Khutbah Jum’at adalah bagian dari zikir yang disebutkan oleh Allah Subhanahu
wata’ala
dalam surat al-Jumu’ah dan Allah Subhanahu wata’ala memerintah kita untuk bersegera mendatanginya. Khutbah juga momen yang sangat tepat untuk menjelaskan perkara agama karena saat itu kaum muslimin berkumpul pada sebuah tempat atau kampung yang tidak seperti hari-hari biasa.
Membuat Mimbar
Disyariatkan berkhutbah di atas mimbar seperti yang dilakukan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam. Di antara hikmah berkhutbah di atas mimbar adalah
memudahkan makmum untuk melihat khatib dan mendengarkan khutbahnya. (Fathul
Bari 2/400)
Waktu Azan Jum’at
Al Imam Al Bukhari rahimahullah meriwayatkan dari as-Saib bin Yazid
bahwa ia berkata, “Adalah azan Jum’at awalnya apabila imam sudah duduk di atas
mimbar di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakr dan
Umar radhiyallahu ‘anhuma. Ketika di masa Utsman radhiyallahu ‘anhu
-dan manusia telah banyak- Utsman menambahkan azan yang ketiga di Zaura.1”
(HR. al-Bukhari no. 912)
Yang dimaksud dengan tiga azan di sini adalah azan pertama sebelum Utsman
keluar untuk khutbah, azan kedua adalah ketika beliau sudah duduk di atas
mimbar, dan azan yang ketiga adalah iqamah. Jadi, iqamah juga dinamakan azan.
Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Saya menyukai untuk
dikumandangkan azan pada hari Jum’at ketika imam (khatib) telah masuk masjid
dan duduk di tempat ia berkhutbah (mimbar)…. Apabila imam telah melakukan hal
itu, muazin memulai mengumandangkan azan. Apabila telah selesai azan, imam
berdiri menyampaikan khutbahnya, tidak lebih dari itu.”
Asy-Syafi’i lalu menyebutkan hadits as-Saib bin Yazid di atas kemudian
berkata, “Atha’ mengingkari/tidak menyetujui bahwa yang melakukan azan ketiga
itu adalah Utsman. Atha’ mengatakan bahwa yang membuat-buat azan Jum’at tiga
itu adalah Mu’awiyah2.”
Lalu asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Namun, siapa pun yang melakukan
tiga azan pertama kali, perkara yang ada di zaman Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam itu (yakni hanya satu azan dan satu iqamat, -red.) tetap
lebih saya sukai.” (al-Umm 1/503-504)
Sifat Khutbah
Setelah selesai azan, khatib berdiri menyampaikan khutbahnya yang diawali
dengan pujian kepada Allah Subhanahu wata’ala, shalawat atas Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam, dan mengucapkan dua kalimat syahadat seperti halnya yang
dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Asy-Syaukani rahimahullah
menerangkan, “Tentang pujian kepada Allah Subhanahu wata’ala, mayoritas
ulama berpendapat wajibnya hal itu dalam khutbah. Demikian pula tentang
shalawat atas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Ahaditsul
Jumu’ah hlm. 340)
Adapun syahadatain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda
(yang artinya), “Semua khutbah yang tidak ada padanya tasyahud (ucapan dua
kalimat syahadat) maka khutbah itu seperti tangan yang terkena penyakit lepra.”
(Sunan Abu Dawud no. 4841, asy-Syaikh al-Albani menyatakan sahih dalam Tamamul
Minnah hlm. 334)
Seyogianya diketahui, khutbah
yang disyariatkan adalah apa yang biasa dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam, yaitu mendorong manusia untuk menjalankan perintah agama
dan menjauhi laranganlarangannya. Ini adalah ruh khutbah dan karena itu pula
khutbah disyariatkan.
Jadi, syarat utama dalam khutbah adalah nasihat yang melembutkan hati dan
memberi faedah untuk para hadirin. Adapun memulai khutbah dengan pujian kepada
Allah Subhanahu wata’ala, shalawat atas Nabi, membaca sesuatu dari
al-Qur’an, dan semisalnya, ini termasuk kesempurnaan khutbah, namun bukan
syarat sahnya.
Di antara yang berpendapat seperti ini adalah al-‘Allamah Shiddiq Hasan
Khan rahimahullah, sebagaimana disebutkan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah
dalam al-Ajwibah an-Nafi’ah (hlm. 54) dan asy-Syaikh as-Sa’di rahimahullah
sebagaimana disebutkan dalam Hasyiah asy-Syarhul Mumti’ (5/73).
Meskipun bukan syarat sahnya khutbah, tidak sepantasnya hal itu untuk
ditinggalkan -agar terhindar dari perselisihan pendapat tentang apakah hal
tersebut syarat khutbah atau bukan- karena dahulu Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam mengerjakannya.
Di sini ada sebuah hal yang perlu diingatkan, yakni sebagian khatib
menyebutkan hadits-hadits lemah dan palsu dalam khutbahnya tanpa menyebutkan
derajat haditsnya. Ini adalah salah satu sebab tersebarnya kebid’ahan di
tengah-tengah masyarakat, disadari atau tidak. Oleh karena itu, hendaknya
khatib mencukupkan diri dengan menyebutkan hadits yang sahih dan kuat.
Demikian pula jika sebagian khatib memanfaatkan kesempatan khutbahnya untuk
berkampanye, mengajak kepada partai politik tertentu dan memperingatkan umat
dari partai politik yang lain. Perbuatan ini telah mencederai kedudukan khutbah
yang sejatinya adalah zikrullah. Hendaknya para khatib takut
kepada Allah Subhanahu wata’ala dan
tidak mengkhianati umat.
Bolehkah Berkhutbah dengan Selain
Bahasa Arab?
Agar para jamaah mengambil faedah dari khutbah yang disampaikan,
sepantasnya seorang khatib memilih bahasa yang mudah dipahami. Oleh karena itu,
menurut pendapat yang terkuat, boleh berkhutbah dengan selain bahasa Arab
apabila para jamaah tidak mengerti bahasa Arab.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin berkata, “Dalam masalah ini,
yang benar adalah khatib Jum’at itu tidak boleh berkhutbah dengan bahasa yang
tidak dipahami oleh para hadirin dan selainnya. Jika para hadirin bukan orang
Arab, misalnya, dia berkhutbah dengan bahasa mereka, karena ini adalah sarana
penjelas bagi mereka. Tujuan khutbah adalah menjelaskan batasanbatasan Allah Subhanahu
wata’ala kepada para hamba-Nya serta menasihati dan membimbing mereka.
Adapun ayat-ayat al-Qur’an harus (disebutkan) dengan bahasa Arab, lalu
dijelaskan dengan bahasa hadirin.
Dalil bolehnya berkhutbah dengan
selain bahasa Arab adalah firman Allah Subhanahu wata’ala,
وَمَا اَرْسَلْنَا مِنْ رَسُوْلٍ اِلَّابِلِسَانِ قَوْمِهِ
“Kami tidak mengutus seorang
rasul pun selain dengan bahasa kaumnya.” (Ibrahim: 4)
Allah Subhanahu wata’ala menerangkan (pada ayat di atas), sarana
penjelas hanyalah dengan bahasa yang dipahami oleh orang-orang yang diajak
bicara. (Fatawa Arkanil Islam hlm. 393)
Beberapa Adab Khatib
1. Mengucapkan salam kepada
makmum ketika naik mimbar.
Hal ini berdasarkan hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwa setelah
naik mimbar, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan salam.
(Dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah no.
917)
2. Duduk setelah menaikinya, sebelum menyampaikan khutbah sambil
mendengarkan azan Jum’at yang dikumandangkan muazin serta menjawab azannya.
3. Selesai azan, ia berdiri menghadap makmum dan menyampaikan khutbah
dengan menyandarkan tangannya pada tongkat atau busur panah.
Ini berlandaskan pada hadits al-Hakam bin Hazm al-Kulafi radhiyallahu ‘anhu bahwa
ia menyaksikan/mengikuti Jum’atan bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
dan beliau berdiri
(dalam khutbah) bersandarkan pada tongkat atau busur panah. (HR. Abu Dawud
dalam Sunan-nyadanal-Hafizh menyatakannya hasan dalam at-Talkish al-Habir
2/65). Dalam masalah ini memang ada pebedaan pendapat, sebagian ulama
memandangnya tidak perlu. (-red.)
4. Duduk di antara dua khutbah
untuk istirahat sejenak lalu berdiri lagi untuk menyampaikan khutbah kedua.
Hal ini seperti penuturan sahabat Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma
bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berkhutbah dengan berdiri lalu
duduk kemudian berdiri. (Shahih al-Bukhari no. 920)
5. Mengeraskan suara (secara
wajar) agar makmum mendengar apa yang diucapkannya.
Dahulu, apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkhutbah,
kedua matanya memerah dan suaranya tinggi, seolah-olah beliau adalah seorang
pemberi peringatan kepada pasukan bahwa musuh akan menyerang di waktu pagi atau
sore. (Shahih Muslim, “Kitabul Jumu’ah”)
6. Memendekkan khutbah dan
memanjangkan shalat.
Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,
إِنَّ طُوْلَ صَلَاةِ الرَّجُلِ وَقِصَرَ خُطْبَتِهِ مَئِنَّةٌ مِنْ فِقْهِهِ
فَأَطِيْلُواالصُّلَاةَ وَاقْصُرُواالْخُطْبَةَ
Sesungguhnya panjangnya shalat dan pendeknya khutbah seseorang adalah
pertanda (mendalam) pemahamannya. Panjangkanlah shalat dan pendekkanlah
khutbah!” (ShahihMuslim no. 869 dari ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhuma)
Hadist ini menunjukkan disyariatkannya memendekkan waktu (durasi) khutbah.
Yang dimaksud adalah khutbah yang sedang, sebagaimana disebutkan dalam riwayat
lain, yaitu pertengahan, antara pendek yang tidak mencukupi dan panjang yang
berlebihan.
Pendeknya khutbah menandakan keilmuan khatib yang mendalam, dilihat dari
sisi bahwa dia bisa mengungkapkan sesuatu yang luas dengan kata-kata yang
ringkas (padat). Apabila panjang, tidak sampai memberatkan para makmum atau
sampai keluar waktu.(Ahaditsul Jumu’ah hlm. 355)
Namun, jika sesekali khatib
memanjangkan khutbah karena kebutuhan, hal ini tidak mengapa.
Di antara faedah memendekkan durasi khutbah adalah agar materi khutbah
mudah diserap dan dipahami serta agar makmum tidak bosan mendengarkannya.
7. Dimakruhkan bagi khatib mengangkat kedua tangannya saat berdoa karena
apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam hanya berisyarat dengan
jarinya ketika berdoa saat khutbah.
Hal ini berlandaskan hadits ‘Umarah bin Ruwaibah radhiyallahu ‘anhu
bahwa dia melihat Bisyr bin Marwan di atas mimbar mengangkat kedua tangannya.
‘Umarah berkata, “Semoga Allah Subhanahu wata’ala menjelekkan kedua
tangannya. Sungguh, aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
tidak lebih dari melakukan seperti ini -beliau berisyarat dengan jari
telunjuknya.” (Shahih Muslim, “Kitabul
Jumu’ah”)
Asy-Syaukani rahimahullah mengatakan bid’ahnya mengangkat kedua
tangan saat berdoa di atas mimbar. (Nailul Authar, 3/32)
Lain halnya ketika berdoa saat istisqa’ (meminta hujan), karena Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam dahulu mengangkat kedua tangannya sampai terlihat putih
ketiaknya.
8. Berkhutbah sesuai dengan
kondisi.
Misalnya, berkhutbah menjelaskan perkara-perkara yang terkait puasa
Ramadhan menjelang masuknya bulan Ramadhan atau di awal-awal Ramadhan. Hal ini
agar manusia menjalankan ibadah puasa di atas pengetahuan yang mendalam.
Demikian pula berkhutbah dengan
bahasa yang jelas dipahami sehingga tidak menimbulkan salah tafsir.
——————————————————————
1. Zaura adalah rumah milik Utsman yang ada di pasar. Azan di Zaura
dikumandangkan sebelum Utsman keluar (untuk khutbah) agar manusia tahu bahwa
waktu Jum’atan telah datang. (Fathul Bari 2/394)
Azan ini disebut azan ketiga walaupun pelaksanaannya lebih dahulu, karena
azan tersebut belum ada pada zaman Nabi dan baru ada setelahnya. Wallahu
a’lam. (-red.)
2. Pengingkaran Atha’ tidak tepat karena riwayat-riwayat telah menyebutkan
bahwa yang melakukannya adalah Utsman radhiyallahu ‘anhu. (Lihat Fathul
Bari, 2/394-395)
KEBID’AHAN-KEBID’AHAN DALAM
KHUTBAH
Ada beberapa perkara bid’ah yang
dilakukan di saat khatib berkhutbah, di antaranya:
1. Sebagian muazin mengeraskan
suara dengan menyebutkan hadits,
إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ: أَنْصِتْ فَقَدْلَغَوْتَ
“Apabila engkau mengatakan kepada
temanmu,‘Diamlah,’ pada hari Jum’at dalam keadaan imam sedang berkhutbah,
engkau telah melakukan yang sia-sia.”
Ini diucapkannya ketika imam
keluar untuk khutbah sampai naik di atas mimbar.
2. Khatib menaiki mimbar dengan
perlahan-lahan secara sengaja.
3. Khatib memukulkan tongkat atau
semisalnya pada anak tangga mimbar ketika menaikinya.
4. Duduk di bawah mimbar saat
berlangsungnya khutbah untuk mencari kesembuhan.
5. Mengkhususkan khutbah kedua untuk shalawat atas Rasul dan doa, serta
mengosongkannya dari nasihat dan peringatan.
6. Melagukan khutbah.
7. Khatib selalu mengakhiri
khutbah dengan menyebutkan ayat,
إِنّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ
Atau ucapan,
اُذْكُرُوااللهَ يَذْكُرْكُمْ
(Lihat al-Ajwibah an-Nafi’ah
karya asy-Syaikh al-Albani)
(oleh : Al-Ustadz Abdul Mu’thi,
Lc.)
Sumber:
http://asysyariah.com/kajian-utama-khutbah-jumat-dan-adab-adab-khatib.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar