SEORANG ibu dari
tiga anak tampak menahan isak tangisnya ketika menceritakan perlakuan yang
diterimanya dari suaminya. Ketidakpedulian, ucapan yang kasar, dan pukulan
sudah menjadi kawan dalam hidupnya selama berkeluarga. Sebenarnya sakit di
badan sudah tak dirasakan namun sakit di hati terus tersimpan hingga membawanya
untuk mengadukan kisah hidupnya dengan satu asa akan ada jalan keluar dari
deraan derita.
Betapa malang nasib seorang wanita yang lemah bila
mendapatkan suami yang berperangai kasar lagi “ringan tangan” seperti itu.
Padahal Rasul yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bertitah:
لَا تَضْرِبُوا إِمَاءَ اللهِ
“Janganlah kalian
memukul hamba-hamba perempuan Allah.”
Datanglah ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu untuk
mengadu:
ياَ رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ النِّسَاءَ ذَئِرْنَ عَلَى أَزْوَاجِهِنَّ
“Wahai Rasulullah, sungguh para istri telah berbuat durhaka kepada suami-suami mereka.”
Mendengar pengaduan ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam memberi izin kepada para suami untuk memukul istrinya. Namun ternyata
setelahnya banyak wanita datang menemui istri-istri Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam guna mengadukan suami-suami mereka. Maka kata beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَقَدْ طَافَ بِآلِ مُحَمَّدٍ نِسَاءٌ كَثِيْرٌ يَشْكُوْنَ أَزْوَاجَهُنَّ! لَيْسَ أُولَئِكَ بِخِيَارِكُمْ
“Sungguh banyak
wanita berkeliling di keluarga Muhammad guna mengadukan suami-suami mereka.
Bukanlah para suami yang memukul istri (dengan keras) itu orang yang terbaik di
antara kalian.” (HR. Abu Dawud no. 2145,
dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Abi Dawud)
Kata Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka bukanlah
orang yang terbaik, karena suami yang terbaik tidak akan memukul istrinya.
Justru ia bersabar dengan kekurangan yang ada pada istrinya. Kalaupun ingin
memberi (pukulan) pendidikan kepada istrinya, ia tidak akan memukulnya dengan
keras hingga membuatnya mengadu/mengeluh. (‘Aunul Ma’bud, Kitab
An-Nikah, bab Fi Dharbin Nisa`)
Al-Imam Al-Baghawi rahimahullahu menjelaskan bahwa sekalipun
memukul istri dibolehkan karena akhlak mereka yang jelek misalnya, namun
menahan diri dan bersabar atas kejelekan mereka serta tidak memukul mereka
justru lebih utama dan lebih bagus. Ucapan yang semakna dengan ini juga
dihikayatkan dari Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu. (Syarhus Sunnah,
9/187)
Apakah suami sama sekali tidak dibolehkan memukul istrinya?
Jawabannya sebagaimana yang telah diisyaratkan di atas,
boleh bila memang diperlukan1. Adapun bila memukul itu sudah menjadi kebiasaan,
salah sedikit pukul, marah sedikit pukul, hingga si istri babak belur, maka
jelas tidaklah diperbolehkan.
Bila istri berbuat nusyuz, durhaka kepada suaminya dan tidak
mempan dinasihati dengan baik, tidak pula berubah setelah ‘diboikot’ di tempat
tidurnya, ketika itu suami dibolehkan menempuh tahapan ketiga untuk meluruskan
kebengkokan istrinya, yaitu dengan memukulnya. Tahapan ini ditunjukkan dalam
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَاللَّاتِي تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ
“Dan para istri
yang kalian khawatirkan (kalian ketahui dan yakini2) nusyuznya maka hendaklah
kalian menasihati mereka, meninggalkan mereka di tempat tidurnya, dan pukullah
mereka.” (An-Nisa`: 34)
Dengan demikian, cara pukulan barulah ditempuh setelah cara
lain tidak manjur. Bukan pukulan jadi tameng pertama untuk menghadapi atau
menghukum kesalahan istri.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menasihati
Fathimah bintu Qais radhiyallahu 'anha dalam urusan pernikahan, beliau memberi
bimbingan agar Fathimah jangan menerima lamaran laki-laki yang diketahui suka
memukul wanita. Kisahnya bisa kita simak berikut ini:
|
|
Fathimah bintu Qais radhiyallahu 'anha ditalak tiga oleh
suaminya Abu ‘Amr bin Hafsh. Ia lalu menjalani masa iddahnya dan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berpesan, “Bila engkau telah selesai dari
iddahmu, beritahu aku.” Selesai masa iddahnya, Fathimah mengabarkan kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ia dilamar oleh Mu’awiyah bin
Abi Sufyan dan Abul Jahm radhiyallahu 'anhuma. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
أَمَّا أَبُوْ الْجَهْمِ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ، وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوْكٌ لَا مَالَ لَهُ، انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ
“Adapun Abul Jahm,
ia tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya. Sedangkan Mu’awiyah
seorang yang fakir tidak berharta, maka (jangan engkau menikah dengan salah
satunya, tapi –pent.) menikahlah dengan Usamah bin Zaid.” (HR. Muslim no. 3681)
Makna “tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya”
ditunjukkan dalam riwayat lain:
أَمَّا مُعَاوِيَةُ فَرَجُلٌ تَرِبٌ لَا مَالَ لَهُ، وَأَمَّا أَبُوْ الْجَهْمِ فَرَجُلٌ ضَرَّابٌ لِلنِّسَاءِ
“Adapun Mu’awiyah,
ia lelaki yang fakir tidak berharta. Sedangkan Abul Jahm adalah lelaki yang
suka memukul para wanita….” (HR.
Muslim no. 3696)
إنَّ مُعَاوِيَةَ تَرِبٌ خَفِيْفُ الْحَالِ وَأَبُو الْجَهْمِ مِنْهُ شِدَّةٌ عَلَى النِّسَاءِ – أَوْ يَضْرِبُ النِّسَاءَ، أَوْ نَحْوَ هَذَا –
“Adapun Mu’awiyah,
ia seorang yang fakir lemah keadaannya. Sedangkan Abul Jahm memiliki sifat
keras terhadap para wanita –atau ia biasa memukul para wanita, atau yang
semisalnya–….” (HR. Muslim no. 3697)
Apabila seorang suami terpaksa memukul istri maka pukulan
tersebut tidak boleh sampai membuat cacat. Hendaklah ia memukul dengan pukulan
yang ringan, sehingga tidak membuat si istri menjauh ataupun mendendam kepada
suaminya. (Fathul Bari, 9/377)
Saat menyampaikan khutbah dalam haji Wada’, Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam memberi wejangan:
فَاتَّقُوا اللهَ فِي النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوْهُنَّ بِأَمَانِ اللهِ، وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللهِ، وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لَا يُوْطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُوْنَهُ، فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوْهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ ...
“Bertakwalah
kalian kepada Allah dalam perkara para wanita (istri), karena kalian mengambil
mereka dengan amanah dari Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan
kalimat Allah. Hak kalian terhadap mereka adalah mereka tidak boleh membiarkan
seseorang yang kalian benci untuk menginjak (menapak) di hamparan (permadani)
kalian. Jika mereka melakukan hal tersebut3 maka pukullah mereka dengan pukulan
yang tidak keras.” (HR. Muslim no. 2941)
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ, kata Ibnul Atsir rahimahullahu adalah
pukulan yang tidak keras/ berat. (An-Nihayah fi Gharibil Hadits, 1/113)
Rasul yang mulia juga menitahkan:
لَا يَجْلِدْ أَحَدُكُمُ امْرَأَتَهُ جَلْدَ الْعَبْدِ ثُمَّ يُجَامِعُهَا فِي آخِرِ الْيَوْمِ
“Janganlah salah
seorang dari kalian mencambuk istrinya seperti mencambuk seorang budak,
kemudian ternyata di akhir hari ia menggauli istrinya.” (HR. Al-Bukhari no. 5204 dan Muslim no. 7120)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata:
“Dalam hadits ini ada larangan memukul istri tanpa alasan
terpaksa dalam rangka mendidik.” (Al-Minhaj, 17/186)
Setelah ia sakiti tubuh istrinya dengan cambukan, ternyata
di akhir harinya atau di malam harinya ia ingin bersenang-senang dengan tubuh
tersebut. Tidakkah tindakan seperti ini menghancurkan hati seorang wanita??? Ia
disakiti kemudian diminta untuk melayani suami yang menyakitinya? ?? Sementara
sebagai istri, ia diharamkan untuk menolak ajakan suaminya4. Dan sebagai istri
shalihah ia harus menyenangkan suaminya.5
Dengan demikian, seorang suami yang berakal tidak akan
berlebih-lebihan dalam memukul istrinya, kemudian beberapa waktu setelahnya ia
menggaulinya. Karena jima’ hanyalah baik dilakukan bila disertai kecondongan
jiwa dan keinginan untuk bergaul dengan baik. Sementara orang yang dipukul,
secara umum akan menjauh dari orang yang memukulnya. (Fathul Bari,
9/377)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatkan kepada
sahabatnya Laqith bin Shabirah radhiyallahu ‘anhu ketika mengadukan kejelekan lisan
istrinya:
لَا تَضْرِبْ ظَعِيْنَتَكَ كَضَرْبِكَ أُمَيَّتَكَ
“Janganlah engkau
memukul istrimu seperti memukul budak perempuanmu.” (Penggalan dari hadits yang diriwayatkan Abu Dawud
no. 142, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi
Dawud)
Al-Imam Al-Baghawi rahimahullahu dalam Syarhus Sunnah
(1/418) setelah membawakan hadits di atas menyatakan bahwa larangan dalam
hadits ini bukan maknanya haram memukul istri jika memang dibutuhkan. Karena
Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri membolehkannya apabila dikhawatirkan
perbuatan nusyuz dari istri. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ
“Maka nasihatilah
mereka, dan tinggalkanlah mereka di tempat tidurnya dan pukullah mereka.” (An-Nisa`: 34)
Yang dilarang hanyalah pukulan yang menyakitkan atau membuat
cacat, sebagaimana pukulan yang dikenakan terhadap para budak menurut kebiasaan
orang yang menganggap boleh memukul mereka. Diserupakannya dengan memukul budak
di sini juga bukan berarti boleh memukul budak6, namun konteksnya di sini
adalah untuk mencela orang-orang yang melakukan perbuatan tersebut, sehingga
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang meniru mereka.
Kebiasaan lain yang kita dapatkan dari suami yang suka
memukul, seringnya yang jadi sasaran pukulannya adalah wajah. Padahal menampar
wajah hukumnya haram sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits. Di
antaranya:
وَلَا تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلَا تُقَبِّحْ وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ
“Janganlah engkau
memukul wajah (istrimu), jangan menjelekkannya7, dan jangan memboikot
(mendiamkan) -nya kecuali di dalam rumah8.”
(HR. Abu Dawud no. 2142 dan selainnya, dishahihkan Asy-Syaikh Muqbil
rahimahullahu dalam Al-Jami’ush Shahih, 3/86)
Demikian juga hadits:
إِذَا قَاتَلَ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيَجْتَنِبِ الْوَجْهَ
“Apabila salah
seorang dari kalian memukul saudaranya9 maka hendaknya ia menjauhi wajah.” (HR. Muslim no. 6594)
Dalam riwayat lain:
فَلَا يَلْطِمَنَّ الْوَجْهَ
“…maka
jangan sekali-kali ia menampar wajah.”
(HR. Muslim no. 6597)
Demikianlah… Lebih dari semua itu, teladan kita yang mulia
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suami yang sangat lembut. Tak
pernah melakukan kekerasan terhadap istrinya, dan tak pernah memukul seorang
pun. Sebagaimana berita dari salah seorang istri beliau Ummul Mukminin Aisyah
radhiyallahu 'anha:
مَا ضَرَبَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا قَطُّ بِيَدِهِ، وَلَا امْرَأَةً وَلَا خَادِمًا، إِلَّا أَنْ يُجَاهِدَ فِي سَبِيْلِ اللهِ ...
“Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak pernah memukul seorang pun
dengan tangannya. Tidak pernah memukul seorang wanita, tidak pernah pula
memukul pembantunya, kecuali bila beliau berjihad fi sabilillah….” (HR. Muslim no. 6004)
Nasihat Seorang Ulama dalam Menghadapi Suami yang Kasar
Para istri yang menerima perlakuan kasar dari suami mereka mungkin bertanya-tanya, bagaimana menghadapi suami mereka yang tipenya demikian. Sebagaimana pertanyaan yang pernah diajukan seorang wanita kepada seorang ‘alim rabbani, Syaikh yang mulia Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullahu yang waktu itu menjabat sebagai mufti kerajaan Saudi Arabia.
Para istri yang menerima perlakuan kasar dari suami mereka mungkin bertanya-tanya, bagaimana menghadapi suami mereka yang tipenya demikian. Sebagaimana pertanyaan yang pernah diajukan seorang wanita kepada seorang ‘alim rabbani, Syaikh yang mulia Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullahu yang waktu itu menjabat sebagai mufti kerajaan Saudi Arabia.
Sang wanita mengadu, “Suami saya tidak menaruh perhatian
kepada saya di dalam rumah. Ia selalu bermuka masam lagi sempit dada. Katanya,
sayalah yang menjadi penyebabnya. Padahal Allah -segala puji bagi-Nya- mengetahui
bagaimana keadaan saya yang sebenarnya. Saya selalu menunaikan haknya dan
senantiasa berupaya mempersembahkan untuknya segala kenyamanan dan ketenangan,
serta menjauhkan darinya segala yang tidak disukainya. Saya juga menyabari
tindak tanduknya yang kaku lagi kasar. Setiap saya bertanya kepadanya tentang
sesuatu atau mengajaknya bicara satu hal, ia murka dan mendidih kemarahannya.
Ia mengomentari bahwa omongan saya itu tidak ada artinya, ucapan orang yang
pandir dan dungu. Padahal suami saya ini selalu berseri-seri wajahnya bila
bersama kawan-kawannya. Tapi kalau bersama saya, tak pernah saya dapati darinya
kecuali ucapan yang menjelekkan dan pergaulan yang buruk. Sungguh saya sakit
menerima semua ini darinya. Dan ia banyak menyiksa saya, sehingga membuat saya
beberapa kali berniat meninggalkan rumah. Saya sendiri adalah seorang wanita
yang alhamdulillah menunaikan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan
kepada saya.
Syaikh yang mulia, apakah saya berdosa bila meninggalkan
rumah suami saya bersama anak-anak saya, kemudian menyibukkan diri mendidik
anak-anak saya dan menanggung sendiri beban kehidupan ini? Ataukah saya harus
tetap tinggal bersamanya dalam keadaan yang seperti ini, menahan diri
(berpuasa) dari berbicara dengannya, dan dari menyertai serta ikut merasakan
permasalahan- permasalahannya? Berilah fatwa kepada saya, apa yang harus saya
lakukan. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membalas anda dengan kebaikan.”
Syaikh yang mulia rahimahullahu menasihatkan,
“Tidaklah diragukan bahwa wajib bagi suami istri untuk
bergaul dengan ma’ruf, saling memberikan kecintaan, dan bergaul dengan akhlak
yang utama, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Bergaullah kalian
(wahai para suami) dengan mereka (para istri) dengan ma’ruf.” (An-Nisa`: 19)
Dan juga firman-Nya:
وَبُعُوْلَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاَحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ
“Mereka (para
istri) memiliki hak yang seimbang dengan kewajiban mereka dengan cara yang
ma’ruf, dan para suami memiliki kelebihan satu tingkat di atas mereka.” (Al-Baqarah: 228)
Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ
“Kebaikan
itu adalah akhlak yang baik.”
(HR. Muslim)
Demikian pula sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَا تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوْفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلِقٍ
“Jangan
sekali-kali engkau meremehkan perbuatan baik sedikitpun, walaupun hanya berupa
memberikan wajah yang manis saat berjumpa dengan saudaramu.” (HR. Muslim)
Dan ucapan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي
“Mukmin yang
paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Dan sebaik-baik
kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya. Dan aku adalah orang
yang terbaik di antara kalian terhadap keluargaku.”
10
Masih banyak lagi hadits-hadits yang berisi hasungan untuk
berakhlak yang baik, berjumpa dengan wajah yang cerah dan bergaul yang baik di
antara kaum muslimin secara umum. Tentunya, lebih utama lagi pergaulan antara
suami istri dan dengan karib kerabat.
Sungguh anda telah melakukan perkara yang baik dengan
kesabaran dan ketabahan anda dalam menanggung kekakuan dan jeleknya akhlak
suami anda. Saya pesankan kepada anda untuk terus menambah kesabaran dan jangan
meninggalkan rumah suami anda. Karena dengan terus bertahan dalam kesabaran
Insya Allah ada kebaikan yang besar dan akhir yang baik, berdasarkan firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَاصْبِرُوْا إِنَّ اللهَ مَعَ الصَّابِرِيْنَ
“Bersabarlah
kalian karena sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (Al-Anfal: 46)
إِنَّهُ مَنْ يَتَّقِ وَيَصْبِرْ
فَإِنَّ اللهَ لَا يُضِيْعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِيْنَ
“Sesungguhnya
siapa yang bertakwa dan bersabar maka sungguh Allah tidak menyia-nyiakan pahala
orang-orang yang berbuat baik.”
(Yusuf: 90)
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُوْنَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Hanyalah
orang-orang yang bersabar itu diberikan pahala mereka tanpa batasan.” (Az-Zumar: 10)
فَاصْبِرْ إِنَّ الْعَاقِبَةَ لِلْمُتَّقِيْنَ
“Bersabarlah
engkau, sesungguhnya akhir/kesudahan yang baik itu diperuntukkan bagi
orang-orang yang bertakwa.” (Hud:
49)
Tidak ada larangan bagi anda untuk mengajaknya bercanda dan
berbincang dengan menggunakan kata-kata yang bisa melunakkan hatinya. Yang
menyebabkannya senang kepada anda dan membuatnya menyadari hak anda
terhadapnya.
Tidak usah anda menuntut kebutuhan-kebutuhan duniawi
kepadanya selama ia masih menegakkan perkara-perkara penting yang wajib.
Sehingga hatinya menjadi lapang dan dadanya menjadi luas dari menghadapi
tuntutan-tuntutan anda. Anda akan mendapatkan akhir/kesudahan yang baik Insya
Allah.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi taufik kepada anda
agar memberi anda tambahan seluruh kebaikan. Dan semoga Dia memperbaiki keadaan
suami anda, memberinya ilham kepada kelurusan dan menganugerahinya akhlak yang
baik serta penuh perhatian terhadap hak-hak yang ada. Sesungguhnya Allah
Subhanahu wa Ta’ala adalah sebaik-baik Dzat yang diminta, dan Dia memberi
petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Al-Fatawa, Kitab Ad-Da’awat,
1/193-195)
Demikian nasihat dari seorang ulama kepada istri yang
menerima sikap kasar dari suami. Maka bersabarlah dan terus bersabar, disertai
doa kepada Ar-Rahman…! Sungguh kesudahan yang baik akan anda raih dengan izin
Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Adapun hadits yang berisi larangan
secara mutlak dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memukul istri
setelah sebelumnya mengizinkannya, tidaklah shahih. Seperti hadits Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu 'anhuma, ia berkata:
أَنَّ الرِّجَالَ اسْتَأْذَنُوْا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي ضَرْبِ النِّسَاءِ فَأَذِنَ لَهُمْ، فَضَرَبُوْهُنَّ. فَباَتَ فَسَمِعَ صَوْتًا عَالِيًا فَقَالَ: مَا هَذَا؟ فَقَالُوا: أَذِنْتَ لِلرِّجَالِ فِي ضَرْبِ النِّسَاءِ فَضَرَبُوْهُنَّ. فَنَهَاهُمْ وَقَالَ: خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ
“Ada orang-orang yang minta izin kepada Rasulullah agar dibolehkan memukul istri. Beliau pun mengizinkannya hingga mereka memukul istri-istri mereka. Saat berada di waktu malam, beliau mendengar suara yang tinggi/keras. Beliau bertanya, “Suara apa itu?” tanya beliau. Mereka menjawab, “Engkau telah mengizinkan beberapa orang untuk memukul istri, lalu mereka memukulnya.” Rasulullah kemudian melarang mereka dan bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya, dan aku adalah orang terbaik di antara kalian terhadap keluarganya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Al-Bazzar)
2 Sebagaimana makna ini disebutkan
oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an,
5/112, Tafsir Al-Baghawi, 1/423)
3
Mempersilahkan orang yang tidak
kalian sukai memasuki rumah kalian dan duduk di dalamnya, baik orang itu
laki-laki ajnabi (bukan mahram istri), wanita, atau salah seorang dari mahram
istri. Hukum masalah ini menurut para fuqaha, kata Al-Imam An-Nawawi
rahimahullahu adalah tidak halal bagi istri mengizinkan seorang lelaki, wanita,
mahram ataupun bukan mahramnya, untuk masuk ke rumah suaminya, terkecuali orang
yang sepengetahuannya atau menurut keyakinannya tidak dibenci oleh suaminya.
Karena memang hukum asal dalam hal ini adalah haramnya masuk ke rumah seseorang
hingga ada izin/perkenan dari yang punya rumah atau orang yang diberi
kepercayaan untuk memberi izin, atau diketahui si empunya rumah ridha menurut
kebiasaan yang ada dan semisalnya. Jika ragu apakah si empunya ridha atau
tidak, dan tidak bisa dikuatkan salah satunya, tidak pula didapatkan
tanda-tanda atau petunjuk, maka tidak halal masuk ke rumahnya dan tidak boleh
pula diberikan izin. Wallahu a’lam. (Al-Minhaj, 8/413)
4
Sebagaimana tersebut dalam hadits:
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتََهُ إِلَى فِِِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِيْءَ لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Jika seorang
suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri menolak untuk datang
maka para malaikat akan melaknatnya sampai pagi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam
riwayat Muslim:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهَا فَتَأْبَى عَلَيْهِ إِلَّا كَانَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا
“Demi Dzat yang
jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami memanggil istrinya ke
tempat tidurnya lalu si istri menolak ajakan suaminya melainkan yang di langit
murka pada istri tersebut sampai suaminya ridha kepadanya.”
5 Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyebutkan kriteria istri yang shalihah dalam sabdanya:
الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيْعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِيْمَا يَكْرَهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهِ
“Istri yang menyenangkan ketika dipandang oleh suaminya, taat kepada suaminya ketika diperintah, dan tidak menyelisihi suaminya dalam perkara yang tidak disukai suaminya baik dalam dirinya maupun harta suaminya.” (HR. Ahmad, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Misykat no. 3272 dan Ash-Shahihah no. 1838)
6 Bahkan ada larangan memukul budak di
dalam syariat yang mulia ini.
7
Yakni melontarkan ucapan yang buruk
kepada istri, mencaci makinya, mengatakan kepadanya: “Semoga Allah
menjelekkanmu” , atau yang semisalnya. (‘Aunul Ma’bud, kitab An-Nikah,
bab fi Haqqil Mar`ah ‘ala Zaujiha)
8 Yakni
janganlah si suami minggat meninggalkan istrinya atau memindahkan istri ke
rumah lain. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ
“…tinggalkanlah mereka (boikot) di tempat tidurnya…” (An-Nisa`: 34) (‘Aunul Ma’bud, Kitab An-Nikah, bab fi Haqqil Mar`ah ‘ala Zaujiha)
Yaitu
dengan tidak tidur seranjang bersama si istri, tidak menggaulinya, ataupun
tidak tidur sekamar dengannya. Terkecuali kemaksiatan yang dilakukan istri
demikian besar maka boleh bagi suami pindah ke rumah lain, sebagaimana yang
pernah dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengasingkan
diri dari istrinya selama sebulan. Demikian yang diriwayatkan Al-Imam
Al-Bukhari rahimahullahu dalam Shahih-nya.
9 Memukul
anak, istrinya, atau orang lain karena suatu sebab yang dibolehkan.
10
HR. At-Tirmidzi no. 1162, lihat Ash-Shahihah no. 284. (pent)
Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq
Al-Atsariyyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar