Bisa dikatakan di negeri kita yang mayoritas muslim
ini, hampir semua hewan sudah menjadi sesuatu yang biasa dikonsumsi ,
Kelelawar, Anjing, Katak, Bekicot dan berbagai jenis hewan lainnya telah
dikonsumsi oleh kaum muslimin di sebagian tempat secara perorangan dan di
sebagian tempat lain bahkan telah disajikan di rumah-rumah makan.
Termasuk juga hewan yang banyak dikonsumsi oleh kaum
muslimin di sebagian daerah seperti Kalimantan adalah buaya, hewan hitam, jelek
dan ganas yang sudah tidak asing lagi tentunya bagi kita semua. Dan tahukah
anda bahwa buaya adalah salah satu hewan yang diperselisihkan ulama tentang
halal atau haramnya… ???
Buaya adalah adalah reptil bertubuh besar yang
hidup di air. Secara ilmiah, buaya meliputi seluruh spesies anggota suku Crocodylidae,
termasuk pula buaya ikan (Tomistoma schlegelii). Meski demikian nama ini
dapat pula dikenakan secara longgar untuk menyebut ‘buaya’ aligator, kaiman dan
gavial; yakni kerabat-kerabat buaya yang berlainan suku.
Buaya umumnya menghuni habitat perairan tawar seperti
sungai, danau, rawa dan lahan basah lainnya, namun ada pula yang hidup di air
payau seperti buaya muara. Makanan utama buaya adalah hewan-hewan bertulang
belakang seperti bangsa ikan, reptil dan mamalia (Wikipedia)
Disebutkan bahwa makanan utama buaya adalah
hewan-hewan bertulang belakang seperti bangsa ikan, reptil dan mamalia , kalau
boleh kita tambahkan bahwa makanan sampingan buaya adalah manusia . Sesuatu
yang sudah kita maklumi bahwa hampir setiap bulan ada saja kabar tentang korban
yang diterkam buaya, baik meninggal maupun luka-luka di sebagian daerah.
Para ulama berbeda pendapat tentang buaya ini, apakah
halal utuk dimakan atau tidak, berikut pendapat dan fatwa mereka..
Dinukilkan dari Imam Ahmad Rahimahullahu bahwa
beliau berkata : ” (Boleh) dimakan Semua yang berada di laut (air) kecuali
katak dan buaya. Beliau berkata : karena buaya memangsa dan memakan manusia “
Dan Imam As-Syafi’i Rahimahullahu juga
berpendapat bahwa buaya tidak boleh dimakan .(Tafsir Al-Qurthubi, Al-Maidah
: 96)
Berkata Abu Hanifah dan Sufyan Ats-tsauri Rahimahumullahu
: “Tidak diperbolehkan (dimakan) dari laut (air) kecuali ikan” Berkata
Ibnu Abi laila dan Imam Malik : “Diperbolehkan semua apa yang terdapat di
dalam laut termasuk katak dan yang lainnya” (Zaadul Maisir, Al-Maidah :
96)
Lajnah Dai’imah Lil Buhuts Wal Ifta’ (Dewan tetap
untuk pembahasan dan fatwa) Saudi Arabia :
Adapun buaya, maka ada yang mengatakan bahwa boleh
dimakan berdasarkan keumuman ayat dan hadits yang telah disebutkan, dan ada
juga yang mengatakan bahwa tidak boleh dimakan disebabkan dia termasuk yang
memiliki taring dari kalangan hewan buas. Dan pendapat yang kuat adalah
pendapat yang pertama (3/538)
Ibnu Utsaimin Rahimahullahu berkata : ” Dan
Yang shohih, sesungguhnya buaya tidak dikecualikan dan boleh dimakan”
Kemudian beliau berkata :
“Maka yang benar, bahwa sesungguhnya tidak
dikecualikan dari hal itu sesuatu apapun, dan sesugguhnya semua hewan laut yang
tidak hidup kecuali di air adalah halal, hidupnya atau bangkainya berdasarkan
keumuman ayat yang mulia yang telah kita sebutkan sebelumnya…” (As-Syarhul Mumti 15/35)
Syaikh Alu Bassam Rahimahullahu dalam Syarah
Bulughul Marom juga menguatkan pendapat tentang halalnya semua binatang laut
tanpa terkecuali termasuk buaya.
Dan setelah dilihat-lihat fatwa ulama yang banyak
tersebut, yang tidak semuanya kami nukil disini maka semuanya kembali kepada
dalil-dalil ini :
Ulama yang membolehkan berdalil dengan keumuman ayat :
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ
Artinya : ” Dihalalkan bagi kalian binatang buruan
laut dan makanan (yang berasal) dari laut” (QS. Al-Maidah : 96)
Dan yang mengharamkan buaya berdalil dengan hadits Abi
Tsa’labah Rhadiyallahu ‘anhu :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم –
نَهَى عَنْ أَكْلِ كُلِّ ذِى نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ
Artinya : ” “Sesungguhnya Rasulullah SAW.
melarang untuk memakan seluruh binatang buas yang bertaring” (HR. Bukhari
No. 5530 dan Muslim No. 1932).
Dan kesimpulan yang kami dapatkan kurang lebih
seperti ini :
Para ulama bisa dikatakan tidak ada yang
berselisih bahwa binatang buas yang memiliki taring yang merupakan hewan darat
adalah haram…., seperti singa, serigala, dll. Dan seandainya saja buaya
ini adalah hewan darat yang tidak mampu hidup di air mungkin tidak akan ada yang
perselisihan yang kuat tentangnya. Karena hadits Abi tsa’labah Rhadiyallahu
‘anhu diatas sangat jelas. Begitu juga seandainya saja buaya adalah hewan
air yang tidak mampu hidup di darat dalam waktu yang lama mungkin saja
perselisihan pendapatnya tidak akan kuat, karena akan dihukumi seperti hewan
buas air yang bertaring seperti hiu, yaitu halal.
Dan letak perbedaanya bahwa sebagian ulama menetapkan
bahwa buaya adalah hewan air, maka dihukumi seperti halalnya ikan hiu. Dan
sebagian lain menetapkan bahwa buaya adalah hewan yang mampu hidup di dua alam
dan masalah ini pun terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama, maka
pendapat yang paling kuat adalah pendapat Asy-Syafi’iyah yang menyatakan bahwa
seluruh hewan yang hidup di dua alam baik yang masih hidup maupun yang sudah
jadi bangkai seluruhnya adalah halal seperti kepiting dan lain-lain kecuali
katak (Karena ada hadits yang melarang membunuh katak , maka tentunya haram
pula memakannya karena tentunya tidak bisa dimakan kalau tidak dibunuh.) Akan
tetapi pendapat ini pun masih umum, karena hanya menyebutkan hewan umum yang
hidup di dua alam dan tidak spesifik menyebutkan tentang hewan buas bertaring
yang hidup di dua alam.
Sehingga letak perbedaan pendapat yang paling kuat ada
di tiga sisi :
- Penggolongan buaya, apakah hewan air atau hewan dua
alam .
- Hukum binatang yang hidup di dua alam
- Hukum binatang buas bertaring yang hidup di dua alam
Sebagaimana yang sudah kami sebutkan diatas, kalau
ditetapkan sebagai hewan darat maka haram dan kalau ditetapkan sebagai hewan
air pendapat yang sangat kuat adalah halal, dan kalau ditetapkan sebagai hewan
dua alam maka terkumpul antara hukum yang membolehkan dan hukum yang melarang,
dan kami lebih cenderung dengan pendapat yang mengharamkan, berdasarkan kaidah
fiqih yang kuat yang banyak disebutkan ulama, diantaranya disebutkan oleh ibnu
utsaimin Rahimahullahu :
وإن يجتمع معْ مبيحٍ ما منع … فقدمَن تغليبا
الذي منع
“Dan apabila terkumpul bersama sesuatu yang
membolehkan bersama sesuatu yang melarang, maka kebanyakkan kita kedepankan
yang melarang”
Hal ini dikarenakan bahwa meninggalkan sesuatu
yang mubah tentunya lebih selamat dibanding jatuh dalam keharaman
Dan yang kedua kita berusaha menjauhi yang subhat,
sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam :
فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرَأَ
لِدِيْنِهِ وَ عِرْضِهِ
Artinya: “ Barangsiapa yang meninggalkan
syubhat, maka ia telah meyelamatkan agama dan harga dirinya.” (HR.
Bukhari No. 52, Muslim No. 1599 dari hadits Nu’man bin Basyir Rhadiyallahu
‘anhu )
Dan juga hadits hasan bin Ali Rhadiyallahu ‘anhuma,
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam bersabda :
دع ما يريبك إلى ما لا يريبك
Artinya : “Tinggalkan perkara yang meragukanmu
menuju kepada perkara yang tidak meragukanmu” (HR. Tirmidzi, An-Nasa’i.
Lihat Shohih At- Targhib wat tarhib No. 1737)
Akan tetapi harus diingat kembali bahwa perkara ini
adalah masalah khilafiyah ijtihadiyah dan tidak selayaknya saling
mencela dan menghajr di dalamnya.
Wallahu a’lam
Posted on September
8, 2011 by Ibnu Dzulkifli As-Samarindy
10 Syawal 1432 H
60st, Near of Ijaba Mosque
Tidak ada komentar:
Posting Komentar