وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ
أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
(Artinya: Dan Kami wasiatkan
(perintahkan) kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang
tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah serta menyapihnya dalam dua tahun. Agar bersyukur
kepada-Ku dan kepada kedua orangtua kalian. Hanya kepada-Ku lah kamu
kembali.) (Luqman: 14)
Setelah sebelumnya, pada wasiat pertama,
ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa mengabarkan Wasiat Luqman kepada anaknya
-berupa larangan berbuat syirik-, maka pada ayat ini (selanjutnya) ALLAH
secara langsung mewasiatkan kepada segenap manusia agar berbuat baik
kepada kedua orangtua mereka. Namun hakekatnya, ini juga merupakan
wasiat Luqman kepada anaknya yang ALLAH kabarkan kepada seluruh manusia.
Imam Al Qurthuby -rahimahullahu ta’alaa- menjelaskan di dalam tafsirnya: Ini
adalah di antara yang diwasiatkan Luqman kepada anaknya -yang ALLAH
kabarkan tentangnya-. Yaitu, Luqman berkata kepada anaknya: “Jangan
sekutukan ALLAH dan jangan ta’ati kedua orangtuamu di dalam berbuat
syirik. Karena sesungguhnya ALLAH telah memerintahkan dengannya, yakni
menta’ati keduanya di dalam hal-hal yang bukan merupakan kesyirikan dan
ma’shiyat kepada ALLAH.”
Masuknya perintah ALLAH di dalam wasiat
Luqman ini memberikan pelajaran tersendiri, yaitu bahwa ta’atnya seorang
anak kepada kedua orangtuanya merupakan bagian dari keta’atan kepada
ALLAH. Dan.tidaklah dikatakan ta’at kepada ALLAH atau bukanlah itu yang
dimaksud, seandainya seorang anak menta’ati (-ajakan atau ajaran-)
orangtua di dalam berma’shiyat kepada ALLAH. (-Akan dijelaskan pada
wasiat ke-tiga-).
ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa
telah mewajibkan hamba-Nya agar berbuat baik (berbakti) kepada
orangtuanya. Bahkan -di berbagai tempat dan ungkapan- kewajiban tersebut
senatiasa disebutkan setelah perintah untuk mentauhidkan-Nya :
وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِي إِسْرائيلَ لا تَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً
(Artinya: Dan (-ingatlah-) ketika
Kami mengambil perjanjian dengan Bani Isra’il, agar kalian (-wahai Bani
Isra’il-) tidak beribadah kecuali kepada ALLAH, dan agar kalian berbuat
baik kepada kedua orangtua.) (Al Baqarah: 83)
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئاً وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً
(Artinya: Dan ibadahilah oleh kalian
ALLAH. serta jangan kalian sekutukan Ia dengan sesuatu apapun, dan
berbuat baiklah kepada kedua orangtua.)(An-Nisaa’:36)
قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئاً وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً
(Artinya: Katakanlah,”Marilah
kubacakan apa yang ALLAH haramkan atas kalian, yaitu: janganlah kalian
menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, dan berbuat baiklah kepada kedua
orangtua…“)(Al An’aam:151)
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً
(Artinya: Dan rabb-mu telah memerintahkan agar kalian jangan beribadah kecuali kepada-Nya, dan berbuat baiklah kepada kedua orangtua.)(Al Isra’:23)
Hal ini membuktikan, bahwa berbuat baik
(berbakti) kepada orangtua merupakan perkara yang pertama dan terpenting
-di dalam urusan hablum minannas- setelah mentauhidkan ALLAH.
Dan apa yang ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa
firmankan melalui wasiat Luqman ini merupakan dalil wajibnya -bagi
kita- untuk berbakti kepada kedua orangtua sekaligus dalil wajibnya
-bagi kita- untuk mendidik anak-anak kita agar mereka menjadi anak yang
berbakti kepada orangtua. Setiap diri kita -juga anak-anak kita-
hendaknya mengetahui bahwa ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa ridho kepada seorang hamba manakala hamba tersebut diridhoi orangtuanya, sebagaimana sabda Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- :
رضى الرب في رضى الوالد وسخط الرب في سخط الوالد
(مستدرك الحاكم: و هذا حديث صحيح على شرط مسلم ولم يخرجاه)
(مستدرك الحاكم: و هذا حديث صحيح على شرط مسلم ولم يخرجاه)
“Ridho ALLAH mengikuti ridho orang tua, dan kemurkaan ALLAH mengikuti kemurkaan orangtua.“
Kemudian, setiap diri kita -juga
anak-anak kita- hendaknya mengetahui betapa berbakti kepada kedua
orangtua merupakan lahan ibadah yang sangat subur dan kesempatan yang
sangat berharga. Sehingga merugilah manusia yang tidak mengambil
kesempatan sebaik-baiknya di lahan ini. Perhatikanlah Sabda Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- ini dan ingat-ingatlah selalu:
عن أبي هريرة، عن النبي صلى الله عليه وسلم. قال:”رغم أنف، ثم رغم أنف، ثم رغم أنف”
قيل: من يا رسول الله ؟
قال “من أدرك أبويه عند الكبر، أحدهما أو كليهما فلم يدخل الجنة”.
قيل: من يا رسول الله ؟
قال “من أدرك أبويه عند الكبر، أحدهما أو كليهما فلم يدخل الجنة”.
Dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu-, dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, berkata, “Celaka, celaka, celaka !“. Beliau ditanya, “Siapa, ya Rasulullah ?” Beliau menjawab, “Siapa yang memiliki orangtua -keduanya atau salah satunya- yang sudah lanjut usia, namun ia tidak masuk surga.:” (HR: Muslim)
Lebih dari itu, berbakti kepada orang dapat menjadi sebab datangnya pertolongan ALLAH Subahaanahu wa ta’alaa
di saat-saat yang sangat kritis, di mana seseorang sangat membutuhkan
sekali bantuan atau pertolongan seseorang. Perhatikanlah kisah salah
seorang Ashabul Ghori (pemuda yang terkurung di dalam gua).
Disebabkan amal sholeh -berupa ta’dzimnya kepada kedua orangtua- nya
selamatlah ia dari musibah yang menimpanya.
Di antara bentuk berbuat baik atau berbakti kepada kedua orangtua adalah:
• Berkata dengan lemah lembut
• Senantiasa mematuhinya di dalam hal perkara yang bukan ma’shiyat.
• Senantiasa jujur kepadanya.
• Berusaha membahagiakannya.
• Meringankan bebannya.
• Melayani dan mengutamakannya di atas selain mereka.
• Pandai berterima kasih dan merasa cukup atas pemberian mereka.
• Senantiasa mendo’akannya.
• Menjaga silaturahmi dengan teman/ karabat orang tua sepeninggal mereka.
• Berkata dengan lemah lembut
• Senantiasa mematuhinya di dalam hal perkara yang bukan ma’shiyat.
• Senantiasa jujur kepadanya.
• Berusaha membahagiakannya.
• Meringankan bebannya.
• Melayani dan mengutamakannya di atas selain mereka.
• Pandai berterima kasih dan merasa cukup atas pemberian mereka.
• Senantiasa mendo’akannya.
• Menjaga silaturahmi dengan teman/ karabat orang tua sepeninggal mereka.
Dan masih banyak lagi perbuatan ma’ruf yang termasuk ke dalam kategori birrul walidain.
Maka ketika Luqman mewasiatkan anaknya
agar berbakti kepada kedua orangtua setelah mewasiatkan mereka agar
mentauhidkan ALLAH, juga ketika perkara birrul walidain ini senantiasa
ALLAH kaitkan setelah perintah mentauhidkan-Nya, itu artinya bahwa dosa
terbesar yang dilakukan di antara sesama manusia adalah durhakanya anak
kepada kedua orangtuanya, sebagaimana dosa terbesar yang dilakukan
manusia terhadap ALLAH adalah menyekutukan-Nya. Sampai-sampai ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa menyegerakan adzab-Nya bagi orang-orang yang durhaka kepada orangtuanya.
Kisah Juraij -seorang ahli ibadah yang lebih mengutamakan sholat nafilah (sunnat)-nya ketimbang panggilan ibunya yang membuat ibunya kecewa.sehingga ia mendo’akan kejelekan bagi Juraij, dan ALLAH mengabulkan doa tersebut:- , sebagaimana yang dikisahkan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam riwayat Al Bukhari dan Muslim, cukuplah menjadi bukti betapa besar akibatnya jika salah satu saja hak orangtua dilanggar oleh anaknya.
Kisah Juraij -seorang ahli ibadah yang lebih mengutamakan sholat nafilah (sunnat)-nya ketimbang panggilan ibunya yang membuat ibunya kecewa.sehingga ia mendo’akan kejelekan bagi Juraij, dan ALLAH mengabulkan doa tersebut:- , sebagaimana yang dikisahkan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam riwayat Al Bukhari dan Muslim, cukuplah menjadi bukti betapa besar akibatnya jika salah satu saja hak orangtua dilanggar oleh anaknya.
Perhatikanlah, seorang seperti Juraij
-yang karena melalaikan panggilan ibunya dengan alasan ibadah- saja
sudah mendapatkan cobaan dan fitnah yang sedemikian hebatnya. Maka
bagaimana pula jika perbuatan (melalaikan panggilan ibu) itu dilakukan
oleh bukan seorang ahli ibadah dan terlebih lagi bukan karena alasan
ibadah, bahkan alasan yang sangat sepele, malas atau karena sedang asyik
bermain, misalnya.
Dan di antara bentuk-bentuk kedurhakaan atau perbuatan yang mengarah kepadanya itu adalah :
• Berkata Kasar kepada Orangtua.
Terkadang orangtua membiarkan anaknya
berkata atau berbicara kasar kepadanya, berharap nanti juga kalau sudah
besar akan mengerti. Tentu saja ada kebiasaan buruk pada anak yang akan
hilang dengan sendirinya seiring umur dan perkembangan nalarnya. Namun
tidak semua. Ada pula yang kalau dibiarkan, maka akan semakin bertambah
dan menjadi kebiasaannya.
Islam sangat memperhatikan masalah bagaimana seharusnya seorang anak bertutur kata kepada orangtuanya. ALLAH -Subhaanahu wa ta’alaa- berfirman:
فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
(Artinya: “…maka janganlah kau
mengucapkan (-perkataan) Ah.. kepada keduanya, dan jangan kau hardik
mereka. Dan ucapkapkan kepada mereka perkataan yang mulia.”) (Al Isra’:23)
Maka berucap kasar -seperti Ah..,Uh.., Chk-
, meninggikan suara, atau mengeraskannya merupakan bentuk-bentuk
kedurhakaan kepada mereka. Dan hendaknya sejak kecil anak sudah
dibiasakan berkata halus dan merendahkan suara di hadapan orangtuanya.
• Membantah Orangtua
Terkadang tanpa disadari kita membiarkan
anak membantah kita -orangtua-, yakni manakala mereka tak mendengar
nasihat dan arahan kita, atau tidak mengerjakan perintah kita. Dan semua
bentuk penolakan ini -padahal seandainya semua itu perkara yang ma’ruf-
tidak lain adalah wujud kesombongan anak di hadapan orangtua, merasa
lebih pintar dan lebih tahu apa yang harus dilakukan atau diperbuat. Apa
salah atau susahnya mereka mendengar dan menta’ati kita di dalam hal
yang tidak bertentangan dengan syari’at ? Padahal ALLAH -Subhaanahu wa ta’alaa- mewajibkan seorang anak untuk merendahkan diri di hadapan orangtuanya:
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ
(Artinya: “…dan rendahkanlah dirimu di hadapan mereka dengan penuh kasih sayang…”) (Al Isra’:24)
Imam Al Qurtubi -rahimahullah- berkata (di dalam Al Jami’ Li Ahkaamil Qur’an): “Termasuk
‘Uquuq (durhaka) kepada orangtua adalah menyelisihi / menentang
keinginan-keinginan mereka dari (perkara-perkara) yang mubah,
sebagaimana Al Birr (berbakti) kepada keduanya adalah memenuhi apa yang
menjadi keinginan mereka. Oleh karena itu, apabila salah satu atau
keduanya memerintahkan sesuatu, wajib engkau mentaatinya selama hal itu
bukan perkara maksiat, walaupun apa yang mereka perintahkan bukan
perkara wajib tapi mubah pada asalnya…”
Maka, membantah orang tua tanpa alasan
yang dibenarkan oleh syari’at merupakan bentuk kedurhakaan kepada
orangtua. Dan kita tidak boleh membiarkan anak berlaku demikian kepada
kita -sebagai orangtuanya-.
• Tidak Memenuhi Panggilannya.
Manusia adalah makhluq bermasyarakat yang
tidak bisa hidup sendiri. Mereka harus tolong-menolong di dalam
memenuhi kebutuhannya. Di dalam sebuah keluarga pun demikian.
Adakalanya, bahkan sering mungkin orangtua memerlukan bantuan atau
pertolongan anak untuk memenuhi hajatnya. Maka, menjawab dan memenuhi
panggilan orangtua merupakan di antara perbuatan berbakti kepada mereka,
sedangkan melalaikannya adalah perbuatan durhaka. Kisah Juraij cukup
menjadi bukti.
Kita -orangtua- hendaknya sering
mengingatkan anak tentang kisah Juraij. Sering-sering pulalah memanggil
mereka -untuk keperluan ini dan itu- ketika mereka sedang di dalam
kesibukannya, apalagi kalau hanya bermain, di dalam rangka melatih
mereka menjawab panggilan orangtua, melatih kesigapan mereka memenuhi
hajat orangtuanya.
• Mencerca dan Mempermalukan Orangtua
Setiap anak wajib memuliakan orangtua dan
menjaga kehormatannya, sebagai wujud baktinya kepada mereka. Maka
merendahkan orangtua dan mempermalukannya merupakan perbuatan yang tak
seorang pun mengingkarinya sebagai durhaka.
Hanya saja banyak yang melakukannya tanpa
mereka sadari. Mereka tidak menyadari bahwa mereka -dengan perbuatan
atau kelakuannya- telah menjadi sebab dicercanya orangtua mereka dan
dipermalukan. Perhatikanlah hadits berikut ini:
عن عبد الله ابن عمرو عن النبي صلى الله عليه وسلم قال :إن من أكبر الذنب أن يسب الرجل والديه
قالوا : وكيف يسب الرجل والديه
قال : يسب أبا الرجل فيسب أباه ويسب أمه فيسب أمه. (رواه أحمد)
قالوا : وكيف يسب الرجل والديه
قال : يسب أبا الرجل فيسب أباه ويسب أمه فيسب أمه. (رواه أحمد)
Dari Abdullah bin Amr, dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, berkata, “Sesungguhnya, termasuk perbuatan dosa besar itu antara lain seseorang mencerca orangtuanya.” Para Sahabat bertanya, “Bagaimana mungkin seseorang itu sampai mencerca orangtuanya?‘ Beliau menjawab, “Ia
cerca bapak seseorang, sehingga seseorang itu pun balik mencerca
bapaknya. Ia cerca ibu seseorang, sehingga orang itu balik mencerca
ibunya.”
Maka hendaknya kita -orang tua-
mengingatkan anak kita, bahwa manakala mereka mencerca, menghina, atau
mempermalukan orang tua temannya itu artinya ia telah mendurhakai orang
tuanya sendiri.
• Membohongi dan Menyusahkan Perasaan Orangtua
Membohongi orangtua dan menyusahkan
perasaannya tentu merupakan suatu kedurhakaan yang dapat mengakibatkan
penderitaan berkepanjangan bagi pelakunya di dunia. ALLAH -Subhaanahu wa ta’alaa- telah mengisahkan perbuatan ini di dalam kisah Nabi Yusuf -alaihissalaam-, bagaimana saudara-saudara Yusuf -alaihissalaam- membohongi ayah mereka (Ya’qub -alaihissalaam-),
bagaimana duka cita ayahnya, dan bagaimana penderitaan berkepanjangan
yang mereka alami, yang hanya melalui permohonan ampun dari orangtua
mereka sajalah ALLAH -Subhaanahu wa ta’alaa- akan mengampuni perbuatan durhaka tersebut.
قَالُوا يَا أَبَانَا اسْتَغْفِرْ لَنَا
ذُنُوبَنَا إِنَّا كُنَّا خَاطِئِينَ () قَالَ سَوْفَ أَسْتَغْفِرُ لَكُمْ
رَبِّي إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
(Artinya; Mereka (anak-anak Ya’qub)
berkata, “Wahai ayah kami, mohonkanlah (-kepada ALLAH-) ampunan bagi
kami atas dosa-dosa kami. Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang
bersalah.” (-Ya’qub-) berkata, “Aku akan memohonkan ampunan bagi kalian.
Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”) (Yusuf : 97-98)
Maka hendaknya kita -orangtua- mengawasi
anak-anak dari kebiasaan berbohong. Sampaikan kepada mereka akan
durhakanya perbuatan tersebut serta nasihatkan mereka untuk tidak
berbohong, terutama kepada orangtua. Ajarkan mereka terbiasa berterus
terang kepada orangtuanya serta waspadailah jika mereka mulai
mencoba-coba berbohong. kepada kita -orangtua-.
• Membebani Orangtua dan Memperbudaknya
Merupakan hak yang layak diperoleh
orangtua dari anaknya, yakni dilayani dan diringankan bebannya. Maka
apabila seoarang anak tidak melayani dan tidak meringankan beban
orangtuanya, bahkan sebaliknya, ia minta dilayani dan membebani
orangtuanya, anak tersebut telah melakukan perbuatan durhaka terhadap
orangtuanya.
Kedurhakaan model ini merupakan satu di antara tanda-tanda akhir zaman -yang telah kita rasaskan sekarang. Rasulullah -Shallallahu alaihi sallam- mengatakan demikian ketika bersoal jawab dengan Malaikat Jibril:
قال: فأخبرني عن الساعة.
قال: “ما المسؤول عنها بأعلم من السائل”
قال: فأخبرني عن أمارتها.
قال: “أن تلد الأمة ربتها. ….”
قال: “ما المسؤول عنها بأعلم من السائل”
قال: فأخبرني عن أمارتها.
قال: “أن تلد الأمة ربتها. ….”
(Jibril) bertanya. “Beritakan kepadaku tentang Hari Kehancuran !” (Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-) menjawab, “Tidaklah yang ditanyai lebih mengetahui dari yang bertanya.” (Jibril) kembali bertanya, “Beritakan kepadaku tentang tanda-tandanya !” (Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-) menjawab, “Budak wanita melahirkan majikannya….” (HR; Muslim)
Di antara ma’na ungkapan Nabi -Shallallahu alaihi wa salla- “Budak wanita melahirkan majikannya…” (-sebagaimana dijelaskan Al Hafidz Ibnu Hajar -rahimahullah-
di dalam Al Fath-) adalah terjadinya banyak kedurhakaan, di mana anak
memperlakukan ibunya seperti seorang tuan terhadap budaknya. Bukannya
anak yang melayani dan meringankan beban orang tuanya, tetapi
sebaliknya. Orangtua disuruh ini dan itu, dititipi cucu, jaga rumah, dan
sebagainya dari kebiasaan pekerjaan-pekerjaan pembantu. Dan ini
merupakan bentuk-bentuk kedurhakaan.
Maka hendaknya kita -orangtua- berhati-hati terhadap munculnya gejala kedurhakaan pada anak dengan tidak memanjakan mereka.
• Tidak Berterima Kasih atas Pemberian Orangtua
Berterima kasih kepada orangtua merupakan kewajiban setiap anak Adam. Bahkan perbuatan tersebut ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa gandengkan dengan bersyukur kepada-Nya.
أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
(Artinya: “…agar engkau bersyukur kepada-Ku dan kepada kedua orang tua kalian...”) (Luqman: 14)
Bahkan belumlah seseorang dikatakan bersyukur kapada ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa sebelum ia mampu berterima kasih kepada sesama manusia, sebagaimana sabda Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- :
عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (من لا يشكر الناس لا يشكر الله) .
هذا حديثٌ صحيحٌ.
هذا حديثٌ صحيحٌ.
Dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu-, berkata: Telah bersabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam-:
“Tidaklah seorang (-dikatakan-) bersyukur kepada ALLAH sebelum ia (-mampu-) bersyukur kepada manusia.” (HR: At-Tirmidzi – Shohih)
“Tidaklah seorang (-dikatakan-) bersyukur kepada ALLAH sebelum ia (-mampu-) bersyukur kepada manusia.” (HR: At-Tirmidzi – Shohih)
Apalagi, tentunya, jika tidak berterima
kasih kepada kedua orangtuanya. Padahal orang tua adalah manusia yang
paling dekat dan paling terlihat kasih sayang dan pengorbanannya.
Sampai-sampai ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa mengingatkan kepada kita:
حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ
(Artinya: “…ibunya telah
memeliharanya di dalam kandungan dalam keadaan susah payah yang
senantiasa bertambah, dan menyapihnya dalam dua tahun…”)
Tentu saja pengorbanan orangtua tidak
hanya sampai di situ. Karenanya seseorang yang tidak bersyukur kepada
mereka artinya telah melakukan kedurhakaan. Diriwayatkan oleh Imam
Bukhari -di dalam Al Adabul Mufrad- : Ketika Abdullah bin Umar -radhiyallahu ‘anhuma-
melihat seorang menggendong ibunya untuk tawaf di Ka’bah dan ke mana
saja ibunya menginginkan, orang tersebut bertanya kepadanya, “Wahai Abdullah bin Umar, dengan perbuatanku ini apakah aku sudah membalas jasa ibuku.?” Abdullah bin Umar -radhiyallahu ‘anhuma- menjawab, “Belum. Setetes (-keringatnya-) pun engkau tidak dapat membalas kebaikan kedua orang tuamu.” Dan Ibnu Abbas -radhiallahu anhu- berkata tentang firman ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa أَ َنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْك ,”Maka,
barangsiapa yang bersyukur kepada ALLAH akan tetapi dia tidak bersyukur
pada kedua orangtuanya, ALLAH tidak akan menerima rasa syukurnya.”
Maka hendaknya para orangtua pun
mengambil pelajaran bagaimana mendidik anak-anak mereka agar kelak
menjadi anak yang bersyukur. (Baca pembahasan serupa pada tulisan saya
berjudul: “Lihatlah Bagaimana Orangtuanya Diperlakukan!”)
Dan masih banyak lagi bentuk kedurhakaan
anak kepada orangtuanya, seperti :mendiamkan mereka, malu mengakui
mereka sebagai orang tua, tidak mendo’akan mereka, mendahulukan orang
lain di atas mereka, dan sebagainya. Padahal ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa telah memerintahkan anak memperlakukan kedua orangtuanya dengan sebaik-baiknya : وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا (…pergaulilah keduanya secara ma’ruf).
Maka hendaknya kita bertobat kepada ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa,
memohon ma’af kepada kedua orangtua, serta memperbaiki mu’amalah kita
kepada mereka, seandainya kita telah melakukan perbuatan durhaka kepada
mereka. Kemudian kita didik anak kita menjadi anak yang berbakti kepada
orangtuanya (kita) seraya menutup jalan-jalan yang dapat mengantarkan
mereka kepada kedurhakaan.
url: http://rumahbelajaribnuabbas.wordpress.com/jendela-orang-tua/wasiat-luqman-kepada-anaknya-ke-dua/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar