Bila
kita memperhatikan fenomena dan gejala yang memasyarakat saat ini di dalam
mencari panutan atau lebih trend lagi dengan sebutan “sang idola”, maka kita
akan menemukan hal yang sangat kontras dengan apa yang terjadi pada abad-abad
terdahulu, khususnya pada tiga abad utama (al-Qurûn al-Mufadldlalah).
Kalau
dulu, orang begitu mengidolakan manusia-manusia pilihan dan berakhlaq mulia di
kalangan mereka seperti para ulama dan orang-orang yang shalih. Maka, kondisi
itu sekarang sudah berubah total. Orang-orang sekarang cenderung menjadikan
manusia-manusia yang tidak karuan dari segala aspeknya sebagai idola. Mereka
mengidolakan para pemain sepakbola, kaum selebritis, paranormal dan tokoh-tokoh
maksiat pada umumnya. Anehnya, hal ini didukung oleh keluarga bahkan diberi
spirit sedemikian rupa agar anaknya kelak bisa menjadi si fulanah yang artis,
atau si fulan yang pemain sepakbola dan seterusnya. Lebih aneh lagi bahwa
mereka berbangga-bangga dengan hal itu.
Tentunya
ini sangat ironis karena sebagai umat Islam yang mayoritas seharusnya mereka
harus memahami ajaran agama secara benar sehingga tidak terjerumus kepada
hal-hal yang dilarang di dalamnya. Ketidaktahuan akan ajaran agama ini akan
berimplikasi kepada masa depan mereka kelak karena ini menyangkut keselamatan
dan ketentraman mereka di dalam meniti kehidupan di dunia ini.
Bahkan
pada sebagian masyarakat kita, telah muncul gejala yang lebih serius dan
mengkhawatirkan lagi, yaitu pengkultusan terhadap sosok yang dianggap sebagai tokoh
tanpa menyelidiki terlebih dahulu sisi ‘aqidah dan akhlaqnya. Tokoh idola ini
diikuti semua perkataan dan ditiru semua perbuatannya tanpa ditimbang-timbang
lagi, apakah yang dikatakan atau dilakukan itu benar atau salah menurut agama
bahkan sebaliknya, perkataan dan perbuatannya justru menjadi acuan benar
tidaknya menurut agama…naûdzu billâhi min dzâlik.
Yang
lebih memilukan lagi, sang idola yang tidak ketahuan juntrungannya tersebut
memposisikan dirinya sebagaimana yang dianggap oleh para pengidolanya. Mereka
berlagak sebagai manusia-manusia suci pada momen-momen yang memang suci seperti
pada bulan Ramadhan, hari Raya ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adlha. Mereka diangkat
sedemikian rupa oleh mass media dan media visual maupun audio visual seperti
surat kabar, majalah, internet, radio dan televisi.
Pada
momen-momen tersebut, mereka seakan mengisi semua hari-hari para pengidola
bahkan non pengidolapun tak luput dari itu. Mereka menganggap bahwa diri
merekalah yang paling mengetahui apa yang harus dilakukan secara agama pada
momen-momen tersebut. Maka dipersembahkanlah berbagai tayangan program dan
acara untuk menyemarakkan syi’ar bulan Ramadhan tersebut – menurut anggapan
mereka- . Tampak, pada momen-momen tersebut mereka seakan menjadi manusia
paling suci dan panutan semua… Yah! Untuk sesaat saja!.
Sesungguhnya,
apa yang mereka lakukan itu tak lain hanyalah racun yang dipaksakan kepada
ummat untuk diteguk, mulai dari racun dengan reaksi lambat, sedang bahkan cepat
tergantung kepada daya tahan dan tingkat kekebalan peneguknya.
Selanjutnya,
akankah kita membiarkan anggota keluarga kita meneguk racun-racun tersebut,
baru kemudian menyesali apa yang telah terjadi?.
Maka
untuk mengetahui siapa yang seharusnya dijadikan sebagai idola oleh seorang
Muslim dan bagaimana implikasi-implikasinya?. Kajian hadits kali ini sengaja
mengangkat tema tersebut, mengingat hampir semua rumah kaum Muslimin telah
dimasuki oleh salah satu atau kebanyakan mass media dan media tersebut.
Semoga
kita belum terlambat untuk menyelamatkan keluarga kita sehingga racun-racun
tersebut dapat dilenyapkan dan dimusnahkan.
NASKAH HADITS
عَنْ أَبِي وَائِلٍ, عَنْ عَبْدِ اللّهِ (بْنِ مَسْعُوْدٍ) قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَىَ رَسُولِ اللّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللّهِ, كَيْفَ تَرَىَ فِي رَجُلٍ أَحَبّ قَوْماً وَلَمّا يَلْحَقْ بِهِمْ؟ قَالَ رَسُولُ اللّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ: «الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبّ». رواه مسلم
Dari
Abu Wâ-il dari ‘Abdullah (bin Mas’ud), dia berkata: “seorang laki-laki
datang kepada Rasulullah sembari berkata: ‘wahai Rasulullah! Apa pendapatmu
terhadap seorang laki-laki yang mencintai suatu kaum padahal dia belum pernah
(sama sekali) berjumpa dengan mereka?’. Rasulullah shallallâhu 'alaihi
wa sallam bersabda: “seseorang itu adalah bersama orang yang dia
cintai”. (H.R.Muslim)
TAKHRIJ HADITS SECARA GLOBAL
Hadits
ini diriwayatkan juga oleh Imam Bukhâry, at-Turmuzy, an-Nasaiy, Abu Daud, Ahmad
dan ad-Darimy.
PENJELASAN HADITS
Di
dalam riwayat yang lain, disebutkan dengan lafazh “Engkau bersama orang yang
engkau cintai”. Demikian pula dengan hadits yang maknanya: “Ikatan Islam
yang paling kuat adalah mencintai karena Allah dan membenci karena Allah”.
Anas
bin Malik mengomentarinya: “Setelah keislaman kami, tidak ada lagi hal yang
membuat kami lebih gembira daripada ucapan Rasulullah: ‘engkau bersama orang
yang engkau cintai’ ”. Lalu Anas melanjutkan: “Kalau begitu, aku
mencintai Allah dan Rasul-Nya, Abu Bakar serta ‘Umar. Aku berharap kelak
dikumpulkan oleh Allah bersama mereka meskipun aku belum berbuat seperti yang
telah mereka perbuat”.
Imam
an-Nawawy, setelah menyebutkan beberapa hadits terkait dengan hadits diatas,
menyatakan: “Hadits ini mengandung keutamaan mencintai Allah dan Rasul-Nya,
orang-orang yang shalih, orang-orang yang suka berbuat kebajikan baik yang
masih hidup atau yang telah mati. Dan diantara keutamaan mencintai Allah dan
Rasul-Nya adalah menjalankan perintah dan menjauhi larangan keduanya serta
berakhlaq dengan akhlaq islami. Di dalam mencintai orang-orang yang shalih
tidak mesti mengerjakan apa saja yang dikerjakannya sebab bila demikian halnya
maka berarti dia adalah termasuk kalangan mereka atau seperti mereka.
Pengertian ini dapat diambil dari hadits setelah ini, yakni (ucapan seseorang
yang bertanya tentang pendapat beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam mengenai)
seseorang yang mencintai suatu kaum sementara dia tidak pernah sama sekali
bertemu dengan mereka (seperti yang tersebut di dalam hadits diatas-red)…”.
Syaikhul
Islam, Ibnu Taimiyyah mengaitkan makna cinta tersebut selama seseorang itu
mencintai Allah dan Rasul-Nya sebab orang yang mencintai Allah, maka dia pasti
mencintai para Nabi-Nya karena Dia Ta’ala mencintai mereka dan mencintai setiap
orang yang meninggal di atas iman dan taqwa. Maka mereka itulah Awliyâ Allah
(para wali Allah) yang Allah cintai seperti mereka yang dipersaksikan oleh
Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam masuk surga, demikian pula dengan
Ahli Badar dan Bai’ah ar-Ridlwan. Jadi, siapa saja yang telah dipersaksikan
oleh Rasulullah masuk surga, maka kita bersaksi untuknya dengan hal ini
sedangkan orang yang tidak beliau persaksikan demikian, maka terjadi perbedaan
pendapat di kalangan para ulama; sebagian ulama mengatakan: ‘tidak boleh
dipersaksikan bahwa dia masuk surga dan kita juga tidak bersaksi bahwa Allah
mencintainya’. Sedangkan sebagian yang lain mengatakan: ‘justeru orang yang
memang dikenal keimanan dan ketakwaannya di kalangan manusia serta kaum
Muslimin telah bersepakat memuji mereka seperti ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz,
al-Hasan al-Bashry, Sufyan ats-Tsaury, Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi’iy, Ahmad,
Fudlail bin ‘Iyadl, Abu Sulaiman ad-Darany (al-Kurkhy), ‘Abdullah bin Mubarak
dan selain mereka, kita mesti bersaksi bahwa mereka masuk surga’.
Diantara
dalil yang digunakan oleh kelompok kedua ini adalah hadits shahih yang
menyatakan bahwa Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam pernah melewati
suatu jenazah lalu mereka memujinya dengan kebaikan, maka beliau berkata: “pasti,
pasti”. Kemudian lewat lagi suatu jenazah lalu mereka bersaksi untuknya
dengan kejelekan, maka beliau berkata: “pasti, pasti”. Mereka lantas
bertanya: “wahai Rasulullah! Apa maksud ucapanmu : ‘pasti, pasti tersebut ?’.
beliau menjawab: “jenazah ini kalian puji dengan kebaikan, maka aku katakan:
‘pasti ia masuk surga’. Dan jenazah satunya, kalian bersaksi dengan kejelekan
untuknya, maka aku katakan: ‘pasti dia masuk neraka’. Lalu ada yang bertanya
kepada beliau: “bagaimana hal itu bisa terjadi, wahai Rasulullah?”. Beliau
menjawab: “dengan pujian baik atau jelek”.
Klasifikasi Mahabbah (Kecintaan)
Mahabbah
ada beberapa jenis:
Pertama, al-Mahabbah Lillâh (kecintaan karena Allah) ;
jenis ini tidak menafikan tauhid kepada-Nya bahkan sebagai penyempurna sebab
ikatan keimanan yang paling kuat adalah kecintaan karena Allah dan kebencian
karena Allah.
Refleksi dari kecintaan karena Allah adalah bahwa kita
mencintai sesuatu karena Allah Ta’ala mencintainya baik ia berupa orang atau
pekerjaan, dan inilah yang merupakan penyempurna keimanan.
Diantara contoh yang menjelaskan perbedaan antara kecintaan
kepada Allah dan selain Allah adalah antara apa yang dilakukan oleh Abu Bakar
dan Abu Thalib; Abu Bakar mencintai Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam karena
semata-mata mengharap ridla Allah sedangkan Abu Thalib, paman Nabi mencintai
diri beliau dan membelanya karena mengikuti hawa nafsunya bukan karena Allah
sehingga Allah menerima amal Abu Bakar dan tidak menerima amal Abu Thalib.
Kedua, al-Mahabbah ath-Thabî’îyyah (kecintaan yang
alami) dimana seseorang tidak mendahulukannya dari kecintaannya kepada Allah ;
jenis ini juga tidak menafikan kecintaan kepada Allah. Contohnya adalah seperti
kecintaan terhadap isteri, anak dan harta.
Oleh karena itu, tatkala Nabi shallallâhu 'alaihi wa
sallam ditanyai tentang siapa manusia yang paling engkau cintai?. Beliau
menjawab: ‘Aisyah. Lalu beliau ditanyai lagi: dari kalangan laki-laki siapa?.
Beliau menjawab: ayahnya (yakni Abu Bakar).
Demikian juga kecintaan seseorang kepada makanan, pakaian dan
selain keduanya yang bersifat alami.
Ketiga,
al-Mahabbah ma’a Allah (kecintaan berbarengan dengan kecintaan kepada
Allah) yang menafikan tauhid kepada-Nya; yaitu menjadikan kecintaan kepada
selain Allah seperti kecintaan kepada-Nya atau melebihinya dimana bila kedua
kecintaan itu saling bertolak belakang, seseorang lebih mengutamakan kecintaan
kepada selain-Nya ketimbang kepada-Nya. Hal ini dapat terjadi ketika seseorang
menjadikan kecintaan tersebut sebagai sekutu bagi Allah yang lebih
diutamakannya atas kecintaan kepada-Nya atau –paling tidak- menyamainya.
Diantara
contoh kecintaan kepada selain Allah adalah seperti kecintaan kaum Nashrani
terhadap ‘Isa al-Masih 'alaihissalâm, kecintaan kaum Yahudi terhadap
Musa 'alaihissalâm, kecintaan kaum Syi’ah Rafidlah terhadap ‘Aly radliallâhu
'anhu, kecintaan kaum Ghulât (orang-orang yang melampaui batas dan
berlebih-lebihan) terhadap para syaikh dan imam mereka seperti orang yang
menunjukkan loyalitas terhadap seorang Syaikh atau Imam dan menghasut orang
lain agar menjauhi orang yang dianggap rival atau saingannya padahal
masing-masing mereka hampir sama atau sama di dalam kedudukan dan kualitas
kelimuan. Ini sama dengan kondisi Ahlul Kitab yang beriman kepada sebagian
Rasul dan kufur kepada sebagian yang lain; kondisi kaum Syi’ah Rafidlah yang
menunjukkan loyalitas terhadap sebagian shahabat dan memusuhi sebagian besar
yang lainnya, demikian pula kondisi orang-orang yang fanatik dari kalangan Ahli
Fiqih dan Zuhud yang menunjukkan sikap loyalitas terhadap para syaikh dan imam
mereka dengan menganggap remeh orang-orang selain mereka yang sebenarnya hampir
sama atau selevel dengan para syaikh dan imam mereka tersebut. Seorang Mukmin
sejati adalah orang yang menunjukkan loyalitas terhadap semua orang yang
beriman sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya orang-orang yang
beriman itu bersaudara”.
Perbedaan Antara Klasifikasi Pertama Dan Ketiga
Perbedaan
antara klasifikasi pertama, yakni al-Mahabbah lillâh (kecintaan karena
Allah) dan klasifikasi ketiga, yakni al-Mahabbah ma’a Allah (kecintaan
berbarengan dengan kecintaan kepada Allah) tampak jelas sekali, yaitu;
- bahwa Ahli syirik menjadikan
sekutu-sekutu yang mereka cintai sama seperti kecintaan mereka kepada Allah
bahkan lebih,
- sedangkan orang-orang yang
beriman dan ahli iman sangat mencintai Allah, ini dikarenakan asal kecintaan
mereka adalah mencintai Allah dan barangsiapa yang mencintai Allah, maka dia
akan mencintai orang yang dicintai oleh Allah; dan barangsiapa yang dicintai
oleh-Nya, maka dia akan mencintai-Nya. Jadi, orang yang dicintai oleh orang
yang dicintai oleh Allah adalah dicintai oleh Allah karena dia mencintai Allah;
barangsiapa yang mencintai Allah, maka Allah akan mencintainya sehingga
kemudian dia mencintai orang yang dicintai oleh-Nya.
Urgensi Mencintai Allah dan Rasul-Nya
Kewajiban
pertama seorang hamba adalah mencintai Allah Ta’ala karena merupakan jenis
ibadah yang paling agung sebagaimana firman-Nya : “Dan orang-orang yang
beriman sangat cinta kepada Allah”. (Q,.s.al-Baqarah/01: 165). Hal ini
dikarenakan Dia Ta’ala adalah Rabb yang telah berkenan memberikan kepada semua
hamba-Nya nikmat-nikmat yang banyak baik secara lahir maupun bathin.
Kewajiban
berikutnya adalah mencintai Rasul-Nya, Muhammad shallallâhu 'alaihi wa
sallam sebab beliaulah yang mengajak kepada Allah, memperkenalkan-Nya,
menyampaikan syari’at-Nya serta menjelaskan kepada manusia hukum-hukum-Nya.
Jadi, semua kebaikan yang didapat oleh seorang mukmin di dunia dan akhirat
semata adalah berkat perjuangan Rasulullah. Seseorang tidak akan masuk surga
kecuali bila ta’at dan mengikuti beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam .
Di
dalam hadits yang lain disebutkan: “Tiga hal yang bila ada pada seseorang
maka dia akan merasakan manisnya iman; (pertama)bahwa dia menjadikan Allah dan
Rasul-Nya lebih dicintai olehnya daripada selain keduanya; (kedua) dia
mencintai seseorang hanya karena Allah; (ketiga) dia benci untuk kembali kepada
kekufuran setelah diselamatkan oleh Allah darinya sebagaimana dia benci dirinya
dicampakkan ke dalam api neraka”. (Hadits Muttafaqun ‘alaih)
Dalam
hal ini, mencintai Rasulullah yang menempati peringkat kedua merupakan
sub-ordinasi dan konsekuensi dari mencintai Allah Ta’ala. Khusus dengan
kewajiban mencintai Rasulullah dan mendahulukannya atas kecintaan terhadap
siapapun dari Makhluk Allah, terdapat hadits beliau yang berbunyi (artinya) : “Tidaklah
beriman seseorang diantara kalian hingga aku menjadi orang yang paling
dicintainya daripada anaknya, ayahnya serta seluruh manusia”. (Hadits
Muttafaqun ‘alaih).
Lebih
dari itu, hendaknya kecintaannya terhadap Rasulullah melebihi kecintaannya
terhadap dirinya sendiri sebagaimana disebutkan di dalam hadits bahwa ‘Umar bin
al-Khaththab radliallâhu 'anhu pernah berkata: “Wahai Rasulullah!
Sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu selain daripada diriku”.
Lalu beliau bersabda: “demi Yang jiwaku berada di tangan-Nya, hingga engkau
jadikan aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri”. Lantas ‘Umar
berkata kepada beliau: “Kalau begitu, sekarang engkau lebih aku cintai daripada
diriku sendiri”. Beliau berkata kepadanya: “Sekaranglah, wahai ‘Umar!”.
(H.R.Bukhary).
Imam
Ibn al-Qayyim berkata: “Setiap mahabbah (kecintaan) dan pengagungan
terhadap manusia hanya boleh menjadi sub-ordinasi dari kecintaan kepada Allah
dan pengagungan terhadap-Nya, yaitu seperti kecintaan kepada Rasulullah shallallâhu
'alaihi wa sallam dan pengagungan terhadapnya karena hal ini merupakan
sarana penyempurna kecintaan terhadap utusan-Nya dan pengagungan terhadap-Nya.
Sesungguhnya, umat mencintai Rasul mereka karena kecintaan Allah,
pengagungan-Nya serta pemuliaan-Nya terhadap dirinya. Inilah bentuk kecintaan
yang merupakan konsekuensi dari kecintaan kepada Allah”.
Implikasi Dari Kecintaan Kepada Selain Allah Dan Rasul-Nya
Yang Berlebihan
Dimuka
telah dijelaskan bahwa kita sangat menginginkan agar dikumpulkan bersama orang-orang
yang kita cintai, yaitu orang-orang yang shalih dan dikenal ketaqwaannya.
Sementara itu menurut satu pendapat, juga kita dibolehkan bersaksi untuk orang
yang memang dikenal oleh kalangan luas ketaqwaan dan keshalihannya serta umat
telah bersepakat memujinya seperti imam-imam madzhab yang empat.
Di
samping itu, telah disebutkan bahwa ada dua pendapat terkait dengan persaksian
masuk surga terhadap orang yang belum dipersaksikan demikian oleh Rasulullah
dimana salah satu pendapat berdalil dengan salah satu sabda beliau shallallâhu
'alaihi wa sallam yang memberikan kriteria, yaitu adanya pujian baik dan
jelek dari manusia.
Dari
sini, sebagaimana yang dinyatakan oleh Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah bahwa
sebenarnya banyak di kalangan para syaikh yang terkenal di masa beliau yang
bisa jadi bukan orang berilmu, bahkan melakukan amalan sesat, kemaksiatan dan
dosa-dosa yang menghalangi diri mereka dari persaksian orang terhadap mereka
dengan kebaikan. Bahkan bisa jadi, diantara mereka ada orang Munafiq dan Fasiq,
juga tidak menutup kemungkinan ada orang yang termasuk wali-wali Allah yang
benar-benar bertaqwa dan beramal shalih serta termasuk hizb-Nya yang
mendapatkan kemenangan. Disamping itu, ada pula kelompok manusia selain para
syaikh tersebut yang dikategorikan sebagai para wali Allah dan hamba-hamba-Nya
yang bertaqwa -dimana mereka itu masuk surga - seperti para pedagang, petani
dan selain mereka dari kelas sosial lainnya yang ada di tengah masyarakat.
Oleh karena itu, menurut Syaikhul Islam, barangsiapa yang
meminta agar kelak dikumpulkan dengan seorang Syaikh yang dia tidak tahu
bagaimana akhir hidupnya maka dia telah sesat, bahkan seharusnya dia
meminta agar dikumpulkan oleh Allah dengan orang yang dia ketahui akhir
hidupnya yaitu para Nabi dan hamba-hamba-Nya yang shalih sebagaimana firman
Allah Ta’ala: “…dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka
sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang
mu'min yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya
pula”. (Q,.s. 66/at-Tahrim: 4).
Di dalam firman-Nya yang lain: “Sesungguhnya penolong kamu
hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat
dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)”. (Q,.s. 5/al-Ma-idah:
55). Demikian pula di dalam firman-Nya: “Dan barangsiapa mengambil
Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka
sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang”. (Q,.s.
5/al-Ma-idah: 56).
Maka, berdasarkan ayat-ayat tersebut diatas, kembali menurut
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, siapa saja yang mencintai seorang Syaikh/tuan
guru yang menyelisihi syari’at, maka dia kelak akan bersamanya; bila si
Syaikh dimasukkan ke dalam neraka, maka dia akan bersamanya disana. Sebab
secara lumrah sudah diketahui bahwa para Syaikh yang menyimpang dan menyelisihi
Kitabullah dan as-Sunnah adalah orang-orang yang sesat dan jahil, karenanya;
barangsiapa yang bersama mereka, maka jalan akhir dari kehidupannya adalah sama
seperti jalan akhir dari kehidupan orang-orang tersebut (ahli kesesatan dan
kejahilan). Sedangkan mencintai orang yang termasuk para wali Allah yang
bertaqwa seperti Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Aly dan selain mereka adalah
merupakan ikatan keimanan yang paling kokoh dan sebesar-besar kebaikan yang
akan diraih oleh orang-orang yang bertaqwa. Andaikata seseorang mencintai
seseorang yang lain lantaran melihat kebaikan yang tampak pada dirinya yang
dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, maka Allah akan mengganjarnya pahala atas kecintaannya
terhadap apa yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya meskipun dia tidak
mengetahui apa yang sebenarnya tersimpan di dalam bathinnya (orang tersebut)
karena hukum asalnya adalah mencintai Allah dan mencintai apa yang dicintai
oleh-Nya; barangsiapa yang mencintai Allah dan apa yang dicintai oleh-Nya, maka
dia termasuk wali Allah akan tetapi kebanyakan manusia sekarang hanya
mengaku-aku saja bahwa dirinya mencintai tetapi tanpa teliti dan realisasi yang
benar. Allah berfirman: “Katakanlah (wahai Muhammad)! Jika kalian mencintai
Allah, maka ikutilah aku niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni
semua dosa kalian”.
Ayat ini turun terhadap suatu kaum di masa Rasulullah yang
mengaku-aku bahwa mereka mencintai Allah.
Mencintai Allah dan Rasul-Nya dan hamba-hamba-Nya yang
bertaqwa memiliki konsekuensi melakukan hal-hal yang dicintai-Nya dan menjauhi
hal-hal yang tidak disukai-Nya sementara manusia di dalam hal ini memiliki
perbedaan yang signifikan; barangsiapa yang di dalam hal tersebut berhasil
meraup jatah yang banyak, maka dia akan meraih derajat yang paling besar pula
di sisi Allah.
Sedangkan orang yang mencintai seseorang karena mengikuti
hawa nafsunya seperti dia mencintainya karena ada urusan yang bersifat duniawy
yang ingin diraihnya, karena suatu hajat tertentu, karena harta yang dia
menumpang makan kepada si empunya-nya, atau karena fanatisme terhadapnya, dan
semisal itu; maka ini semua itu bukan termasuk kecintaan karena Allah tetapi
(kecintaan) karena hawa nafsu belaka. Kecintaan seperti inilah yang
menjerumuskan para pelakunya ke dalam kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan.
PELAJARAN YANG DAPAT DIPETIK DARI HADITS TERSEBUT
·
Kewajiban pertama seorang hamba adalah mencintai Allah,
setelah itu diikuti dengan kewajiban berikutnya, yaitu mencintai Rasul-Nya yang
merupakan subordinasi dan konsekuensi dari mencintai Allah tersebut.
·
Seseorang kelak akan dikumpulkan bersama orang yang
diidolakan dan dicintainya; maka hendaknya yang menjadi idola kita adalah Allah
dan Rasul-Nya serta hamba-hamba-Nya yang shalih dan bertaqwa.
·
Persaksian terhadap seseorang masuk surga atau tidak boleh
dilakukan bila memang termasuk orang yang sudah dipersaksikan oleh Rasulullah shallallâhu
'alaihi wa sallam, sedangkan terhadap orang yang banyak dipuji dan dipersaksikan
oleh orang banyak; maka terdapat perbedaan pendapat tentang kebolehannya.
·
Hendaknya semua makhluk mengikuti Rasulullah shallallâhu
'alaihi wa sallam; tidak menyembah selain Allah dan beribadah kepada-Nya
dengan syari’at Rasulullah, bukan selainnya.
·
Tidak boleh kita mengidolakan dan mencintai orang-orang yang
dikenal sebagai pelaku maksiat dan pengumbar hawa nafsu karena implikasinya
amat berbahaya, khususnya terhadap ‘aqidah. Karenanya, bagi mereka yang
terlanjur telah mengidolakan orang-orang seperti itu yang tidak karuan ‘aqidah
dan akhlaqnya, hendaknya mulai dari sekarang mencabut pengidolaan tersebut dari
hati mereka dan mengalihkannya kepada idola yang lebih utama, yaitu Allah dan
Rasul-Nya serta hamba-hamba-Nya yang shalih dan bertaqwa. Sebab bila tidak,
maka akhir hidupnya akan seperti akhir hidup orang-orang yang diidolakannya
yang tidak karuan juntrungannya tersebut, na’ûdzu billâhi min dzâlik.
Wallahu a’lam
REFERENSI:
1.
“Majmu’ al-Fatâwâ” Syaikhul
Islam, Ibnu Taimiyyah, pasal: Ma’na hadîts “al-Mar-u ma’a man Ahabb”
2.
Kitab “at-Tauhid” karya Syaikh Shalih al-Fauzân
3.
Kitab “al-Qaul al-Mufîd ‘ala kitâb at-Tauhîd” karya
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullâh, jld. I, hal. 151)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar