Takwa
adalah sumber seluruh kebaikan sehingga orang-orang yang bertakwa adalah
orang-orang
yang menyibukkan dirinya dengan berbagai kebaikan, baik terkait dengan dirinya
maupun orang lain. Termasuk kebaikan yang muncul dari ketakwaan adalah amalan
yang mengagungkan syiar-syiar Allah Subhanahu wata’ala, sebagaimana firman-Nya,
ذَالِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَآءِرَ اللهِ فَإِنَّهَا مِنْ
تَقْوَى الْقُلُوْبِ
“Demikianlah
(perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka
sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (al-Hajj: 32)
Yang
perlu diperhatikan, mengagungkan syiar-syiar Islam harus dengan ikhlas dan sesuai dengan tuntunan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebab, amalan-amalan ini termasuk
ibadah yang agung, yang tidak akan diterima oleh Allah Subhanahu wata’ala
selain dengan dua syarat tersebut. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَمَآ اُمِرُوْآ اِلَّا لِيَعْبُدُ اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ
الدِّيْنَ حُنَفَاءَ
“Padahal
mereka tidak disuruh selain untuk menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” (al-Bayyinah: 5)
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَ لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang
siapa melakukan sebuah amalan yang tidak ada perintah dari kami padanya, amalan
itu tertolak.” (HR. Muslim)
Mengagungkan
syiar-syiar Allah Subhanahu wata’ala bukan dengan cara-cara yang mengandung syirik, bid’ah, dan mungkar, seperti
yang dilakukan oleh ahlul bid’ah dan mayoritas orang-orang jahil. Mereka ingin
mengagungkan syiar-syiar Islam, namun dengan cara-cara yang mungkar.
Na’udzubillah min dzalik. Allah Subhanahu wata’ala dengan keadilan dan
hikmah-Nya yang sempurna menjadikan masjid-masjid dan hari Jumat sebagai bagian
dari syiar-syiar yang mulia. Masjid adalah markas dakwah dan ibadah, sedangkan
hari Jumat adalah hari raya kaum muslimin setiap pekan, dengan berbagai ibadah
dan keutamaan-keutamaan yang khusus. Allah Subhanahu wata’ala mengabarkan
kemuliaan masjid di dalam kitab-Nya,
فِى بُيُوْتٍ اَذِنَ اللهُ اَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيْهَا
السْمُهُ ۙ يُسَبِّحُ لَهُ فِيْهَا بِالْغُدُوِّ وَالْاٰصَالِ رِجَالٌ
لَاتُلْهِيْهِمْ تِجَا رَةٌ بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللهِ وَاِقَامِ الصَّلٰوْةِ
وَاِتَآءِ الزَّكٰوةِ ۙ يَخَافُوْنَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيْهِ الْقُلُوْبُ
وَالْاَبْصَارُ
“Bertasbih
kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan
disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang
tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jualbeli dari mengingat
Allah, dan (dari) mendirikan shalat, dan(dari) membayarkan zakat. Mereka takut
kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi guncang.”
(an-Nur : 36-37)
Allah Subhanahu wata’ala juga berfirman,
Allah Subhanahu wata’ala juga berfirman,
مَاكَانَ لِلْمُشْرِكِيْنَ اَنْ يَعْمُرُوْا مَسَاجِدَاللهِ
شَاهِدِيْنَ عَلٰى اَنْفُسِهِمْ بِالْكُفْرِ ۗ اُوْلٰئِكَ حَبِطَتْ اَعْمَالُهُمْ
ۚ وَفِى النَّارِ هُمْ خَالِدُوْنَاِنَّمَا يَعْمُرُمَسَاجِدَاللهِ مَنْ اٰمَنَ
بِااللهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَاَقامَ الصَّلَاةَ وَاٰتى الزَّكٰوةَ وَلَمْ
يَخْشَ اِلَّا اللهَ ۗ فَعَسٰى اُولٰئِكَ اَنْ يَكُوْنُوْا مِنَ الْمُهْتَدِيْنَ
“Tidaklah
pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid-masjid Allah, sedangkan
mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia
pekerjaannya, dan mereka kekal di dalam neraka. Hanyalah yang memakmurkan
masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari
kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut
(kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang
diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (at-Taubah:
17-18)
Allah
Subhanahu wata’ala juga berfirman tentang ibadah yang khusus pada hari Jumat,
يَآاَيُّهَاالَّذِيْنَ ءٰمَنُوْآإِذَانُوْدِيَ لِلصَّلٰوةِ مِنْ
يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا اِلٰى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُواالْبَيْعَ ۗ ذٰالِكُمْ
خَيْرٌ لَكُمْ اِنْكُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila diseur untuk menunaikan shalat pada hari
Jumat, bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.
Hal itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”( al-Jumu’ah : 9 )
Adapun
salah satu dalil yang menunjukkan bahwa hari Jumat adalah hari raya pekanan
kaum muslimin adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَضَلَّ اللهُ عَنِ الْجُمُعَةِ مَنْ كَانَ قَبْلَنَا، فَكَانَ
لِلْيَهُودِ يَوْمُ السَّبْتِ ، وَكَانَ لِلنَّصَارَ ى يَوْمُ الْأَحَدِ، فَجَاءَ
اللهُ بِنَا فَهَدَانَا اللهُ لِيَوْمِ الْجُمُعَةِ
“Allah
Subhanahu wata’ala menjadikan umat-umat sebelum kita tidak mengetahui keutamaan
hari Jumat. Orang-orang Yahudi menjadikan hari raya pekanan pada hari Sabtu,
sedangkan orang-orang Nasrani mendapatkan hari raya pekanan pada hari Ahad.
Kemudian Allah menunjuki kita untuk memilih hari Jumat (sebagai hari raya
pekanan).” (HR. Muslim)
Kami
akan menjelaskan beberapa hal terkait dengan tata cara mengagungkan masjid dan
hari Jumat sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
1.
Mengagungkan dan memakmurkan masjid dengan membersihkannya dari berbagai
kotoran dan hal-hal yang berbau tidak sedap, memberi pengharum ruangan setiap
hari, terkhusus hari Jumat
a.
Disunnahkan menyapu dan membersihkan masjid dari benda-benda najis dan
menjijikkan, seperti kencing, kotoran manusia, ludah, ingus, dahak, dan
lain-lain. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh beberapa hadits berikut.
•
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
أَنَّ امْرَأَةً سَوْدَاءَ كَانَتْ تَقُمُّ الْمَسْجِدَ أَوْ
شَابًّا فَفَقَدَهَا رَسُولُ اللهِ صل الله عليه وسلم فَسَأَلَ عَنْهَا أَوْ
عَنْهُ فَقَالُوا: مَاتَ. قَالَ: أَفَ كُنْتُمْ آذَنْتُمُونِي؟ قَالَ:
فَكَأَنَّهُمْ صَغَّرُوا أَمْرَهَا أَوْ أَمْرَهُ. فَقَالَ: دُلُّونِي عَلَى
قَبْرِهِ. فَدَلُّوهُ فَصَلَّى عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَ: إِنَّ هَذِهِ الْقُبُورَ
مَمْلُوءَةٌ ظُلْمَةً عَلَى أَهْلِهَا وَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يُنَوِّرُهَا
لَهُمْ بِصَ تَالِي عَلَيْهِمْ
“Seorang
wanita hitam -atau seorang pemuda- yang biasa membersihkan (menyapu) masjid
meninggal. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam merasa kehilangan sehingga
bertanya tentangnya. Mereka menjawab, “Dia sudah meninggal.” Beliau
berkata,“Mengapa kalian tidak memberitahukannya kepadaku?” Seakan-akan mereka
menganggap kecil urusannya. Beliau berkata, “Tunjukkanlah kuburannya kepadaku!”
Merekapun menunjukkan kuburannya lantas beliau menshalatkannya. Lalu beliau
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya kuburan-kuburan ini telah
dipenuhi oleh kegelapan bagi para penghuninya, dan sesungguhnya Allah Subhanahu
wata’ala meneranginya dengan sebab shalatku (ini) atas mereka.” (HR. al-Bukhari
dan Muslim)
Asy-Syaikh
bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Termasuk faedah hadits ini
adalah bolehnya seorang wanita mengurusi kebersihan masjid dan hal ini tidak
terbatas bagi kaum laki-laki saja. Bahkan, siapa saja yang mengharapkan pahala
dengan membersihkan masjid, dia akan mendapatkannya. Sama saja, wanita itu
sendiri yang membersihkannya atau dia menyuruh orang lain dan dia membayar
upahnya.” (Syarh Riyadhus Shalihin, 2/29)
•
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha,
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صل الله عليه وسلم رَأَى فِي جِدَارِ
الْقِبْلَةِ مُخَاطًا أَوْ بُصَاقًا أَوْ نُخَامَةً فَحَكَّهُ
“Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam melihat ingus, ludah, atau dahak menempel ditembok
masjid sebelah kiblat, maka beliau mengeriknya (membersihkannya).” (Muttafaqun
‘alaih)
• Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,
الْبُزَاقُ فِي الْمَسْجِدِ خَطِيئَةٌ وَكَفَّارَتُهَا دَفْنُهَا
“Meludah
di masjid adalah sebuah kesalahan dan penghapusnya adalah menimbunnya
(membersihkannya).” (Muttafaqun alaih)
• Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,
نَّ هَذِهِ الْمَسَاجِدَ تَصْلُحُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا الْبَوْلِ
وَ الْقَذَرِ، إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالصَّ ةَالِ
وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ
“Sesungguhnya,
masjid ini tidak dibenarkan padanya air kencing dan kotoran, tetapi
masjid-masjid itu hanyalah untuk dzikrullah, shalat, dan membaca al-Qur’an.”
(HR. Muslim)
b.
Disunnahkan memberi wangi-wangian atau pengharum ruangan
Al-‘Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Disunnahkan member pengharum di dalam masjid karena Sa’id bin Manshur menyebutkan dari Nu’aim bin Abdillah al-Mujmir bahwa ‘Umar bin al-Khaththab menyuruh memberi pengharum masjid setiap hari Jumat ketika masuk siang hari.” (Zadul Ma’ad, 1/382)
Al-‘Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Disunnahkan member pengharum di dalam masjid karena Sa’id bin Manshur menyebutkan dari Nu’aim bin Abdillah al-Mujmir bahwa ‘Umar bin al-Khaththab menyuruh memberi pengharum masjid setiap hari Jumat ketika masuk siang hari.” (Zadul Ma’ad, 1/382)
2.
Adab-adab sebelum dan ketika berangkat ke masjid
a.
Mandi, bersiwak (menggosok gigi), dan memakai minyak wangi
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الْغُسْلُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ
وَأَنْ يَسْتَنَّ وَأَنْ يَمَسَّ طِيبًا إِنْ وَجَدَ
“Mandi
pada hari Jum’at hukumnya wajib bagi tiap orang yang sudah baligh, bersiwak
(menggosok gigi), dan memakai minyak wangi apabila dia mendapatkannya.”
Oleh
karena itulah, seorang yang hendak pergi ke masjid tidak boleh memakan dan
meminum segala sesuatu yang berbau tidak sedap karena akan mengganggu orang
lain, seperti bawang putih, bawang merah, daun bawang, dan lebih-lebih rokok.
Sebab, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ أَكَلَ ثُومًا أَوْ بَصَ فَلْيَعْتَزِلْنَا-أَوْ
قَالَ:فَلْيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا
“Barangsiapa
yang makan bawang putih atau bawang merah, hendaknya dia menjauhi kami atau
menjauhi masjid kami.” (Muttafaqun alaih)
Umar
bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah berkhutbah pada hari Jumat dan
berkata di dalam khutbahnya,
ثُمَّ إِنَّكُمْ أَيُّهَا النَّاسُ تَأْكُلُونَ شَجَرَتَيْنِ
أَرَاهُمَا إِ خَبِيثَتَيْنِ هَذَا الْبَصَلَ وَالثُّومَ لَقَدْأَيْتُ رَسُولَ
اللهِ صل الله عليه وسلم إِذَا وَجَدَ رِيحَهُمَا مِنَ الرَّجُلِ فِي الْمَسْجِدِ
أَمَرَ بِهِ فَأُخْرِجَ إِلَى الْبَقِيعِ فَمَنْ أَكَلَهُمَا فَلْيُمِتْهُمَا
طَبْخًا
“Selanjutnya,
kalian, wahai manusia, sungguh telah memakan dua buah tanaman yang tidaklah
tampak olehku selain busuk (baunya), yaitu bawang merah dan bawang putih.
Sungguh, aku melihat ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mendapati
bau busuk keduanya dari seseorang di dalam masjid maka beliau memerintahkan
agar orang itu dikeluarkan dari masjid hingga ke Baqi’. Oleh karena itu,
barangsiapa ingin memakan keduanya, hendaknya ia menghilangkan bau busuknya
dengan memasaknya terlebih dahulu.” (HR. Muslim)
Adapun
seorang muslimah yang ingin menghadiri shalat Jumat atau shalat berjamaah
bersama kaum muslimin, tidak boleh memakai minyak wangi yang menyebabkan orang
lain mencium bau wangi darinya sehingga akan menimbulkan godaan. Sebab,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِذَا شَهِدَتْ إِحْدَاكُنَّ الْمَسْجِدَ فَ تَمَسَّ طِيبًا
“Apabila
salah seorang diantara kalian para wanita ikut shalat berjamaah di masjid,
janganlah memakai minyak wangi.” (HR. Muslim dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu
‘anhu)
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam mengancam seorang wanita yang memakai wangi lalu
melewati kaum laki-laki agar mereka mencium bau wanginya dalam sabdanya,
إِذَا اسْتَعْطَرَتْ الْمَرْأَةُ فَمَرَّتْ عَلَى الْقَوْمِ
لِيَجِدُوا رِيحَهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ
“Apabila
seorang wanita memakai minyak wangi lalu dia melewati kaum laki-laki agar
mereka mencium bau wanginya, dia adalah seorang pezina.” (HR. Abu Dawud,
at-Tirmidzi, dan an-Nasai)
b.
Dianjurkan memakai pakaian bersih yang bagus dan syar’i yang dimilikinya
Abu
Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu pernah mendengar Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,
مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَمَسَّ مِنْ طِيبٍ إِنْ كَانَ
عِنْدَهُ وَلَبِسَ مِنْ أَحْسَنِ ثِيَابِهِ ثُمَّ خَرَجَ حَتَّى يَأْتِيَ
الْمَسْجِدَ فَيَرْكَعَ إِنْ بَدَا لَهُ وَلَمْ يُؤْذِ أَحَدًا ثُمَّ أَنْصَتَ
إِذَا خَرَجَ إِمَامُهُ حَتَّى يُصَلِّيَ كَانَتْ كَفَّارَةً لِمَا بَيْنَهَا
وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الْأُخْرَى
“Barangsiapa
mandi pada hari Jumat, memakai minyak wangi (apabila dia memilikinya), memakai
pakaian (syar’i) yang paling bagus, kemudian keluar menuju ke masjid, lantas
dia shalat dan tidak mengganggu orang lain, kemudian diam (mendengar khutbah)
apabila imam berkhutbah sampai dia shalat, hal-hal itu menjadi penghapus
dosa-dosanya antara Jumat tersebut dan Jumat berikutnya.” (HR. Ahmad,
dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani)
c.
Berdoa ketika keluar dari rumah menuju masjid
Dari
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam keluar (dari
rumahnya) untuk shalat dan berdoa,
اللَّهُمَّ اجْعَلْ فِي قَلْبِي نُورًا، وَفِي لِسَانِي نُورًا،
وَاجْعَلْ فِي سَمْعِي نُورًا، وَاجْعَلْ فِي بَصَرِي نُورًا، وَاجْعَلْ مِنْ
خَلْفِي نُورًا، وَمِنْ أَمَامِي نُورًا ، وَاجْعَلْ مِنْ فَوْقِي نُورًا ، وَمِنْ
تَحْتِي نُورًا، اللَّهُمَّ أَعْطِنِي نُورًا
“Ya
Allah, jadikanlah cahaya di dalam hatiku, jadikanlah cahaya di lisanku,
jadikanlah cahaya dibelakangku, jadikanlah cahaya di depanku, jadikanlah cahaya
dari atasku, dan jadikanlah cahaya dari bawahku. Ya Allah, berilah aku cahaya.”
(HR. Muslim)
d.
Berpagi-pagi berangkat, lebih baik dengan berjalan kaki dan tenang
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ ثُمَّ
رَاحَ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ
فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ
فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ
فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ
فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً، فَإِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ حَضَرَتِ الْمَ
ئَالِكَةُ يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ
“Barangsiapa
mandi sebagaimana mandi junub pada hari Jumat kemudian dia berangkat (pada
waktu pertama), seakan-akan dia telah berkurban seekor unta. Barangsiapa datang
di masjid pada waktu kedua, seakan-akan dia telah berkurban seekor sapi. Barang
siapa datang pada waktu ketiga, seakan-akan dia telah berkurban dengan seekor
domba yang bertanduk. Barang siapa datang pada waktu keempat, seakan-akan dia
telah berkurban seekor ayam. Barangsiapa datang pada waktu kelima, seakan-akan
dia telah berkurban sebutir telur. Apabila imam telah keluar, para malaikat
menutup (melipat) lembaran-lembaran catatannya lalu (para malaikat)
mendengarkan khutbah.” (Muttafaqun ‘alaih)
Suri
teladan kita, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, telah menjelaskan
keutamaan berjalan kaki tatkala pergi ke masjid dengan tenang dan tidak
tergesa-gesa dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Beliau Shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ تَطَهَّرَ فِي بَيْتِهِ ثُمَّ مَشَى إِلَى بَيْتٍ مِنْ
بُيُوتِ اللهِ لِيَقْضِيَ فَرِيضَةً مِنْ فَرَائِضِ اللهِ كَانَتْ خَطْوَتَاهُ
إِحْدَاهُمَا تَحُطُّ خَطِيئَةً وَالْأُخْرَى تَرْفَعُ دَرَجَةً
“Barangsiapa
bersuci dirumahnya kemudian berjalan menuju ke salah satu masjid Allah
Subhanahu wata’ala untuk menunaikan salah satu kewajiban (shalat) yang
diwajibkan oleh Allah Subhanahu wata’ala (atasnya), pada setiap dua langkah
kakinya, satu langkah akan menggugurkan satu dosa dan satu langkah yang lain
akan mengangkat derajat.” (HR. Muslim)
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
إِذَا سَمِعْتُمُ الْإِقَامَةَ فَامْشُوا إِلَى الصَّ ةَالِ
وَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ وَالْوَقَارِ وَ تُسْرِعُوا، فَمَا أَدْرَكْتُمْ
فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا
“Apabila
kalian mendengar iqamah, berjalanlah menuju shalat dan
wajib atas kalian tenang dan tidak mempercepat jalan. Apa yang kalian dapatkan,
shalatlah (bersama imam), sedangkan apa yang kalian tertinggal darinya,
sempurnakanlah (setelah imam salam).” (Muttafaqun ‘alaih)
Apabila
seorang muslim pergi ke masjid dengan kendaraan, tetap wajib baginya tenang dan
tidak tergesa-gesa dalam perjalanan karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,
أَيُّهَا النَّاسُ، عَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ، فَإِنَّ الْبِرَّ
لَيْسَ باِلْإيِضَاعِ
“Wahai
sekalian umat manusia, wajib atas kalian untuk tenang karena kebaikan itu bukan
dengan tergesa-gesa.” (HR. al-Bukhari dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma)
3. Adab-Adab di Masjid
a. Doa ketika masuk dan keluar masjid
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
a. Doa ketika masuk dan keluar masjid
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلْيَقُلْ: اللَّهُمَّ
افْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ؛ وَإِذَا خَرَجَ فَلْيَقُلْ: اللَّهُمَّ إِنِّي
أَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ
“Apabila
salah seorang diantara kalian masuk masjid maka hendaknya dia berdoa,
اللَّهُمَّ افْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ
“Ya
Allah, bukakanlah untukku pintu-pintu rahmat-Mu”. Apabila dia keluar hendaknya
dia berdoa,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ
“Ya
Allah, sesungguhnya aku memohon keutamaan dari-Mu’.” (HR. Muslim)
Ketika masuk, dahulukan kaki kanan dan tatkala keluar, dahulukan kaki kiri. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha,
Ketika masuk, dahulukan kaki kanan dan tatkala keluar, dahulukan kaki kiri. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha,
كَانَ النَّبِيُّ صل الله عليه وسلم يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِي
تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ وَفِي شَأْنِهِ كُلِّهِ
“Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam senang mendahulukan sebelah kanan dalam hal
memakai sandal, bersisir, bersuci, dan pada seluruh urusannya.”
(Muttafaqun‘alaih)
b.
Berusaha mencari tempat di shaf yang paling depan dan dekat dengan imam tanpa
memisahkan dua orang yang sedang duduk berdampingan dan tidak melangkahi
pundak-pundak jamaah yang telah duduk.
Dari
Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
berkata,
أَ تَصُفُّونَ كَمَا تَصُفُّ الْمَ ئَالِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا،
فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ، وَكَيْفَ تَصُفُّ الْمَ ئَالِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا؟
قَالَ : يُتِمُّونَ الصُّفُوفَ الْأُوَلَ وَيَتَرَاصُّونَ فِي الصَّفِّ
“Mengapa
kalian tidak bershaf sebagaimana para malaikat bershaf disisi Rabbnya?” Kami
bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana cara malaikat bershaf disisi Rabbnya?”
Beliau menjawab,“Mereka menyempurnakan shaf-shaf di depan dan merapatkannya.”
(HR. Muslim)
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam memotivasi umatnya untuk berlomba-lomba mencari
shaf yang terdepan dalam sabdanya,
لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الْأَوَّلِ
ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِ أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ سَالْتَهَمُوا
“Seandainya
umat manusia mengetahui keutamaan (menjawab) panggilan azan dan keutamaan shaf
terdepan dan mereka tidak bisa mendapatkannya selain dengan berundi, sungguh
mereka akan berundi (untuk mendapatkannya).” (HR. Muslim)
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam membimbing umatnya tentang cara mengatur shaf
dalam sabdanya,
أَتِمُّوا الصَّفَّ الْمُقَدَّمَ ثُمَّ الَّذِي يَلِيهِ، فَمَا
كَانَ مِنْ نَقْصٍ فَلْيَكُنْ فِي الصَّفِّ الْمُؤَخَّرِ
“Sempurnakanlah
shaf yang depan kemudian shaf yang berikutnya (di belakangnya). Adapun shaf
yang masih kurang hendaknya di akhir .”(HR. Abu Dawud dan an-Nasai dari Anas
bin Malik radhiyallahu ‘anhu)
Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang memisahkan dua orang yang duduk
berdampingan, baik dengan cara duduk di antara keduanya maupun mengusir salah
satunya lantas menduduki tempat duduknya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,
فَلَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ اثْنَيْنِ
“Kemudian
dia tanpa memisahkan dua orang yang duduk berdampingan.” (HR. al-Bukhari dari
Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu)
Larangan
di atas dikecualikan bagi orang yang mendapatkan izin dari keduanya sebagaimana
dalam hadits,
يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يُفَرِّقَ بَيْنَ اثْنَيْنِ إِ
بِإِذْنِهِمَا
“Tidak
halal bagi seorangpun memisahkan dua orang (yang duduk berdampingan) selain
dengan izin dari keduanya.” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi)
Sebaik-baik
pembimbing umat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, melarang seorang
muslim mengusir saudaranya dari tempat duduknya lantas mendudukinya. Dari Ibnu
Umar, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
أَنَّهُ نَهَى أَنْ يُقَامَ الرَّجُلُ مِنْ مَجْلِسِهِ وَيَجْلِسَ
فِيهِ آخَرُ وَلَكِنْ تَفَسَّحُوا وَتَوَسَّعُوا
“Beliau
Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang seseorang diusir dari tempat duduknya
lantas orang lain mendudukinya. Akan tetapi, (yang boleh dilakukan) mereka
bergeser dan berlapang-lapang (supaya orang lain bisa masuk dan duduk).”
(Muttafaqun ‘alaih)
Apabila
seseorang berdiri dan meninggalkan tempat duduknya karena kebutuhannya kemudian
kembali, dia paling berhak atas tempat duduknya semula, sebagaimana dalam
hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,
إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ مِنْ مَجْلِسِهِ ثُمَّ رَجَعَ إِلَيْهِ
فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ
“Apabila
salah seorang diantara kalian berdiri dari tempat duduknya lantas kembali, dia
paling berhak atasnya.” (HR. Muslim)
Termasuk
adab-adab di dalam masjid, tatkala seseorang berusaha mendapatkan shaf awal
(depan), ia tidak boleh melangkahi punggung-punggung jamaah yang sedang duduk.
Hal ini diterangkan oleh hadits Abdullah bin Busr radhiyallahu ‘anhu,
جَاءَ رَجُلٌ يَتَخَطَّى رِقَابَ النَّاسِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ
وَالنَّبِيُّ صل الله عليه وسلم يَخْطُبُ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صل الله عليه
وسلم : اجْلِسْ فَقَدْ آذَيْتَ وَآنَيْتَ
“Seorang
laki-laki datang pada hari Jumat lalu melangkahi punggung-punggung jamaah yang
sedang duduk. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu bersabda,‘Duduklah!
Sungguh engkau telah mengganggu (menyakiti) dan mengakhirkan (jamaah).” (HR.
Abu Dawud dan an-Nasa’i, asy-Syaikh al-Albani menyatakannya sahih dalam Shahih
Sunan Abu Dawud)
Syaikhul
Islam menjelaskan, seseorang tidak boleh mengisi shaf-shaf di belakang padahal
shaf di depan masih longgar. Demikian pula, tidak boleh membuat shaf di
jalan-jalan dan toko-toko padahal di dalam masjid masih longgar. Barang siapa
melakukan perbuatan seperti itu, dia berhak mendapatkan hukuman. Orang-orang
yang datang setelahnya boleh melangkahinya dan masuk menyempurnakan shaf-shaf
yang di depan karena hal ini tidak dilarang baginya.
Hal
ini sebagaimana tidak bolehnya seseorang meletakkan tempat duduknya terlebih
dahulu (misal: sajadah) di masjid namun dia berangkat terlambat (demi
mengaveling tempat duduk di shaf awal) sehingga orang lain tidak berhak
mendudukinya. Justru tempat duduknya itu (harus dihilangkan), dan boleh dipakai
(oleh orang lain) untuk shalat menurut pendapat yang benar.
Apabila
masjid telah penuh dengan shaf, mereka boleh membuat shaf di luar masjid.
Apabila shaf-shaf itu bersambung dengan masjid, walaupun di jalan-jalan dan di
pasar-pasar, shalat Jumatnya sah. Adapun apabila mereka membuat shaf dalam
keadaan ada jarak (jalan) yang memisahkan shaf-shaf mereka dengan shaf-shaf
yang ada di masjid, shalatnya tidak sah berdasarkan pendapat yang paling jelas
di antara dua pendapat para ulama. (al-Kubra, 1/137)
c.
Shalat sunnah tahiyatul masjid walaupun imam telah berkhutbah
Dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
Dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ
قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ
“Apabila
salah seorang diantara kalian masuk masjid, hendaknya dia shalat dua rakaat
sebelum duduk.” (Muttafaqun ‘alaih)
Tatkala imam sudah berkhutbah, hendaknya shalat tahiyatul masjid dikerjakan dengan ringan, sebagaimana bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
Tatkala imam sudah berkhutbah, hendaknya shalat tahiyatul masjid dikerjakan dengan ringan, sebagaimana bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ
فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا
“Apabila
salah seorang diantara kalian datang dan imam sedang berkhutbah, hendaknya dia
shalat dua rakaat dan mengerjakannya dengan ringan.” (Muttafaqun ‘alaih)
d. Duduk mendengarkan khutbah dan menghadap kepada khatib
d. Duduk mendengarkan khutbah dan menghadap kepada khatib
Al-Imam
al-Bukhari rahimahullah membuat sebuah bab dalam kitab Shahih-nya Bab
“Mendengarkan Khutbah”. Beliau berdalil dengan hadits Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila hari Jumat
telah tiba, para malaikat berdiri di depan pintu untuk menulis orang-orang yang
datang, satu demi satu. Permisalan orang yang berpagi-pagi (berangkat ke
masjid) seperti orang yang berkurban seekor unta, kemudian seperti orang yang
berkurban seekor sapi, kemudian seekor domba, kemudian seekor ayam, kemudian
seekor telur. Apabila imam telah keluar mereka (para malaikat) menutup
lembaran-lembaran catatannya dan mendengarkan khutbah.” (HR. al-Bukhari, 929)
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan tentang wajibnya seseorang diam
mendengarkan khutbah dalam sabdanya,
إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَنْصِتْ
وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ
“Apabila
engkau berkata kepada temanmu pada hari Jumat,‘Diam, dengarkanlah (khutbah),’
padahal imam sedang berkhutbah, itu berarti engkau telah berbuat sia-sia.”
(Mutttafaqun ‘alaih)
Demikian
pula disunnahkan bagi jamaah untuk menghadap kepada imam tatkala dia
berkhutbah, sebagaimana perkataan al-Imam al-Bukhari dalam Shahih-nya “Bab Imam
menghadap kaum (hadirin) dan kaum itu menghadap imam tatkala berkhutbah”.
Beliau berdalil dengan hadits Abu Sa’id al-Khudri,
أَنَّ النَّبِيَّ صل الله عليه وسلم جَلَسَ ذَاتَ يَوْمٍ عَلَى
الْمِنْبَر وَجَلَسْنَا حَوْلَهُ
“Pada
suatu hari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam duduk di atas mimbar1 dan kami pun
duduk di sekelilingnya.”
e.
Apabila mengantuk, hendaknya ia berpindah (bergeser) dari tempat duduknya
selama tidak mengganggu orang lain.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ فِي مَجْلِسِهِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ
فَلْيَتَحَوَّلْ مِنْهُ إِلَى غَيْرِهِ
“Apabila
salah seorang diantara kalian mengantuk di tempat duduknya, hendaknya dia
pindah ke tempat lain.” (HR. Ahmad, AbuDawud, dan at-Tirmidzi dari Ibnu Umar
radhiyallahu ‘anhuma)
f.
Boleh memakai hibwah2 (melakukan ihtiba) pada hari Jumat ketika mendengarkan
khutbah imam karena hadits-hadits yang melarangnya dhaif.
Banyak ulama salafus shalih yang memakainya, selama tidak menyebabkan auratnya tersingkap dan mengantuk.
Banyak ulama salafus shalih yang memakainya, selama tidak menyebabkan auratnya tersingkap dan mengantuk.
Al-Imam
Abu Dawud rahimahullah berkata, “Ibnu Umar memakai hibwah ketika imam
berkhutbah, demikian juga Anas bin Malik, Syuraih, Sha’sha’ah bin Shuhan, Sa’id
bin al-Musayib, Ibrahim an-Nakha’i, Makhul, dan Ismail bin Muhammad bin Sa’d.”
Beliau
berkata, “Tidak ada yang sampai kepadaku berita dari seorang salaf pun yang
membencinya (hibwah), selain Ubadah bin Nusaiya.” (Sunan Abu Dawud, no. 191)
Al-Iraqi
rahimahullah berkata, “Mayoritas ulama berpendapat bahwa hibwah tidak makruh.
Adapun tentang hadits-hadits dalam hal ini, mereka menjawab bahwa seluruh
hadits tersebut dhaif.” (Nailul Authar, 2/299)
Kalaupun
dianggap semuanya sahih, larangan itu dimaksudkan agar seseorang tidak mulai
memasang hibwah ketika imam sudah berdiri untuk berkhutbah, sampai ia
menyelesaikan khutbahnya. (Syarh Musykil al-Atsar, 7/344-345, -ed.)
Mudah-mudahan
Allah Subhanahu wata’ala senantiasa melimpahkan hidayah taufik kepada kita.
semua untuk mengikuti sunnah Nabi-Nya, baik dalam ilmu maupun amal, baik secara
lahir maupun batin.
Amin.
—————————————————————-
1. Mimbar di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam hanya berupa tiga anak tangga sehingga bisa diduduki. Berbeda halnya dengan mimbar yang ada di zaman sekarang pada umumnya. (-red.)
2. Al-hibwah yaitu seorang mengikat/mendekatkan kedua lututnya ke perut dengan tali atau pakaiannya, lalu mendekatkan keduanya ke punggungnya. Terkadang, hal ini dilakukan dengan tangan sebagai pengganti tali/pakaian. (an-Nihayah li Ibni Atsir)
Amin.
—————————————————————-
1. Mimbar di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam hanya berupa tiga anak tangga sehingga bisa diduduki. Berbeda halnya dengan mimbar yang ada di zaman sekarang pada umumnya. (-red.)
2. Al-hibwah yaitu seorang mengikat/mendekatkan kedua lututnya ke perut dengan tali atau pakaiannya, lalu mendekatkan keduanya ke punggungnya. Terkadang, hal ini dilakukan dengan tangan sebagai pengganti tali/pakaian. (an-Nihayah li Ibni Atsir)
(oleh
: Al-Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan)
http://www.darussalaf.or.id/nasehat/mengagungkan-masjid-dan-hari-jumat-dengan-sunnah-rasulullah-shallallahu-alaihi-wasallam/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar