apabila seseorang mendengar kata suap , bukanlah yang tergambar di benaknya sesuatu yang terkait tangan, mulut dan makanan tapi yang langsung terbayang adalah korupsi, sidang dan KPK.
Suap sendiri dalam makna yang kedua ini tidak ditemukan di dalam kamus
bahasa Indonesia, yang ditemukan adalah yang sepadan dengannya yaitu sogok yang
diartikan sebagai : ”dana yang sangat besar yang digunakan untuk menyogok
para petugas” Sungguh pengertian yang kurang sempurna, karena apabila
pengertiannya seperti ini maka tentunya dana-dana kecil tidak termasuk sebagai
kategori sogok atau suap.
Adapun dalam bahasa arab, suap atau sogok dikenal dengan riswah,
yang diartikan sebagai “Apa-apa yang diberikan agar ditunaikan
kepentingannya atau apa-apa yang diberikan untuk membenarkan yang salah atau
menyalahkan yang benar “ (Mu’jamul Wasith).
Dan dalam syariat islam, perkara suap-menyuap ini ini sangat ditentang dan
diancam dengan ancaman yang mengerikan, Rasulullah Shalallahu Alaihi
Wassallam , beliau bersabda :
لعنة الله على الراشي والمرتشي
“Allah melaknat orang yang memberi suap, dan yang menerima suap” (HR. Ahmad dan selainnya dari Abdullah bin Amr’ Rhadiyallahu
‘anhuma , Dishohihkan Al-Albani dalam Shohihul Jami’ 5114 dan dalam
kitab-kitab beliau lainnya)”
Maka hadits ini bagi orang-orang beriman akan membuat mereka akan menjauhi
perbuatan ini, dan ditambah lagi para ulama mengatakan bahwa hadits-hadits yang
semisal seperti ini, yaitu lafadz “Allah melaknat” menunjukkan bahwa perbuatan
tersebut adalah termasuk kategori dosa besar yang tidak akan diampuni kecuali
dia bertaubat, adapun ketika dia mati dalam keadaan belum bertaubat maka di
bawah kehendak Allah apakah akan mengadzabnya atau tidak.
Akan tetapi manusia pengejar dunia akan selalu mendengar bisikan setan dan
hawa nafsunya, mereka akan mencari seribu satu cara pembenaran agar seakan-akan
perbuatan mereka itu dapat dibenarkan. Begitu juga dengan riswah ini,
mereka mempunyai seribu satu alasan untuk membenarkan pemberian kepada mereka,
diantara alasan mereka yang paling sering dinukil adalah :
- Ini adalah uang lelah, uang
tips atau hadiah
- Tidak ada pihak yang
dirugikan, semua pekerjaan telah diselesaikan sesuai aturan .
- Kami hanya diberi, kami
tidak pernah meminta.
Maka pemberian inilah yang sekarang dikenal dengan istilah Gratifikasi ,
yaitu pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount),
komisi pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan
wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. (Wikipedia)
Maka sekarang kembali ke hukum syariatnya, benarkah pemberian kepada
pagawai adalah sesuatu yang diperbolehkan untuk diterima ??
Telah datang hadits dari Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim :
حَدِيْثُ أَبِيْ حُمَيْدِ السَّاعِدِيِّ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِسْتَعْمَلَ عَامِلاً فَجَاءَهُ الْعَامِلُ حِيْنَ فَرَغَ
مِنْ عَمَلِهِ فَقَالَ: يَارَسُوْلَ اللهِ هـذَا لَكُمْ وهـذَا أُهْدِيَ لِيْ.
فَقَالَ لَهُ: أَفَلاَ قَعَدْتَ فِى بَيْتِ أَبِيْكَ
وَأُمِّكَ فَنَظَرْتَ أَيُهْدَى لَكَ أَمْ لاَ ؟ ثُمَّ قَامَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشِيَّةً بَعْدَ الصَّلاَةِ فَتَشَهَّدَ
وَأَثْنَى عَلَى اللهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ، ثُمَّ قَالَ: أَمَّا بَعْدُ، فَمَا
بَالُ الْعَامِلِ نَسْتَعْمِلُهُ فَيَأْتِـيْنَا فَيَقُوْلُ: هـذَا مِنْ
عَمَلِكُمْ وَهـذَا أُهْدِيَ لِيْ أَفَلاَ قَعَدَ فِيْ بَيْتِ أَبِيْهِ وَأُمِّهِ
فَنَظَرَ هَلْ يُهْدَى لَهُ أَمْ لاَ؟ فَوَ الَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ
لاَيَغُلُّ أَحَدُكُمْ مِنْهَا شَيْـأً إِلاَّ جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
يَحْمِلُهُ عَلَى عُنُقِهِ إِنْ كَانَ بَعِيْرًا جَاءَ بِهِ لَهُ رُغَاءٌ وَإِنْ
كَانَتْ بَقَرَةً جَاءَ بِهَا خُوْارٌ وَإِنْ كَانَتْ شَاةً جَاءَ بِهَا تَيْعَرُ
فَقَدْ بَلَّغْتُ فَقَالَ أَبُوْ حُمَيْدٍ: ثُمَّ رَفَعَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَهُ حَتَّى إِنَّا لَنَنْظُرُ إِلَى عُفْرَةِ
إِبْطَيْهِ
Abu Humaidi Assa’idy Rhadiyallahu ‘anhu . berkata, “Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wassallam . mengangkat seorang pegawai untuk menerima
sedekah/zakat kemudian sesudah selesai, ia datang kepada Nabi Shalallahu
‘alaihi wassallam . dan berkata, “Ini untukmu dan yang ini untuk hadiah yang
diberikan orang padaku.” Maka Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam . bersabda
kepadanya, “Mengapakah engaku tidak duduk saja di rumah ayah atau ibumu apakah
di beri hadiah atau tidak (oleh orang)?” Kemudian sesudah shalat, Nabi Shalallahu
‘alaihi wassallam . berdiri, setelah tasyahud dan memuji Allah selayaknya, lalu
bersabda. “Amma ba’du, mengapakah seorang pegawai yang diserahi amal, kemudian
ia datang lalu berkata, “Ini hasil untuk kamu dan ini aku berikan hadiah,
mengapa ia tidak duduk saja di rumah ayah atau ibunya untuk menunggu apakah ia
diberi hadiah atau tidak?. Demi Allah yang jiwa Muhamad di tangan-Nya tiada
seorang yang menyembunyikan sesuatu (korupsi), melainkan ia akan menghadap di
hari kiamat memikul di atas lehernya. Jika berupa onta bersuara, atau lembu
yang menguak atau kambing yang mengembik, maka sungguh aku telah menyampaikan.”
Abu Humaidi berkata, “kemudian Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam ., mengangkat
kedua tangannya sehingga aku dapat melihat putih kedua ketiaknya.”
Berkata Ibnu Utsaimin Rahimahullahu tentang hadits ini :
“Dan dari hadits ini kita mengetahui besarnya kejelekkan riswah, dan
sesungguhnya hal tersebut termasuk dari perkara-perkara besar yang sampai
menyebabkan nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam berdiri berkhutbah kepada
manusia dan memperingatkan dari perbuatan ini. Karena sesungguhnya apabila riswah
merajalela di sebuah kaum maka mereka akan binasa dan akan menjadikan setiap
dari mereka tidak mengatakan kebenaran, tidak menghukumi dengan kebenaran dan
tidak menegakkan keadilan kecuali jika diberi riswah, kita berlindung
kepada Allah. Dan riswah , terlaknat yang mengambilnya dan terlaknat
pula yang memberi kecuali apabila dalam keadaan yang mengambil riswah
menghalangi hak-hak manusia dan tidak akan memberikannya kecuali dengan riswah
maka dalam keadaan seperti ini laknat jatuh terhadap yang mengambil dan tidak
atas yang memberi karena sesungguhnya pemberi hanya menginginkan mengambil
haknya, dan tidak ada jalan bagi dia untuk itu kecuali dengan membayar riswah
maka yang seperti ini mendapatkan udzur. Sebagaimana ditemukan sekarang
(kita berlindung kepada Allah) di sebagian pejabat di Negara-negara Islam
yang tidak menunaikan hak-hak manusia kecuali dengan riswah ini
(kita belindung kepada Allah) maka dia telah memakan harta dengan batil, dia
telah menimpakan kepada dirinya sendiri dengan laknat. Kita memohon kepada
Allah ampunan, dan wajib bagi orang-orang Allah telah mempercayakan kepadanya
pekerjaan untuk melaksanakannya dengan keadilan dan menegakkannya dengan
perkara-perkara yang wajib ditegakkan di dalamnya sesuai kemampuannya.( Syarah
Riyadhus Sholihin , 1/187)
Berkata Ibnu Baaz Rahimahullahu :
“Dan hadits ini menunjukkan bahwa wajib atas pegawai di pekerjaaan apa saja
untuk Negara untuk menunaikan apa-apa yang dipercayakan kepadanya dan tidak
boleh bagi dia untuk menerima hadiah yang terkait dengan pekerjaaanya. Dan
apabila dia mengambilnya maka dia harus menaruhnya di Baitul Mal , dan tidak
boleh bagi dia untuk mengambil bagi dirinya sendiri berdasarkan hadits shohih
ini karena sesungguhnya hal itu merupakan perantara kejelekkan dan pelanggaran
amanat.” (Fatawa Ulama Baladil Haram Hal. 655)
Mungkin sebagian orang akan mengatakan, bahwa ini adalah fatwa ulama-ulama
masa kini, maka kita butuh ucapan ulama-ulama terdahulu. Maka perhatikanlah
ucapan para imam-imam kita terdahulu :
Imam Bukhori membuat bab di dalam shohihnya yang mencantumkan hadits ini :
“Bab Hadiah untuk pegawai” dan di tempat lain beliau membuat bab : “Bab
orang-orang yang tidak menerima hadiah dikarenakan sebab”
Imam Nawawi membuat bab dalam Shohih Muslim : “Bab haramnya hadiah untuk
pegawai”
Maka sungguh benar Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam ,
seandainya saja kira-kira kita duduk di rumah apakah akan ada yang datang orang
yang tidak dikenal memberi kita hadiah ??? seandainya kita tidak di posisi
sedang memegang urusan atau proyek apakah kita akan diberi hadiah?? apakah
apabila kita tidak sedang berada di loket-loket pelayanan masyarakat kita akan
diberi hadiah sementara pegawai lain , pegawai biasa yang tidak memegang urusan
tidak diberi hadiah ???
Umar bin Abdil aziz Rahimahullahu , beliau berkata ” Hadiah
pada zaman Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam adalah hadiah, adapun hari
ini hadiah (hakikatnya) adalah sogokan” (Syarh Ibnu Bathol 7/111)
Lajnah Da’imah Lilbuhuts Wal Ifta’ ditanya tentang 3 bentuk pemberian dalam pekerjaaan :
Pertama, Pemberian setelah
ditunaikannya seluruh pekerjaan dengan baik, tanpa adanya penyia-nyiaan,
penipuan, penambahan atau pengurangan dan tanpa mengutamakan seseorang
dibanding yang lainnya
Kedua , Dengan diminta , baik secara
jelas ataupun dengan isyarat.
Ketiga, Uang pemberian orang sebagai
tambahan jam kerja yang sudah habis,. Misalnya jam kerja sudah habis, tapi
masyarakat atau rekanan masih minta dilayani dan mereka siap membayar uang
lembur kita.
Maka mereka menjawab :
Bentuk pertama adalah salah satu bentuk memakan harta manusia dengan cara
yang batil
Bentuk kedua termasuk dalam hadits
لعنة الله على الراشي والمرتشي
“Allah melaknat orang yang memberi suap, dan yang menerima suap”
Bentuk ketiga tetap tidak boleh, karena kita berkerja pada pimpinan dan
Negara, kalau memang mereka ingin kita berkerja lebih maka mereka harus meminta
kepada pimpinan kita secara resmi agar kita berkerja lebih dan kemudian kita
dibayar oleh Negara atau perusahaan bukan dari masyarakat atau rekanan.
(Sumber Fatwa No. 9374 dengan ringkasan dan perubahan)
Dan sebagai tambahan untuk penguat hati-hati yang masih ragu, sebuah hadits
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam tentang hadiah bagi para pegawai,
beliau Shalallahu ‘alaihi wassallam bersabda :
هدايا العمال غلول
“Hadiah untuk pegawai adalah khianat”
(HR.
Ahmad dan Baihaqi dari Abu Humaidi Assa’idy Rhadiyallahu ‘anhu
, di shohihkan Al-Albani dalam Shohihul Jami’ No. 7021)
Maka bagi orang-orang yang beriman, hendaknya taat dan tunduk dengan
apa-apa yang telah diperintahkan oleh Allah dan RasulNya, jangan lagi mencari
pembenaran-pembenaran untuk mengikuti hawa nafsunya.
Allah berfirman :
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan
Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat,
sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab : 36)
Wallahu a’lam
Ibnu Dzulkifli As-Samarindy
Sumber : http://assamarindy.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar