Luqman adalah hamba ALLAH yang sholeh, yang ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa abadikan nama, wasiat, dan sebagian kisahnya di dalam AL Qur’an. ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa mengaruniainya Al Hikmah, sehingga jadilah ia hamba yang bersyukur kepada ALLAH. Dan ketika para Sahabat -radhiallahu anhum- gelisah dan khawatir -dengan adanya peringatan
ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa
terhadap orang-orang yang mencampuradukkan keimanan dengan kedzaliman
(الَّذِينَ آَمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ /Al An’aam: 82)- Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- segera mengingatkan mereka kepada ucapan Luqman di dalam Al Qur’an
ألم تسمعوا ما قال العبد الصالح :….
(Artinya: “Tidakkah kalian mendengar apa yang dikatakan seorang hamba yang sholeh:…..)
Maka, hendaknya kita pun mengambil pelajaran dari wasiat Luqman kepada anaknya.
ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa
mengawali wasiat Luqman ini dengan menggambarkan keutamaan Luqman
-berupa hikmah, yakni ilmu dan kefahaman-. Dan ALLAH mengawalinya pula
dengan perintah untuk bersyukur kepada ALLAH serta manfa’atnya :
وَلَقَدْ آَتَيْنَا
لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا
يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
Artinya: (Dan sungguh telah Kami
berikan hikmah kepada Luqman (-yaitu-); Bersyukur kepada-Ku. Dan
barangsiapa yang bersyukur, maka seseungguhnya ia bersyukur untuk
dirinya. Dan barangsiapa yang kufur (tidak bersyukur), maka sesungguhnya
ALLAH itu Maha Kaya lagi Terpuji.) (Luqman: 12)
Kemudian ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa berfirman:
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
(Artinya: Dan (-ingatlah-) ketika
Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberikan wejangan: “Wahai
anakku, janganlah kau sekutukan ALLAH. Sesungguhnya perbuatan
menyekutukan ALLAH (syirik) itu kedzaliman yang sangat besar.”) (Luqman: 13)
Kata (وَهُوَ يَعِظُهُ ) di dalam ayat ini menggambarkan bagaimana Luqman dalam keadaan menyengaja memberikan wejangan kepada anaknya.
Inilah pelajaran pendahuluan -bagi para
orangtua- dari kisah Luqman, yakni menyengaja memberikan wejangan kepada
anak-anaknya, terutama tentang perkara-perkara yang penting mereka
ketahui dan amalkan. Seorang kepala keluarga hendaknya menyiapkan
waktu-waktu khusus untuk memberikan wejangan kepada anak-anak dan
isterinya. Orangtua -terutama ayah- harus membiasakan dan melatih diri
berbicara di hadapan anak di dalam suasana memberikan pelajaran atau
nasihat.
Mengadakan majelis keluarga sangat besar
manfaatnya, baik bagi orangtua -yang memberi wejangan- maupun bagi anak
-yang mendengarkannya-. Suasana bermajelis akan menimbulkan komunikasi
dua arah yang lebih dari sekedar obrolan, dan menumbuhkan keterbukaan di
antara orangtua dan anak.. Kesan formal yang ditimbulkannya juga dapat
membantu menjaga “posisi” orangtua – anak, atau bahkan memperbaikinya.
Anak juga -kemudian- akan melihat orangtuanya sebagai pendidik atau
pemberi arahan dan nasihat, bukan sekedar pencari nafkah bagi keluarga.
Orangtua juga -kemudian- akan melihat anaknya sebagai murid atau anak
didik, bukan sekedar keturunan atau anggota keluarga.
Wasiat Pertama
يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
(Artinya: “Wahai anakku, janganlah
kau sekutukan ALLAH. Sesungguhnya perbuatan menyekutukan ALLAH (syirik)
itu kedzaliman yang sangat besar.”) (Luqman: 13)
Inilah wasiat pertama Luqman kepada anak-anaknya, yakni berupa peringatan untuk menjauhi perbuatan mensyarikatkan (menyekutukan) ALLAH serta penjelasan akan bahayanya.
Inilah perkara terpenting yang harus diperhatikan oleh setiap orangtua,
yakni perhatian terhadap aqiedah anak-anaknya. Perhatian untuk menjaga
fitrah anak-anaknya agar tetap dalam keadaan mentauhidkan ALLAH.
Perhatian untuk menyelamatkan anak-anaknya dari terjerumus ke dalam
kesyirikan.
Sudah seharusnya orang tua mempunyai
kekhawatiran terhadap aqiedah anak-anak mereka kelak sepeninggalnya.
Artinya, orangtua harus membekali anak dengan ilmu yang cukup agar
anak-anaknya kelak tetap mentauhidkan ALLAH. Perhatikanlah apa yang
diwasiatkan Nabi Ibrahim -alaihissalaam-. kepada anak-anaknya.
وَوَصَّى بِهَا
إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى
لَكُمُ الدِّينَ فَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
(Artinya: Dan Ibrahim-pun mewasiatkan
anaknya tentang itu, demikian pula Ya’qub, “Wahai anak-anakku.
Sesungguhnya ALLAH telah memilih agama ini (-Islam-) bagimu, maka
janganlah kalian mati kecuali di dalam keadaan sebagai muslim.”) (Al Baqarah: 132)
Demikian pula kekhawatiran Nabi Ya’qub -alaihissalaam- terhadap aqiedah anak-anaknya, sehingga dia memerlukan kepastian berupa janji anak-anaknya untuk tetap mentauhidkan ALLAH.
أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا
نَعْبُدُ إِلَهَكَ وَإِلَهَ آَبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
(Artinya: Adakah kamu hadir ketika
(-tanda-tanda-) maut mendatangi Ya’qub, ketika ia berkata kepada
anakanaknya, “Apa yang akan kalian sembah sepeninggalku?” Mereka
menjawab,”Kami akan menyembah rabb-mu, rabb nenek moyangmu; Ibrahim,
Isma’il, dan Ishaq, (-yaitu-) Rabb Yang Maha Esa, dan kami hanya tunduk
kepada-Nya.”) (Al Baqarah:133)
Cukuplah kedua contoh (Nabi Ibrahim dan Ya’qub -alaihimassalaam-)
di atas menjadi pelajaran bagi kita -para orangtua-, bahwa hendaknya
kita lebih khawatir terhadap perkara agama atau aqiedah anak-anak kita
ketimbang ” Di mana nanti mereka tinggal ?” atau “Siapa yang akan memberi mereka makan?” -sebagaimana sering dikhawatirkan kebanyakan orangtua akan nasib anak-anaknya sepeninggal mereka.
Tauhid (Mengesakan ALLAH) merupakan
perkara terpenting yang ALLAH perintahkan atas hamba-Nya. Demikian pula,
Syirik (Menyekutukan ALLAH) merupakan perkara terpenting yang ALLAH
larang atas hamba-Nya. Oleh karenanya tidaklah ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa mengutus rasul-Nya di setiap jaman, kecuali mereka mengajak manusia kepada Tauhid dan menjauhi perbuatan syirik.
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اُعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
(Artinya: Dan telah Kami utus pada setiap umat rasul (-untuk menyeru-), “Sembahlah ALLAH, dan jauhilah Thaghut!”) (An-Nahl:36)
Maka perkara Tauhid dan Syirik menjadi
hal terpenting pula yang harus diajarkan kepada anak sedini mungkin.
Keduanya (menanamkan Tauhid dan menjauhi perbuatan Syirik) dilakukan
bersamaan, karena tidaklah ALLAH memerintahkan hamba-Nya mentauhidkan
ALLAH kecuali bersamaan pula dengan itu melarangnya berbuat syirik.
Menanamkan Tauhid kepada anak -sejak
dini- dan menjauhkan mereka dari perbuatan syirik ditempuh dengan
menumbuhkan penghayatan melalui pembiasaan -sholat dan berdo’a,
misalnya-, serta menjauhkan mereka dari rasa takut yang tidak beralasan
(-khauf sirry-). Di samping itu juga melalui pendekatan nalar manakala kemampuan menalarnya sudah memadai.
Mengajari anak lafadz-lafadz do’a dan
dzikir serta membiasakan mereka berdo’a merupakan cara pertama
menanamkan Tauhid kepada anak, karena (-baca juga tulisan saya yang
berjudul “Berdo’alah Kalian…!“-) :
- Berdo’a merupakan tanda imannya seseorang akan adanya ALLAH, maka mengajari anak berdo’a itu artinya juga menanamkan keyakinan kepadanya bahwa ALLAH itu ada.
- Berdo’a merupakan tanda imannya seseorang akan Maha Mendengar dan Maha Mengetahui-nya ALLAH, maka mengajari anak berdo’a itu artinya juga menanamkan keyakinan kepadanya bahwa ALLAH itu Maha Mendengar (-apa yang disampaikan oleh hamba-Nya-) dan Maha Mengetahui (-apa yang diperbuat oleh hamba-Nya dan segala permasalahan yang dihadapi mereka-).
- Berdo’a merupakan tanda imannya seseorang akan Maha Kaya-nya ALLAH, maka mengajari anak berdo’a itu artinya juga menanamkan keyakinan kepadanya bahwa ALLAH Maha Kaya (-dan Kekuasaan-Nya meliputi segala sesuatu-) serta mampu memenuhi seluruh kebutuhan hamba-Nya.
- Berdo’a merupakan tanda baik sangkanya seseorang terhadap ALLAH -karena mustahil seseorang berdo’a dan memohon kepada ALLAH kecuali karena dia berharap dan menyangka bahwa ALLAH pasti akan mengabulkan do’a dan memenuhi permintaannya-, maka mengajari anak berdo’a itu artinya juga menanamkan perasaan senantiasa berbaik sangka kepada ALLAH, sebagaimana hal itu wajib dimiliki oleh setiap muslim terhadap rabb-nya. Bukankah Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- telah mewasiatkan kita akan hal itu;
عن جابر بن عبدالله الأنصاري، قال:
سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم، قبل موته بثلاثة أيام، يقول
“لا يموتن أحدكم إلا وهو يحسن الظن بالله عز وجل”.
(Dari Jabir bin Abdillah Al Anshary, berkata: Aku
mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam berkata -tiga hari
sebelum wafatnya- ,”Janganlah di antara kalian mati, kecuali di dalam
keadaan berbaik sangka kepada ALLAH Azza wa Jalla.”) (HR:Muslim)
- Berdo’a merupakan tanda rasa butuhnya seorang hamba akan rabb-nya -karena mustahil seseorang meminta kepada yang lain jika ia merasa mampu memenuhinya sendiri- serta pengakuan bahwasanya ALLAH lah satu-satunya tempat meminta pertolongan -sebuah pengakuan yang juga diucapkan setiap muslim di dalam sholatnya-, maka mengajari anak berdo’a itu artinya juga menanamkan perasaan butuh akan ALLAH dan pengakuan bahwasanya ALLAH sajalah satu-satunya yang layak diibadahi dan dimintai pertolongan. Dan ini (berdo’a) merupakan inti ibadah serta wujud mengesakan (mentauhidkan) ALLAH yang paling nyata. Ini pulalah di antara hikmah kalimat-kalimat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- kepada Ibnu Abbas -radhiallahu anhu- :
إذا سألت فاسأل الله، وإذا استعنت فاستعن بالله،
(“…Jika kau berdo’a, berdo’alah kepada ALLAH. Dan jika memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada ALLAH…”) (HR: At-Ttirmidzi)
Kemudian, menjauhkan anak dari perasaan takut yang tidak beralasan (-khauf sirry-) juga merupakan cara pertama untuk menjauhkan mereka dari kecenderungan kepada kesyirikan. Khauf Sirry
(takut tersembunyi) adalah sejenis takut yang tidak beralasan dan bukan
merupakan tabi’at asal manusia. (-baca juga tulisan saya yang berjudul “Kenapa Harus Takut?“-). Yang termasuk Khauf Sirry
ini adalah seperti; takutnya seseorang kepada cerita-cerita hantu dan
sejenisnya, yang ini -sebagaimana yang dijelaskan Asy-Syaikh Muhammad
bin Sholih Al Utsaimin -rahimahullahu ta’alaa- di dalam Syarah
Tsalatsatul Ushul- merupakan jenis kesyirikan. Karena tidaklah seorang
takut kepada yang tidak beralasan untuk ditakuti itu kecuali karena ada
keyakinan bahwa sesuatu tersebut memiliki kemampuan tertentu -seperti
mendatangkan manfaat atau mudharat-.
Syirik tumbuh tidak lain karena ada keyakinan bahwa ada sesuatu (benda mati atau makhluq hidup) selain ALLAH Subahaanahu wa ta’alaa
yang memiliki sifat-sifat ilaahiyah (berhak diibadahi: disembah,
dimintai pertolongannya, dicintai, ditakuti, dijadikan tempat
bergantung). Dan kecenderungan yang pertama kali tumbuh pada manusia
-terutama anak-anak- adalah rasa takut. Maka hendaknya anak-anak
dijauhkan dari cerita-cerita atau khayalan-khayalan yang membuat
tumbuhnya khauf sirry pada jiwa mereka. Karena bibit-bibit kesyirikan pertama kali tumbuh di dalam jiwa anak melalui takut yang tidak beralasan ini.
Kedua (mengajari anak berdo’a dan menjauhkan mereka dari cerita atau khayalan yang bisa menumbuhkan khauf sirry)
hal inilah yang merupakan pendekatan pembiasaan dan penghayatan yang
bisa kita tempuh di dalam rangka menanamkan Tauhid dan menjauhi Syirik
pada jiwa anak-anak kita. Di dalam rangka pembiasaan -agar dengannya
tumbuh keyakinan- ini pulalah mengapa anak -meskipun belum mencapai usia
mampu membedakan baik dan buruk- sudah harus diajari sholat.
Di samping itu -bagi mereka yang sudah
bisa diajak berpikir serta mampu membedakan yang baik dan yang buruk-
hendaknya kita pergunakan pula cara-cara dengan pendekatan nalar.
Melalui pendekatan nalar lah keyakinan yang sudah tumbuh melalui
pendekatan pembiasaan tadi mendapatkan alasan logisnya.
ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa berfirman:
يَأيُّهَا النَّاسُ
اعبُدُوا ربَّكُمُ الذَِّي خَلَقَكُم وَالذِّينَ مِن قَبلكُم لَعَلَّكُم
تَتَّقُونَ(21) الّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأرضَ فِرَاشًا وَالسَّمآءَ بِنآءً
وَأنزَلَ مِنَ السَّمَآءِ مَاَءً فَأخرَجَ بِهِ مِن الثَّمراتِ رِزقًا
لّكُم فَلاَ تَجعَلُواْ لَلَّهِ أندَادًا وَأنتُم تَعَلُمونَ [البقرة:22،21].
(Artinya: Wahai manusia. Ibadahilah
rabb-kalian Yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum
kalian, agar kalian bertakwa. Dia-lah Yang menjadikan bumi sebagai
hamparan bagimu dan langit sebagi atap serta menurunkan hujan, lalu Dia
keluarkan darinya segala macam buah-buahan sebagai rezki bagi kalian.
Karena itu janganlah kalian mengada-adakan sekutu bagi ALLAH, padahal
kamu mengetahui.) (Al Baqarah 21-22)
قال ابن كثير رحمه الله تعالى: ( الخالق لهذه الأشياء هو المستحق للعبادة ).
(Ibnu Katsir -rahimahullahu ta’alaa- berkata (-di dalam tafsirnya): “Yang Menciptakan segala itu semua tak lain adalah yang paling berhaq diibadahi.”)
Berkata Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin -rahimahullah ta’alaa- (-di dalam Syarah Tsalaatsatul Ushul-) :
“(-maksudnya-) jangan buat tandingan
terhadap yang telah menciptakan kalian, orang-orang sebelum kalian,
bahkan telah menjadikan bumi sebagai hamparan kalian, menjadikan langit
sebagai atap, dan menurunkan hujan yang darinya Ia keluarkan berbagai
macam buah-buahan, yang kemudian kalian beribadah kepada tandingan tadi
sebagaimana seakan-akan kalian beribadah kepada ALLAH, yang kemudian
kalian cintai sebagaimana seakan-akan kalian cintai ALLAH. Sesungguhnya
perbuatan semacam itu tidaklah pantas bagi kalian -baik secara aqal
maupun secara syar’i.“
Ayat di atas merupakan satu contoh betapa ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa
menuntut nalar kita untuk mengakui kekuasaan-Nya dengan cara
mengesakan-Nya di dalam peribadatan, yakni tidak menyekutukan atau
menyetarakan ALLAH dengan sesuatu apapun, baik di dalam do’a dan
pengharapan maupun di dalam cinta dan keta’atan.
Ketika Luqman -alaihissalaam-
berwasiat kepada anaknya agar tidak menyekutukan ALLAH, ia menjelaskan
bahwa perbuatan tersebut (syirik) merupakan kedzaliman yang sangat
besar. Dan memang tak ada kata atau istilah yang lebih tepat untuk
mengungkapkan atau menggambarkan tentang bahaya dan buruknya syirik,
kecuali kata dzulmun ‘adziimun (kedzaliman
yang sangat besar) Ini juga bentuk pendekatan nalar. Karena mustahil
menjelaskan (baca: menyifati) sesuatu dengan sesuatu yang tidak
dimengerti. Maka tentu anaknya pun sudah memahami arti atau makna dzalim.
Karenanya, ketika sudah saatnya kita
menjelaskan kepada anak -melalui pendekatan nalar- keutamaan Tauhid
serta buruk dan bahayanya Syirik, mereka juga harus sudah mengenal dan
terbiasa mendengar kosa kata yang memuat pengertian atau konsep-konsep
penting; seperti kata adil -dan tentu saja menurut Islam-, karena mustahil menjelaskan dzalim tanpa lebih dahulu memahami konsep adil, dan mustahil menjelaskan buruk dan bahayanya syirik tanpa lebih dahulu memahami konsep dzalim.
Kita dapat memperkenalkan kosep adil kepada anak melalui cara yang sederhana, seperti: “Adil itu ibarat engkau menimbang sesuatu tidak berat atau panjang sebelah. Maka,
manakala engkau menimbang sesuatu dengan meletakkan alat pengukurnya
pada tempat yang tepat sehingga alat timbangan itu tetap dalam keadaan
rata, itu artinya kau telah menimbang dengan adil, dan tentunya engkau
suka melihat keadilan semacam ini.” “Adil itu manakala engkau menghukum seseorang yang berbuat salah sesuai dengan besar kesalahannya. Maka,
manakala kau menghukum atau membalas kesalahan orang yang bersalah
secara tidak berlebihan, atau membedakan antara hukuman bagi anak kecil
yang bersalah dengan hukuman bagi orang dewasa, itu artinya kau telah
berbuat adil; dan tentunya kau juga senang jika diperlakukan seperti itu.” “Adil itu manakala engkau menempatkan sesuatu sesuai pada tempatnya. Maka,
manakala engkau menempatkan kambing di kandang kambing dan harimau di
kandang harimau -tidak sebaliknya atau tidak mengumpulkan mereka dalam
satu kandang-, itu artinya kau telah berbuat adil. Atau manakala seorang
bapak menunaikan kewajibannya sebagai bapak dan anak menunaikan
kewajibannya pula sebagai anak, itu artinya mereka telah berbuat adil.
dan tentunya kau juga senang melihat yang demikian.”
Pengertian dan penghayatan anak -juga manusia pada umumnya- terhadap konsep dzalim sangat bergantung kepada pengertian dan penghayatan mereka terhadap konsep adil di atas.
Maka perhatikanlah, sungguh sangat tidak aneh kalau orang-orang kafir
-yang menganggap adil itu adalah sekedar sama rata sama rasa- kemudian
melahirkan ideologi komunisme. Juga sungguh sangat tidak aneh kalau ada
muslim -yang tidak memahami konsep adil menurut Islam ini- termakan oleh propaganda Liberalisme, Emansipasi wanita, dan semacamnya.
Setelah anak memahami adil , tentu akan lebih mudah bagi kita menjelaskan makna dzalim yang merupakan lawannya:
“Dzalim itu ibarat kau menimbang sesuatu dengan berat sebelah. Maka,
manakala engkau mengukur sesuatu dengan meletakkan alat pengukurnya
tidak pada tempat yang tepat sehingga alat timbangan itu menjadi miring
ke salah satu arah, itu artinya kau telah berbuat dzalim, dan tentunya
kau tidak suka melihat keadaan seperti itu.” “Dzalim itu manakala engkau menghukum seseorang yang berbuat salah dengan hukuman yang tidak sesuai dengan besar kesalahannya. Maka,
manakala engkau menghukum atau membalas kesalahan seseorang secara
berlebihan sehingga melebihi besar atau tingkat kesalahannya, itu
artinya kau telah berbuat dzalim, dan tentunya kau tidak suka
diperlakukan seperti itu.” “Dzalim itu manakala engkau menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Maka,
manakala engkau memperlakukan anak seperti orang tua atau sebaliknya,
itu artinya kau telah berbuat dzalim. Manakala engkau menghormati orang
yang senang berbuat maksiat dan menghina orang yang selalu mengerjakan
keta’atan, itu artinya kau telah berbuat dzalim. dan tentunya kau tidak
senang diperlakukan seperti itu.”
Maka, bagaimana jika ada yang menyamakan
atau menyejajarkan sesuatu yang tidak pantas dipersamakan atau
disejajarkan? Bagaimana jika ada yang menyamakan atau mendudukkan
makhluq pada kedudukan Al Khaliq (Pendipta)? Bagaimana kalau ada orang
menyembah sesuatu yang tidak pantas bahkan tidak berhak untuk disembah?
Jawabnya, ” Itu semua adalah perbuatan dzalim, bahkan yang paling dzalim. Dan tak ada kedzaliman yang lebih besar mengalahi dzalimnya perbuatan (syirik) tersebut. “إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيم
oleh: Abu Khaulah Zainal Abidin
url: http://rumahbelajaribnuabbas.wordpress.com/jendela-orang-tua/wasiat-luqman-kepada-anaknya-pertama/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar