وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا
وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
(Artinya: “Dan seandainya mereka
(kedua orangtua) memaksamu untuk menyekutukan-Ku yang kamu tidak
memiliki ilmu akannya, maka jangan ta’ati keduanya namun perlakukan
mereka di dunia secara ma’ruf. Dan ikutilah jalan mereka yang kembali
kepada-Ku. Kemudian kepada-Ku lah kalian semua akan kembali, maka kelak
akan Aku jelaskan kepada kalian apa-apa yang selama ini kalian kerjakan..” ) (Luqman: 15)
Setelah sebelumnya, pada wasiat kedua, ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa
mengabarkan Wasiat Luqman kepada anaknya -berupa perintah berbuat baik
kepada kedua orangtua-, maka pada ayat ini (selanjutnya) ALLAH secara
langsung mengingatkan kepada segenap manusia agar tidak menuruti kedua
orangtua mereka seandainya diperintahkan untuk menyekutukan ALLAH. Namun
demikian, tetaplah diperintahkan untuk bergaul dan memperlakukan kedua
orangtuanya -di dalam urusan yang tidak menyangkut agama- secara baik.
Ibnu Katsir -rahimahullah- menjelaskan tentang ayat tersebut di atas, “Maksudnya
adalah jika keduanya benar-benar menginginkan engkau untuk mengikuti
agama mereka, maka janganlah engkau penuhi. Namun hal itu tidak
menghalangimu untuk berbuat baik kepada mereka di dunia. Dan ikutilah
jalan orang-orang beriman.”
Dikaitkan ayat sebelumnya (“Dan Kami wasiatkan (perintahkan) kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orangtuanya…”) dengan ayat di atas (“Dan seandainya mereka (kedua orangtua) memaksamu untuk menyekutukan-Ku …”) memberikan pelajaran kepada kedua belah pihak, anak dan orangtua sekaligus.
Kepada Anak
ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa telah
mewajibkan setiap manusia (anak) untuk ta’at dan berbakti kepada kedua
orangtuanya. Namun manakala orangtuanya mengajak atau memerintahkan
kepada perbuatan ma’shiyat, apakah itu berupa syirik, bid’ah, atau
bentuk-bentuk pelanggaran syari’at lainnya, maka anaknya wajib menolak.
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda:
السمع والطاعة على المرء المسلم فيما أحب وكره ما لم يؤمر بمعصية
فإن أمر بمعصية فلا سمع عليه ولا طاعة (زواه الترمذي)
(Setiap pribadi muslim wajib
mendengar dan ta’at kepada perintah yang bukan ma’shiyat, baik senang
maupun terpaksa. Dan jika diperintahkan untuk ma’shiyat, maka tidak
boleh didengar dan dita’ati.)
Melalui ayat ini kita diingatkan, bahwa keta’atan kepada makhluq,
termasuk kepada orangtua, tidaklah semutlak keta’atan kepada ALLAH dan
kepada Rasul-Nya. Keta’atan kepada manusia hanya berlaku selagi yang
diperintahkannya bukan berupa ma’shiyat. Kita (anak) diingatkan, bahwa
haq ALLAH -sebagai satu-satunya Zat yang layak dibadahi, yang pantas
untuk diberikan keta’aatan tanpa batas- tidak bisa diganggu gugat oleh
manusia. orangtua sendiri sekalipun.
ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa
tidak menginginkan diri-Nya ditandingi dalam hal dicintai dan seorang
mu’min dituntut untuk mencintai ALLAH lebih dari selain-Nya.
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ
مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ
آَمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ …
(Artinya: “Dan ada di antara manusia
yang meciptakan tandingan bagi ALLAH. Mereka mencintainya sebagaimana
mereka mencintai ALLAH. Adapun orang beriman itu sangatlah cinta kepada
ALLAH…) (Al Baqarah: 165)
Dan tidak mungkin terjadi seseorang yang
telah beriman kepada ALLAH dan kepada Hari Akhir kemudian mereka akan
mencintai musuh-musuh ALLAH, meski itu orangtuanya sendiri.
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
وَلَوْ كَانُوا آَبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
(Artinya: “Tak akan kamu dapati kaum
yang telah beriman kepada ALLAH dan Hari Akhir mereka berkasih sayang
dengan orang-orang yang memusuhi ALLAH dan Rasul-Nya, meskipun itu
orangtua mereka, anak-anak mereka, saudara-saudara mereka, atau keluarga
mereka…”) (Al Mujaadilah: 22)
Bahkan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pun menegaskan:
لا يجد أحد حلاوة الإيمان حتى يحب المرء لا يحبه إلا لله،
وحتى أن يقذف في النار أحب إليه من أن يرجع إلى الكفر بعد إذ أنقذه الله،
وحتى يكون الله ورسوله أحب إليه مما سواهما.
(Tidaklah seseorang mendapatkan manisnya iman sampai
ia mencintai saudaranya karena ALLAH, sampai dijebloskan ke dalam
neraka lebih ia sukai dari pada harus kembali kepada kekufuran, dan
sampai ALLAH dan Rasul-Nya lebih ia cintai ketimbang yang lain.) (HR: Al Bukhari dari Anas bin Malik)
Seluruh nash (Al Qur’an dan Al Hadits) di atas mengingatkan kita (anak) agar :- Cinta kita kepada orangtua semata–mata dilandasi karena cinta dan keta’atan kita kepada ALLAH.
- Cinta kita kepada orangtua tidak boleh mengalahkan cinta kita kepada ALLAH.
- Orang yang memusuhi ALLAH dan Rasul-Nya tidak berhak mendapatkan cinta kasih, meski itu orangtua kita sendiri.
Kemudian ayat ini dilanjutkan dengan peringatan ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa : “…namun perlakukan mereka di dunia secara ma’ruf.” Ya, ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa
tidak menghendaki larangan-Nya terhadap anak untuk ta’at kepada
orangtuanya -di dalam ma’shiyat- menjadi sebab putusnya sama sekali
hubungan duniawiyah di antara mereka.
Jika sebelumnya kita (anak) diingatkan untuk tidak kebablasan di dalam berbakti dan ta’at kepada orangtua, maka selanjutnya ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa pun mengingatkan untuk tidak kebablasan
di dalam menyikapi orangtua yang mengajak berbuat ma’shiyat. Jika
sebelumnya kita dilarang mencintai orang-orang yang memusuhi ALLAH dan
Rasul-Nya, maka selanjutnya kita diingatkan, bahwa larangan mencintai
ini tidak berarti juga larangan untuk berbuat baik kepada mereka. Karena
berbuat baik kepada mereka (kedua orangtua) tidak mengharuskan adanya cinta dan kasih sayang.
Dan seseorang yang berbuat baik kepada musuh-musuh ALLAH -terlebih itu
orangtuanya sendiri- tidaklah berarti dianggap ia cinta kepada mereka.
Maka begitu pula sebaliknya, membenci musuh-musuh ALLAH tidak otomatis
harus bersikap jahat (tidak baik) kepada mereka. Menolak dan membenci
ajakan kedua orangtua untuk berbuat syirik -apalagi yang lebih ringan
dari itu- tidak berarti hilangnya kewajiban untuk berbuat baik dan adil
kepada mereka. .Demikianlah maksud dari firman ALLAH , “…namun perlakukan mereka di dunia secara ma’ruf.”
Sikap semacam ini (senantiasa berbuat baik) lah yang ditempuh oleh Sa’ad bin Abi Waqqash -radhiallahu anhu- menghadapi ibunya yang memaksa beliau untuk kembali kepada kemusyrikan. Sikap ini pulalah yang Rasulullah -Shallallahu alaihi sallam- perintahkan kepada Asma bintu Abi Bakar -radhiallahu anha- untuk tetap melayani orang tuanya dan berbuat baik kepada mereka.
Maka hendaknya setelah ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa memberi kita hidayah Islam, juga hidayah untuk mengenal Sunnah (baca: Amalan Islam yang sesuai dengan contoh Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-)
kemudian kita dapati orangtua kita tidak menerima bahkan menolak apa
yang kita sampaikan kepada mereka, tidaklah semua itu menjadi alasan
untuk tidak berbuat baik serta adil terhadap mereka. Tidaklah semua itu
mencegah kita untuk tetap harus bersikap sopan dan santun kepada mereka.
Kepada Orangtua
ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa
mengingatkan kita (para orang tua), bahwasanya keta’atan anak kepada
kita (orangtua) itu tidaklah semutlak keta’atan yang harus mereka
berikan kepada ALLAH dan Rasul-Nya. Kita (orangtua) juga perlu berlapang
dada manakala anak kita tidak mau menjalankan perintah kita, yang boleh
jadi karena mereka telah mengetahui -berdasarkan ilmu yang telah
dipelajarinya- bahwa perintah orangtuanya tersebut merupakan hal yang
bertentangan dengan syari’at.
Itu artinya, orangtua dilarang
memerintahkan anak untuk melakukan hal-hal yang dilarang di dalam agama
Islam, membelikan rokok misalnya. Dan keengganan anak terhadap perintah
semacam ini -dari orangtuanya- bukanlah kedurhakaan.
Ayat yang dhohirnya menggambarkan
perkara hubungan seorang anak -yang beriman- dengan seorang tua -yang
kafir atau musyrik- , yakni larangan seorang anak untuk mengikuti ajakan
orangtuanya berbuat syirik kepada ALLAH, sebetulnya juga memberikan
pelajaran bagi kita (orang tua) untuk tidak memaksakan kehendak
-berdasarkan perasaan atau adat istiadat- kepada anak di dalam perkara
yang anak telah mengetahui ilmunya menurut ajaran Islam. Dan kita
(orangtua) tidak boleh serta merta menuduh anak tidak mau berbakti,
kurang ajar atau durhaka disebabkan mereka -dengan dilandasi dalil-dalil
syar’i- menolak perintah kita. Bakti mereka yang kita tuntut -di dalam
kondisi semacam ini- hanyalah yang bersifat duniawiyah.
Kemudian , sebagai penutup ayat, ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa
memerintahkan untuk mengikuti jalan orang-orang yang kembali kepada-Nya
kemudian kelak akan IA jelaskan dan balas seluruh amal yang kita
lakukan selama di dunia.
وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
(Artinya: “Dan ikutilah jalan mereka
yang kembali kepada-Ku. Kemudian kepada-Ku lah kalian semua akan
kembali, maka kelak akan Aku jelaskan kepada kalian apa-apa yang selama
ini kalian kerjakan.“)
Dan yang dimaksud ” mereka yang kembali kepada-Ku..” adalah orang-orang beriman. Dan orang beriman ketika itu tidak lain adalah Sahabat -radhiallahu anhum-.
Mereka adalah orang-orang yang pertama menerima Islam dan menghadapi
tantangan dari keluarga serta orang tua mereka. Para Sahabat -radhiallahu anhum-.
bukan hanya pelopor di dalam menerima aqidah Islam dan di dalam
mentauhidkan ALLAH dengan segala konsekuensinya. Lebih dari itu mereka
adalah teladan di dalam akhlaq bermu’amalah, baik terhadap sesama orang
beriman maupun yang selainnya, termasuk kepada karib kerabatnya. Mereka
adalah generasi yang paling mengerti bagaimana harus mencintai dan
membenci karena ALLAH.
Kecintaan mereka kepada orang lain
-karena ALLAH- tidak menyebabkan kecintaannya kepada ALLAH dikalahkan
atau dikorbankan. Begitu pula, kebencian mereka kepada orang lain
-karena ALLAH- tidak membuat mereka berlaku dzalim. Mereka paling
mengerti tentang perintah dan larangan ALLAH, dan paling paham maksud
ayat-ayat di bawah ini :
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ
يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ
وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ
(Artinya: “Dan di antara manusia ada
yang membuat tandingan-tandingan bagi ALLAH yang mereka cintai
sebagaimana mereka mencintai ALLAH. Sedangkan orang-orang beriman
sangatlah cinta kepada ALLAH.”) (Al Baqarah: 165)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آَمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا
يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآَنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا
اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
(Artinya: “Wahai orang-orang beriman,
hendaknya kalian menjadi orang-orang yang menegakkan kebenaran karena
ALLAH, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencian kalian
terhadap suatu kaum mendorong kalian berlaku tidak adil. Berlakulah
adil, karena hal itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada
ALLAH. Sesungguhnya ALLAH Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”) (Al Maa’idah: 8)
Karena keteladaan merekalah ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa
memerintahkan kita untuk mengikuti dan mencontoh mereka. Dan kita semua
akan mendapatkan balasan yang sesuai dengan amalan kita selama hidup di
dunia. Wallahu A’lam.
oleh: Abu Khaulah Zainal Abidin
url: http://rumahbelajaribnuabbas.wordpress.com/jendela-orang-tua/wasiat-luqman-kepada-anaknya-ke-tiga/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar