Tanda-tanda Sakitnya Hati
Sebagaimana yang diterangkan oleh para ulama bahwa hati manusia terbagi menjadi tiga jenis: sehat, sakit dan mati.
Untuk
mengetahui lebih jauh suatu perkara dengan baik dan sempurna maka harus
mengetahui ciri-ciri dan tanda-tandanya. Demikian pula untuk mengetahui
sakit atau sehatnya hati maka kita harus mengetahui ciri-cirinya agar
bisa mengetahui hakekatnya, bisa membedakannya dan berusaha
mendapatkannya serta menerapkannya (ciri-ciri hati yang sehat) dan
menghindarkan diri darinya (ciri-ciri hari yang sakit).
Kondisi dan musibah yang sangat berbahaya
Terkadang
hati seorang hamba sedang sakit dan bertambah parah sakitnya namun
pemiliknya tidak mengetahuinya. Bahkan bisa jadi hatinya sudah mati tapi
pemiliknya tidak mengetahui tentang kematian hatinya tersebut. Tentu
ini adalah kondisi yang sangat berbahaya dan musibah yang sangat besar.
Semoga Allah menjauhkan dan menyelamatkan kita darinya.
Tiga Ciri Umum Sakitnya Hati
Ada tiga ciri dan tanda umum sakitnya hati yaitu:
Pertama:
Pemiliknya tidak merasa sakit ketika bergelimang dengan berbagai macam
kemaksiatan, Bahkan hal ini bisa jadi menunjukkan hatinya sudah mati.
Karena sesungguhnya hati itu apabila masih hidup dia akan merasa sakit
ketika melakukan berbagai macam kejelekan dan maksiat Orang yang hatinya
masih ada kehidupan tentu ketika berbuat maksiat hatinya merasa tidak
tenang, gelisah, merasa berdosa, merasa bersalah dan merasa hina di
hadapan Allah dan rendah di hadapan manusia.
Untuk
itu hendaknya kita benar-benar waspada, jangan sampai merasakan
kenikmatan dan ketenangan ketika terjatuh dalam suatu maksiat. Tetapi
hendaknya ketika terjatuh dalam suatu kemaksiatan kita merasa sakit,
tidak tenang dan segera istighfar (memohon ampun) serta bertaubat kepada
Allah.
Kedua:
Pemiliknya tidak merasa sakit ketika bodoh terhadap kebenaran. Karena
kalau hatinya hidup dia akan merasa sakit ketika bodoh terhadap
kebenaran dan tidak faham permasalahan agama yang harus dia ketahui,
yakini dan kerjakan.
Namun
orang yang sakit atau mati hatinya ketika tidak faham permasalahan
agama yang wajib dia ketahui dan yakini seperti permasalahan tauhid dan
yang wajib dia kerjakan seperti shalat lima waktu, dia merasa biasa dan
tenang-tenang saja. Seolah-olah tidak ada beban dan tidak ada
pertanggungjawaban nanti di akherat Padahal belajar dan memahami
permasalahan-permasalahan tersebut adalah wajib. Rasulullah bersabda,
“Menuntut ilmu (agama) itu wajib bagi setiap muslim.” (Hasan, HR. Ibnu Majah dari Anas bin Malik)
Oleh
karena itu hendaknya kita merasa sakit, gelisah dan tidak tenang ketika
tidak faham permasalahan agama yang wajib kita ketahui serta berusaha
untuk mengetahuinya dengan cara bertanya kepada para ulama dan
orang-orang yang berilmu yang ada di sekitar atau yang bisa kita
hubungi. Allah berfirman,
“Maka bertanyalah kepada orang-orang yang memiliki pengetahuan jika kalian tidak mengetahui.” (Al-Anbiyaa`: 7)
Jangan sampai nanti di akherat kita ditanya, “Mengapa kamu kerjakan ini?”, “Mengapa kamu tinggalkan itu?” lalu kita jawab, “Ya Allah, saya kira ini disyari’atkan maka saya mengerjakannya, dan saya kira hal itu dilarang sehingga saya tinggalkan.”
Padahal bisa jadi keadaannya kebalikannya, yang kita kira disyari’atkan
sehingga kita kerjakan tapi justru itu dilarang dalam syari’at. Dan
sebaliknya, yang kita kira dilarang sehingga kita tinggalkan, justru
diperintahkan dalam syari’at.
Mengapa
hal ini bisa terjadi? Di antara sebabnya adalah kita kurang semangat
dalam mempelajari permasalahan agama dan merasa biasa saja ketika tidak
faham suatu permasalahan yang berkaitan dengan agama.
Sudahkah
kita memaksimalkan thalabul ‘ilmi kita dengan berbagai caranya? Apakah
menghadiri majlis-majlis ilmu, membeli buku atau majalah yang bermanhaj
ahlus sunnah, mendengarkan kajian lewat kaset atau CD dan bertanya
kepada orang yang berilmu? Jangan sampai sarana-sarana thalabul ilmi
tersebut menjadi hujjah atas kita sehingga ketika terjatuh dalam
kesalahan atau maksiat kita tidak bisa lagi beralasan “Ya Allah, saya tidak tahu”. Karena Allah berfirman, “Apakah belum pernah datang kepada kalian seorang pemberi peringatan?” (Al-Mulk: 8)
Di
samping para ulama dan para penuntut ilmu, maka termasuk pemberi
peringatan adalah segala sarana thalabu ‘ilmi yang ada di sekitar kita
yang telah disebutkan di atas.
Oleh
karena itu, termasuk sikap hati-hati dan perbuatan yang sangat terpuji
adalah memaksimalkan thalabul ‘ilmi dengan segala sarananya tersebut.
Apalagi bagi kita yang Allah lebihkan harta, maka anggarkan sebagian
harta yang kita miliki untuk menghadiri majlis ilmu, membeli kitab, buku
terjemahan ahlus sunnah, majalah dan yang lainnya yang menunjang proses
thalabul ‘ilmi kita.
Mungkin ada yang bertanya, “Kalau membeli semuanya atau mayoritasnya, saya tidak sempat membacanya?” Bisa kita jawab, “Sekarang
mungkin kita belum sempat membacanya, tapi suatu saat nanti bisa jadi
kita sempat membacanya, atau setidaknya sebagai referensi yang kita baca
permasalahan yang kita perlukan saja, atau bisa dibaca oleh istri,
anak-anak dan saudara-saudara kita, sehingga kalaupun kita tidak sempat
membacanya maka mereka telah membacanya yang nantinya mereka akan
memberitahukannya kepada kita.”
Ketiga:
Pemiliknya memiliki aqidah-aqidah yang menyimpang atau tidak merasa
sakit ketika memiliki aqidah-aqidah yang menyimpang dan batil. Seperti
khurafat, tathayyur (merasa sial dengan sesuatu yang diketahui) dan
sebagainya. Ini juga dikarenakan kurangnya atau bahkan tidak ada
kepedulian dia terhadap masalah agama dan thalabul ‘ilmi.
Ciri Tambahan (Ciri Keempat)
Terkadang
seorang hamba merasakan kalau hatinya sedang sakit namun terasa berat
baginya pahitnya obat, akhirnya dia lebih memilih dan mengutamakan tetap
sakit daripada menelan dan makan obat yang pahit dan memberatkan.
Keadaan ini tidak kalah bahaya dan parahnya dibandingkan tiga ciri
sebelumnya. Seperti seseorang yang terjatuh dalam maksiat dan mengetahui
itu maksiat serta mengetahui juga cara taubatnya tapi dia merasa berat,
bimbang dan terbayang pahitnya taubat akhirnya dia tetap dengan
maksiatnya, nas-alullaahas salaamah.
Ciri-Ciri Yang Lain
Dan
di antara tanda sakitnya hati adalah berpalingnya hati tersebut dari
nutrisi (makanan) yang bermanfaat menuju makanan yang berbahaya dan
berpalingnya dia dari obat yang bermanfaat menuju penyakitnya yang
berbahaya. Maka hati yang sehat itu akan lebih mengutamakan sesuatu yang
bermanfaat lagi menyembuhkan daripada sesuatu yang berbahaya lagi
mengganggu (menyakitkan). Sedangkan hati yang sakit sebaliknya lebih
mengutamakan sesuatu yang berbahaya lagi memberikan penyakit daripada
sesuatu yang bermanfaat lagi menyembuhkan.
Sedangkan
nutrisi/makanan yang paling bermanfaat adalah makanan berupa keimanan
dan obat yang paling bermanfaat adalah obat berupa Al-Qur`an.
Dan
tentunya yang dimaksud dengan makanan dan sesuatu yang berbahaya dan
mengganggu (menyakitkan) adalah maksiat dengan berbagai jenisnya,
termasuk padanya bid’ah dan kesyirikan.
Tanda-tanda Sehatnya Hati:
Yaitu
berangkat/berpindah dari dunia sampai singgah di akhirat dan
diam/tinggal padanya sehingga dia menetap seakan-akan dia termasuk
penduduknya (penduduk akhirat) dan anak-anaknya. Dia datang ke negeri
ini (dunia) sebagai orang asing yang hanya mengambil sesuatu yang dia
butuhkan saja dari dunia tersebut dan akan kembali ke tempat tinggalnya
(akhirat). Sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi kepada Abdullah bin
‘Umar,
“Jadilah engkau hidup di dunia ini seakan-akan engkau sebagai orang asing atau penyeberang jalan (musafir)!” (HR. Al-Bukhari di dalam Kitabur Raqaq 11/233 dari hadits Abdullah bin ‘Umar)
Sementara
hati yang sakit, setiap kali hatinya sakit maka dia akan mengutamakan
dunia dan menjadikannya tempat tinggal sehingga dia menjadi penduduknya.
Di
antara tanda sehatnya hati adalah bahwasanya hatinya senantiasa
mengingatkan pemiliknya sehingga kembali kepada Allah, taat kepada-Nya
dan bergantung kepada-Nya seperti ketergantungan seorang yang mencintai
yang butuh kepada kekasihnya, bahkan ketergantungannya kepada Allah
lebih daripada itu, sehingga dia mencukupkan diri dengan mencintai-Nya
dari mencintai selain-Nya, mengingat-Nya dari mengingat selain-Nya dan
berkhidmah kepada-Nya dari berkhidmah kepada selain-Nya. Ketika dia
mencintai selain Allah maka dalam rangka mencintai Allah dan karena
Allah seperti mencintai malaikat, para nabi dan kaum mukminin. Demikian
pula ketika mengingat dan berkhidmah kepada selain Allah, itu dilakukan
dalam rangka mengingat dan berkhidmah kepada Allah.
Di
antara tanda sehatnya hati juga adalah bahwasanya apabila dia
terlewatkan dari membaca Al-Qur`an atau dzikir atau suatu ketaatan dari
berbagai macam ketaatan niscaya karena hal itu dia akan mendapatkan rasa
sakit yang lebih besar daripada rasa sakit yang dirasakan oleh orang
yang tamak/rakus ketika terluputkan dan kehilangan hartanya. Seperti
terluputkan dari shalat tahajjud karena kelelahan atau lainnya maka dia
akan mengqadhanya di pagi hari dengan digenapkan. Kalau biasanya shalat
tahajjud 11 rakaat maka dia mengqadhanya dengan shalat 12 rakaat. Atau
dia akan shalat dhuha 8 atau 12 rakaat.
Tanda
berikutnya adalah hati yang sehat akan merindukan untuk senatiasa
berkhidmah kepada Allah sebagaimana orang yang lapar merindukan dan
butuh kepada makanan dan minuman. Berkata Yahya bin Mu’adz, “Siapa
saja yang senang dengan berkhidmah kepada Allah niscaya segala sesuatu
akan dijadikan senang berkhidmah kepadanya, dan siapa saja yang matanya
sejuk kepada Allah ketika taat kepada-Nya niscaya mata setiap orang akan
dijadikan sejuk memandang kepadanya.”
Oleh karena itu ketika banyak musibah dengan berbagai bentuknya maka ini karena kurangnya khidmah kita kepada Allah.
Tanda
berikutnya adalah hati yang sehat tujuan dan cita-citanya hanya satu
dan berkaitan dengan Allah serta karena Allah yaitu taat kepada Allah.
Sehingga dia tidak peduli apapun yang dilakukannya yang penting berupa
ketaatan kepada Allah.
Tanda
berikutnya adalah orang yang hati yang sehat akan sangat pelit terhadap
waktunya, jangan sampai hilang dengan percuma dan sia-sia daripada
pelitnya manusia yang paling pelit terhadap hartanya.
Tanda
berikutnya adalah orang yang sehat apabila masuk ke dalam shalat (mulai
menjalankan shalat) maka hilanglah darinya keinginannya dan
kesedihannya terhadap dunia. Dan dia mendapatkan di dalam shalat
tersebut kelapangan, ketenangan, kenikmatan, kesejukan mata dan
kesenangan hatinya.
Tanda
berikutnya adalah dia tidak pernah merasa letih dari berdzikir dan
mengingat Rabbnya, tidak pernah merasa bosan dari berkhidmah kepada-Nya
dan dia tidak bisa dekat dan akrab dengan selain-Nya kecuali dengan
orang yang bisa menunjukkan, mengarahkan dan membimbingnya kepada-Nya
dan mengingatkannya tentang-Nya.
Tanda
berikutnya adalah perhatiannya terhadap perbaikan amalan lebih besar
daripada beramal itu sendiri, sehingga dia bersemangat untuk ikhlash di
dalam beramal, memberikan nasehat, mutaba’ah (mengikuti Rasulullah),
berbuat ihsan. Dan bersamaan dengan itu dia tetap mempersaksikan betapa
besarnya anugrah Allah kepadanya pada amalan ini dan masih kurangnya dia
dalam menjalankan hak Allah.
Penulis : Al Ustadz Abu Rosyid -hafizhahullah-
Sumber : ahlussunnahsukabumi.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar