Melihat
fenomena peradilan yang berkembang di tanah air dan maraknya praktik yang
kurang sehat di dalamnya bahkan ada sementara kalangan yang mensinyalir
munculnya ‘mafia peradilan’, tentunya membuat hati kita tergugah sekaligus ikut
teriris-iris.
Betapa
tidak, umat Islam adalah mayoritas di negeri ini tetapi -hampir- tidak memiliki
MAKNA HADITS SECARA GLOBAL
PENJELASAN HADITS
Definisi
Kualitas Hadits
Kosakata Hadits
Pelajaran Yang Dapat Diambil Dari Hadits
lembaga yang dapat melindungi dan memberikan putusan hukum yang adil terhadap mereka sesuai dengan tuntunan agama mereka.
Belum
lagi, fenomena yang mengesankan adanya segolongan ‘etnis’ tertentu yang
–seakan- menguasai lembaga peradilan dan hukum nasional.
Lembaga
yang ada yang seharusnya menjadi tempat berteduh dan berlindung umat mayoritas,
justeru amat dijauhi. Masyarakat seakan takut bila urusan atau perkara mereka
sampai ke tangan lembaga ini. Ketakutan ini bukan karena takut ‘divonis’
bersalah bila memang ternyata bersalah tetapi lebih dari itu, mereka sudah
‘kadung’ alergi terlebih dahulu. Dalam pandangan mereka, bahwa urusan siapa
yang benar dan bersalah tidak ditentukan lagi oleh lembaga ini. Yang
menentukannya adalah ‘kekuatan luar’ yang bersembunyi di balik itu. ‘Kekuatan
luar’ ini bisa berupa uang, kekuasaan dan sebagainya. Realitas yang terjadi
saat ini merupakan bukti atas statement ini tanpa harus disebut satu per-satu.
Maka,
tidak heran bila yang seharusnya berada di pihak yang benar bisa menjadi
bersalah dan sebaliknya. Pihak yang memiliki ‘kekuatan’ tersebut dapat
membolak-balikkan kondisi dan posisi sehingga rakyat biasa yang tak berdaya dan
papa tidak dapat berbuat apa-apa selain pasrah.
Pihak
yang memiliki ‘kekuatan’ tersebut dengan seenaknya dan leluasanya dapat
‘mendakwa’ bila merasa diri mereka difitnah, dicemari nama baiknya -meskipun
dari sudut logika sudah pantas untuk itu- dan sebagainya. Demikian pula, bila
mereka ‘didakwa’ maka dengan mudah pula melalui ‘kekuatan’ itu mendatangkan
‘sekian bukti’ atas ketidakbersalahan mereka. Mereka juga bisa ‘merangkul’ para
‘pembela’ (baca: advokat) kelas kakap yang siap berjuang mati-matian demi
kepentingan ‘kliennya’ –menurut peristilahan yang mereka gunakan-.
Dalam
hal ini, kami tidak hendak menyinggungnya dari persfektif ‘aqidah tentang
‘produk peradilan’ yang dibuat oleh manusia karena hal ini sebenarnya sudah jelas
bagi mereka yang memahaminya. Disamping, pembicaraan seputar hal ini telah
dibahas di dalam kajian khusus.
Yang
ingin kami sampaikan dalam kesempatan kajian hadits kali ini adalah menyajikan
hadits seputar satu aspek penting dari sekian banyak aspek di dalam ‘al-Qadla
al-Islâmy’ alias Peradilan Islam. Yaitu masalah ‘dakwaan’ yang mencakup ‘al-Bayyinah’
(semua hal yang dapat menjelaskan dan menyingkap kebenaran) dan ‘al-Yamîn’
(sumpah).
Namun
sebelum itu, perlu kami tekankan bahwa pembahasan tentang aspek ini bukanlah
spesialisasi kami dan –sebenarnya- tidak banyak yang kami mengerti mengenai
peristilahan di dalam ‘peradilan’ itu sendiri di negeri ini.
Oleh
karena itu, bilamana terdapat beberapa kesalahan dan kekeliruan di dalam
peristilahan yang digunakan maka kami berharap dapat dimaklumi.
Kami
hanya ingin memberikan sedikit ‘sumbangsih pemikiran’ seputar masalah yang amat
urgen sekali ini, semoga dapat pula memberikan sedikit pencerahan bagi kita
serta membelalakkan mata kita terhadap ‘Peradilan Islam’ yang haqiqi bahwa ia
adalah memang penuh dengan keadilan.
Semoga
bermanfa’at bagi kita semua dan tidak hanya ada dalam angan-angan kita tetapi
kelak dapat direalisasikan sehingga keadilan yang didamba-dambakan oleh umat
dapat diraih.
Tidak
lupa, bahwa bilamana suatu ketika kelak terdapat kekeliruan tertentu di dalam
tulisan ini, baik menyangkut peristilahan dan sebagainya; maka sudilah kiranya
memberikan saran dan kritik membangunnya kepada kami guna perbaikan lebih
lanjut di kemudian harinya. Wallahu a’lam
NASKAH HADITS
عَنِ ابْنِ عَبّاسٍ أَنّ النّبِيّ صلى الله
عليه وسلم قَالَ: " لَوْ يُعْطَى النّاسُ بِدَعْوَاهُمْ , لاَدّعَىَ نَاسٌ دِمَاءَ
رِجَالٍ وَأَمْوَالَهُمْ, وَلَكِنّ الْيَمِينَ عَلَى الْمُدّعَىَ عَلَيْه ". متفق
عليه، وللبيهقي بإسناد صحيح: "الْبَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِي وَالْيَمِيْنُ عَلَى
مَنْ أَنْكَرَ".
Dari Ibnu ‘Abbas –radliallâhu
'anhuma- bahwasanya Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda: “Andaikata
(semua) manusia diberi (kebebasan) dengan dakwaan masing-masing, niscaya (ada
saja) manusia yang mendakwa darah orang-orang (bahwa mereka membunuh) dan harta
benda mereka (bahwa itu adalah hartanya), akan tetapi (pembuktiannnya adalah
dengan cara) bersumpah oleh orang yang mengingkarinya (si terdakwa)”. (Muttafaqun
‘alaih)… Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqy dengan sanad
yang shahih disebutkan: “(Mendatangkan) ‘bayyinah’ (wajib) atas pendakwa dan
(mengucapkan) sumpah (wajib) atas orang yang mengingkarinya (si terdakwa)”.
Maksud hadits tersebut adalah
bahwa Rasulullah memberitakan tentang tingkah laku manusia yang bila dibiarkan
tanpa hukum yang mengatur dan dibebaskan untuk mendakwa (menuduh,
mengaku-ngaku) secara sembarangan bahwa seseorang telah membunuh atau seseorang
telah mengambil hartanya, maka tentu setiap orang akan melakukan hal itu tanpa
haq. Oleh karena itu, beliau mewajibkan kepada orang yang didakwa/terdakwa pada
hadits pertama untuk bersumpah sebagai bukti bahwa dia tidak bersalah dan tidak
melakukan hal yang dituduhkan kepadanya. Sedangkan di dalam hadits kedua,
beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam memberikan hak masing-masing; si
pendakwa agar mendatangkan ‘al-Bayyinah’ sedangkan si terdakwa yang
mengingkarinya agar mengucapkan ‘al-Yamîn’.
Kata ‘Dakwa’ atau ‘Dakwaan’
asalnya dari bahasa Arab, yaitu dari kata ‘Da’wâ’ (bentuk jamaknya ‘ad-Da-‘âwâ),
yaitu “menyandarkan (mengklaim) kepemilikan sesuatu yang berada di tangan orang
lain atau di bawah tanggungjawab orang tersebut kepada dirinya”.
Sedangkan kata ‘al-Mudda’iy’
(Pendakwa) adalah orang yang menuntut haknya kepada orang lain dengan
mengklaim kepemilikannya terhadap hal yang dituntutnya tersebut …
Adapun kata ‘Bayyinah’,
terdapat perbedaan pendapat mengenai definisinya;
1. Ia adalah
tanda/bukti yang jelas, seperti adanya seorang saksi menurut madzhab Imam
Ahmad.
2. Ibnu al-Qayyim tidak
membatasi makna ‘Bayyinah’ pada ‘saksi’ saja tetapi lebih umum dari itu;
ia adalah sebutan untuk segala sesuatu yang dapat menjelaskan dan mengungkap
kebenaran (al-Haq). Beliau menyatakan bahwa pihak yang hanya memfokuskan pada
makna ‘dua orang saksi’, ‘empat saksi’ atau ‘seorang saksi’, berarti mereka
belum memberikan definisi yang semestinya terhadap penamaannya sebagai ‘bayyinah’.
Di dalam al-Qur’an, ‘al-Bayyinah’ tidak pernah sama sekali dimaksudkan
sebagai ‘dua orang saksi (asy-Syâhidân)’ tetapi dimaksudkan sebagai ‘al-Hujjah’
‘ad-Dalîl’ dan ‘al-Burhan’, baik dalam bentuk mufrad (singular)
ataupun jama’ (plural).
Memang ‘asy-Syâhidân’
(dua orang saksi) merupakan bagian dari ‘al-Bayyinah’ tetapi hal ini
tidak menafikan selain keduanya sebagai jenis lain darinya dimana bisa jadi
yang selainnya tersebut justeru lebih kuat dan akurat untuk menunjukkan secara
kondisional kebenaran si pendakwa. Petunjuk kondisional ini adalah lebih kuat
dari pada petunjuk yang di dapat melalui berita seorang saksi. Kata al-Bayyinah,
ad-Dilâlah, al-Hujjah, al-Burhân, al-‘Alâmah dan al-Amârah dari
sisi maknanya mirip satu sama lainnya.
Allah Ta’ala, asy-Syâri’
tidak pernah meniadakan al-Qarâ-in (bukti), al-Amârât (tanda-tanda)
dan petunjuk yang bersifat kondisional. Bagi orang yang sudah melakukan
analisis terhadap sumber-sumber asli syari’at, akan mendapatkan bahwa ia
(syari’at) mempertegas eksistensi hal-hal tersebut dan mengatur hukum-hukum
yang terkait dengannya.
Tambahan riwayat al-Baihaqy
yang disebutkan diatas, sanadnya adalah shahih, dihasankan oleh Imam an-Nawawy
di dalam kitabnya ‘al-Arba’în’. Ia juga dihasankan oleh Ibnu ash-Shalah.
Ibnu Rajab berkata: “Hadits ini dijadikan dalil oleh Imam Ahmad
dan Abu ‘Ubaid. Tentunya, ketika orang sekapasitas dan sekapabilitas mereka
berdua menjadikannya sebagai dalil, maka itu berarti menurut mereka berdua
kualitasnya adalah shahih dan dapat dijadikan hujjah…Banyak sekali hadits yang
semakna dengannya”.
Kata ‘al-Yamîn’ secara
bahasa (etimologis) memiliki arti yang banyak, diantaranya; al-Quwwah (kekuatan)
dan al-Yad al-Yumna (tangan kanan).
Menurut istilah
(terminologis) maknanya adalah “Mengokohkan sumpah dengan menyebut lafazh yang
diagungkan berdasarkan niat khusus”. Ia dikatakan ‘Yamîn’ karena orang
yang bersumpah memberikan Yamîn (tangan kanan) nya untuk memukul tangan
kanan orang lain.
1. Di dalam hadits
diatas, Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam menjelaskan bahwa siapa saja
yang mendakwa dengan suatu dakwaan terhadap seseorang, maka wajib baginya untuk
menghadirkan al-Bayyinah dan memperkuat dakwaannya tersebut. Jika dia
tidak memiliki al-Bayyinah tersebut, maka si terdakwalah yang harus
mengucapkan al-Yamîn untuk menafikan dirinya dari dakwaan tersebut.
2. Rasulullah shallallâhu
'alaihi wa sallam menyebutkan hikmah dari kenapa pendakwa harus
menghadirkan al-Bayyinah, sementara si terdakwa harus mengucapkan al-Yamîn.
Yaitu, agar jangan sampai setiap orang dengan seenaknya melakukan dakwaan
terhadap orang lain sebab bila hal itu dibiarkan bebas, niscaya orang-orang
yang tidak membiasakan dirinya selalu di bawah pengawasan Allah Ta’ala dengan
entengnya akan melayangkan dakwaan secara dusta terhadap darah atau harta
orang-orang yang tidak bersalah/berdosa. Akan tetapi Allah Ta’ala Yang Maha
Bijaksana lagi Maha Mengetahui telah memberikan batasan dan hukum untuk hal
tersebut sehingga tindakan kejahatan, kezhaliman serta kerusakan dapat
diminimalisir.
Syaikh Ibnu Daqîq
al-‘Îed berkata: “Hadits tersebut menunjukkan bahwa tidak boleh melakukan
tindakan hukum kecuali dengan hukum syari’at yang telah diatur, meskipun ada
perkiraan yang lebih berat untuk membenarkan pendakwa”.
3. al-Yamîn harus diucapkan oleh
si terdakwa dan al-Bayyinah harus dihadirkan oleh si pendakwa
sebagaimana terdapat di dalam riwayat al-Baihaqy. Kenapa demikian? Karena al-Yamîn
menempati posisi terkuat dari dua orang yang mengajukan gugatan, dan pihak
terdakwa merupakan orang yang kuat bilamana dari pihak pendakwa tidak
menghadirkan al-Bayyinah sebab hukum asalnya adalah terlepasnya diri si
terdakwa dari semua dakwaan tersebut sehingga darinya cukup mengucapkan al-Yamîn.
Syaikh Ibnu
al-Qayyim berkata: “Yang ada di dalam syari’at bahwa al-Yamîn disyari’atkan
dari pihak yang terkuat dari dua pihak yang saling menggugat. Siapa saja pihak
yang dirasa lebih kuat dari kedua orang yang bersengketa, maka al-Yamîn diambil
dari sisinya. Ini adalah pendapat Jumhur ulama seperti Ahli Madinah dan Fuqaha’
Ahli Hadits semacam Imam Ahmad, asy-Syafi’i, Malik dan selain mereka.
4. Yang dimaksud dengan
al-Bayyinah menurut kebanyakan para ulama adalah para saksi (asy-Syuhûd),
sumpah (al-Aymân) dan pencabutan gugatan (an-Nukûl). Sedangkan
menurut al-Muhaqqiqun (para ulama kritikus) al-Bayyinah adalah
sebutan bagi setiap sesuatu yang dapat menjelaskan dan mengungkap
kebenaran, baik berupa para saksi, bukti-bukti secara langsung/kondisionil
ataupun penyebutan kriteria oleh pendakwa seperti halnya di dalam penyebutan kriteria
al-Luqathah (barang temuan/hilang).
Syaikh Ibnu Rajab
berkata: “Setiap barang yang tidak diklaim lagi oleh pemiliknya, kemudian ada
orang yang mampu menyebutkan kriteria dan ciri-cirinya yang masih samar, maka
barang tersebut adalah miliknya. Jika ada orang yang mempersengketakan apa yang
sudah ada di tangannya, maka ia masih tetap miliknya bila mengucapkan al-Yamîn
(sumpah) selama pendakwa tidak dapat menghadirkan al-Bayyinah yang
lebih kuat darinya”.
Syaikh Ibnu
al-Qayyim berkata: “al-Bayyinah di dalam kalam Allah, sabda Rasul-Nya
dan ucapan para shahabat adalah sebutan bagi setiap sesuatu yang dapat
menjelaskan al-Haq. Jadi ia lebih bersifat umum bila dibanding dengan
terminologi al-Bayyinah yang digunakan oleh kalangan para Fuqaha’ dimana
mereka mengkhususkan maknanya pada seorang saksi atau seorang saksi dan al-Yamîn
saja. Terminologi tersebut tidak dapat dijadikan acuan selama tidak
mencakup Kalam Allah dan sabda Rasul-Nya. Terminologi yang semacam itu dapat
menjerumuskan kepada kekeliruan di dalam memahami nash-nash bahkan
mengarahkannya kepada selain makna yang diinginkan”.
5. Hadits diatas
merupakan prinsip yang agung dan merupakan salah satu prinsip di dalam al-Qadla’
(mahkamah/peradilan). Kebanyakan produk-produk hukum yang lain berporos
pada prinsip yang agung ini.
6. Hadits tersebut
memiliki kedudukan yang tinggi dan merupakan salah satu prinsip utama di dalam al-Qadla’
dan hukum-hukum. Menerapkan al-Qadla’ di tengah manusia dapat
dilakukan ketika terjadi perselisihan dimana satu pihak mendakwa haknya
terhadap pihak yang lain dan pihak yang lain ini menolak dan berlepas diri
darinya.
7. Barangsiapa yang
mendakwa orang lain dalam hal yang berupa barang, agama atau hak sementara
dakwaan itu diingkari oleh si terdakwa, maka pada prinsipnya kebenaran berada
di pihak si terdakwa yang mengingkari ini karena hukum asalnya adalah bahwa
dirinya terlepas dari semua tuntutan; Jika pendakwa menghadirkan al-Bayyinah
yang menguatkan haknya maka ia adalah miliknya dan jika tidak menghadirkannya,
maka yang dituntut dari si terdakwa terhadapnya hanyalah mengucapkan al-Yamîn
untuk menafikan dakwaan tersebut.
8. Hadits diatas
mendukung pendapat Jumhur ulama, diantaranya ulama madzhab Syafi’i dan Hanbaly
yang menyatakan bahwa al-Yamîn diarahkan kepada si terdakwa baik antara
dirinya dan si pendakwa pernah saling mengenal ataupun tidak.
Sedangkan menurut
madzhab ulama Maliky dan Ahli Madinah, diantaranya tujuh fuqaha’-nya (al-Fuqahâ’
as-Sab’ah) bahwa al-Yamîn tidak dapat diarahkan kepada orang yang
diantaranya dan si pendakwa pernah saling mengenal. Ini dimaksudkan agar
orang-orang yang iseng tidak dengan seenaknya dapat memaksakan orang-orang yang
dihormati (tokoh atau ulama) untuk bersumpah.
9. Orang yang memiliki
hutang atau hak yang permanen dan legitimit terhadap sesuatu sedangkan dia
dituntut untuk membuktikannya, lalu kemudian ada orang lain yang mendakwa bahwa
hak/tanggungannya tersebut dapat lepas dari dirinya (pemilik asal) dengan
banyak cara seperti memenuhi janji yang telah disetujuinya, menggugurkannya,
jalan damai atau lainnya; maka hukum asalnya adalah bahwa apa yang menjadi
hak/tanggungan pemilik asal tetap berlaku. Jika si pendakwa tersebut tidak
menghadirkan al-Bayyinah atas telah dipenuhinya janji tersebut atau
terlepasnya tanggungan tersebut dari diri terdakwa (pemilik asal), maka yang
dituntut dari pemilik asal (terdakwa) untuk menyanggah pendakwa adalah
mengucapkan al-Yamîn bahwa hak/tanggungannya tersebut masih tetap
berlaku dan legitimit karena hukum asalnya adalah masih berlakunya sesuatu
seperti sediakala.
10. Demikian juga halnya
dengan dakwaan terhadap ‘Uyûb (cacat suatu barang), asy-Syurûth (syarat
sesuatu), al-Âjâl (masa waktu sesuatu) dan al-Watsâ-iq (bukti
penguat sesuatu). Hukum asal semuanya adalah bahwa hal tersebut tidak pernah
ada dan terjadi sehingga tidak perlu menanggapinya. Barangsiapa yang
mendakwanya, maka hendaknya dia menguatkannya dengan al-Bayyinah ; jika
tidak ada, maka orang yang mengingkarinya (si terdakwa) harus mengucapkan al-Yamîn.
11. Hadits ini merupakan
prinsip utama di dalam proses ‘al-Murâfa’ât’ (code of procedure/hukum
acara). Manhaj yang telah digariskan oleh prinsip ini di dalam menyelesaikan
dakwaan merupakan solusi yang jitu guna mencegah merajalelanya dakwaan-dakwaan
bathil yang tidak beralasan serta dapat mengokohkan suatu hak kepada
pemiliknya.
12. Para Ulama Kritikus
mengatakan: “Sesungguhnya syari’at ini menjadikan al-Yamîn sebagai aspek
yang paling kuat dari sisi hukum baik ia bersumber dari pendakwa ataupun si
terdakwa”. Wallahu a’lam.
Ibnu al-Mundzir
berkata: “Para ulama bersepakat (ijma’) bahwa al-Bayyinah harus
dihadirkan oleh si pendakwa dan al-Yamîn harus diucapkan oleh orang yang
mengingkari (si terdakwa)”.
13. Syaikh Ibnu Rajab di
dalam syarahnya terhadap hadits al-Arba’în berkata: “Makna sabda beliau
(artinya): “(Menghadirkan) ‘al-Bayyinah’ (wajib) atas pendakwa”, yakni
bahwa dengan al-Bayyinah tersebut dia berhak terhadap dakwaannya karena
ia adalah suatu kewajiban atasnya yang harus dipegang. Sedangkan makna sabda
beliau: “(mengucapkan) ‘al-Yamîn’ (wajib) atas orang yang mengingkarinya (si
terdakwa)”, yakni dengan al-Yamîn tersebut, dia terbebas dari segala
dakwaan karena ia wajib atasnya dan harus dipegang dalam kondisi apapun.
14. Ibnu Rajab juga
mengatakan: “Bila si pendakwa menghadirkan seorang saksi, maka ini akan memperkuat
posisinya dan bila ditambah dengan sumpah, maka putusan berpihak padanya”.
15.
Beliau juga menambahkan: “al-Bayyinah adalah setiap sesuatu yang dapat
menjelaskan kebenaran dakwaan si pendakwa dan menjadi saksi atas kejujurannya
sedangkan al-Lawts * dan jenis-jenisnya adalah juga termasuk al-Bayyinah.
Dan saksi (asy-Syahid) bila diperkuat dengan al-Yamîn juga
menjadi al-Bayyinah. * al-Lawts adalah sesuatu yang menunjukkan atas
kejadian sesuatu, seperti adanya ceceran darah di tempat kejadian, dsb…semacam
‘alibi’. Ia bisa dikategorikan sebagai ‘bukti pendukung’, wallahu a’lam-red.
16. Beliau juga
mengatakan: “Dan sabda beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam (artinya): “Andaikata
(semua) manusia diberi (kebebasan) dengan dakwaan-dakwaan mereka…”
menunjukkan bahwa si pendakwa atas darah dan harta seseorang harus menghadirkan
al-Bayyinah yang menunjukkan kebenaran dakwaannya. Termasuk juga di
dalam keumuman makna hadits tersebut adalah kondisi dimana si terdakwa yang
didakwa oleh seseorang telah membunuh muwarrits -nya (muwarrits
adalah orang mati yang meninggalkan warisan sehingga menyebabkan dirinya
menjadi ahli waris seperti ayah, dst) sedangkan dia hanya memiliki al-Bayyinah
yang berupa ucapan orang yang terbunuh tersebut (muwarrits); “si
fulan-lah yang telah melukaiku”. Kondisi al-Bayyinah seperti ini tidak
cukup baginya dan al-Lawts tidak dapat terjadi hanya karena itu. Ini
adalah pendapat Jumhur ulama. Berbeda dengan pendapat madzhab Maliky yang
menjadikan ucapan muwarrits tersebut sebagai bentuk al-Lawts yang
harus dibarengi dengan sumpah para walinya sehingga pendakwa berhak atas
dakwaannya terhadap darah tersebut.
17. Beliau juga
mengatakan: “Dan sabdanya shallallâhu 'alaihi wa sallam : “(mengucapkan)
‘al-Yamîn’ (wajib) atas orang yang mengingkarinya (si terdakwa)”
menunjukkan bahwa setiap orang yang didakwa dengan suatu dakwaan, lalu dia
mengingkarinya, maka wajib atasnya mengucapkan al-Yamîn. Ini adalah
pendapat mayoritas Fuqaha’. Sedangkan Imam Malik mengatakan: “Orang yang
mengingkari (si terdakwa) wajib mengucapkan al-Yamîn bilamana antara
kedua orang yang saling menggugat pernah ada semacam percampuran (antara satu
sama lain pernah saling mengenal). Sebab bila tidak, dikhawatirkan ada
sementara orang-orang yang iseng dengan seenaknya mempermainkan al-Yamîn di
hadapan para pemimpin seperti yang pernah terjadi terhadap Syaikhul Islam, Ibnu
Taimiyyah.
Beliau mengisahkan:
“Suatu ketika kami berhadapan dengan wakil seorang Sultan dan posisiku berada
di sampingnya, tiba-tiba ada sebagian hadirin yang mendakwa diriku bahwa aku
masih memegang barang titipannya, lalu dia meminta agar aku didudukkan
bersamanya dan bersumpah. Lalu aku berkata kepada Qadli/Hakim madzhab Maliky
yang waktu itu juga hadir:
“Apakah dakwaan
semacam ini berlaku dan dapat didengar?”.
Dia menjawab:
“Tidak”.
Aku berkata lagi:
“Lalu apa putusan di dalam madzhabmu terhadap hal seperti ini?”.
Dia menjawab: “Si
pendakwa harus dita’zir”. (diberi sanksi oleh sultan/penguasa-red).
Aku berkata: “Kalau
begitu, berilah putusan seperti di dalam madzhabmu itu!”.
Lalu si pendakwa itu
disuruh berdiri dan ditarik keluar dari majlis itu.
18. asy-Syaikh
‘Abdurrahman as-Sa’dy rahimahullah berkata - mengomentari sabda beliau shallallâhu
'alaihi wa sallam (artinya) -: ‘(Menghadirkan) ‘al-Bayyinah’ (wajib)
atas pendakwa dan (mengucapkan) ‘al-Yamîn’ (wajib) atas orang yang
mengingkarinya (si terdakwa)’ “Sungguh ini merupakan ucapan yang amat
menyentuh dan komplit. Ia melingkupi seluruh peristiwa dan bagian-bagiannya
yang terjadi di tengah umat manusia dalam segala hak mereka. Ucapan ini
merupakan suatu prinsip yang melandasi seluruh problematika yang timbul. Ia
dapat mencakup beberapa kondisi berikut :
Pertama, kondisi orang yang
mendakwa hak orang lain sedangkan si terdakwa mengingkarinya.
Kedua, kondisi orang yang
telah mantap haknya (permanen/legitimit) lalu mendakwa berlepas diri darinya
sementara pemilik hak (asli) tersebut mengingkarinya.
Ketiga, kondisi orang yang
telah mantap di tangannya kepemilikan terhadap sesuatu lalu ada orang lain yang
mendakwa kepemilikannya terhadap sesuatu tersebut sedangkan pemiliknya ini
mengingkarinya.
Keempat, kondisi dua orang
yang telah bersepakat dengan suatu ‘aqad lalu salah satu dari keduanya mendakwa
bahwa ‘aqad itu cacat karena ada syarat yang tertinggal atau semisalnya sementara
yang seorang lagi mengingkari hal itu; maka ucapan yang harus dipegang (menjadi
acuan) adalah ucapan yang mendakwa tidak adanya cacat tersebut.
Kelima, kondisi orang yang
mendakwa terhadap suatu syarat, cacat, tenggang waktu tertentu dan semisalnya
sementara yang lainnya mengingkari hal itu, maka ucapan yang harus dipegang
(menjadi acuan) adalah ucapan orang yang mengingkarinya (si terdakwa).
Dan banyak lagi
kondisi lainnya yang masuk ke dalam cakupan kaidah diatas”.
(Diambil dari buku ‘Tawdlîh al-Ahkâm Min Bulûgh
al-Marâm’ karya Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Bassâm, jld. VI,
hal. 162-166)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar