بسم الله الرحمن الرحيم
اَلْحَمْدُ ِللهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ رَسُوْلِ اللهِ وَعَلىٰ آلِهِ وَ مَنْ وَالاَهُ، وَبَعْدُ:
Lapangan kerja memang sempit jika
pandangan kita tentang definisi bekerja juga sempit. Asal kita mau
menanggalkan sikap gengsi, melupakan “gelar” dan segala atribul sosial
yang kita miliki, sesungguhnya rezeki Allah terbentang luas di depan
kita.
Allah telah menciptakan manusia dan
mempersiapkan bagi mereka berbagai hal yang menunjang keberlangsungan
kehidupan di dunia ini. Allah memberinya perangkat yang cukup dan
menundukkan apa yang ada di bumi ini untuknya. Allah berfirman:
“Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kalian” (QS. Al-Baqarah: 29)
Ayat tersebut menunjukkan betapa luasnya kasih sayang Allah terhadap manusia.
Di sisi lain, jalan untuk mendapatkan
rezeki yang halal sangatlah banyak. Sesungguhnya ketika potensi yang ada
di alam ini kita kelola dengan baik niscaya akan membuahkan beragam
hasil. Oleh karena itu sangat bodoh kiranya orang yang mengatakan:
“Mencari yang haram saja susah apalagi yang halal.” Kalimat ini tidak
lain kecuali bisikan setan agar manusia terjerumus ke dalam kesesatan
sejauh-jauhnya. Kenyataannya, pernyataan tadi telah banyak menyesatkan
manusia. Mereka tidak peduli lagi dengan rambu-rambu syariat, tidak
menghiraukan halal dan haram. Demi memperoleh yang namanya uang,
terkadang seseorang rela menjual kehormatannya. Bahkan yang lebih parah,
menjual prinsip dan agamanya.
Memang, dewasa ini tidak sedikit orang
yang mengeluhkan susahnya mencari pekerjaan karena (katanya) populasi
penduduk semakin membengkak dan lahan yang semakin sempit. Namun apapun
alasannya, tidak dibenarkan seseorang mencari pekerjaan yang diharamkan
oleh agama. Karena sesuatu yang halal lebih banyak daripada yang haram
dan lebih mudah didapat serta lebih tenang di dalam jiwa. Yang pasti,
Allah telah menakdirkan rezeki hamba-Nya dan memberikan kepada mereka
kemampuan untuk berusaha. Sebenarnya banyak sekali macam pekerjaan yang
halal manakala seorang mau menekuninya dan tidak terhinggapi penyakit
gengsi. Keterbatasan lahan dan tempat usaha justru terkadang memunculkan
ide-ide cemerlang.
Sebagai contoh, bermunculannya berbagai
jenis tanaman dengan masa tanam yang lebih singkat dan hasil lebih
maksimal. Pokok-pokok usaha yang mendatangkan hasil menurut Al-Imam
Al-Mawardi ada tiga, yaitu bertani, berdagang, dan penguasaan seseorang
terhadap suatu bidang (ketrampilan/skill). (Lihat Fathul Bari 4/304)
Pernyataan Al-Mawardi di atas tentunya
bukan pembatasan. Hanya saja, tiga jenis usaha tadi yang paling banyak
dijalankan oleh manusia. Para ulama berbeda pendapat tentang jenis usaha
yang paling bagus. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa berdagang
lebih bagus dan ada lagi yang mengatakan bertani lebih bagus. Tetapi
pendapat yang kuat bahwa yang paling utama adalah sesuatu yang didapat
dengan keringatnya sendiri, berdasarkan hadits:
مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
“Tidaklah seorang memakan makanan yang lebih baik dari ia memakan hasil tangannya.” (HR. Al-Bukhari)
- Keutamaan Mencari Nafkah
Bekerja mencari nafkah untuk mencukupi
dirinya, keluarganya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya
merupakan kewajiban. Bahkan akan bernilai shadaqah (mendatangkan pahala)
manakala meniatkannya sebagai ibadah. Nabi bersabda:
إِذَا أَنْفَقَ الْمُسْلِمُ نَفَقَةً عَلَى أَهْلِهِ وَهُوَ يَحْتَسِبُهَا كَانَتْ لَهُ صَدَقَةً
“Apabila seorang muslim memberikan
nafkah kepada keluarganya dan dia mengharapkan pahala darinya, maka
baginya bernilai shadaqah.” (HR. Al-Bukhari, Kitabun Nafaqat no. 5351)
Disebutkan pula dalam riwayat bahwa
tidaklah seseorang memberikan suatu nafkah yang dengannya ia mencari
wajah Allah , kecuali ia akan diberi pahala atasnya sampaipun satu
suapan yang ia berikan kepada istrinya. (Lihat Shahih Al-Bukhari no. 56)
Oleh karena itu, seyogianya ketika
seseorang mencari nafkah untuk keluarganya, dia niatkan sebagai ibadah
dan mengharapkan pahala. Apabila tidak ada niatan seperti ini maka ia
tidak diberi pahala, namun dia telah menggugurkan kewajibannya,
sebagaimana yang disebutkan oleh sebagian ulama. (Lihat Syarh Shahih Al-Adab Al-Mufrad, 1/223)
Saudaraku yang dimuliakan Allah ,
sebaik-baik makanan yang dimakan oleh seseorang adalah yang didapat
dengan jerih payahnya sendiri, sebagaimana sabda Nabi :
مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا
قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ
اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
“Tidaklah seseorang memakan makanan
yang lebih baik dari ia memakan dari hasil tangan (keringat)nya sendiri.
Sesungguhnya Nabiyullah Dawud makan dari hasil tangannya sendiri.” (HR. Al-Bukhari)
Nabi Dawud adalah seorang nabi yang
mulia. Allah telah memberikan kekuasaan dan ilmu, melunakkan besi
untuknya, menundukkan untuknya gunung-gunung dan burung-burung untuk
ikut bertasbih kepada Allah bersamanya. Sudah seperti itu mulianya
kedudukan, tetap beliau bekerja untuk mencukupi dirinya.
Pernah suatu saat sahabat ‘Ali bin Abi
Thalib berada dalam kondisi sangat lapar, sementara tidak ada makanan
untuk mengganjal perutnya. Ia pun keluar mencari pekerjaan di daerah
atas kota Madinah (‘Awaali). Di sebuah kebun di sana, dia melihat ada
seseorang yang sedang mengumpulkan tanah. ‘Ali datang dan menawarkan
jasa dengan mengatakan: “Apakah kamu mau aku basahi tanah ini, setiap
satu timba kamu memberiku satu kurma?” Orang tersebut menyetujuinya.
Maka Ali mulai menimba hingga ketika telah selesai beliau mendapat
sekian butir kurma. Ali pulang dengan membawa kurma tersebut menghadap
Nabi dengan senang hati meski telapak tangannya lecet. Lalu Nabi ikut
makan bersama ‘Ali dari kurma tadi. (Nailul Authar, Abwabul Ijaarat 5/351, di dalamnya disebutkan faedah kisah ini)
Sahabat ‘Ali merupakan profil teladan.
Betapa tidak? Beliau seorang pemuda yang berasal dari keturunan
orang-orang yang mulia (ahlul bait), menantu Rasulullah dan seorang
jawara yang tak terkalahkan, serta setumpuk kemuliaan lain ada padanya.
Namun ini semua tidak menjadikannya malu untuk berusaha dengan
keringatnya. Tidak pula menjadikannya meminta-minta. Bahkan Nabi
Muhammad , Nabi Musa dan nabi-nabi lainnya ‘alaihimas salam, mereka dahulu menggembala kambing.
Oleh sebab itu, angka pengangguran yang
masih tinggi dewasa ini merupakan fenomena yang sangat menyedihkan.
Tragisnya, angka tersebut didominasi oleh para kawula muda. Sungguh,
munculnya generasi yang inginnya serba tercukupi kebutuhannya tanpa
diimbangi dengan usaha, justru akan memunculkan kejahatan dan krisis
sosial. Jika seseorang mau berusaha dengan disertai tawakal kepada Allah
, niscaya Allah akan memberinya hasil, sebagaimana sabda Nabi :
لَوْ اَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ
عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ،
تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا
“Kalaulah kalian bertawakal kepada
Allah dengan sebenar-benar tawakal, niscaya Ia akan memberi rezeki
kalian, sebagaimana Ia memberi rezeki burung, yang pergi di pagi hari
dalam keadaan perut kosong dan pulang di sore hari dengan kenyang.” (HR. Ahmad dan lain-lain, hadits ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 5254)
Saudaraku yang mulia, bekerjalah! Karena
langit tidak akan menurunkan hujan emas. Berusahalah, apapun status
sosialmu. Tidakkah kamu perhatikan hadits tadi, sebagaimana burung yang
lemah dan tidak memiliki pangkat, namun tatkala ia keluar dari sarangnya
untuk mencari rezeki maka ia pun mendapatkannya. Sementara seekor singa
yang dijuluki raja hutan, bila tidak mau keluar dari sarangnya maka dia
tidak mendapatkan apa-apa. Sesungguhnya rezeki tidaklah diperoleh
karena kuat atau tingginya kedudukan seseorang, namun usaha yang serius
disertai tawakal (berserah diri) kepada Allah .
Adalah Lukman Al-Hakim mengatakan
kepada anaknya: “Wahai anakku, bantulah dirimu dengan usaha yang halal.
Karena seseorang tidaklah menjadi fakir kecuali ditimpa oleh tiga
perkara: kelembekan dalam sisi agamanya, kelemahan dalam akalnya, dan
hilang sifat malunya (tidak menjaga diri). Yang lebih parah dari ini
semua adalah diremehkannya ia oleh manusia.”
Pernah dikatakan kepada Al-Imam Ahmad :
“Apa pendapatmu tentang seseorang yang hanya duduk di rumahnya atau di
masjidnya dengan mengatakan: ‘Aku tidak mau bekerja. Nanti akan datang
sendiri rezekiku’.” Al-Imam Ahmad mengatakan: “Orang ini tidak tahu
ilmu. Tidakkah ia mendengar sabda Nabi (yang artinya): ‘Sesungguhnya
Allah jadikan rezekiku di bawah naungan tombakku -yakni dengan jihad-’,
dan Nabi mengatakan tatkala menyebutkan burung, ‘Ia pergi di waktu pagi
dengan perut kosong dan pulang di sore hari dalam keadaan kenyang.’
Adalah para sahabat Nabi berdagang di daratan dan lautan serta mereka
bekerja di kebun kurma. Merekalah yang -harus- dicontoh.” (Mukhtashar Minhajul Qashidin hal. 108)
- Mencari Harta untuk Menjaga Agama
Bekerja mencari uang hendaknya bukan
karena zat harta tersebut, namun karena tujuan-tujuan yang mulia. Di
antaranya, untuk menjaga agama dan kehormatan. Sesungguhnya kefakiran
adalah lahan subur bagi para misionaris untuk memurtadkan umat. Di saat
seseorang tidak punya iman yang cukup, bukan mustahil kita dapatkan dia
di pagi hari masih muslim, namun di sore harinya dia telah murtad karena
ia menjual agamanya demi memperoleh harta. Tidak salah kiranya Sufyan
Ats-Tsauri berpesan dengan petuah-petuah berikut:
- Adalah harta pada generasi yang telah lewat tidak disukai. Adapun saat ini, harta adalah perisai seorang mukmin.
- Kalau bukan karena dinar-dinar (uang
dari emas) ini, niscaya para raja (penguasa) akan menjadikan kita (para
ulama) sebagai sapu tangan mereka.
- Barangsiapa di tangannya ada sesuatu
dari harta maka perbaikilah (jagalah dan kembangkan). Karena ini adalah
sebuah zaman di mana bila seorang butuh/kondisinya susah maka yang
pertama kali dikorbankan adalah agamanya. (Syarh Shahih Al-Adab Al-Mufrad, 1/399-400)
Wasiat Ats-Tsauri menggambarkan betapa
harta yang dimiliki seorang muslim bagaikan perisai yang membentengi
diri dan agamanya agar tidak dijual karena harta. Kalau petuah ini
disampaikan di masa kejayaan Islam dan Muslimin, lalu apa yang akan
dikatakan di zaman ini yang manusianya kebanyakan tidak lagi memedulikan
agamanya?!
Sesungguhnya ada pelajaran berharga dari
kisah seorang wanita di zaman dahulu. Wanita itu terimpit ekonominya.
Dia lalu mencari orang kaya untuk berutang darinya. Si kaya mau
mengutangkan asal dia mau melayani nafsu bejatnya (berzina). Wanita tadi
menolak dan akhirnya tidak mau meminjam. Kemudian hari berganti hari
sampai kondisinya sangat kritis hingga ia datang lagi kepada si kaya
tadi untuk pinjam uang. Si kaya mengatakan sama seperti dahulu, yakni
asalkan dia mau berzina dengannya, ia akan memberikan pinjaman. Akhirnya
wanita tadi dengan terpaksa mau menuruti nafsu jahatnya… (Lihat kisah
ini dalam kitab Riyadhush Shalihin Bab Ikhlas)
Oleh karena itu, tidak sedikit dari
salaf umat ini yang mereka bekerja untuk mencukupi dirinya beserta
keluarganya. Demikian juga untuk menjaga kehormatan saudara-saudaranya
dari kalangan ulama dan para penuntut ilmu. Hal ini seperti yang
dilakukan oleh Al-Imam Abdullah bin Mubarak . Ia banyak bershadaqah
kepada orang-orang shalih agar mereka tidak menghinakan dirinya dengan
meminta-minta atau mendapatkan pemberian dari orang yang jelek niatnya.
Akhirnya semoga Allah menjadikan kita orang yang menunaikan pesan Nabi :
اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَلاَ تَعْجَزْ
“Bersemangatlah kamu terhadap yang bermanfaat bagimu dan jangan melemah.”
Semoga pula Allah menjauhkan kita dari apa yang Nabi berlindung kepada Allah darinya seperti dalam doa beliau:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالكَسَلِ
“Wahai Allah aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan.” (HR. Muslim) Wallahu a’lam bish-shawab
*********** Permata Salaf ***********
Urgensi Harta Dan Kesehatan Dalam Membentengi Agama
Sufyan ats-Tsauri berkata, “Harta pada
zaman dahulu adalah sesuatu yang dibenci. Adapun pada hari ini, harta
adalah perisai seorang mukmin. Kalau saja bukan karena dinar-dinar ini,
niscaya para penguasa menjadikan kita sebagai sapu tangan-sapu tangan
mereka.”
Beliau juga berkata, “Siapa saja yang
memiliki harta benda, hendaklah ia mengembangkannya dengan baik karena
ini adalah suatu masa yang apabila seseorang didera oleh kebutuhan,
sesuatu yang pertama kali dia korbankan adalah agamanya.”
Al-Munawi berkata, “Sesungguhnya, badan
yang sehat merupakan pendukung aktivitas peribadatan. Oleh karena itu,
kesehatan adalah harta berlimpah yang tiada taranya. Adapun si sakit
adalah orang yang lemah. Sementara itu, umur yang diberikan akan
menguatkan. Kesehatan bersama kefakiran lebih baik daripada kekayaan
bersama kelemahan. Orang yang lemah itu ibarat mayat.”
Beliau juga mengatakan, “Kekayaan tanpa
ketakwaan adalah kebinasaan karena seseorang akan mengumpulkannya bukan
dari jalan yang benar dan akan menahan atau memberikannya bukan pada
sasaran yang benar.” (Syarah Shahih al-Adabil Mufrad lil Imam al-Bukhari, 1/394–395)
Sumber:
- Majalah Asy Syariah no. 46/IV/1429 H/2008, hal. 40-43. Penulis: Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Mu’thi, Lc
- Artikel “Urgensi Harta Dan Kesehatan Dalam Membentengi Agama” dari situs www.asysyariah.com Kategori Majalah AsySyariah Edisi 076
Tidak ada komentar:
Posting Komentar