Secara garis besar,
ketentuan-ketentuan tersebut bermuara pada lima hal:
1. Modal (رَأْسُ
الْمَالِ)
2. Kerja (الْعَمَلُ)
3. Keuntungan/Laba (الرِبْحُ)
4. Pemodal (صَاحِبُ
الْمَالِ) dan pengelola (الْعَامِلُ/
الْمُضَارِبُ) yang biasa
disingkat dengan (الْعَاقِدَانِ)
yakni kedua belah pihak yang melakukan kontrak kerjasama usaha.
5. Akad/ijab qabul (الصِّيْغَةُ)
Modal (رَأْسُ
الْمَالِ)
Para ahli fiqh menyebutkan beberapa ketentuan
terkait dengan masalah modal, walau sebagian besarnya masih dalam perbincangan
di antara mereka. Di antaranya adalah:
1. Modal harus berupa alat bayar (نَقْدٌ)
dalam hal ini adalah mata uang, baik dinar, dirham, ataupun yang lain.
Ibnu Qudamah rahimahullah dalam
Al-Mughni (6/418) menjelaskan: “Tidak ada khilaf (di kalangan ulama) tentang kebolehan
menjadikan dirham dan dinar sebagai modal. Karena berfungsi sebagai mata uang
dan alat bayar. Semenjak zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai
sekarang, orang-orang melakukan syirkah dengan modal tersebut tanpa ada
pengingkaran.”
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah juga
menukilkan ijma’ ulama dalam Ar-Raudhah. Lihat Takmilah Al-Majmu’ (15/103)
karya Al-Muthi’i.
Dalam hal menjadikan sebuah barang (عُرُوضٌ)
sebagai modal, ada perselisihan di kalangan ahli fiqh. Bagi sebagian ahli fiqh
yang memperbolehkannya, modal yang dianggap adalah nilai barang tersebut di
saat akad, sedangkan laba rugi ditentukan sesuai persyaratan yang disepakati
kedua belah pihak. Ketika akad mudharabah selesai (فَسَخٌ),
kedua belah pihak mengembalikan modal awal dalam bentuk nilai barang tersebut
saat akad. Ini adalah pendapat Malik, Ibnu Abi Laila, Thawus, Auza’i, Hammad
bin Abi Sulaiman, dan satu riwayat dari Ahmad bin Hanbal. (Al-Mughni, 6/419)
Pendapat ini dirajihkan Asy-Syaikh
Utsaimin rahimahullah dalam Asy-Syarhul Mumti’ (4/256).
2. Modal harus diketahui secara pasti
jumlah nominalnya (مَعْلُومُ
الْقَدَرِ) dan telah diberikan
(مُعَيَّنٌ).
Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan:
“Termasuk persyaratan mudharabah adalah modal harus diketahui jumlah
nominalnya, dan tidak diperbolehkan bila majhul (tidak diketahui) nominalnya
atau juzaf (sesuatu yang dikira-kira tanpa ada timbangan atau takaran)….”
(Al-Mughni, 6/422 dan 6/500).
Ini adalah madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i
dan Al-Imam Ahmad rahimahumallah. Dampak negatif yang ditimbulkan karena
ketidakjelasan nominal sebuah modal adalah:
a) Ketika akad mudharabah selesai,
berapa modal yang harus dikembalikan?
b) Hal tersebut rawan perselisihan dan
memicu persengketaan.
c) Akan muncul banyak ketimpangan dan
permasalahan saat usaha dijalankan.
Masalah 1: Si A punya uang dengan
nominal tertentu dipinjam si B. Apakah boleh si A menjadikannya sebagai modal
mudharabah dengan si C?
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah
menjawab dalam Raudhah-nya. “Kalau seandainya dia punya piutang pada seseorang
lalu berkata kepada pihak ketiga: ‘Aku lakukan akad qiradh denganmu. Modalnya
adalah piutangku pada si fulan. Ambil dan kelolalah untuk sebuah usaha’ atau dia
berkata ‘Aku adakan akad qiradh
denganmu. Ambil piutangku dan pakai sebagai modal usaha’ atau dia berkata
‘Ambil piutangku, jika sudah kamu pegang maka itu sebagai modal qiradh antara
kita.’
Ini semua tidak sah. Bila sang amil
(pengelola) sudah mengambilnya dan mengelola sebuah usaha, maka dia (si A)
tidak berhak mendapatkan laba yang dipersyaratkan. Semua harta milik pemodal
(shahibul maal), sedangkan sang amil hanya mendapatkan upah sebagai pegawai.
Begitu pula jika dia berkata kepada
pihak yang berutang, ‘Aku adakan akad qiradh denganmu. Modalku adalah harta
yang kamu pinjam.’ Ini semua tidak sah.” (Takmilah Al-Majmu’ 15/103, Al-Mughni
6/498)
Ketentuan sahnya akad mudharabah
dengan kondisi di atas adalah dia harus mengambil terlebih dahulu harta tersebut
(قَبْضٌ). Setelah ada di
tangan, baru dia jadikan sebagai modal dalam akad mudharabah/qiradh.
Masalah 2: Bila si A punya uang yang
dititipkan kepada si B, bolehkah dia jadikan modal mudharabah dengan si C?
Jawabnya:
Ada khilaf, yang rajih adalah diperbolehkan
kecuali bila uang tersebut hilang. Maka tidak diperbolehkan sebab kasusnya akan
sama dengan uang piutang dan ini adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i dan Ahmad
rahimahumallah (Al-Mughni 6/500-501).
3. Tidak dipersyaratkan modal
mudharabah diserahkan sepenuhnya kepada amil (mudharib/pengelola).
Sebab menurut pendapat yang lebih
rajih, sang pemodal juga diperbolehkan ikut terjun dalam usaha mudharabah dan
laba dibagi sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Ini adalah pendapat Hambali
yang dirajihkan Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (6/435).
Bahkan, bila sang pemodal mensyaratkan
salah seorang pegawainya ikut serta dalam mengelola usaha, juga diperbolehkan
dan ini adalah pendapat mayoritas sahabat radhiallahu ‘anhum.
4. Dalam akad syirkah secara umum,
tidak dipersyaratkan kesamaan jenis mata uang dalam modal.
Masalah ini terjadi bila kedua belah
pihak menjadi pemodal dan yang menjadi pengelola adalah salah satu atau
keduanya, seperti pada syirkah ‘anan.
Maka diperbolehkan misalnya salah
satunya mengeluarkan modal dalam bentuk rupiah, sementara yang lain dalam
bentuk dolar.
Namun Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin
rahimahullah memberikan catatan, apabila kurs (nilai tukar) kedua mata uang
tersebut baku tidak berubah-ubah. Jika sering terjadi perubahan (fluktuatif)
maka modal harus dari mata uang sejenis. (Asy-Syarhul Mumti’, 4/255, 264)
5. Apakah diperbolehkan mencampur
modal dengan yang lainnya?
Masalah ini ada beberapa gambaran
dengan hukum yang beragam:
a) Percampuran modal dua orang yang
berserikat baik yang mengelola salah satu atau keduanya. Masalah ini terjadi
pada syirkah ‘anan.
Pendapat yang rajih adalah tidak
dipersyaratkan percampuran dua modal menjadi satu dalam usaha. Bahkan boleh
masing-masing mengelola modalnya dalam sebuah usaha. Laba masing-masing usaha
dibagi dua antara mereka.
Untuk lebih jelasnya, para ulama
membagi “percampuran” menjadi dua:
• Percampuran total (اخْتِلَاطٌ
تَامٌّ)
Yaitu mencampur dua modal menjadi satu
untuk usaha yang dikelola secara bersama oleh kedua belah pihak. Jenis ini
dipraktikkan di kalangan madzhab Syafi’i.
• Percampuran tempat (اخْتِلَاطُ
الْمَكَانِ)
Maksudnya kedua modal disatukan di
sebuah lokasi namun masing-masingnya dikelola dalam usaha yang berbeda.
Misal: sebuah supermarket, di sisi
kanan untuk modal A dengan usaha A dikelola sendiri oleh pemilik modal.
Sedangkan di sisi kiri untuk modal B dengan usaha B juga dikelola oleh
pemodalnya sendiri.
Jenis ini dipakai oleh madzhab Maliki.
Pendapat yang shahih kedua percampuran
di atas diperbolehkan. Ini adalah pendapat Al-Imam Ahmad rahimahullah dan
dirajihkan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalah Asy-Syarhul Mumti’
(4/264).
b) Percampuran modal mudharabah dengan
harta sang amil (pengelola).
Pada prinsipnya, sang amil hanya
mengelola modal mudharabah dengan shahibul maal (pemodal) dengan kesepakatan
antara keduanya:
“Tidak diperbolehkan mencampur harta
mudharabah dengan harta dia sendiri. Jika dilakukan dan tidak bisa
diidentifikasi maka dia harus mengganti. Sebab, harta (mudharabah) adalah
amanah. Kedudukannya sama dengan harta titipan (wadi’ah).” Demikian penjelasan
Ibnu Qudamah t (Al-Mughni 6/464).
Adapun bila sang amil mengelola modal
mudharabah untuk suatu usaha, di saat yang sama dia lupa mengelola hartanya
sendiri, maka tidak boleh ada percampuran antara dua harta. Laba mudharabah
bersendiri dibagi sesuai kesepakatan, sedangkan laba usaha sendiri untuk diri
pribadi. (Al-Mughni 6/467)
Keadaan di atas dikecualikan bila ada
izin dari shahibul maal baik izin umum, menurut sebuah pendapat, maupun izin
khusus, menurut pendapat yang lain.
c) Percampuran dua modal dari shahibul
maal. Ada dua keadaan:
- Shahibul maal (pemodal) dalam waktu
bersamaan menyerahkan dua modal sekaligus kepada ‘amil.
Hal ini diperbolehkan bila sang
pemodal mempersyaratkan percampuran modal. Bila ada syarat tersebut, maka sang
‘amil boleh mencampur kedua modal, baik besar modal keduanya sama atau berbeda,
persentase bagi hasilnya sama maupun ada perbedaan.
• Shahibul maal menyerahkan dua modal
pada waktu yang berbeda. Percampuran modal diperbolehkan dengan dua ketentuan:
• Shahibul maal menyerahkan modal ke-2
sebelum ‘amil mengelola modal pertama
- Adanya syarat percampuran modal
(Ar-Riba fil Mu’amalah Al-
Mashrafiyyah 2/1089, Dr. Abdullah As-Sa’idi. Lihat Al-Mughni 6/480)
d) Percampuran modal dari dua shahibul
maal (pemodal) atau lebih.
Masalah ini ada kaitannya dengan salah
satu pembahasan (amal/kerja) yang akan dibahas pada poin-poin berikutnya.
Wallahu a’lam.
Kerja
(الْعَمَلُ)
Ada beberapa ketentuan yang harus
diperhatikan sang amil dalam mengelola harta/modal mudharabah.
1. Tidak diperbolehkan bagi sang amil
baik dia pemodal atau pengelola, membeli dan atau menjual segala sesuatu yang
diharamkan dalam syariat.
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi t menyatakan:
“Tidak diperbolehkan bagi sang amil membeli khamr atau babi, baik keduanya
(pemodal dan pengelola) muslim atau salah satunya muslim yang lainnya dzimmi1.
Bila dia lakukan maka wajib ganti rugi. Ini juga pendapatnya Asy-Syafi’i….”
(Al-Mughni 6/464-465)
Alasannya sangat jelas, seorang muslim
tidak diperkenankan melakukan praktik jual beli barang haram. Begitu pula
dzimmi, dia dilarang membelikan sesuatu yang tidak boleh dimiliki oleh seorang
muslim.
2. Taqyiidul mudharabah (تَقْيِيدُ
الْمُضَارَبَةِ)
Maksudnya adalah sang pemodal
mempersyaratkan pada akad mudharabah, modal dikelola sang amil pada jenis usaha
tertentu.
Misal: dijalankan pada usaha yang
bergerak di bidang makanan, properti, atau yang lainnya.
Atau pada pasar tertentu, misal modal
hanya dikelola di pasar Surabaya atau daerah lain secara khusus.
Atau pada pihak-pihak tertentu. Misal:
sang amil hanya boleh melakukan jual beli dari saudagar A.
Masalahnya adalah, apakah
diperbolehkan secara hukum syar’i?
Jawabnya adalah:
Mudharabah dibagi dua:
a) Mudharabah Muthlaqah (مُضَارَبَةٌ
مُطْلَقَةٌ)
Yaitu mudharabah yang bersifat tak
terbatas (unrestricted), sang pemilik dana memberikan otoritas dan hak
sepenuhnya kepada mudharib (pengelola) untuk memutar uangnya.
b) Mudharabah Muqayyadah (مَضَارَبَةٌ
مُقَيَّدَةٌ)
Yaitu mudharabah yang bersifat
terbatas (restricted) sebagaimana digambarkan di awal.
Ada khilaf di kalangan para fuqaha:
• Madzhab Malikiyah dan Syafi’i tidak
membolehkannya, dengan alasan membatasi ruang gerak sang ‘amil, khususnya bila
barang yang dipersyaratkan sulit ketersediaannya (di pasaran).
• Madzhab Hambali dan Hanafi
membolehkannya karena tidak bertentangan dengan prinsip mudharabah. Juga tidak
meniadakan keuntungan secara total walaupun mungkin menguranginya. Pendapat ini
lebih mendekati (kebenaran), dirajihkan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah dalam
Al-Mughni (6/491). Lihat Ar-Riba (2/1032-1036).
3. Tauqiitul Mudharabah (تَوْقِيتُ
الْمُضَارَبَةِ)
Maksudnya adalah shahibul maal
(pemodal) menentukan tempo tertentu dalam akad mudharabah, di mana sang ‘amil
tidak lagi diperbolehkan mengelola modal setelah jatuh tempo dan mudharabah
dianggap selesai.
Misal: Pemilik dana melakukan akad
mudharabah dengan pengelola selama satu tahun atau satu bulan.
Jumhur ulama berpendapat, mudharabah
tidak boleh ditentukan waktunya.
Namun pendapat yang rajih adalah
diperbolehkan adanya akad mudharabah dengan tempo tertentu sesuai kesepakatan
kedua belah pihak. Alasannya adalah:
• Tidak mengandung unsur riba
• Tidak mengandung unsur gharar
(pertaruhan)
• Tidak meniadakan konsekuensi akad
• Tidak meniadakan keuntungan usaha
secara total walaupun mungkin terjadi kekurangan.
Ini adalah pendapat madzhab Hanafi,
satu riwayat dalam madzhab Hambali, dirajihkan Ibnu Qudamah rahimahullah dalam
Al-Mughni (6/492) dan Dr. Abdullah As-Sa’idi dalam Ar-Riba (2/1036-1045).
Alhasil, mudharabah dilihat dari sisi
temponya dibagi menjadi dua:
• Mudharabah Mu’ajjalah (مُضَارَبَةٌ
مُعَجَّلَةٌ)
Yaitu mudharabah dengan batasan tempo
tertentu sesuai kesepakatan. Mudharabah ini selesai dengan jatuhnya tempo.
• Mudharabah Ghairu Mu’ajjalah (مُضَارَبَةٌ
غَيْرُ مُعَجَّلَةٍ)
Yaitu mudharabah tanpa ada batasan
tempo tertentu dan dianggap selesai (fasakh/ فَسَخٌ)
dengan beberapa sebab:
- Kedua belah pihak atau salah satunya
membubarkan akad mudharabah.
- Kematian salah satu atau keduanya.
- Keduanya atau salah satunya
mengalami kegilaan (gangguan jiwa).
- Terjadi hajar (هَجَرٌ),
penyitaan harta karena keduanya atau salah satunya diklaim sebagai safiih (سَفِيهٌ)
yakni pihak yang tidak layak mengelola harta. (Al-Mughni 6/485)
4. Mudharabatul Mudharib (مَضَارَبَةُ
الْمُضَارِبِ)
Maknanya adalah mudharib (amil)
menyerahkan modal mudharabah dari shahibul maal kepada amil lain dengan akad
mudharabah. Dengan kata lain, sang amil melakukan akad mudharabah dengan amil
lain dengan modal shahibul maal.
Ringkasnya, pada masalah ini ada tiga
pihak yang terkait: shahibul maal (pemodal), mudharib (amil bagi shahibul
maal), dan amil lain/pihak ketiga (amil bagi mudharib). Modal yang dipakai
adalah modal dari shahibul maal.
Masalah ini menjadi perbincangan
panjang di kalangan fuqaha. Ringkasnya, pada masalah ini ada beberapa keadaan:
a. Akad dilakukan tanpa seizin
shahibul mal.
Para fuqaha dari semua madzhab
melarang praktik akad seperti ini.
Al-Imam Malik rahimahullah menyatakan,
“Sang amil tidak diperbolehkan melakukan akad qiradh (mudharabah) dengan pihak
lain kecuali dengan perintah/instruksi shahibul maal.” (Al-Mudawwanah, 5/104)
Ibnu Qudamah rahimahullah dalam
Al-Mughni (6/461) menguraikan, “Tidak diperbolehkan bagi mudharib (amil)
menyerahkan harta (modal) kepada pihak lain sebagai akad mudharabah….”
b. Akad dilakukan dengan seizin
shahibul maal
Para fuqaha membagi izin ini menjadi
dua:
1) Izin secara umum (إِذْنٌ
عَامٌّ)
Seperti ucapan shahibul maal kepada
amil: “Kelola modal ini sekehendakmu/menurut pandanganmu.”
Madzhab Hanafi dan madzhab Hambali
menganggap sah perizinan secara umum ini, sehingga sang amil bisa melakukan
akad mudharabah dengan pihak ketiga.
Sebagian fuqaha mensyaratkan adanya
izin khusus dari shahibul maal, dan pendapat ini yang lebih tepat, khususnya di
zaman sekarang, dengan alasan:
- Lemahnya amanah dan agama keumuman
orang.
- Kemudahan fasilitas masa kini,
khususnya alat komunikasi, sehingga memudahkan bagi amil untuk meminta izin
secara khusus kepada shahibul maal. (Lihat Ar-Riba 2/1062)
2) Izin secara khusus (إِذْنٌ
خَاصٌّ)
Yaitu perizinan secara khusus dari
shahibul maal kepada amil, seperti ucapan: “Silakan melakukan akad mudharabah
dengan pihak lain.”
Seluruh fuqaha menganggap izin khusus
ini sebagai legalitas untuk pengesahan akad. Bila sang amil sudah mengantongi
izin khusus dari shahibul maal, maka dia bisa melakukan akad mudharabah dengan
pihak lain dengan modal yang ada. Masalahnya adalah, apakah sang amil
(pengelola pertama) mendapatkan laba dari mudharabah dengan pihak lain
tersebut?
Jawabnya adalah:
Kondisi sang amil pada akad ini tidak
lepas dari dua keadaan:
a. Sang amil tidak terlibat dalam
pengelolaan modal usaha
Madzhab Malikiyah (Maliki), Hanabilah
(madzhab Hambali), dan Syafi’iyah (madzhab Syafi’i) menyatakan: Tidak ada laba
bagi sang amil. Sebab laba mudharabah hanya tercapai dengan dua hal: modal dan
amal (kerja). Keduanya tidak ada pada sang amil. Modal milik shahibul maal,
sedangkan amal (kerja) dilakukan oleh pihak lain. Pendapat inilah yang shahih.
(Al-Mughni, 6/463-464)
b.Posisi amil pada kondisi ini hanya
sebagai wakil shahibul maal. Dia hanya mendapatkan upah wikalah (sebagai wakil)
yang diberikan shahibul maal. Sementara laba dibagi antara shahibul maal dengan
pihak ketiga.
Faedah
Sebagian pihak mungkin akan
mengatakan: ”Fuqaha membolehkan sang amil membayar orang lain untuk mengelola
modal usaha. Boleh juga mewakilkannya kepada orang lain. Lantas apa bedanya
masalah ini dengan yang sebelumnya?”
Jawabnya adalah: Ada perbedaan penting
yang harus diperhatikan:
- yang diperbolehkan fuqaha adalah hal
tersebut masih dalam cakupan amalan mudharib (amil) di mana sang amil tidak
terpisah dengan amalan mudharabah.
- adapun yang ditiadakan oleh fuqaha
adalah ketika sang amil tidak terlibat dalam amal mudharabah sedikitpun,
sebagaimana yang diuraikan di atas. (Ar-Riba 2/1068)
Faedah
Perbedaan antara laba dan upah ada
dua:
• Laba tidak dapat dipastikan pada
setiap kondisi. Terkadang banyak, mungkin sedikit, bahkan bisa jadi tak ada
laba sedikitpun bila terjadi kerugian pada usaha mudharabah.
Sedangkan upah, sesuatu yang pasti
apapun kondisinya. Tidak terkait dengan laba/untung-rugi sebuah usaha
mudharabah.
• Laba pada usaha mudharabah hanya
dicapai dengan modal atau kerja (amal), sementara upah tidak. (Ar-Riba,
2/1068-1069)
b. Sang amil ikut terlibat dalam
pengelolaan usaha. Kondisi ini hanya disebutkan oleh Syafi’iyah, sementara yang
lain menghukumi sama dengan kondisi sebelumnya.
Di kalangan Syafi’iyah sendiri ada
ikhtilaf dan yang rajih menurut mereka adalah tidak dapat laba dan akad
tersebut tidak diperbolehkan. Demikian tarjih An-Nawawi t dalam Ar-Raudhah
(5/132). (Lihat Ar-Riba, 2/1053-1082)
5. Melakukan akad mudharabah dengan
banyak pihak.
Masalah ini kaitannya dengan
percampuran modal usaha dari banyak shahibul amal. Gambaran masalahnya adalah
mudharib (amil) melakukan akad mudharabah dengan shahibul maal (pemodal) lalu
dia melakukan akad yang sama dengan pemodal-pemodal lain. Apa hukumnya?
Pada prinsipnya, amil tidak boleh2
melakukan akad mudharabah lagi dengan pihak/pemodal lain. Namun para fuqaha
membolehkannya dengan ketentuan:
a) Izin khusus dari pemodal awal dan
keridhaannya.
Bila diizinkan maka diperbolehkan
dengan kesepakatan ulama (Al-Mughni 6/465). Bila tidak diizinkan, maka syarat
kedua harus terpenuhi, yaitu:
b) Tidak memadharatkan pemodal awal
Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t
menyebutkan bahwa bentuk madharat yang menimpa pemodal awal adalah salah satu
dari dua perkara:
• Sang amil sibuk dengan mudharabah
kedua hingga melalaikan mudharabah pertama.
• Sang amil mengelola usaha mudharabah
kedua yang sejenis dengan mudharabah pertama, yang berakibat penurunan harga.
Misal: Pada mudharabah pertama, amil membelanjakan
modal dalam bentuk pakaian. Pada mudharabah kedua juga dibelanjakan dengan
bentuk serupa. Akibatnya terlalu banyak barang serupa menumpuk di pasaran,
harga pun jadi turun. (Asy-Syarhul Mumti’, 4/270)
Terkadang, bentuk usaha yang dikelola
berbeda, modal pertama dalam bentuk sembako, modal kedua dikelola dalam bidang
otomotif. Pada prinsipnya diperbolehkan. Namun terkadang, sang amil tersibukkan
dengan salah satunya, lalai dari yang lain. Inilah yang tidak diperbolehkan
(Asy-Syarhul Mumti’ 4/270).
Ringkasnya, perlu ada izin khusus dari
pemodal awal. “Bila tidak dizinkan namun tidak memadharatkan dia, maka
diperbolehkan tanpa ada khilaf”, demikian uraian Ibnu Qudamah rahimahullah
dalam Al-Mughni (6/465).
Apabila dua syarat tersebut tidak
terpenuhi, apakah sang amil boleh mencampur semua modal yang ada?
Pada prinsipnya, yang ditekankan
adalah keadilan, transparan, kejujuran, serta tidak ada unsur riba dan gharar
(pertaruhan).
Dua kemungkinan yang bisa ditampilkan
di sini:
a. Pemisahan total harta-harta
mudharabah dengan harta-harta yang lain.
Kelebihan teknik ini adalah bahwa
pendapatan dan biaya dapat dipisahkan dari masing-masing dana dan dapat
dihitung dengan akurat. Untung-rugi juga dapat dihitung dan dialokasikan dengan
akurat.
Kelemahannya adalah menyangkut masalah
moral hazard (penyimpangan moral) dan preferensi investasi si mudharib (amil).
Akan timbul pertanyaan: “Ke portofolio (surat berharga yang menunjukkan bukti
penanaman modal, red.) mana dana tersebut diinvestasikan?”
“Dalam portofolio mana account
officer1 ditugaskan?”
“Bagaimana si mudharib (amil)
menjelaskan jika rate of return (tingkat pengembalian/hasil dari suatu
investasi, red.) dari dana pemegang saham ternyata lebih besar dibandingkan
dengan rate of return dana mudharabah?”
Saya (penulis) punya usulan sederhana
tapi tepat: “Masing-masing modal dari shahibul maal dikelola secara tersendiri,
sesuai kesepakatan masing-masing pemodal terkait dengan persentase bagi hasil
dan yang lainnya. Lalu masing-masing usaha dilakukan pembukuan (akunting)
secara tersendiri.”
Dengan cara di atas akan tegak prinsip
keadilan, transparan, tidak ada gharar dan riba, sangat menguntungkan pihak
amil sebab dia mendapatkan laba di masing-masing pemodal.
Kelemahannya terletak pada pengelolaan
usaha dan pembukuan. Amil akan memikirkan seabrek usaha, pikirannya akan
bercabang, dan dibutuhkan perhatian serta keseriusan ekstra. Namun itu bisa
diperingan dengan dua cara:
- Menunjuk wakil untuk masing-masing
usaha yang dikelola
- Menggaji para pegawai untuk
meringankan perkerjaannya.
b. Percampuran seluruh modal2
Dengan cara ini, amil menyatukan
seluruh modal untuk sebuah usaha. Masing-masing modal dari shahibul maal
menjadi semacam saham sesuai dengan persentase besar kecilnya modal, dan laba
masing-masing dihitung sesuai dengan sahamnya.
Teknik ini cukup sederhana, dapat
menghilangkan munculnya masalah etika dan moral hazard seperti di atas, tapi
menimbulkan kesulitan dalam hal akunting.
Yang ditekankan pada teknik ini adalah
ketelitian, kejujuran, transparansi, dan laporan pertanggungjawaban kepada para
pemodal. (Lihat Bank Syari’ah hal. 139)
Faedah
Bila ketentuan di atas tidak terpenuhi
namun sang amil tetap meneruskan akadnya maka semua laba adalah milik pemodal,
sedangkan amil hanya mendapatkan upah seorang pegawai.
Kaidahnya, kata Asy-Syaikh Ibnu
Utsaimin t: “Apabila akad mudharabah tidak sah, maka seluruh laba adalah milik
pemilik modal dan amil mendapatkan upah sebagai pegawai.” (Asy-Syarhul Mumti’,
4/270)
6. Amil diharuskan mengerjakan segala
sesuatu yang bisa dilakukan seorang amil dan dia tidak mendapatkan upah/laba
khusus untuk itu.
Adapun pekerjaan di luar kebiasaan
maka dia bisa menggaji pegawai yang diambilkan dari modal (termasuk biaya
operasional usaha). (Al-Mughni 6/470)
7. Apabila amil melakukan tindakan
kecerobohan yang membuat hilang/rusaknya aset, maka dia harus memberi ganti
rugi.
Begitu pula bila dia melakukan
aktivitas yang tidak boleh dia lakukan atau membeli sesuatu yang dilarang untuk
dibeli, maka dia harus membayar ganti rugi.
Ini adalah pendapat mayoritas ulama,
diriwayatkan dari Abu Hurairah, Hakim bin Hizam, Abu Qilabah, Nafi’, Iyas,
Asy-Sya’bi, An-Nakha’i, Al-Hakam, Hammad, Malik, Syafi’i, Ahmad, Ishaq, dan
ashabur ra’yi (Al-Mughni 6/468).
8. Amil tidak boleh membeli barang
dengan harga yang melebihi modal usaha.
Bila dia lakukan maka ada dua
kemungkinan:
a. Dia beli dengan niat yang lebih
menjadi tanggungannya. Maka jual belinya sah dan kelebihan barang menjadi
miliknya, tidak termasuk dalam akad mudharabah.
b. Tidak berniat untuk menanggungnya,
maka jual belinya tidak sah. (Al-Mughni 6/459)
Laba (الرِبْحُ)
Terkait dengan laba juga ada beberapa
ketentuan yang harus diperhatikan:
1. Laba mudharabah sesuai dengan
kesepakatan pemodal dan mudharib (amil).
Al-Imam Ibnul Mundzir t dalam kitab
Al-Ijma’ (hal. 111) menyatakan: “Para ulama sepakat, sang amil diperbolehkan
menentukan persyaratan laba, baik itu 1/3, ½, atau sesuai kesepakatan kedua
belah pihak….” (Al-Mughni 6/437)
Laba yang dipersyaratkan sesuai
kesepakatan tidak mesti 50:50 (fifty:fifty). Bisa jadi shahibul maal lebih
banyak atau lebih sedikit. Begitu pula laba mudharib.
2. Laba mudharib harus dipastikan
dengan jelas dan diketahui persentasenya (الرِبْحُ
مَعْلُومٌ)
Ini termasuk syarat sah akad
mudharabah. Bila pemodal menyerahkan modal usaha tanpa menyebutkan persentase
laba mudharib, maka akad tersebut tidak sah. Untung-rugi ditanggung penuh
pemodal dan amil hanya mendapatkan upah sebagai karyawan. Ini adalah pendapat
Ats-Tsauri, Abu Tsaur, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq bin Rahawaih, dan Ashhabur
Ra’yi. Pendapat inilah yang rajih. (Takmilah Al-Majmu’ 15/113 dan Al-Mughni
6/440-441)
3. Laba mudharabah dipersyaratkan
dalam bentuk persentase: 25%, 50%, 60%, atau 1/3, ¼, 2/3, dan seterusnya.
Ibnul Mundzir rahimahullah
menjelaskan: “Seluruh ahli ilmi yang kami kenal bersepakat, akad qiradh
(mudharabah) dinyatakan batal bila salah satunya atau keduanya mempersyaratkan
(laba) untuk dirinya dalam bentuk nominal uang tertentu. Di antara ulama yang
kami hafal (nama-nama)nya adalah Malik, Al-Auza’i, Asy-Syafi’i, Abu Tsaur, dan
Ashhabur Ra’yi….”
Ini juga madzhab Al-Imam Ahmad
rahimahullah, disebutkan Ibnu Qudamah rahimahullah dalam Al-Mughni (6/448).
Penentuan laba dalam bentuk nominal
terlarang karena alasan-alasan di bawah ini:
a. Ada unsur pertaruhan (judi)
Sebab, bisa jadi usaha tersebut
menghasilkan laba sedikit hanya cukup untuk jatah amil. Atau bahkan mengalami
kerugian sehingga modal usaha pun terambil untuk jatah laba mudharib. Bahkan
bisa terjadi kerugian total, pemodal pun harus merogoh kocek lagi untuk
memberikan jatah laba mudharib.
Pada semua kondisi di atas, yang
dirugikan adalah pemodal. Mungkin pula yang terjadi sebaliknya, usaha yang
dikelola mendapatkan laba melimpah ruah, sang mudharib (amil) hanya mendapatkan
nominal yang dipersyaratkan.
Kondisi di atas meniadakan sikap
keadilan, dan yang diuntungkan adalah pemodal.
b. Menimbulkan ketimpangan dalam
mengelola usaha mudharabah.1
4. Laba dibagi setelah modal kembali.
Maka sang mudharib (amil) tidak bisa
mengambil laba sebelum modal dikembalikan.Tidak ada khilaf di kalangan ulama
dalam masalah ini. Ibnu Qudamah rahimahullah menguraikan dengan jelas masalah
ini dalam Al-Mughni (6/472):
“Mudharib tidak berhak mengambil
sedikit pun laba (mudharabah) hingga dia menyerahkan modal kepada shahibul maal
(pemodal). Bilamana pada modal usaha ada kerugian dan keuntungan, maka
keuntungan yang ada dipakai untuk menutup kerugian. Baik untung-rugi tersebut
pada sekali usaha, atau kerugian terjadi pada salah satu akad jual beli
sedangkan akad lain ada keuntungan. Ataupun salah satunya terjadi pada
serangkaian usaha, sedangkan yang lain terjadi pada safari usaha berikutnya.
Sebab pengertian “laba” adalah sesuatu
yang lebih dari modal usaha. Bila tidak ada kelebihan maka tidak ada laba. Kami
tidak mengetahui adanya khilaf (ulama) dalam masalah ini….”
Faedah
Ibnu Qudamah rahimahullah juga
menyatakan: “Apabila pada usaha mudharabah tampak keuntungannya, maka sang
mudharib tidak boleh mengambil sedikit pun laba tersebut tanpa seizin pemodal.
Kami tidak mengetahui adanya khilaf di kalangan ulama dalam masalah ini….”
(Al-Mughni 6/484)
Bila sang mudharib atau pemodal
menuntut pembagian laba yang tampak sebelum modal kembali, maka ada dua
kemungkinan:
a. Salah satunya menolak pembagian
laba
Dalam kondisi demikian yang didahulukan
adalah ucapan pihak yang menolak, sehingga laba tidak boleh dibagi.
b. Keduanya sama-sama ridha
Dalam kondisi seperti ini, pendapat
mayoritas ulama sebagaimana yang dinukil Ibnul Mundzir t, sang mudharib tidak
boleh mengambil laba hingga modal kembali (Al-Mughni 6/484-485).
5. Kaidah dalam masalah mudharabah:
الْوَضِيعَةُ
فِي الْمُضَارَبَةِ
عَلَى الْمَالِ
خَاصَّةً لَيْسَ
عَلَى الْعَامِلِ
مِنْهَا شَيْءٌ
“Kerugian pada akad mudharabah
ditanggung harta (modal), sang amil tidak menanggung kerugian sedikit pun.”
(Al-Mughni 6/447)
Maksudnya, bila pada usaha mudharabah
terjadi kerugian, pada prinsipnya yang menanggung adalah pemilik modal, bukan
mudharib (amil). Kerugian sang amil adalah dia tidak mendapatkan apapun dari
usaha mudharabah.
Lebih jelasnya, usaha mudharabah
mengalami beberapa kemungkinan:
a. Mendapatkan laba
Maka laba itulah yang dibagi sesuai
persentase jatah yang disepakati setelah modal kembali.
b. Tidak untung tidak rugi (kembali
modal)
Maka pemodal mendapatkan kembali
modalnya sedangkan amil tidak mendapatkan apa-apa.
c. Terjadi kerugian
Ada dua kemungkinan lagi untuk kondisi
ini:
1) Rugi dan modal masih sisa
Maka kerugian ditanggung modal,
shahibul maal hanya mendapatkan sisa modal yang ada. Sementara amil tidak
mendapatkan apa-apa.
2) Rugi total
Kerugian ditanggung modal, shahibul
maal kehilangan modalnya, amil tidak mendapatkan apa-apa.
Bila usaha mudharabah mengalami
kerugian, maka pemodal tidak bisa menuntut amil ganti rugi kecuali pada satu
keadaan, yaitu bila kerugian terjadi murni akibat
keteledoran/kecerobohan/tindak sewenang-wenang sang amil.2
Faedah penting
Ibnu Qudamah rahimahullah menegaskan:
“Bilamana shahibul maal mempersyaratkan ganti rugi atas amil atau ikut andil
dengan saham saat kerugian, maka persyaratan tersebut batal. Kami tidak
mengetahui adanya khilaf…” (Al-Mughni 6/490. Lihat Fatawa Al-Lajnah 14/335)
Jika terjadi akad mudharabah dengan
syarat di atas maka termasuk akad pinjam meminjam/utang-piutang yang ada unsur
kemanfaatan (bunga). Inilah riba.
Kaidah yang disepakati ulama:
كُلُّ
قَرْضٍ جَرَّ
نَفْعًا فَهُوَ
رِبًا
“Setiap akad pinjam-meminjam yang ada
unsur manfaat (bunga) maka dia adalah riba.”
Akad di atas bukan قِرَاضٌ
(mudharabah) lagi tapi قَرْضٌ
(pinjaman). (Lihat Fatawa Al-Lajnah, 14/340)
الْعَاقِدَانِ
(Kedua belah pihak yang melakukan
kontrak mudharabah)
Yang dimaksud adalah pemodal (shahibul
maal) dan mudharib (amil). Ketentuannya sebagai berikut:
1. Pemodal dan amil adalah pihak yang
diizinkan transaksinya secara syar’i yaitu aqil (berakal) dan baligh.
Mudharabah adalah sebuah akad
kerjasama dua pihak untuk menjalankan usaha. Maka dipersyaratkan padanya apa
yang dipersyaratkan pada jual beli.
Masalah ini sudah penulis singgung
dalam majalah Asy Syariah Vol. III/No. 25/1427 H/2006 hal. 16 rubrik Kajian
Utama.
2. Diperbolehkan melakukan akad
mudharabah dengan orang kafir. Ini adalah pendapat Ahmad, Al-Hasan Al-Bashri,
dan Al-Auza’i rahimahumullah. Pendapat inilah yang rajih, dikuatkan oleh Ibnu
Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah dalam Al-Mughni (6/400).
Dalilnya adalah keumuman firman Allah
Subhanahu wa ta’ala:
“Allah tiada melarang kamu untuk
berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu
karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Mumtahanah: 8)
Juga tindakan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam yang melakukan muamalah duniawi dengan Yahudi. Lihat Shahih
Bukhari (no. 2068).
Namun dengan ketentuan, tidak boleh
melakukan transaksi atau jual beli barang haram sebagaimana telah diuraikan
sebelumnya. Bila si kafir melakukan hal di atas, maka dia wajib memberi ganti
rugi modal yang dipakai untuk itu.
Di antara cara untuk mengantisipasi
masalah ini adalah yang mengelola usaha adalah amil muslim, atau amil kafir
dengan pengawasan ketat. (Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 14/286-288)
3.
Diperbolehkan bagi wali anak kecil atau orang gila untuk mengembangkan
harta mereka pada akad mudharabah, baik itu ayahnya, kakeknya, mushiy (yang
diberi wasiat), hakim (pemerintah), atau orang yang dipercaya hakim. (Takmilah
Al-Majmu’, 15/111)
Ijab Qabul (الصِيْغَةُ)
Lafadz ijab qabul bisa menggunakan
kalimat قِرَاضٌ,
مُضَارَبَةٌ, atau مُعَامَلَةٌ.
Akad mudharabah bisa diresmikan dengan
ijab qabul menggunakan kalimat apapun, dengan bahasa apapun yang dipahami
sebagai mudharabah.
Akad dianggap sah dengan menggunakan
lafadz ijab qabul atau cara lain yang dipahami sebagai mudharabah. Ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan, di antaranya:
1. Akad mudharabah dianggap batal
dengan kematian salah satunya atau kegilaan yang menimpa salah satunya, baik
itu sesudah berjalannya usaha atau sebelumnya. Namun bila ahli waris mereka
hendak melanjutkan akad tersebut, maka diperbolehkan (Al-Mughni 6/488, 485).
2. Akad mudharabah dianggap batal bila
modal usaha hilang/hancur sebelum usaha dijalankan. Bila ingin melanjutkan
akad, maka harus didatangkan modal baru (Al-Mughni, 6/490).
Demikian sedikit ulasan tentang
hukum-hukum dan ketentuan mudharabah dalam Islam. Sesungguhnya masih banyak
lagi masalah yang perlu diangkat namun dicukupkan uraian di atas karena
keterbatasan lembar majalah. Wallahu a’lam.
1 Dzimmi adalah orang kafir yang hidup
bersama kaum muslimin di wilayah Islam.
2 Asy-Syaikh Ibnul Utsaimin t
menegaskan bahwa hukumnya adalah haram. (Asy-Syarhul Mumti’ 4/272)
1 Account Officer (AO) adalah pejabat
bank yang bertugas sejak mencari nasabah yang layak sesuai kriteria peraturan
bank, menilai, mengevaluasi, mengusulkan besarnya kredit yang diberikan. Pada
praktiknya, ia menjadi konsultan investasi.
2 Teknis inilah yang dipakai di
bank-bank syariah di Indonesia.
1 Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah
14/319, Fatawa Asy-Syaikh Ibnu Baz 19/324.
Faedah:
Adapun nominal yang dipastikan dari
laba, tidaklah diperbolehkan sebab termasuk riba. Karena termasuk qiradh
(pinjaman) yang dipersyaratkan adanya sebuah kemanfaatan. (Fatawa Al-Lajnah
14/288)
Begitu pula tidak boleh disepakati
adanya laba tertentu sekian persen tiap bulannya, sebab mudharabah mengandung
kemungkinan untung dan rugi. (Al-Lajnah Ad-Da’imah, 14/360)
2 Lihat Fatawa Al-Lajnah (14/308 dan
334)
(ditulis
oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin)
Sumber:
http://asysyariah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar