Banyak diantara umat Islam yang tidak menyadari bahwa dirinya telah melakukan suatu perbuatan yang menyakiti orang lain lantas membiarkan hal itu berlalu begitu saja tanpa meminta ma’af kepadanya atas perbuatannya tersebut. Hal ini bisa disebabkan oleh ego yang terlalu tinggi, menganggap hal itu adalah sepele, kurang memahami ajaran agamanya
sehingga tidak mengetahui implikasinya, dan sebagainya. Padahal sebenarnya amat berbahaya dan akan membebankannya di hari Akhirat kelak karena harus mempertanggungjawabkannya. Perbuatan tersebut tidak lain adalah kezhaliman.
Definisi kezhaliman (azh-Zhulm)
Klasifikasi Kezhaliman
Penyebab terjadinya
Terapinya
- Mencari sebab hidayah sehingga hatinya tidak gelap lagi dan mudah mengambil pelajaran
- Mengetahui bahaya dan akibat dari perbuatan tersebut baik di dunia maupun di akhirat dengan belajar ilmu agama
- Meminta ma’af dan penghalalan kepada orang yang bersangkutan selagi masih hidup, bila hal ini tidak menimbulkan akibat yang lebih fatal seperti dia akan lebih marah dan tidak pernah mau menerima, dst. Maka sebagai gantinya, menurut ulama, adalah dengan mendoakan kebaikan untuknya
- Membaca riwayat-riwayat hidup dari orang-orang yang berbuat zhalim sebagai pelajaran dan i’tibar sebab kebanyakan kisah-kisah, terutama di dalam al-Qur’an yang harus kita ambil pelajarannya adalah mereka yang berbuat zhalim, baik terhadap dirinya sendiri atau terhadap orang lain.
Diantara Nash-Nash Yang Mencelanya
- Firman Allah Ta’âla: “Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (Q,.s.al-Hasyr/59: 9)
- Firman Allah Ta’âla : “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q,.s. Âli ‘Imrân/03: 180)]
- Firman Allah Ta’âla : “Dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri…”. (Q,.s. Muhammad/47: 38)
- Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam Musnad dan Imam at-Turmuzy di dalam kitabnya dari hadits Abu Bakar bahwasanya Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: “Tidak masuk surga seorang yang bakhil”.
- Hadits yang diriwayatkan oleh Imam at-Turmuzy dan an-Nasâ-iy dari hadits Abu Dzar bahwasanya Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah membenci tiga (orang): (1) orang yang sudah tua tetapi berzina, (2) orang yang bakhil/kikir yang selalu menyebut-nyebut pemberiannya, (3) dan orang yang musbil (memanjangkan pakaiannya hingga melewati mata kaki) yang sombong”.
Sifat Bakhil merupakan penyakit yang disebabkan oleh dua hal:
Terapinya
- Merasa puas dengan hidup yang serba sedikit
- Bersabar dan mengetahui secara yakin bahwasanya Allah Ta’âla adalah Maha Pemberi rizki
- Merenungi akibat dari perbuatan bakhil di dunia sebab tentu ada penyakit-penyakit yang sudah mengakar pada diri penghimpun harta sehingga tidak peduli dengan apapun yang terjadi terhadap dirinya.
- Boros
- Taqshîr (Mengurang-ngurangi) alias Bakhil
- Ekonomis (berhemat/sedang-sedang saja)
- ‘Abdul Bâqy, Muhammad Fuâd, al-Mu’jam al-Mufahris Li Alfâzh al-Qur’ân al-Karîm
- Mausû’ah al-Hadîts asy-Syarîf (CD)
- al-Bassâm, ‘Abdullâh bin ‘Abdurrahmân, Taudlîh al-Ahkâm Min Bulûgh al-Marâm, (Mekkah al-Mukarramah: Maktabah wa mathba’ah an-Nahdlah al-Hadîtsah, 1414 H), Cet. II
- ad-Dimasyqiy, al-Imâm al-Hâfizh al-Faqîh, Zainuddîn, Abi al-Faraj, ‘Abdurrahmân bin Syihâbuddîn al-Baghdâdiy, Ibnu Rajab, Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam fî Syarh Khamsîna Hadîtsan Min Jawâmi’ al-Kalim, (Beirut: Muassasah ar-Risâlah, 1412 H), Cet. III, Juz. II
- ar-Râziy, Muhammad bin Abi Bakr bin ‘Abdul Qâdir, Mukhtâr ash-Shihâh, (Lebanon: al-Markaz al-‘Arabiy Li ats-Tsaqâfah wa al-‘Ulûm, tth)
- ad-Dimasyqiy, Abu al-Fidâ’, Ismâ’il bin Katsîr al-Qurasyiy, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, (Riyadl: Maktabah Dâr as-Salâm, 1414 H), Cet. I, Juz. VII
- al-Jazâ-iry, Abu Bakar, Jâbir, asy-Syaikh, Minhâj al-Muslim, (Madinah: Maktabah al-‘Ulûm wa al-Hikam, 1419 H), Cet. VI
Kezhaliman adalah sesuatu yang dibenci baik di muka bumi ini maupun di akhirat
kelak dan pelakunya hanyalah mereka yang menyombongkan dirinya.
Banyak bentuk kezhaliman yang berlaku di dunia ini, yaitu tidak jauh dari
definisinya ; “menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya”. Betapa banyak
orang-orang yang seenaknya berbuat dan bertindak sewenang-wenang. Sebagai contoh:
Sang suami sewenang-wenang terhadap isterinya; memperlakukannya dengan kasar,
menceraikannya tanpa sebab, menelantarkannya dengan tidak memberinya nafkah
baik lahir maupun batin. Sang pemimpin sewenang-wenang terhadap rakyat yang
dipimpinnya; diktator, tangan besi, berhukum kepada selain hukum Allah, loyal
terhadap musuh-musuh Allah, tidak menerima nasehat, korupsi dan sebagainya.
Tetangga berbuat semaunya terhadap tetangganya yang lain; membuat bising
telinganya dengan suara tape yang keras dan lagu-lagu yang menggila, menguping
rahasia rumah tangganya, usil, membicarakan kejelekannya dari belakang, mengadu
domba antar tetangga dan yang juga banyak sekali terjadi adalah mencaplok
tanahnya tanpa hak, berapapun ukurannya. Dan banyak lagi gambaran-gambaran lain
yang ternyata hampir semuanya dapat dikategorikan “perbuatan zhalim” karena
“menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya”.
Oleh karena itu, pantas sekali kenapa Allah mengecam dengan keras para
pelakunya dan bahkan mengharamkannya atas diri-Nya apatah makhluk-Nya.
Dan pantas pula, ia (kezhaliman) merupakan tafsir lain dari syirik karena
berakibat fatal terhadap pelakunya.
Maka, bagi mereka
yang pernah berbuat zhalim terhadap orang lain – sebab rasanya sulit
mendapatkan orang yang terselamatkan darinya sebagaimana yang pernah
disalahtafsirkan oleh para shahabat terkait dengan makna kezhaliman dalam ayat
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan
kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan
mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”. (Q,.s. al-An’âm/6: 82).
Mereka secara spontan, begitu ayat tersebut turun dan sebelum mengetahui makna
dari ‘kezhaliman’ yang sebenarnya berkomentar: “Wahai Rasulullah! siapa
gerangan diantara kita yang tidak berbuat zhalim terhadap dirinya?”. Tetapi,
pemahaman ini kemudian diluruskan oleh Rasulullah dengan menyatakan bahwa
maksud ayat tersebut adalah sebagaimana yang disebutkan dalam firman-Nya yang
lain: “Sesungguhnya syirik itu merupakan kezhaliman yang besar” (Q.,s.
Luqmân/31: 13) – maka hendaknya mereka segera meminta ma’af kepada yang
bersangkutan dan memintanya menghalalkan atas semua yang telah terjadi selagi
belum berpisah tempat dan sulit bertemu kembali dengannya serta selama masih di
dunia.
Hanya keterkaitan
dalam kezhaliman terhadap sesama makhluk ini yang tidak dapat ditebus dengan
taubat sekalipun. Taubat kepada Khaliq berkaitan dengan hak-hak-Nya; maka, Dia
akan menerimanya bila benar-benar taubat nashuh tetapi bila terkait dengan
sesama makhluq, maka hal itu terpulang kepada yang bersangkutan dan harus
diselesaikan terlebih dahulu dengannya ; apakah dia mema’afkan dan menghalalkan
kezhaliman yang terlah terjadi atasnya atau tidak.
Untuk itu, umat
Islam perlu mengetahui lebih lanjut apa itu kezhaliman? apa implikasinya di
dunia dan akhirat? bagaimana dapat terhindarkan darinya? Perbuatan apa saja
yang memiliki kaitan dan digandeng dengannya?.
Insya Allah, kajian
hadits kali ini berusaha menyoroti permasalahan tersebut, semoga bermanfa’at.
Naskah Hadits
1. عَنِ
ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: « الظُّلْمَ
ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ». متّفق عليه
Dari
Ibnu ‘Umar –radhiallaahu 'anhuma- dia berkata: Rasulullah Shallallâhu 'alaihi
wasallam bersabda: “Kezhaliman adalah kegelapan (yang berlipat) di hari
Kiamat”. (Muttafaqun ‘alaih)
2. عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللّهِ أَنّ رَسُولَ
اللّهَ صلى الله عليه وسلم قَالَ: «اتَّقُوا الظُّلْمَ. فَإِنّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ. وَاتَّقُوا الشُّحَّ. فَإِنّ الشُّحَّ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ
». رواه مسلم
Dari
Jâbir bin ‘Abdillah bahwasanya Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam
bersabda: “berhati-hatilah terhadap kezhaliman, sebab kezhaliman adalah
kegelapan (yang berlipat) di hari Kiamat. Dan jauhilah kebakhilan/kekikiran
karena kekikiran itu telah mencelakakan umat sebelum kamu”. (H.R.Muslim)
Kata “azh-Zhulm”
berasal dari fi’l (kata kerja) “zhalama – yazhlimu” yang berarti “Menempatkan
sesuatu bukan pada tempatnya”. Dalam hal ini sepadan dengan kata “al-Jawr”.
Demikian juga
definisi yang dinukil oleh Syaikh Ibnu Rajab dari kebanyakan para ulama. Dalam
hal ini, ia adalah lawan dari kata al-‘Adl (keadilan)
Hadits diatas dan
semisalnya merupakan dalil atas keharaman perbuatan zhalim dan mencakup semua
bentuk kezhaliman, yang paling besarnya adalah syirik kepada Allah Ta’âla
sebagaimana di dalam firman-Nya: “Sesungguhnya syirik itu merupakan kezhaliman
yang besar”.
Di dalam hadits
Qudsiy, Allah Ta’âla berfirman: “Wahai hamba-hambaku! Sesungguhnya Aku
mengharamkan kezhaliman terhadap diriku dan menjadikannya diharamkan antara
kalian”.
Ayat-ayat dan
hadits-hadits serta atsar-atsar tentang keharaman perbuatan zhalim dan
penjelasan tentang keburukannya banyak sekali.
Oleh karena itu, hadits
diatas memperingatkan manusia dari perbuatan zhalim, memerintahkan mereka agar
menghindari dan menjauhinya karena akibatnya amat berbahaya, yaitu ia akan
menjadi kegelapan yang berlipat di hari Kiamat kelak.
Ketika itu, kaum
Mukminin berjalan dengan dipancari oleh sinar keimanan sembari berkata: “Wahai
Rabb kami! Sempurnakanlah cahaya bagi kami”. Sedangkan orang-orang yang berbuat
zhalim terhadap Rabb mereka dengan perbuatan syirik, terhadap diri mereka
dengan perbuatan-perbuatan maksiat atau terhadap selain mereka dengan bertindak
sewenang-wenang terhadap darah, harta atau kehormatan mereka; maka mereka itu
akan berjalan di tengah kegelapan yang teramat sangat sehingga tidak dapat
melihat arah jalan sama sekali.
Syaikh Ibn Rajab berkata: “Kezhaliman terbagi kepada dua jenis: Pertama,
kezhaliman seorang hamba terhadap diri sendiri :
Bentuk paling besar dan berbahaya dari jenis ini adalah syirik sebab orang yang
berbuat kesyirikan menjadikan makhluk sederajat dengan Khaliq. Dengan demikian,
dia telah menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya.
Jenis berikutnya adalah perbuatan-perbuatan maksiat dengan berbagai macamnya;
besar maupun kecil.
Kedua,
kezhaliman yang dilakukan oleh seorang hamba terhadap orang lain, baik terkait
dengan jiwa, harta atau kehormatan.
Rasulullah
Shallallâhu 'alaihi wasallam telah bersabda ketika berkhuthbah di haji Wada’ :
“Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian diharamkan atas kalian
sebagaimana keharaman hari kalian ini, di bulan haram kalian ini dan di negeri
(tanah) haram kalian ini”.
Di dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhary dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallâhu 'alaihi
wasallam, beliau bersabda: “Barangsiapa yang pernah terzhalimi oleh saudaranya,
maka hendaklah memintakan penghalalan (ma’af) atasnya sebelum
kebaikan-kebaikannya (kelak) akan diambil (dikurangi); Bila dia tidak memiliki
kebaikan, maka kejelekan-kejelekan saudaranya tersebut akan diambil lantas
dilimpahkan (diberikan) kepadanya”.
Ibnu al-Jauziy menyatakan: “kezhaliman mengandung dua kemaksiatan: mengambil
milik orang lain tanpa hak, dan menentang Rabb dengan melanggar ajaran-Nya… Ia
juga terjadi akibat kegelapan hati seseorang sebab bila hatinya dipenuhi oleh
cahaya hidayah tentu akan mudah mengambil i’tibar (pelajaran)”.
Barangkali,
penyebabnya juga dapat dikembalikan kepada definisinya sendiri, yaitu tidak
menempatkan sesuatu pada tempatnya. Dan hal ini terjadi akibat kurangnya
pemahaman terhadap ajaran agama sehingga tidak mengetahui bahwa :
·
Hal
itu amat dilarang bahkan diharamkan
·
Ketidakadilan
akan menyebabkan adanya pihak yang terzhalimi
·
Orang
yang memiliki sifat sombong dan angkuh akan menyepelekan dan merendahkan orang
lain serta tidak peduli dengan hak atau perasaannya
·
Orang
yang memiliki sifat serakah selalu merasa tidak puas dengan apa yang
dimilikinya sehingga membuatnya lupa diri dan mengambil sesuatu yang bukan
haknya
·
Orang
yang memiliki sifat iri dan dengki selalu bercita-cita agar kenikmatan yang
dirasakan oleh orang lain segera berakhir atau mencari celah-celah bagaimana
menjatuhkan harga diri orang yang didengkinya tersebut dengan cara apapun
Diantara
terapinya –wallâhu a’lam- adalah:
Hadits tersebut (hadits kedua) memberikan peringatan terhadap
perbuatan kikir dan bakhil karena merupakan sebab binasanya umat-umat
terdahulu. Ketamakan terhadap harta menggiring mereka bertindak sewenang-wenang
terhadap harta orang lain sehingga terjadilah banyak peperangan dan fitnah yang
berakibat kebinasaan mereka dan penghalalan terhadap isteri-isteri mereka.
Kebinasaan seperti ini baru mereka alami di dunia .
Belum lagi di akhirat dimana tindakan sewenang-wenang
terhadap harta orang lain, terhadap isteri-isterinya dan menumpahkan darahnya
merupakan kezhaliman yang paling besar dan dosa yang teramat besar.
Perbuatan-perbuatan maksiat inilah yang merupakan sebab kebinasaan di akhirat
dan mendapat azab neraka.
Banyak
sekali nash-nash yang mencela dan mengecam perbuatan kikir/bakhil, diantaranya:
Pertama,
cinta terhadap hawa nafsu yang sarananya adalah harta.
Kedua,
cinta terhadap harta yang diakibatkan oleh hawa nafsu, kemudian hawa nafsu dan
semua hajatnya tersebut terlupakan sehingga harta itu sendiri yang menjadi
kekasih yang dicintainya.
Terapi
yang dapat memadamkan hawa nafsu tersebut diantaranya:
Prilaku
manusia di dunia ini terdiri dari tiga klasifikasi:
Klasifikasi pertama
dan kedua merupakan prilaku tercela sedangkan klasifikasi ketiga adalah prilaku
terpuji.
Klasifikasi pertama,
Boros (isrâf) adalah tindakan yang berlebih-lebihan di dalam membelanjakan
harta baik yang bersifat dibolehkan ataupun yang bersifat diharamkan; ini semua
adalah keborosan yang amat dibenci.
Klasifikasi kedua,
Taqshîr (mengurang-ngurangi) alias bakhil; orang yang bersifat seperti ini suka
mengurang-ngurangi pengeluaran baik yang bersifat wajib ataupun yang dianjurkan
yang sesungguhnya sesuai dengan tuntutan ‘murû-ah’ (harga diri).
Klasifikasi ketiga, ekonomis dan sistematis; orang yang
bersifat seperti ini di dalam membelanjakan harta yang bersifat wajib yang
terkait dengan hak-hak Allah dan makhluk melakukannya dengan sebaik-baiknya;
apakah itu pengeluaran-pengeluaran biasa ataupun utang piutang yang wajib.
Demikian pula, melakukan dengan sebaik-baiknya pengeluaran yang bersifat
dianjurkan yang sesuai dengan tuntutan ‘murû-ah’ (harga diri). Allah Ta’âla
berfirman: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak
berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di
tengah-tengah antara yang demikian”. (Q,s.al-Furqân/25: 67)
Inilah yang
merupakan salah satu kriteria dari sifat-sifat yang dimiliki oleh ‘Ibâd ar-Rahmân
(hamba-hamba Allah).
Wallahu
a’lam
DAFTAR
PUSTAKA:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar