengan keduanya maka tinggalkanlah.”
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan: “Semua permasalahan yang
sudah disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
shahih dan berbeda dengan pendapat saya, maka saya rujuk dari pendapat
tersebut baik ketika saya masih hidup atau pun meninggal dunia.”
Al-Imam Ahmad rahimahullah mengatakan: “Janganlah kalian taqlid
kepadaku dan jangan pula taqlid kepada Malik, Asy-Syafi’i, Al-Auza’i,
atau (Sufyan) Ats-Tsauri. Akan tetapi ambillah (dalil) dari mana mereka
mengambil.”
Penutup
Para pembaca yang mulia, setelah kita lalui beberapa bahasan di atas maka dapatlah disimpulkan:
1. Sebuah ibadah akan diterima di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala
manakala terpenuhi dua syarat; ikhlas hanya karena Allah Subhanahu wa
Ta’ala semata, dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
2. Ibadah haji merupakan jenis ketaatan yang utama dan salah satu bentuk
taqarrub yang termulia. Karena itu haruslah dipersembahkan untuk Allah
Subhanahu wa Ta’ala semata, tanpa diiringi niatan duniawi, mencari nama,
gelar, pamor, dan lain sebagainya.
3. Perjalanan ke tanah suci sangat membutuhkan bekal ilmu. Karena dengan
ilmulah, seseorang akan terbimbing dalam melakukan ibadah hajinya
sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lebih
dari itu, akan terhindar dari berbagai macam bid’ah dan kesalahan
sehingga hajinya pun sebagai haji mabrur yang tiada balasan baginya
kecuali Al-Jannah.
4. Seseorang yang akan menunaikan ibadah haji hendaknya mencari guru
pembimbing yang berilmu lagi berpegang-teguh dengan Kitabullah dan
Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, agar haji yang
ditunaikannya benar-benar di atas ilmu dan bashirah.
4. Sikap ikut-ikutan dalam beribadah (termasuk ketika berhaji) merupakan
perbuatan tercela. Demikian pula sikap taqlid buta terhadap tradisi,
ormas, partai, atau pun tokoh/panutan/ustadz/kyai dan lain sebagainya.
5. Para imam yang empat; Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad telah
bersepakat agar umat Islam kembali/merujuk kepada Sunnah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih di dalam menjalankan agamanya.
Sebagaimana pula mereka telah bersepakat agar umat Islam meninggalkan
pendapat mereka manakala tidak sesuai dengan Sunnah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam yang shahih. Mudah-mudahan hidayah dan taufiq Allah
Subhanahu wa Ta’ala selalu mengiringi kita semua, amin.
Wallahul Muwaffiq wal Hadi ila aqwamit thariq.
1 Yakni sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
عُرِضَتْ عَلَيَّ اْلأُمَمُ، فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّهْطُ،
وَالنَّبِيَّ وَمعَهُ الرَّجُلُ وَالرَّجُلاَنِ، وَالنَّبِيَّ وَلَيْسَ
مَعَهُ أَحَدٌ ….
“Telah ditampakkan kepadaku umat-umat, maka aku melihat seorang nabi
bersamanya kurang dari 10 orang, seorang nabi bersamanya satu atau dua
orang, dan seorang nabi tidak ada seorang pun yang bersamanya….” (HR.
Al-Bukhari no. 5705, 5752, dan Muslim no. 220, dari hadits Abdullah bin
‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma)
2 Perlu diingat, bukan berarti orang yang bertaqlid itu dihukumi sebagai musyrik.
http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=381
Makkah Fajr - 19th November 2024
-
*Makkah Fajr *
(Surah An’aam: Ayaah 115-127) *Sheikh Shamsaan*
Download 128kbps Audio
2 jam yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar