Sebelumnya
telah dijelaskan bahwa shalat Jum’at adalah fardhu/wajib atas laki-laki yang
berakal dan sudah baligh yang bukan musafir, serta tidak ada uzur/halangan yang
membolehkannya untuk meninggalkan Jum’atan. Shalat Jum’at dikerjakan untuk
mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wata’ala sehingga seseorang meraih
surga-Nya
dan terhindar dari azab-Nya.
Shalat
Jum’at dilangsungkan setelah didahului dengan dua khutbah. Apabila khatib telah
selesai berkhutbah maka muazin mengumandangkan iqamah,
dan yang utama bahwa khatib itu juga yang memimpin shalat Jum’at, meskipun
boleh jika khatib dan imam Jum’at itu berbeda. Hal ini dibolehkan karena
khutbah adalah amalan tersendiri dan terpisah dari shalat, hanya saja hal ini
menyelisihi sunnah. (Lihat Fatawa al- Lajnah ad-Daimah 8/237)
Telah
mutawatir dan masyhur dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau
shalat Jum’at hanya dua rakaat1. Demikian pula bahwa kaum muslimin telah
sepakat bahwa shalat Jum’at itu dua rakaat. Dengan ini, shalat Jum’at adalah
shalat tersendiri, bukan zhuhur dan bukan ganti dari zhuhur. Barang siapa
menyangka bahwa Jum’atan adalah shalat zhuhur yang diqashar/diringkas maka
dia telah jauh rimbanya. Akan tetapi, Jum’atan adalah shalat tersendiri yang
memiliki syarat dan sifat yang khusus. Oleh karena itu, shalat Jum’at dilakukan
dua rakaat meskipun dalam kondisi mukim. (lihat asy-Syarhul Mumti’ 5/88-89)
Surat
Apa yang Dibaca dalam Shalat Jum’at?
Surat
apa saja dari al-Qur’an yang dibaca imam setelah al-Fatihah maka telah
mencukupi. Namun ada beberapa surat yang disunnahkan untuk dibaca pada shalat
Jum’at yaitu surat al-Jumu’ah dan surat al-Munafiqun atau surat al-A’la
(سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى)
dan
surat al-Ghasyiyah
(هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ).
Hal
ini berlandaskan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam dahulu membaca surat al-Jumu’ah dan surat al-Munafiqun dalam
shalat Jum’at (HR. Muslim no. 879)
Dari
sahabat an-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam membaca :
سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى
dan
هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ
pada
shalat ‘Ied dan Jum’at.” (HR. Muslim 878)
Ulama
menyebutkan di antara hikmah membaca surat al-Jumu’ah karena ia memuat tentang
wajibnya Jum’atan dan hukum-hukum Jum’atan. Adapun hikmah dibacanya surat
al-Munafiqun karena orang-orang munafik tidaklah berkumpul pada suatu majelis
yang lebih banyak daripada saat Jum’atan. Oleh karena itu, dibaca surat ini
sebagai celaan atas mereka dan peringatan agar mereka bertobat. (lihat Syarh
Shahih Muslim 6/404 karya an-Nawawi rahimahullah)
Bacaan
al-Fatihah dan surat pada shalat Jum’at itu dengan jahr (dikeraskan)
sebagaimana dengan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Hal ini
tentu menjadi salah satu bukti bahwa shalat Jum’at tidak sama dengan shalat
zhuhur. Adapun bacaan-bacaan yang lain di saat sujud, ruku’, dan semisalnya,
serta gerakan-gerakannya sama dengan shalat-shalat yang lain.
Kapan
Seseorang Dikatakan telah Mendapatkan Shalat Jum’at?
Jika
mendapatkan satu rakaat bersama imam yang minimalnya mendapatkan ruku’ bersama
imam pada rakaat kedua berarti dia telah mendapatkan shalat Jum’at sehingga dia
tinggal menambah satu rakaat yang tertinggal. Ini berlandaskan hadits Abu
Hurairah bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ أَدْرَكَ مِنَ الْجُمُعَةِ رَكْعَةً فَلْيَصِلْ إِلَيْهَا
أُخْرَى
“Barangsiapa
mendapatkan satu rakaat dari (shalat) Jum’at hendaklah dia menyambung kepadanya
rakaat yang lain.” (Shahih Sunan Ibnu Majah no. 927)
Hadits
ini dijadikan landasan dalam beramal menurut mayoritas ulama dari kalangan
sahabat dan yang lainnya. Mereka mengatakan, “Barang siapa mendapati satu
rakaat dari Jum’atan maka ia shalat (satu rakaat) yang lain untuk
(menyempurnakannya). Barang siapa mendapati mereka sudah duduk maka ia shalat
empat rakaat.” (Sunan at-Tirmidzi 2/403)
Maka
dari itu, barang siapa yang tidak mendapati shalat Jum’at bersama imam ia
shalat zhuhur empat rakaat, bukan shalat Jum’at.
Adakah
Shalat Sunnah Qabliah Jum’at?
Perlu
diketahui bahwa disunnahkan bagi seseorang yang masuk masjid pada hari Jum’at
untuk shalat sunnah sampai imam naik mimbar untuk berkhutbah. Shalat sunnah ini
tidak ada bilangan dan waktu tertentu. Jadi, ini tergolong shalat sunnah
mutlak, bukan qabliah. Adapun masalah apakah untuk shalat Jum’at ada shalat
sunnah qabliah yang khusus selain tahiyatul masjid sebagaimana ada shalat
qabliah zhuhur? Maka dalam hal ini tidak ada dalil yang kuat sedikit pun dari
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Adapun
hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah bahwa
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam shalat sebelum Jum’at empat rakaat tanpa
memisahkan padanya (dengan salam) maka sanadnya lemah sekali. An-Nawawi
rahimahullah mengatakan dalam al-Khulashah bahwasanya itu adalah hadits batil.
(AhaditsulJumu’ah hlm. 315 dan al-Ajwibah an-Nafi’ah hlm. 32)
Ibnul
Qayyim rahimahullah menerangkan, “Apabila Bilal telah selesai mengumandangkan
azan maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memulai berkhutbah. Tidak ada
seorang pun (dari sahabat) yang berdiri melakukan shalat dua rakaat sama
sekali. Dahulu, azan tidak ada selain satu saja, ini menunjukkan bahwa shalat
Jum’at seperti (shalat) hari raya, tidak ada sunnah qabliah.
Ini
adalah yang paling sahih dari dua pendapat ulama, dan sunnah Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam menunjukkan hal ini. Sebab, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
dahulu keluar rumahnya (untuk khutbah Jum’at) dan ketika naik mimbar, Bilal
mengumandangkan azan. Jika Bilal telah menyempurnakan azan, Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam berkhutbah tanpa adanya pemisah.
Hal
ini terlihat jelas oleh mata, lalu kapan mereka (para sahabat) shalat sunnah
(qabliah)?! Barang siapa mengira bahwa mereka semuanya berdiri lalu shalat dua
rakaat, dia adalah orang yang paling bodoh tentang sunnah. Apa yang kami
sebutkan bahwa tidak ada shalat sunnah sebelum shalat Jum’at adalah pendapat
Malik, Ahmad dalam pendapatnya yang masyhur, dan salah satu sisi (pendapat)
pengikut-pengikut asy-Syafi’i.”
Lalu
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan pendalilan orang-orang yang menyatakan
adanya sunnah qabliah dan memberi bantahan yang luar biasa bagusnya kepada
mereka. (lihat Zadul Ma’ad, 1/417—424) Sesungguhnya, di antara yang menyebabkan
sebagian orang melakukan shalat sunnah qabliah Jum’at yang tidak ada contohnya
dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum
adalah adanya azan awal sebelum khatib naik mimbar.
Oleh
karena itu, kami tegaskan kembali ucapan al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah dalam
al-Umm bahwa azan Jum’at yang beliau sukai adalah seperti yang ada di zaman
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu ketika Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam naik mimbar. Jika ada yang berdalil dengan hadits,
بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ
“Antara
dua azan ada shalat.” (Muttafaqun ‘alaihi) Yang dimaksud dua azan adalah azan
dan iqamah, sehingga bukan antara azan Jum’at pertama sebelum naik mimbar
dengan azan ketika khatib telah naik mimbar. Hal ini karena azan Jum’at di
zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam hanya ketika beliau naik mimbar.
Shalat
Sunnah Ba’diyah Jum’at
Disunnahkan
untuk shalat sunnah selesai shalat Jum’at setelah berzikir atau beralih dari
tempat yang ia shalat Jum’at. Shalat sunnah setelah Jum’atan ada dua macam: dua
rakaat atau empat rakaat. Al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dari jalan
sahabat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam dahulu shalat sebelum zhuhur dua rakaat dan setelah zhuhur dua
rakaat, setelah maghrib dua rakaat di rumahnya, dan dua rakaat setelah isya’.
Beliau tidak shalat setelah Jum’at sampai beliau pergi lalu shalat dua rakaat.
(Shahih al-Bukhari no. 937)
Adapun
yang empat rakaat, sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِذَا صَلَّى أَحَدُكَمْ الْجُمُعَةَ فَلْيُصَلِّ بَعْدَهَا
أَرْبَعًا
“Apabila
salah seorang kalian telah shalat Jum’at, hendaknya ia shalat setelahnya empat
rakaat.” (HR. Muslim no. 881 dan selainnya)
Jika
Hari Raya Jatuh Pada Hari Jum’at
Di
sana ada rukhsah/keringanan untuk meninggalkan shalat Jum’at dan menggantinya
dengan zhuhur bila seseorang telah shalat hari raya yang jatuh pada hari
Jum’at. Hal ini berlandaskan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
قَدْ اِجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيْدَانِ فَمَنْ شَاءَ
أَجْزَأَهُ عَنِ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُوْنَ
“Telah
terkumpul pada hari kalian ini dua hari raya. Barang siapa yang mau maka
(shalat hari raya) telah mencukupinya dari Jum’atan, dan sesungguhnya kami akan
mengadakan Jum’atan.” (HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
dinyatakan shahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 4365)
Ash-Shan’ani
rahimahullah berkata,“Sesungguhnya shalat Jum’at setelah shalat ied menjadi
rukhsah (suatu keringanan) boleh melakukannya dan boleh meninggalkannya, dan
ini khusus bagi yang shalat ied dan bukan bagi orang yang tidak shalat ied.”
(Subulus Salam, 2/52)
Rukhsah
di sini umum sifatnya bagi imam dan makmum. Adapun pengabaran dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa “Kami akan menjalankan Jum’atan” hal ini
tidak menunjukkan bahwa imam wajib melaksanakan Jum’atan. Sebab, ucapan ini
bersifat pemberitaan yang tidak pas untuk dijadikan dalil tentang wajibnya
Jum’atan bagi imam.
Di
antara dalil bahwa imam juga mendapatkan rukhsah adalah sahabat Ibnu Zubair
radhiyallahu ‘anhu, yang waktu itu sebagai penguasa, tidak shalat Jum’at pada
hari raya. Ketika Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma ditanya tentang itu, beliau
menjawab, “Sesuai dengan sunnah.” (Sunan an-Nasai no. 1590)
Selain
itu, tidak ada seorang sahabat pun yang mengingkari sahabat Ibnu Zubair
radhiyallahu ‘anhu. (Nailul Authar 3/336) Meskipun demikian, imam disyariatkan
untuk tetap hadir di masjid dengan tujuan menegakkan shalat Jum’at bersama
orang-orang yang menghadirinya. Hal ini berlandaskan sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam yang telah berlalu penyebutannya
وَأَنَا مُجَمِّعُوْنَ
(“Dan
kami akan menegakkan Jum’atan.”)
Wanita
Menghadiri Shalat Jum’at
Shalat
Jum’at dan shalat berjamaah tidak wajib atas wanita. Yang sunnah bagi mereka di
hari Jum’at dan selainnya adalah shalat di rumahnya dan ini lebih utama. Namun,
jika ia ikut shalat Jum’at bersama kaum muslimin, ini menggugurkan kewajibannya
untuk shalat zhuhur. Hanya saja, ketika keluar, dia harus mengenakan hijab dan
pakaian yang menutupi auratnya dan tidak memakai minyak wangi. Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,
وَلْيَخْرُجْنَ تَفِ تَالِ
“Hendaknya
mereka keluar tanpa memakai wewangian.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
وَبُيُوْتُهُنَّ خَيْرٌلَهُنَّ
“Dan
rumah-rumah mereka lebih baik.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Dari
sini kita bisa mengetahui bahwa wanita tidak wajib Jum’atan, tetapi shalat
zhuhur di rumahnya. Namun, apabila ia shalat Jum’at bersama orang banyak,
Jum’atannya sah dan menggantikan shalat zhuhur. (Diringkas dari Majmu’ Fatawa
12/333-334, asy-Syaikh Ibnu Baz)
Jum’atannya
dianggap sah karena wanita tersebut bermakmum kepada imam shalat Jum’at,
sehingga sah baginya karena sebagai pengikut. Dan tidak sah Jum’atan wanita itu
kalau dia shalat sendirian.(Lihat asy-Syarhual-Mumti’ 5/21)
Menjamak
Shalat Ashar dengan Shalat Jum’at
Asy-Syaikh
Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah menerangkan, “Sebatas pengetahuan kami, dalam
hal ini tidak ada dalil yang menunjukkan bolehnya menjamak (menggabungkan)
shalat ashar dengan shalat Jum’at. Tidak ada nukilan tentang menjamak shalat
tersebut dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak pula dari seorang
sahabat Rasul radhiyallahu ‘anhum. Maka dari itu, yang menjadi keharusan adalah
tidak melakukannya. Orang yang telah melakukannya harus mengulangi shalat ashar
apabila telah masuk waktunya.” (Majmu’ Fatawa 12/300, asy-Syaikh Ibnu Baz)
Senada
dengan itu adalah pernyataan asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin,
“Shalat ashar tidak dijamak dengan Jum’atan karena tidak adanya sunnah yang
menjelaskan hal itu. Tidak benar hal itu dikiaskan dengan menjamak ashar dengan
zhuhur, karena perbedaan yang banyak antara Jum’at dengan zhuhur. Hukum
asalnya, setiap shalat harus dikerjakan pada waktunya kecuali ada dalil yang
membolehkan untuk menjamaknya dengan yang lain.” (Fatawa Arkanil Islam hlm.
383)
Masalah
ini memang diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian ulama membolehkan menjamak
shalat Jum’at dengan shalat ashar, sebagaimana disebutkan oleh an-Nawawi.
Alasan mereka, shalat Jum’at adalah pengganti shalat zhuhur sehingga ia
mengambil hukum-hukum shalat zhuhur, termasuk dalam hal bolehnya dijamak dengan
shalat ashar. Wallahu a’lam. (-ed.)
Shalat
Zhuhur Setelah Shalat Jum’at
Telah
diketahui dari agama ini secara pasti dan dengan dalil-dalil syariat bahwa
Allah Subhanahu wata’ala Yang Mahasuci tidaklah mensyariatkan di waktu zhuhur
hari Jum’at kecuali satu (shalat) wajib yaitu shalat Jum’at atas para lelaki
yang mukim/tinggal dan menetap, merdeka/bukan budak dan yang telah dibebani
oleh panggilan syariat. Bila kaum muslimin menjalankan hal itu maka tidak ada
kewajiban yang lain, baik zhuhur maupun selainnya. Bahkan shalat Jum’at itulah
yang harus dilakukan saat itu.
Sungguh,
dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, para sahabat radhiyallahu ‘anhum, dan
as-salaf ash-shalih setelah mereka, tidaklah melakukan shalat wajib yang lain
setelah Jum’atan… dan tidak diragukan bahwa hal itu (shalat zhuhur setelah
Jum’atan) merupakan kebid’ahan yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
telah menyebutkan (yang artinya), “Berhati-hatilah kamu dari perkara-perkara
yang baru, karena setiap perkara baru (dalam agama) adalah sesat.” (Majmu’
Fatawa Ibnu Baz, 12/363)
Bolehkah
Shalat Jum’at di Rumah dengan Keluarga?
Ada
banyak riwayat tentang pelaksanaan shalat Jum’at di masjid, yang menunjukkan
bahwa shalat Jum’at tidak boleh dikerjakan selain di masjid. Oleh karena itu,
orang yang shalat Jum’at di rumah dengan keluarganya harus mengulangi dengan
melakukan shalat zhuhur dan tidak sah Jum’atannya. Sebab, yang wajib atas para
lelaki adalah shalat Jum’at bersama saudara-saudaranya kaum muslimin di
rumah-rumah Allah Subhanahu wata’ala (masjid-masjid). (Lihat Fatawa al-Lajnah
ad-Daimah 8/196)
Asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Shalat Jum’at tidak sah
selain di masjid (baik) di kota maupun desa.” (Fatawa Arkanil Islam, 391)
Shalat
Jum’at bagi Orang yang Bekerja di Anjungan Lepas Pantai
Di
sini kami akan menampilkan pertanyaan yang ditujukan kepada al-Lajnah ad-Daimah
lil-Buhuts al-Ilmiyah wal Ifta’ (Komite Fatwa Ulama Saudi Arabia) beserta
jawabannya dengan nomor fatwa 6113.
Berikut
ini petikan terjemahannya. Kami para karyawan minyak perusahaan Aramco.
Kebiasaan tugas kami adalah bekerja di tengah-tengah laut selama setengah bulan
berturut-turut. Jumlah kami terkadang mencapai delapan orang. Pertanyaannya,
apakah sah bagi kami shalat Jum’at padahal kami tidak menjadikannya tempat
tinggal dan tidak selalu menetap, dan jumlah kami seperti yang telah
disebutkan, ataukah kami shalat zhuhur? Kami berharap faedah dan semoga Anda
semua selalu dalam kebaikan. Al-Lajnah ad-Daimah menjawab sebagai berikut :
Jika kenyataannya seperti yang telah disebutkan bahwa kalian tidak
menjadikannya tempat tinggal bersama orang-orang yang menetap dan kalian
bekerja dalam kondisi terpencil di tengah-tengah laut selama lima belas hari,
yang wajib atas kalian selama masa itu adalah shalat zhuhur, bukan Jum’at.
(Fatawa al-Lajnah ad-Daimah 8/219—220)2
Membaca
Surat Tertentu setelah Shalat Jum’at
Ada
riwayat yang menyebutkan keutamaan membaca surat al-Ikhlas
dan Mu’awidzatain (surat al-Falaq dan an-Nas) setelah shalat Jum’at, namun
sanadnya lemah dan tidak bisa dijadikan landasan dalam beramal. Ibnus Sunni
rahimahullah meriwayatkan dalam kitab ‘Amalul Yaumi Wallailah hadits dari
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda (yang artinya), “Barangsiapa yang membaca setelah shalat
Jum’at
قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ, قُلْ أعُوذُ بِرَبِّالفَلَقِ
dan
قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ
tujuh
kali maka Allah Subhanahu wata’ala akan melindunginya dengan bacaan tadi dari
kejelekan sampai Jum’at berikutnya.” Di dalam sanad hadits ini ada rawi bernama
al-Khalil bin Murrah, ia seorang yang dhaif (lemah), dinyatakan lemah oleh Abu Hatim.
Al-Bukhari rahimahullah juga berkata bahwa haditsnya munkar. (Ahaditsul Jumu’ah
hlm. 133)
Bepergian
di Hari Jum’at
Tidak
mengapa seseorang bepergian di hari Jum’at karena tidak ada dalil yang kuat
yang melarangnya. Adapun mengawali bepergian di waktu shalat Jum’at, pendapat
yang kuat adalah tidak boleh bagi orang yang berkewajiban menghadiri Jum’atan,
kecuali kalau dikhawatirkan akan terpisah dari rombongan yang tidak
memungkinkan bepergian selain bersama mereka, dan uzur-uzur semisal itu. Sebab,
apabila syariat telah membolehkan seseorang untuk tidak menghadiri Jum’atan
karena uzur hujan, meninggalkan Jum’atan bagi orang yang kesulitannya melebihi
itu tentu lebih boleh lagi. Demikian pula dibolehkan bagi yang khawatir
tertinggal pesawat, kereta, dan semisalnya, padahal ia telah memesan tiketnya.
(Lihat Nailul Authar, 3/273-274 dan Fatawa al-Lajnah ad-Daimah 8/203)
Mendirikan
Shalat Jum’at Lebih Dari Satu Masjid di Satu Kampung atau Tempat
Jika
keadaan menuntut dilaksanakannya shalat Jum’at lebih dari satu masjid di satu
kampung, hal ini tidak mengapa. Misalnya, masjid yang biasa untuk Jum’atan
sudah tidak bisa menampung banyaknya jamaah karena sempitnya masjid, atau antar
warga terjadi pertikaian yang apabila disatukan Jum’atannya akan timbul kekacauan
dan tidak bisa didamaikan, dan yang semisalnya. Adapun apabila Jum’atan
dilaksanakan di banyak tempat (masjid) tanpa ada hajat (tuntutan) demikian, hal
ini menyelisihi sunnah dan menyelisihi apa yang Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam dan para khulafarasyidun berada di atasnya. (Lihat Fatawa Arkanil
Islam hlm. 390)
Asy-Syaikh
Al Albani rahimahullah menerangkan, “Suatu hal yang maklum bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam membedakan secara praktik amaliah antara Jum’at
dan shalat lima waktu. Sungguh telah kuat (riwayat) bahwasanya di Madinah
banyak masjid yang didirikan shalat jamaah …
Adapun
Jum’atan dahulu tidaklah berbilang. Jamaah masjid-masjid yang lain semuanya
mendatangi masjid Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu Jum’atan di sana.
Pemisahan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam secara amaliah antara shalat
jamaah dan shalat Jum’at tidaklah sia-sia. Jadi, ini seharusnya dicermati.
Meskipun ini bukan menjadi syarat (sahnya Jum’atan) … ,
setidaknya
hal ini menunjukkan bahwa berbilangnya Jum’atan tanpa ada keperluan yang
mendesak adalah menyelisihi sunnah3. Apabila seperti itu urusannya, seyogianya
dicegah untuk tidak (terjadi) banyaknya Jum’atan dan bersungguh-sungguh agar
Jum’atan disatukan sebisa mungkin dalam rangka mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam dan para sahabat setelahnya. Dengan demikian, akan terwujud secara
sempurna hikmah disyariatkannya shalat Jum’at dan faedah-faedahnya.
Akan
berakhir pula perpecahan yang muncul karena dijalankannya Jum’atan di setiap
masjid yang besar dan masjid yang kecil, sampai-sampai sebagian masjid (yang
diadakan Jum’atan) itu hampir saling menempel (sangat berdekatan). Sebuah hal
yang tidak mungkin dikatakan boleh oleh orang yang mencium bau fikih yang
benar. (al-Ajwibahan-Nafi’ah hlm. 47) Demikianlah beberapa hal yang berkaitan
dengan shalat Jum’at yang bisa kami tampilkan. Tentu masih banyak hal yang
belum bisa disebutkan di ruang yang terbatas ini. Atas segala kekurangan dan
kekhilafan, kami meminta maaf. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَالْحَمْدُ
لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
————————————————————
1. Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata, “Shalat
(ied) al-Adha dua rakaat, shalat Jum’at dua rakaat, shalat (ied) al-Fithri dua
rakaat, dan shalat musafir dua rakaat, sempurna tanpa diringkas, melalui lisan
Nabi kalian, dan telah merugi orang yang membuat kedustaan.” (Shahih Ibnu
Khuzaimah no. 1425) 2. Namun, bilamana seseorang hendak melakukan shalat Jum’at
di tempat tersebut, tetap diperbolehkan, sebagaimana difatwakan oleh sebagian
ulama. 3. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menerangkan, “Tidak termasuk keperluan yang
mendesak apabila imamnya seorang yang isbal (pakaiannya menutupi mata kaki)
atau fasik. Sebab, para sahabat dahulu shalat dibelakang al-Hajjaj bin Yusuf.
Padahal dia seorang yang sangat zalim dan melampaui batas, membunuh para ulama,
dan orang-orang yang tidak bersalah. Mereka shalat dibelakangnya. Bahkan, yang
benar adalah boleh jika imam itu orang fasik walaupun di selain shalat Jum’at
selama kefasikannya tidak mencacati satu syarat (sahnya) shalat yang
diyakininya sebagai syarat. (Apabila imam melanggarnya), ketika itulah ia tidak
boleh shalat dibelakangnya. (asy-Syarhul Mumti’, 5/96)
oleh :Al-Ustadz Abdul Mu’thi, Lc.
Sumber: http://asysyariah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar