1. Akad mudharabah antara nasabah
penabung dengan bank
2. Akad mudharabah antara bank dengan
nasabah peminjam
Berikut ini uraian sekaligus tinjauan
syar’i terhadap aplikasi tersebut:
1. Akad mudharabah antara nasabah
penabung dengan bank.
Aplikasinya dalam perbankan syariah
adalah:
a. tabungan berjangka yaitu tabungan
yang dimaksudkan untuk tujuan khusus seperti tabungan qurban, tabungan
pendidikan anak, dan sebagainya.
Sistem atau teknisnya adalah nasabah
penabung memiliki ketentuan-ketentuan umum yang ada pada bank seperti
syarat-syarat pembukaan, penutupan rekening, mengisi formulir, menyertakan
fotokopi KTP, specimen tanda tangan, dan lain sebagainya.
Lalu menyebutkan tujuan dia menabung,
misal untuk pendidikan anaknya, lalu disepakati nominal yang disetor setiap
bulannya dan tempo pencairan dana.
Pada praktiknya, dana akan cair pada
saat jatuh tempo plus bagi hasil dari usaha mudharabah. Secara kenyataan di
lapangan, pihak bank bisa langsung memberikan hasil mudharabah secara kredit
tiap akhir bulan.
b. Deposito biasa
Ketentuan teknisnya sama seperti
ketentuan umum yang berlaku di semua bank. Pada produk ini, pihak penabung
bertindak sebagai shahibul maal (pemodal) dan pihak bank sebagai mudharib
(amil). Pada praktiknya harus ada kesepakatan tenggang waktu antara penyetoran
dan penarikan agar modal (dana) dapat diputarkan. Sehingga ada istilah deposito
1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan.
Juga dibicarakan nisbah (persentase)
bagi hasilnya dan biasanya dana akan cair saat jatuh tempo.
Secara kenyataan, semua akad pada
tabungan berjangka dan deposito tertuang pada formulir yang disediakan pihak
bank di setiap Customer Service (CS)nya.
c. Deposito khusus (special
investment)
Di mana dana yang dititipkan nasabah
khusus untuk bisnis tertentu. Keumuman bank syariah tidak menerapkan produk
ini.
Tinjauan hukum syar’i
Secara hukum syar’i, akad yang
tertuang dalam formulir yang disediakan pihak bank cukup transparan dan
lahiriahnya tidak ada masalah.
Adapun perbedaan sistem
deposito/tabungan antara bank syariah dan bank konvensional adalah:
a) Pada akad
Bank Syariah sangat terkait dengan
akad-akad muamalah syari’ah. Bank konvensional tidak terikat dengan aturan
manapun.
b) Pada imbalan yang diberikan:
Bank syariah menerapkan prinsip
mudharabah, sehingga bagi hasil tergantung pada:
• Pendapatan bank (hasil/laba usaha)
• Nominal deposito nasabah
• Nisbah (persentase) bagi hasil
antara nasabah dan bank
• Jangka waktu deposito
Bank konvensional menerapkan konsep
biaya (cost concept) untuk menghitung keuntungan. Artinya bunga yang dijanjikan
di muka kepada nasabah penabung merupakan ongkos yang harus dibayar oleh bank.
Di sinilah letak riba pada bank konvensional.
c) Pada sasaran pembiayaan
Bank Syariah terikat dengan
usaha-usaha yang halal. Bank konvensional terjun dalam semua usaha yang halal
maupun haram.
Namun demikian, ada beberapa hal yang
perlu disoroti pada akad mudharabah antara penabung dan bank syariah, di
antaranya adalah:
a. Bila terjadi kerugian pada usaha
bank atau bank ditutup/bangkrut
Di sini muncul pertanyaan besar: Siapa
yang menanggung kerugian dana simpanan para nasabah?
Jawabannya adalah sebagai berikut:
Semua bank, baik konvensional maupun
syariah1 harus terikat dan dinaungi oleh sebuah lembaga independen yang resmi
yaitu Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Setiap bank mengasuransikan seluruh dana
simpanan nasabah kepada lembaga tersebut, pihak bank yang membayar preminya.
Bila terjadi kerugian/pailit pada pihak bank, maka LPSlah yang mengganti semua
dana simpanan dari nasabah penabung paling banyak Rp 2 miliar (sesuai Peraturan
Pemerintah No. 66 Th. 2008, red.).
Hakikat akad dengan kondisi di atas
Bila demikian kenyataan di lapangan
yang tidak mungkin dipungkiri maka hakikat sesungguhnya adalah bukan akad
mudharabah tetapi akad pinjaman (qiradh) yang karakteristik intinya adalah
harus mengembalikan pinjaman, apapun yang terjadi.
Kesimpulannya, akad antara penabung
dan bank syariah adalah riba/terlarang dengan alasan:
1) Pinjaman tersebut mengandung unsur
bunga, dalam hal ini adalah bagi hasil yang dicapai.
Hakikatnya adalah penabung memberi
pinjaman kepada pihak bank dengan syarat bunga dari persentase bagi hasil.
Inilah hakikat dari riba jahiliah yang dikecam dalam Islam. Lihat makalah
penulis di Kajian Utama Macam-macam Riba pada majalah Asy Syariah No.
28/III1428 H/2007 hal. 18.
2) Kerugian ditanggung mudharib (bank)
Ini menyalahi prinsip mudharabah yang
syar’i seperti telah diuraikan sebelumnya. Kerugian modal yang terjadi pada
usaha mudharabah murni ditanggung modal bukan amil/mudharib.
3) Pihak bank terjatuh pada asuransi
bisnis yang diharamkan dalam Islam. Lihat makalah penulis tentang asuransi di
Kajian Utama majalah Asy Syariah Vol. III/29/1428 H/2007 yang berjudul Asuransi
hal. 20-24.
b. Pembiayaan yang dilakukan pihak
bank kepada nasabah peminjam
Di sini muncul pertanyaan:
- Apakah pembiayaan tersebut pada
akad-akad yang syar’i?
- Fungsi bank dengan pihak peminjam
sebagai apa? Shahibul maal ataukah wakil nasabah penabung?
Jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan di
atas diulas pada poin kedua, yaitu:
2. Akad mudharabah antara bank dan nasabah
peminjam
Pada umumnya banyak bank syariah yang
tidak mengalokasikan dana pembiayaan ke produk mudharabah dikarenakan risiko
yang cukup tinggi, di antaranya:
a. Side streaming, nasabah menggunakan
dana itu tidak seperti yang disebut dalam akad
b. Lalai dan kesalahan nasabah yang
disengaja
c. Penyembunyian keuntungan oleh
nasabah bila dia tidak jujur.
Bank syariah lebih banyak
mengalokasikan pembiayaan2 ke produk murabahah.
Pihak bank akan mengadakan akad dengan
skema mudharabah dengan masalah melalui proses yang cukup ketat, di antaranya:
a. Melihat reputasi nasabah dalam
dunia usaha
b. Melakukan pembiayaan pada
usaha-usaha yang dapat diprediksi pendapatannya seperti:
- mudharabah dengan koperasi yang
melakukan akad murabahah untuk memenuhi kebutuhan karyawannya.
- mudharabah dengan pihak yang
bergerak di bidang rental officer.
c. Untuk usaha-usaha yang kurang bisa
diprediksi pendapatannya, seringkalinya dialihkan ke akad murabahah. Pada akad
mudharabah ini pihak bank bertindak sebagai shahibul maal (pemodal) dan nasabah
sebagai mudharib (amil)
Saat akad, nasabah dan bank melakukan
kesepakatan tentang :
• Biaya yang dikeluarkan
• Nisbah (persentase) bagi hasil
Nisbah ini bisa berubah-ubah, misal: 3
bulan pertama 60:40, tiga bulan kedua 50:50.
• Tenggang waktu mudharabah
- pihak nasabah memberikan dokumen
tentang reputasi dia, pendapatan usahanya, dan lain-lain yang dibutuhkan pihak
bank
- setiap tiga bulan, pihak nasabah
membayar kepada bank keuntungan usaha dengan membuat laporan realisasi
pendapatan (LRD)
- Pada umumnya pihak bank tidak
terlibat dalam usaha nasabah, pihak bank hanya terlibat dalam pembiayaan
- Akad mudharabah ini disertai adanya
jaminan dari pihak nasabah.
Tinjauan hukum syar’i
Secara umum akad mudharabah yang
terpapar di atas tidak ada masalah sebab akadnya adalah mudharabah dan
keuntungan diambil dari laba usaha menggunakan nisbah (persentase). Sedangkan
pada bank konvensional menggunakan akad qiradh (pinjaman) dengan syarat bunga
yang ditetapkan. Ini jelas riba jahiliah yang dikecam dalam Islam.
Namun, ada beberapa pertanyaan yang
perlu dijawab:
a. Dari mana bank memperoleh modal
pembiayaan sehingga disebut sebagai shahibul maal.
Jawabnya adalah sumber dana bank
berasal dari:
- modal pemegang saham
- titipan (tabungan) dengan sistem
wadi’ah yad dhamanah3
- investasi (tabungan) dari nasabah
dengan sistem mudharabah.
Intinya, bank menghimpun dana dari
nasabah-nasabah penabung selaku shahibul maal yang sesungguhnya. Jadi pada
hakikatnya, pihak bank tidak memiliki modal hingga layak disebut pemilik modal
(shahibul maal).
Kesimpulannya, bank hanyalah sebagai
perantara/wakil para nasabah penabung untuk melakukan akad mudharabah dan yang
lainnya dengan nasabah peminjam. Inilah yang disebut dengan istilah
mudharabatul mudharib (مُضَارَبَةُالْـمُضَارِبِ).
Sebagaimana yang telah diuraikan
sebelumnya, sistem ini diperbolehkan jika ada izin khusus dari nasabah penabung
(shahibul maal) dan mudharib (bank) tidak mendapatkan laba mudharabah tapi
hanya dapat ujratul wakalah (upah sebagai wakil) baik terlibat langsung dalam
usaha atau tidak.
Alhasil, akad mudharabah ini terlarang
dengan alasan berikut:
1. Tidak ada izin khusus dari para
nasabah penabung pada umumnya.
2. Kenyataan yang terjadi, pihak bank
mengambil keuntungan bukan upah wakalah. Walau pada praktiknya bank
menggabungkan dana modal dalam satu pool dan hasil usaha digabung dari beragam
akad dengan nasabah, baik itu murabahah, mudharabah, musyarakah, maupun ijarah.
b. Bila terjadi kerugian pada usaha
nasabah di luar prediksi semua pihak, apakah modal/pembiayaan dari pihak bank
harus dikembalikan?
Jawabannya adalah:
Secara prinsip mudharabah yang syar’i,
kerugian yang terjadi selama bukan karena kelalaian dan kecerobohan amil murni
ditanggung modal, dalam hal ini adalah bank. Amil tidak dibebani apapun kecuali
dia rugi tidak dapat laba dari usaha tersebut.
Praktik yang terjadi di dunia bank
syariah cukup beragam. Perlu diketahui, bahwa semua bank mempersyaratkan pada
akad mudharabah, semua aset nasabah yang digunakan untuk usaha harus
diasuransikan terlebih dahulu. Ini sebagai upaya pengamanan bilamana terjadi
sesuatu di luar prediksi semua pihak.
1. Sebagian bank syariah langsung
melakukan penyitaan aset nasabah yang mengalami kebangkrutan atau menuntut
pengembalian modal mudharabah.
Tindakan ini sangat jelas menunjukkan
bahwa kerugian ditanggung amil. Ini jelas menyalahi prinsip mudharabah yang
syar’i. Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, hakikat akad sesungguhnya
bukan qiradh (mudharabah) tapi qardh (pinjaman) yang harus ada pengembalian
pinjaman apapun yang terjadi pada pihak peminjam.
Kesimpulannya, akad mudharabah di atas
termasuk dalam kaidah: “Setiap pinjaman yang ada unsur kemanfaatan adalah
riba.”
Riba jahiliah yang sangat dikecam
dalam Islam, kemanfaatan yang diperoleh pihak bank adalah laba usaha nasabah
dengan nisbah bagi hasil. Wallahul musta’an.
2. Sebagian bank syariah tidak berani
melakukan penyitaan secara langsung karena paham tentang konsekuensi akad
mudharabah yaitu kerugian ditanggung bank. Mereka pun melakukan upaya lain
yaitu kompromi (islah) dengan pihak nasabah. Misal: Meminta nasabah menjual
aset yang ada.
Ujung-ujungnya sama dan itulah letak
permasalahannya yaitu modal mudharabah kembali, kerugian ditanggung amil
(nasabah).
Hukumnya pun sama dengan yang
sebelumnya hanya beda teknis saja, yang satu main kasar, yang lain main halus.
Kaidah para ulama:
الْعِبْرَةُ
بِالْحَقَائِقِ لَا
بِالْأَلْفَاظِ
“Yang dianggap adalah hakikatnya bukan
bahasa (istilah)nya.”
Faedah
Bila usaha nasabah berikut asetnya
terkena musibah (peristiwa-peristiwa di luar kebiasaan/extraordinary, red.),
seperti kebakaran yang menghanguskan, maka yang dilakukan oleh pihak bank
adalah mengurus klaim dari perusahaan asuransi. Apabila klaim cair maka
langsung masuk ke pihak bank untuk mengembalikan modal mudharabah, bila ada
lebihnya baru masuk ke nasabah.
Upaya ini pun juga menunjukkan hasil
yang sama yaitu modal harus kembali, kerugian ditanggung nasabah. Hukumnya juga
sama dengan yang sebelumnya.
Catatan
Pihak bank biasanya memiliki alasan
kenapa harus melakukan upaya-upaya di atas. Alasan mereka adalah: Pada saat
pihak bank mengeluarkan pembiayaan untuk modal mudharabah dengan nasabah, pihak
bank diharuskan untuk mempersiapkan “dana talangan”. Besar kecilnya dana
tersebut tergantung kelancaran usaha nasabah.
- bila lancar maka dana talangannya 1
% dari pembiayaan
- bila tidak lancar maka dana talangan
semakin diperbesar menjadi 5 %, 15 %, dan seterusnya.
- bila sampai sembilan bulan nasabah
tidak membayarkan bagi hasil usaha maka dana talangannya menjadi 100 %.
Ini adalah ketentuan resmi dari Bank
Indonesia (BI) untuk semua bank. Tujuannya supaya usaha nasabah yang tidak
lancar tersebut bisa dihapuskan dan untuk kelancaran bank itu sendiri.
Jawabannya adalah:
1. Ketentuan di atas murni antara
pihak bank dengan bank sentral (BI), tidak ada sangkut pautnya dengan nasabah.
2. Ketentuan akad mudharabah murni
antara pihak nasabah dengan bank, tidak ada sangkut pautnya dengan BI.
3. Tindakan pihak bank membebankan
dana talangan pada nasabah pada skema akad mudharabah, di luar dan menyalahi
prinsip mudharabah yang syar’i.
4.
Penjualan aset nasabah atau pengambilan klaim dari perusahaan asuransi
sebagai ganti dana talangan yang disediakan termasuk memakan harta orang lain
dengan cara batil. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil.” (An-Nisa’: 29)
Kesimpulan
Setelah uraian panjang di atas dapat
disimpulkan bahwa AKAD MUDHARABAH PADA BANK SYARIAH ADALAH RIBA DAN
BERTENTANGAN DENGAN MUDHARABAH YANG SYAR’I.
Tidak ada bedanya bank syariah dengan
bank konvensional, bahkan bank syariah bisa dikatakan lebih kejam dengan
alasan:
1. Mengatasnamakan dirinya dengan
syariah
2. Bunga yang didapatkan dari nasabah
jauh lebih besar daripada yang didapat bank konvensional.
3. Bunga yang dia berikan kepada
nasabah juga lebih besar daripada yang diberikan bank konvensional.
Untuk itu, diimbau kepada semua pihak
terkait baik pemerintah (Depag/MUI), para bankir, dan lain-lain supaya lebih
dalam mempelajari kembali semua sistem yang ada di perbankan syariah dengan
bimbingan Islam yang benar: Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman para
ulama, agar penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada akad-akad bank syariah
dapat ditiadakan dan dicarikan solusi syar’i terbaik sebagai gantinya.
Wallahul muwaffiq lish-shawab.
Maraji’
1. Al-Mughni, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi,
Cet. I Darul Hadits Kairo-Mesir tahun 1416 H/1996 M.
2. Takmilah Al-Majmu’ Al-Muthi’I, cet.
I Daar Ihyaut Turats Al-’Arabi, Beirut-Lebanon tahun 1422 H/2001 M.
3. Asy-Syarhul Mumti’, Asy-Syaikh
Ibnul ‘Utsaimin, cet. Daarul Atsar Kairo-Mesir, tanpa tahun.
4. Ar-Riba fil Mu’amalat
Al-Mashrafiyah Al-Mu’ashirah, Dr. Abdullah bin Muhammad As-Sa’idi, Cet. I Daar
Thayyibah KSA tahun 1420 H/1999 M.
5. Bank Syariah, dari Teori ke
Praktik, Muhammad Syafi’i Antonio Cet. 9, Gema Insani bekerjasama dengan Tazkia
Cendekia, Rabi’ul Awwal 1426 H/April 2005 M.
6. Diskusi langsung dengan sejumlah
karyawan aktif dari sejumlah bank syariah.
7. Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, cet.
IV, Ulin Nuha lil Intaj Al-I’lami, 1424 H/ 2003 M
8. Fatawa Asy-Syaikh Ibnu Baz cet. II
Dar Ishda’ Al-Mujtama’, tahun 1428 H
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah
Muhammad Afifuddin)
Sumber: http://asysyariah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar