Semua orang tahu siapa itu Abdul Qadir Jailani. Mulai dari anak-anak
yang berusia kecil sampai orang-orang tua pun tahu tentang Abdul Qadir
Jailany. Para tukang becak pun tahu tentang nama tokoh ini. Sampai-sampai
jika ada orang yang bernama Abdul Qadir, maka orang akan mudah
menghafal namanya disebabkan namanya ada kesamaan
dengan nama Abdul
Qadir Jailani. Yang jelas, orangnya muslim, tahu deh tentang Abdul Qadir Jailany. Ya, minimal namanya.
Jika nama Abdul
Qadir disebut atau didengarkan oleh sebagian orang, niscaya akan
terbayang suatu hal berupa kesholehan, dan segala karomah, serta
keajaiban yang dimiliki oleh beliau menurut mereka. Orang-orang tersebut
akan membayangkan Abdul Qadir Jailani itu bisa terbang di atas udara,
berjalan di atas laut tanpa menggunakan seseuatu apapun, mengatur cuaca,
mengembalikan ruh ke jasad orang, mengeluarkan uang di balik jubahnya,
menolong perahu yang akan tenggelam, menghidupkan orang mati dan lain
sebagainya berupa kisah-kisah palsu yang dibuat-buat oleh orang-orang
yang tidak berpengetahuan dari kalangan orang-orang sufi dan lainnya. Jelas semua ini merupakan sikap ghuluw (berlebihan dan melampaui batas)!!
Ghuluw-nya bukan sampai disini saja, bahkan ada suatu kaum yang telah mempersembahkan sholat untuk Syaikh Abdul Qodir Al-Jailany. Al-Allamah Shiddiq Hasan Khan berkata, ”
Para ahli bid’ah dan pelaku kesesatan banyak sekali menciptakan
bentuk-bentuk sholat yang tak ada dasarnya dalam agama Islam, seperti
sholat Rogho’ib dan lainnya. Bentuk sholat yang paling parah, yaitu
sholat yang diarahkan ke Baghdad untuk Syaikh Abdul Qadir
Al-Jailany-Rahimahullah-. Sholat ini dan semacamnya termasuk amalan yang
mengantarkan manusia ke neraka yang menyala-nyala. Semoga Allah Ta’ala
melindungi kita dari perbuatan syirik dan bid’ah, dan memberikan kepada
kita taufiq untuk mengikuti Al-Kitab dan As-Sunnah”. [Lihat Abjad Al-Ulum (2/349) karya Al-Allamah Shiddiq Hasan Khon]
Selain itu, sebagian orang telah melakukan nadzar untuk Syaikh Abdul Qadir Al-Jailaniy. Padahal nadzar itu adalah ibadah, sedang ibadah hanya diperuntukkan bagi Allah, bukan untuk makhluk!!
Karenanya, seorang ulama’ Syafi’iyyah dari Iraq, Al-Imam As-Suwaidiy -rahimahullah- (wafat 1237 H) pernah mengingkari orang-orang yang bernadzar kepada Syaikh Abdul Qadir Jailaniy. As-Suwaidiy -rahimahullah- berkata, “Aku
pernah melihat di kota Damaskus (Negeri Syam) sekelompok manusia yang
me-nadzar-kan lampu pelita untuk Syaikh Abdul Qadir Jailaniy. Mereka
menggantungnya di atas mimbar-mimbar, dan menghadapkannya ke arah kota
Baghdad. Pelita itu terus dinyalakan sampai pagi, sedang mereka meyakini
bahwa hal itu termasuk cara yang paling sempurna dalam mendekatkan diri
kepadanya. Seakan mereka menyatakan dengan lisan mereka bahwa dimanapun
kalian menyalakan pelita-pelita itu, maka disanalah Abdul Qadir
Jailaniy. Ya Allah, anehnya!! Khurofat macam apakah ini??!!!” [Lihat Al-Aqd Ats-Tsamin fi Bayan Masa'il Ad-Diin (hal. 215-216) oleh Ali bin Abis Su'ud Muhammad Al-Abbasiy]
Ketinggian dan kesholihan
seseorang terkadang membuat sebagian orang lupa dan lalai dalam
bersikap, sehingga ia pun bersikap ghuluw (ekstrim) kepada orang sholih.
Inilah yang pernah menimpa ahli Kitab (Nashoro). Mereka –karena amat
cintanya kepada Isa-, maka merekapun mengkultuskannya dan bersikap
ekstrim dalam memuji dan mendudukkannya. Selayaknya Nabi Isa didudukkan
sebagai manusia biasa yang diberi risalah, bukan diposisikan sebagai
sembahan dan tandingan di hadapan Allah Yang telah menciptakannya!!!
Allah -Azza wa Jalla- berfirman saat mengecam ahli Kitab yang melakukan ghuluw kepada nabi-nabi mereka,يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلاَ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلاَّ الْحَقَّ إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ اللَّهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَلاَ تَقُولُوا ثَلاَثَةٌ انْتَهُوا خَيْرًا لَكُمْ إِنَّمَا اللَّهُ إِلَهٌ وَاحِدٌ سُبْحَانَهُ أَنْ يَكُونَ لَهُ وَلَدٌ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي اْلأَرْضِ وَكَفَى بِاللَّهِ وَكِيلاً [النساء : 171]“Wahai Ahli Kitab, janganlah kalian melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kalian mengatakan terhadap Allah, kecuali yang benar. Sesungguhnya Al-Masih, Isa putera Maryam itu adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan janganlah kalian mengatakan: “(Tuhan itu) tiga”, berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan adalah Maha Esa. Maha Suci Allah dari mempunyai anak. Segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah menjadi Pemelihara”. (QS. An-Nisaa’ : 171)
Al-Imam Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata saat mengomentari ayat di atas, “Allah
-Ta’ala- melarang Ahli Kitab dari bersikap ghuluw (ekstrim), dan
berlebihan. Hal ini (yakni, ghuluw) banyak di kalangan orang-orang
Nashoro, karena mereka telah melampaui batas pembenaran terhadap
kerasulan Nabi Isa sampai mereka mengangkat beliau melebihi kedudukannya
yang telah Allah berikan kepadanya. Mereka pun memindahkan beliau dari
lingkup kenabian menuju kepada tingkat pengangkatan beliau sebagai ilah
(sembahan) dari selain Allah. Lantaran itu, mereka menyembah Isa
sebagaimana halnya mereka menyembah Allah. Bahkan mereka ghuluw terhadap
pengikut Nabi Isa yang mereka sangka berada di atas agama beliau.
Karenanya, mereka mengakui ma’shumnya (kesucian) mereka dan Ahli Kitab
mengikuti mereka dalam segala sesuatu yang mereka ucapkan, baik itu
benar, maupun batil; baik itu kesesatan, maupun petunjuk; baik itu benar
(jujur), maupun dusta”. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (2/477)]
Kini kebiasaan ghuluw tersebut terulang kembali dalam tubuh kaum muslimin. Mereka mengkultuskan dan ghuluw kepada orang-orang yang mereka anggap sholih, seperti ghuluw kepada Nabi
Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam-, Ahlul Bait, “wali-wali”, dan
orang-orang “sholih”. Kebiasaan ghuluw ini tumbuh subur di kalangan para
penganut tasawwuf. Tak heran jika mereka mengkultuskan Syaikh Abdul
Qadir Al-Jailaniy, dan ghuluw (ekstrim) dalam menyanjungnya sampai ada
sebagian diantara mereka yang mengangkatnya sederajat dengan Allah Yang
Pencipta lagi Maha Kuasa.
Kisah yang kedua, di Pulau Jawa ada sebagian tempat, masyarakatnya mempunyai kebiasaan melakukan acara “Manakiban”. Dalam acara tersebut dibacakan manakib (sejarah dan keutamaan) dan sebagian sejarah hidup Abdul Qadir Jailani. Di antara manakib
Abdul Qadir Jailany yang disebutkan dalam acara tersebut bahwa pada
suatu saat ada seorang ibu yang sangat bersedih atas kematian anaknya.
Maka iapun memohon kepada Abdul Qadir Jailani agar mengembalikan roh
anaknya. Serta-merta Abdul Qadir Jailany pun mengejar malaikat maut dan
merampas keranjang yang dibawa oleh malaikat maut berisi roh anak
tersebut. Walhasil, Abdul Qadir Jailani pun berhasil merampas keranjang
itu dan mengembalikan roh itu ke jasad anak ibu tersebut.
Masih banyak lagi kisah-kisah
palsu dan bohong seperti yang dinisbahkan kepada Abdul Qodir Jailani.
Kami rasa ini sajalah sebagian contoh untuk menunjukkan kepada para
pembaca budiman bahwa masyarakat sangat memuji dan mengkultuskan Abdul
Qadir Jailani sehinnga memberikan kepadanya sebagian di antara
sifat-sifat ketuhanan yang cuma dimiliki oleh Allah, bukan makhluk-Nya,
seperti mengatur cuaca, menghidupkan orang mati, dan memenuhi doanya
orang yang berdoa kepadanya.Jadi, semua ini merupakan pengkultusan yang
dilarang oleh agama karena di dalamnya terdapat penyelisihan terhadap
syari’at, dan mengantarkan kepada kekufuran karena itu semua merupakan
keyakinan dan aqidah syirik yang harus dijauhi oleh seorang muslim.
Dari kisah-kisah seperti ini
yang dipenuhi khurafat dan kesyirikan terkadang mengantarkan sebagian
orang untuk menyatakan bahwa Abdul Qadir merupakan pribadi yang
disebutkan dalam dongeng-dongeng yang tidak benar keberadaannya.
Sebagian lagi menyatakan bahwa ia termasuk tokoh sufi dan termasuk wali
Allah. Benarkah demikian? Sekarang ikuti sejarah hidupnya berikut ini:
Syaikh Abdul Qadir Jailany
seorang ulama yang berasal dari negeri Jilan. Kepada negeri inilah
beliau dinasabkan sehingga disebut “Al-Jilany”, atau “Al-Jiliy” atau “Al-Kailaniy”, artinya seorang yang berasal dari negeri Jailan. Namun di negeri kita, Syaikh Abdul Qadir Al-Jilaniy lebih dikenal dengan Abdul Qadir Al-Jailaniy.
Jailan merupakan nama bagi beberapa daerah yang terletak di belakang
Negeri Thobaristan. Tidak ada satu kota pun terdapat di negeri Jailan,
kecuali ia hanya merupakan bentuk perkampungan yang terletak pada daerah
tropis di sekitar pegunungan. Jailan berasal dari kata Kailan.[Lihat Mu'jam Al-Buldan (4/13-16) Oleh Abu Abdillah Yaqut bin Abdillah Al-Hamawy, dan Taaj Al-Aruus (hal. 8726) oleh Murtadho Az-Zabidiy]
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailaniy
lahir di Jailan alias Kailan pada tahun 470 H, dan meninggal disana
pada tahun 561 H/1165 M. Seorang ahli sejarah Islam, Ibnul Imad -rahimahullah- menyebutkan tentang nama dan masa hidup Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany, “Pada
tahun 561 H hiduplah Syaikh Abdul Qadir bin Abi Sholeh bin Janaky
Dausat bin Abi Abdillah Abdullah bin Yahya bin Muhammad bin Dawud bin
Musa bin Abdullah bin Musa Al-Huzy bin Abdullah Al-Himsh bin Al-Hasan
bin Al-Mutsanna bin Al-Hasan bin Ali bin Abi Tholib Al-Jailaniy”. [Lihat Syadzarat Adz-Dzahab (4/198) oleh Ibnul Imad Al-Hanbaly]
Para ulama memberikan pujian kepada Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany. Di antaranya, Ibnu As-Sam’any memberikan kata pujian kepada beliau. Ibnu Rajab -rahimahullah- berkata, “Syaikh
Abdul Qadir Al-Jailany termasuk orang yang berpegang-teguh dengan
sunnah dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah,
Qodar, dan semisalnya, bersungguh-sungguh dalam membantah orang yang
menyelisihi perkara tersebut. Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany berkata
dalam kitabnya Al-Ghun-yah[1] yang
masyhur: [Allah berada di bagian atas langit, bersemayam di atas Arsy,
menguasai kerajaan, ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, kepada-Nya lah
naik kata-kata yang baik dan amalan sholeh diangkatnya. Dia mengatur
segala urusan dari langit ke bumi, lalu urusan itu naik kepada-Nya dalam
satu hari yang sama dengan seribu tahun menurut perhitungan kalian.
Tidak boleh Allah disifatkan bahwa Dia di segala tempat, bahkan Dia di
langit, di atas Arsy sebagaimana Allah berfirman:
الرحمن على العرش استوى
"Ar-Rahman (Allah) bersemayam di atas Arsy".
Beliau menyebutkan beberapa ayat dan hadits sehingga beliau berkata: Sepantasnya sifat bersemayam diungkapkan
tanpa takwil, bahwa itu adalah semayamnya dzat Allah di atas Arsy.
Beliau juga berkata: Adanya Allah di atas Arsy, itu tersebut dalam semua
kitab yang diturunkan kepada setiap Nabi yang diutus, tanpa menyebutkan
kaifiyyat (cara semayam-Nya). Lalu beliau menyebutkan ucapan yang
panjang, dan menyebutkan semisal ini pada seluruh sifat".
Adapun khurafat yang biasa dinisbahkan kepada beliau sebagaimana yang telah kami sebutkan contohnya di atas, maka Al-Hafizh Ibnu Rajab -rahimahullah- berkata,
"Akan tetapi Al-Muqri' Abul Hasan Asy-Syaththonufi Al-Mishri telah
mengumpulkan berita-berita, dan keistimewaan Syaikh Abdul Qadir
Al-Jailany sebanyak tiga jilid. Ia telah menulis di dalamnya
suatu musibah, dan cukuplah seseorang itu dikatakan berdusta jika ia
menceritakan segala yang ia dengar[2]
. Sungguh saya telah melihat sebagian kisah ini, akan tetapi rasanya
hatiku tak senang untuk berpedoman sedikitpun padanya, lalu saya menukil
darinya, kecuali berita yang sudah terkenal dari selain kitab ini
karena banyaknya sesuatu yang diriwayatkan dari orang-orang yang majhul
(tak dikenal). Di dalamnya terdapat keanehan, malapetaka, pengakuan
dusta, dan ucapan batil, yang tak bisa lagi dihitung. Semua itu tak bisa
dinisbahkan kepada Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany -rahimahullah-.
Kemudian saya mendapatkan
Al-Kamal Ja’far Al-Adfawy telah menyebutkan bahwa Asy-Syaththonufi
sendiri tertuduh dusta dalam berita yang ia riwayatkan dalam kitab ini.
Berita yang paling bagus dalam kitab ini yaitu apa yang disebutkan oleh
penulis dari Qodhi Al-Qudhoh Abu Abdillah Muhammad bin Syaikh Al-’Imad
Ibrahim bin Abdul Wahid Al-Maqdisy, ia berkata: [Saya mendengar Syaikhku
Muwaffaquddin Ibnu Qudamah berkata, "Kami masuk Baghdad tahun 561 H.
Ternyata Syaikh Abdul Qadir termasuk orang yang mencapai puncak
kepemimpinan dalam ilmu, harta, fatwa dan amal disana. Penuntut ilmu
tidak perlu lagi menuju kepada yang lainnya karena banyaknya ilmu,
kesabaran beliau terhadap penuntut ilmu, dan kelapangan dada pada diri
beliau. Orangnya berpandangan jauh. Beliau telah mengumpulkan
sifat-sifat yang bagus, dan keadaan yang agung. Saya tak melihat ada
orang yang seperti beliau setelahnya".[3]
Al-Imam Abul Fida’ Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata, “Mereka telah menyebutkan dari beliau (Abdul Qadir Al-Jailany) ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan, pengungkapan urusan gaib, kebanyakannya ghuluw (sikap berlebih-lebihan).
Beliau orangnya sholeh dan wara’. Beliau telah menulis kitab
Al-Ghun-yah, dan Futuh Al-Ghaib. Dalam kedua kitab ini terdapat beberapa
perkara yang baik, dan ia juga menyebutkan di dalamnya hadits-hadits
dha’if, dan palsu. Secara global, ia termasuk di antara pemimpin
masyayikh (para guru)”.[4]
Ringkasnya, Syaikh Abdul Qodir
Al-Jailaniy adalah seorang ulama di zamannya. Karena kebaikannya, maka
sebagian manusia bersikap ghuluw dalam memuji dan menempatkan beliau.
Jika ada sebagian orang mengklaim bahwa beliau adalah sufi –apakah
dengan bukti atau tidak-, maka kita tetap menempatkannya sebagai manusia
pada umumnya, bukan rasul dan bukan pula tuhan yang mampu mengatur alam
semesta. Namun kebanyakan kisah-kisah yang disandarkan kepada beliau adalah palsu dan dusta. Lantaran itu, waspadalah jika mendengar sebagian dari kisah dan riwayat tentang diri beliau!! Wallahu A’lam bish showab.[5]
oleh :
Al-Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah –hafizhahullah-
[Pengasuh Ponpes Al-Ihsan Gowa, Sulsel]
[1] Kitab Al-Ghun-yah, judul aslinya : “Guhn-yah Ath-Tholibin” sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Azhim Abadi dalam Aunul Ma’bud (3/300), dan Al-Mubarakfury dalam Tuhfah Al-Ahwazy (7/430)
[2]
Maksudnya:Tanpa memperhatikan kebenaran berita tersebut dari segi
periwayatan. Sama saja orang yang ia dengar dhoif, pendusta, dan
lainnya. Ya, pokoknya ia meriwayatkan.
[3] Lihat Dzail Thobaqot Hanabilah (1/293) karya Ibnu Rajab.
[4] Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah (12/252) oleh Ibnu Katsir
[5] Direvisi pada hari Selasa, 26 Dzulqo’dah 1434 H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar