Sebagaimana dengan keburukan lainnya, ghuluw pun akan menyeret hamba
pada penyimpangan-penyimpangan berikutnya. Maka sudah semestinya kita
mendeteksi secara dini penyakit bernama ghuluw ini.
Sikap ghuluw di dalam ibadah adalah keburukan. Tidak ada sedikitpun
kebaikan di dalamnya. Sebagaimana halnya kebaikan, satu bentuk kebaikan
akan melahirkan segenap kebaikan. Nabi n bersabda:
الْخَيْرُ لاَ يَأْتِي إِلاَّ بِالْخَيْرِ
“Kebaikan itu tidak akan mendatangkan kecuali kebaikan juga.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudri z)
Demikian pula keburukan, satu keburukan akan mendorong seseorang
terjatuh dalam rangkaian keburukan berikutnya. Satu bentuk ghuluw yang
dilakukan seseorang tentu akan membawa dirinya untuk melakukan ghuluw
yang lain. Sehingga, benarlah Rasulullah n yang telah memperingatkan
umat dari bahaya ghuluw ini.
Sekadar Contoh Ghuluw
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t menjelaskan bahwa ghuluw banyak sekali
macamnya. Di antaranya ghuluw di dalam aqidah, ibadah, mu’amalah, dan
ada juga ghuluw di dalam adat kebiasaan. Ghuluw di dalam aqidah,
contohnya adalah orang yang terpengaruh oleh Ahlul Kalam di dalam
menetapkan sifat-sifat Allah l. Sesungguhnya Ahlul Kalam bersikap
terlalu berlebihan yang pada akhirnya berujung pada kehancuran.
Perbuatan mereka menyebabkan terjatuhnya seorang hamba kepada salah satu
dari dua kesesatan. Yaitu tamtsil (menyamakan Allah l dengan makhluk
atau sebaliknya) dan ta’thil (mengingkari sifat-sifat Allah l).
(Al-Qaulul Mufid, 1/394)
Ghuluw di dalam masalah sifat-sifat Allah pertama kali terjadi pada
diri Al-Ja’d bin Dirham. Kepalanya dipenggal oleh penguasa ‘Iraq ketika
itu, Khalid bin Abdul ‘Aziiz Al-Qasri, karena Al-Ja’d berkeyakinan
kalamullah (Al-Qur’an) adalah makhluk. Pemikiran Al-Ja’d ini diteruskan
oleh Al-Jahm bin Shafwan At-Tirmidzi. Melalui Al-Jahm inilah, pemikiran
ghuluw di dalam memahami sifat-sifat Allah k tersebar. Walaupun pada
akhirnya, Al-Jahm pun dibunuh oleh penguasa Khurasan, Salm bin Ahwaz.
(Haqiqat Al-Ghuluw, ’Ali bin ‘Abdil ‘Aziz, hal. 47)
Tentang ghuluw di dalam memahami sifat-sifat Allah l, Asy-Syaikh
Ibnu ‘Utsaimin t juga memberikan contoh dengan seorang pelajar yang
mengajukan beberapa pertanyaan yang tidak semestinya ditanyakan.
Pertanyaan itu terkait dengan ayat dan hadits tentang sifat-sifat Allah
l. Padahal pertanyaan itu tidak pernah ditanyakan oleh salaf. Sebagai
contoh, hadits Rasulullah n yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim t dari
sahabat Abdullah bin ‘Amr c:
إِنَّ قُلُوبَ بَنِي آدَمَ كُلَّهَا بَيْنَ إِصْبِعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ الرَّحْمَنِ كَقَلْبٍ وَاحِدٍ يَصْرِفُهُ حَيْثُ يَشَاءُ
“Sesungguhnya hati anak cucu Adam berada di antara dua jari jemari
Ar-Rahman seperti satu hati saja. Dia membolak-balikkannya sesuai yang
Dia kehendaki.”
Sang pelajar yang bersikap ghuluw ini bertanya, “Berapakah jumlah
jari-jemari Allah k? Apakah ada ruas-ruasnya? Berapakah jumlah ruasnya?”
Hal-hal seperti ini tidak boleh ditanyakan karena termasuk sikap
ghuluw. (Syarah Riyadhus Shalihin)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t juga menjelaskan bahwa ghuluw di dalam
ibadah artinya terlalu bersikap keras. Dengan memandang adanya sedikit
saja kekurangan di dalam ibadah telah divonis sebagai bentuk kekufuran
serta keluar dari ajaran Islam. Sebagaimana ghuluw yang dilakukan oleh
kelompok Khawarij dan Mu’tazilah. Mereka berpendapat, seseorang yang
melakukan satu bentuk dosa besar telah keluar dari Islam. Harta dan
darahnya menjadi halal. Mereka membolehkan untuk memberontak kepada
pemerintah muslim. Adapun Mu’tazilah berpendapat, seseorang yang
terjatuh dalam dosa besar dia berada di antara dua keadaan. Antara
kekufuran dan keimanan. Keyakinan ini pun satu bentuk sikap ghuluw yang
akan mengantarkan kepada gerbang kehancuran. (Al-Qaulul Mufid, 1/394).
Lihat pembahasan secara lengkap tentang masalah ini pada Asy Syari’ah
Vol I/No. 08/1425 H/Juli 2004.
Di antara contoh ghuluw di dalam beribadah adalah perbuatan
sebagian orang yang berwudhu dalam bilangan yang berlebihan. Dia
berwudhu hingga empat, lima, atau enam kali bahkan lebih dari itu,
dengan alasan untuk lebih sempurna. Padahal Rasulullah n mengajarkan
kepada kita untuk berwudhu tidak lebih dari tiga kali. Dalam hadits
Abdullah bin ‘Amr c riwayat Abu Dawud (no. 135), Rasulullah n bersabda
setelah menjelaskan tata cara berwudhu:
هَكَذَا الْوُضُوءُ فَمَنْ زَادَ عَلَى هَذَا فَقَدْ أَسَاءَ وَظَلَمَ
“Demikianlah cara berwudhu, barangsiapa menambah (lebih dari itu) maka dia telah berbuat jelek dan zalim.”
Contoh lain, seseorang yang mandi janabah.
Dia memberatkan dirinya sendiri dengan berusaha memasukkan air ke dalam
telinga dan lubang hidungnya. Perbuatan ini masuk di dalam larangan
Rasulullah n:
هَلَكَ الْـمُتَنَطِّعُونَ
“Benar-benar binasa orang-orang yang bersikap tanaththu’.” (HR. Muslim dari Abdullah bin Mas’ud z) [Syarah Riyadhus Shalihin]
Contoh lain tentang ghuluw di dalam ibadah. Orang yang sedang jatuh
sakit, pada bulan Ramadhan dia memaksakan diri untuk tetap berpuasa.
Padahal Allah l membolehkan baginya untuk berbuka. Karena dia
membutuhkan suplai makanan, minuman, dan obat. (Syarah Riyadhus
Shalihin)
Adapun ghuluw di dalam muamalah, dijelaskan oleh Asy-Syaikh Ibnu
‘Utsaimin t, yaitu dengan berlebihan di dalam mengharamkan sesuatu
walaupun hal tersebut hanyalah sekadar wasilah. Seperti yang dilakukan
oleh para pengikut ajaran Shufi (Sufi). Mereka berkeyakinan bahwa orang
yang bekerja mencari kehidupan dunia adalah orang yang tidak memiliki
keinginan untuk mendapatkan akhirat. Mereka juga menyatakan, “Tidak
boleh engkau membeli sesuatu yang bukan kebutuhan primer.” Keyakinan
mereka ini sangat parah, karena mereka telah mengharamkan sesuatu yang
dihalalkan oleh Allah l.
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa-apa yang disebut-sebut
oleh lidahmu secara dusta ‘ini halal dan ini haram’, untuk
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.” (An-Nahl:
116)
Untuk pembahasan lengkap tentang Sufi silakan merujuk Majalah Asy Syari’ah Vol. I/No. 07/1425 H/2004.
Contoh berikutnya di dalam muamalah, adalah kebiasaan sebagian
penuntut ilmu. Dia memaksakan diri untuk membaca dalam keadaan
mengantuk. Yang dia dapatkan hanya lelah. Karena seseorang yang membaca
dalam keadaan mengantuk tidak akan bisa mengambil manfaat dari
bacaaannya. Seharusnya jika dia mulai merasakan kantuk, dia menutup
kitab dan tidur untuk beristirahat. Bahkan selepas shalat Ashar atau
selepas shalat Shubuh, seandainya dia merasakan kantuk berat hendaknya
ia beristirahat. (Syarah Riyadhus Shalihin, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t)
Di antara bentuk ghuluw di dalam mu’amalah sehari-hari adalah yang
disebutkan oleh Al-Imam Abdurrahman bin Hasan t yaitu dengan menahan
diri dari hal-hal yang mubah secara mutlak. Seperti orang yang tidak mau
makan daging dan roti. Hanya mengenakan pakaian dari bahan-bahan yang
kasar atau tidak ingin menikah. Dia meyakini hal-hal seperti ini
merupakan bentuk zuhud yang terpuji. Padahal orang semacam ini adalah
orang yang jahil dan sesat. (Fathul Majid, 1/396)
Nasihat Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri t
Alangkah indahnya wasiat salaf. Wasiat yang akan membimbing kita di
dalam meniti jejak generasi terbaik umat ini. Al-Imam Al-Hasan
Al-Bashri t berkata, “Demi Dzat Yang tidak ada sesembahan yang berhak
diibadahi kecuali Dia, menegakkan As-Sunnah itu berada di antara dua
kelompok. (Kelompok) yang ghuluw dan (kelompok) yang bersikap
meremehkan. Maka bersabarlah kalian di dalam mengamalkan As-Sunnah,
semoga Allah l senantiasa merahmati kalian. Sesungguhnya pada waktu yang
lalu Ahlus Sunnah adalah golongan yang paling sedikit jumlahnya. Maka
demikian pula pada waktu yang akan datang, mereka adalah golongan yang
paling sedikit jumlahnya. Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang tidak
mengikuti kemewahan manusia. Tidak pula mengikuti kebid’ahan manusia.
Mereka senantiasa bersabar di dalam mengamalkan As-Sunnah sampai bertemu
dengan Rabb mereka. Maka hendaknya kalian pun demikian.” (Syarah
Ath-Thahawiyyah, 2/326)
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar)
sumber: http://asysyariah.com/ghuluw-disekitar-kita.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar