Dalam mengarungi dakwah, tidak jarang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menghadapi penolakan-penolakan yang sangat kasar. Meski demikian,
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap teguh untuk menjadi seorang
insan pemaaf, mengabaikan tanggapan negatif tersebut.
Hari-hari yang datang silih berganti, benar-benar, beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam
dedikasikan sepenuhnya untuk menciptakan kebaikan dan
keselamatan bagi umat manusia. Tidak pernah terbersit pun pada benak
beliau untuk memuaskan emosi pribadi dengan melancarkan balas dendam
terhadap kaum yang menentang. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dititahkan untuk memilih jalan damai, memaafkan kesalahan orang yang
masih dalam kungkungan jahâlah (ketidaktahuan). Harapan beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , tiada lain supaya lahir manusia-manusia
yang hanya berserah diri secara tulus kepada ilah (sesembahan) yang haq.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan kebajikan serta
berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. [al-A'râf/7:199].
Memaafkan tidak identik dengan kehinaan dan ketidakberdayaan. Bahkan
sifat memaafkan merupakan cermin kebesaran jiwa dan kekuatan hati, serta
lapang dada. Sebab, pada dasarnya ada kesanggupan untuk membalas. Sikap
yang baik ini, akan menunjukkan rasa kebesaran jiwa, yaitu menumbuhkan
ketenangan, ketentraman, kemuliaan dan keperkasaan jiwa, yang tidak akan
dijumpai tatkala melampiaskan api dendam.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :
وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا
Dan tidaklah Allah menambah seorang hamba dengan kemudahan untuk
memaafkan kecuali Allah akan memberinya izzah (kemuliaan). [HR Muslim
no. 6535].
Dengan demikian, orang yang berakal seharusnya mengamalkan nasihat Ibnu
Hibban rahimahullah dalam Raudhatul-'Uqalâ` (hlm. 166): "(Betapa
pentingnya) seseorang melatih diri untuk berlapang dada terhadap
kesalahan manusia, tidak membalasnya dengan kejelekan. Karena, tidak ada
obat yang paling efektif dapat meredam kejahatan (orang lain) melebihi
perbuatan yang baik kepadanya. Dan, tidak ada faktor yang mampu
menyalakan dan menyulut kejahatan, melebihi apa yang dilakukan dengan
kejahatan serupa".
Dalam perjalanan sejarah Islam, 'Aisyah Radhiyallahu anhuma pernah
meriwayatkan sikap lapang dada yang sangat fantastis pada diri
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
'Aisyah Radhiyallahu anhuma bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam: “Wahai, Rasulullah! Pernahkah engkau melewati suatu hari yang
lebih berat dari peperangan Uhud?"
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,"Aku telah mengalami
gangguan dari kaum-mu. Peristiwa yang paling berat kulalui adalah pada
hari 'Aqabah. Aku mendatangi Ibnu ‘Abdil-Lail bin Abdi Kilal, namun ia
tidak menyambutku. Aku bergegas pergi dalam keadaan sedih bukan
kepalang. Aku baru menyadari ketika telah sampai di daerah
Qarnuts-Tsa'âlib. Aku angkat kepalaku, dan tiba-tiba terlihat awan yang
menaungiku. Aku amati, dan muncullah Jibril seraya berseru,'Sesungguhnya
Allah Azza wa Jalla telah mendengar perkataan dan penolakan kaummu. Dia
Subhanahu wa Ta’ala telah mengutus malaikat penjaga gunung untuk siap
engkau perintah'. Malaikat penunggu gunung pun memanggil dan mengucapkan
salam kepadaku, seraya berseru: "Wahai, Muhammad! Sesungguhnya Allah
telah mendengar penolakan kaummu. Dan aku penjaga gunung mendapat titah
untuk menerima perintahmu sesuai dengan kehendakmu. Jika engkau mau,
maka aku akan benturkan dua gunung ini di atas mereka".
(Mendengar seruan malaikat ini), beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam justru berkata:
بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللهُ مِنْ أَصْلاَبِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ الهَi وَحْدَهُ لاَ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا
Sesungguhnya aku berharap Allah akan mengeluarkan dari tulang sulbi
mereka keturunan yang beribadah kepada Allah semata, tidak
menyekutukan-Nya dengan apapun. [HR Muslim no. 4629].
Subhanallah, betapa menakjubkan dan betapa indah perilaku Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Meskipun mendapat gangguan yang berat,
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ternyata tetap membuka pintu maaf.
Semoga shalawat dan salam-Nya senantiasa tercurahkan kepada beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , keluarga dan para sahabatnya sampai
datang hari Pembalasan.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XI/1428H/2007M.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl9 Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar