Wanita Sebelum Datangnya Islam
Pada zaman sebelum datangnya Islam, kaum
wanita sangat tertindas. Hal ini tidak hanya terjadi di Jazirah Arab,
banyak negeri memberlakukan peraturan yang merendahkan harkat wanita.
Aristoteles, ahli filsafat terkemuka dunia memiliki pendapat yang agak ‘nyeleneh’
mengenai wanita. Dia menyatakan bahwa wanita adalah “laki-laki yang
belum lengkap”. Wanita digambarkan sebagai bagian yang lebih rendah
daripada laki-laki. Sehingga, muncullah kesenjangan antara laki-laki dan
wanita.
Di Yunani kuno, wanita layaknya barang
yang bisa diperjualbelikan dengan mudah. Wanita di sana tidak memiliki
hak untuk mewarisi. Perempuan direndahkan di masyarakat itu.
Sampai-sampai, mereka menganggap perempuan sebagai najis. Wanita di sana
diperbudak dan diperjualbelikan tanpa memiliki kehendak sendiri.
Bahkan, dalam urusan pernikahan, mereka tidak memiliki hak pilih. Tidak
hanya itu, wanita dibunuh dan dianiaya merupakan hal yang biasa di sana.
India memiliki pandangan lain tentang
wanita. Mereka tidak memberikan hak hidup kepada wanita setelah kematian
suaminya. Seorang wanita akan dibakar hidup-hidup apabila suaminya
meninggal dunia. Istri yang dibakar hidup-hidup bersama suaminya yang
sudah meninggal dianggap sebagai perempuan yang setia.
Wanita di negeri Arab sebelum datangnya
Islam pun tak kalah memilukan. Wanita pada waktu itu tidak mendapatkan
warisan sedikit pun. Bahkan, mereka justru dianggap sebagai barang
warisan yang akan diwarisi oleh anak tertua dari suaminya. Lebih
ngerinya lagi, orang-orang Arab Jahiliah menganggap bahwa memiliki anak
perempuan adalah aib yang besar sehingga sebagian mereka pun menutupinya
dengan mengubur hidup-hidup anak mereka jika ternyata istrinya
melahirkan anak perempuan. Allah ta’ala berfirman mengenai hal ini:
“Dan jika mereka diberi kabar
gembira dengan anak perempuan, wajahnya menghitam dan menahan marah. Dia
menutup diri dari kaumnya karena jeleknya apa yang dikabarkan
kepadanya. (Dia ragu) apakah membiarkannya hidup tetapi dia dalam
kehinaan ataukah dia masukkan ke dalam tanah (mengubur hidup-hidup).” [Q.S. An-Nahl:58-59].
Nah, inilah sedikit gambaran keadaan
wanita di beberapa tempat di belahan bumi. Mereka direndahkan, dianiaya,
dizalimi, dan didiskriminasi.
Saat Islam Datang
Islam pun datang membawa cahaya
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Islam membawa persamaan
derajat antara laki-laki dan perempuan secara proporsional. Di antara
bentuk-bentuk kesetaraan antara laki-laki dan perempuan di dalam Islam
itu adalah:
- Kesamaan dalam derajat asal antara laki-laki dan perempuan
Allah ta’ala berfirman mengenai derajat manusia secara umum:
“Wahai manusia, Kami ciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan, serta Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian.” [Q.S. Al-Hujurat:13].
Allah menjadikan ukuran kemuliaan
manusia bukanlah diukur dari jenis kelamin, laki-laki atau perempuan.
Tapi, Allah menjadikan ukuran kemuliaan adalah dari ketakwaan yang ada
di dalam hati kita dan tercermin dalam amalan kita.
- Kesamaan dalam hak hidup
Islam memberikan wanita hak untuk hidup.
Tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk mengubur anak-anaknya
baik laki-laki ataupun perempuan. Allah berfirman dalam rangka
mengingkari perbuatan penguburan wanita hidup-hidup yang artinya, “Dan ketika wanita yang dikubur hidup-hidup bertanya.(*) Dengan sebab apa dia dibunuh.” [Q.S. At-Takwir:8-9].
- Kesamaan hak milik dan membelanjakan hartanya
Agama Islam mengakui hak milik bagi
wanita dan bolehnya mereka bertransaksi. Allah menegaskan wanita berhak
menerima warisan. Hal ini menunjukkan bahwa mereka memilik hak milik
yang diakui. Allah berfirman yang artinya, “Allah mewasiatkan kalian dalam hal anak-anak kalian. Laki-laki mendapatkan seperti dua bagian perempuan.” [Q.S. An-Nisa`:11].
Wanita dalam Islam memiliki hak untuk berjual beli, bersedekah,
memberi, dan lainnya. Mereka memiliki hak kepemilikan secara utuh.
- Kesamaan dalam mendapatkan ilmu
Imam Al-Bukhari v meriwayatkan dari
sahabat Abu Sa’id Al-Khudri z, bahwasanya para sahabat wanita
mengeluhkan kepada Nabi ` mereka tidak mendapatkan bagian yang cukup
untuk mempelajari agama, maka Rasulullah ` pun menjadwalkan waktu khusus
untuk mengajari mereka.
- Wanita memiliki hak untuk memutuskan tali perkawinan
Dalam agama Islam, wanita memiliki hak memutuskan tali perkawinan yang disebut dengan khulu’.
Imam Al-Bukhari v meriwayatkan dari sahabat Ibnu Abbas c bahwasanya
istri Tsabit bin Qais mengeluh kepada Rasulullah `, “Wahai Rasulullah,
aku tidak mencela Tsabit pada agama atau akhlaknya, tapi aku tidak kuat
bersamanya.” Rasulullah ` pun menjawab, “Apakah engkau mau mengembalikan
kebunnya (yang dahulunya sebagai mahar)?” Dia pun mengatakan, “Ya.”
Kejadian ini adalah awal dari disyariatkannya khulu’ di dalam Islam.
- Wanita berhak untuk menentukan dengan siapa dia menikah
Rasulullah ` bersabda:
لاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ ، وَلاَ الثَّيِّبُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ
“Tidak boleh dinikahi seorang gadis hingga dimintai izin, dan seorang janda hingga dimintai pendapat.”
Para sahabat bertanya, “Bagaimana izinnya seorang gadis?” Beliau ` pun
menjawab, “Izinnya adalah diam (karena biasanya gadis malu untuk
menjawab secara tegas).” [H.R. Al-Bukhari dan Muslim].
- Kesamaan dalam pahala beramal
Imam At-Tirmidzi v meriwayatkan
bahwasanya Ummu ‘Amirah Al-Anshariyah x mengatakan kepada Rasulullah,
“Wahai Rasulullah, kenapa para laki-laki yang disebutkan di dalam
Al-Quran, sedangkan para perempuan tidak disebutkan?” Allah pun
menurunkan ayat-Nya (yang artinya), “Sesungguhnya muslimin laki-laki
dan perempuan, mukminin laki-laki dan perempuan, orang yang senantiasa
taat dari kalangan laki-laki dan perempuan, orang yang jujur dari
kalangan laki-laki dan perempuan, orang yang sabar dari kalangan
laki-laki dan perempuan, orang yang khusyu’ dari kalangan laki-laki dan
perempuan, orang yang bersedekah dari kalangan laki-laki dan perempuan,
orang yang puasa laki-laki dan perempuan, orang yang menjaga kemaluannya
dari kalangan laki-laki dan perempuan, dan orang yang banyak berdzikir
kepada Allah dari kalangan laki-laki dan perempuan Allah menyediakan
bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.” [Q.S. Al-Ahzab:35]. [H.R. At-Tirmidzi, sanadnya dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani v].
Emansipasi, Apakah Solusi?
Kini, muncullah sebuah konsep baru dalam
membebaskan kaum wanita. Konsep yang dicetuskan oleh kaum barat ini
dinamakan dengan emansipasi wanita. Sayangnya, pergerakan ini cenderung
kebablasan sehingga justru malah mengabaikan kodrat wanita sebagai
wanita itu sendiri. Ironisnya, bombardir berita di media masa ikut serta
dalam melariskan kerancuan yang diusung oleh pegiatnya. Mereka memberi
andil dalam mengesankan emansipasi sebagai jalan satu-satunya bagi
wanita untuk merdeka.
Gerakan ini menuntut adanya kesamaan
antara laki-laki dan perempuan dalam segala bidang. Faktanya, wanita
memiliki fisik dan mental yang berbeda dengan lelaki yang akan sangat
berpengaruh kepada kinerja masing-masing gender. Masing-masing memiliki bidang kerja tersendiri sesuai dengan kemampuannya.
Selain itu, cukuplah pelajaran bagi
kita, negara yang memberi memberi hak emansipasi wanita justru memiliki
angka kriminalitas lebih tinggi, baik kriminalitas secara umum ataupun
kasus perendahan harkat wanita -seperti pemerkosaan, pelecehan seksual,
dan lain-lain- secara khusus. Degradasi moral pun dijumpai hampir setiap
penjuru negeri. Hal ini menunjukkan bahwa emansipasi dengan paham ini
justru akan menjerumuskan wanita ke dalam jurang bahaya yang lebih
besar.
Maka, dapatlah disimpulkan bahwasanya
sistem yang paling cocok dalam membebaskan wanita adalah sistem agama
Islam. Agama ini memberikan pembebasan yang bertanggung jawab, sesuai
dengan kodrat, fisik, dan mentalnya. Nyatalah dengan ini, betapa
bijaksananya syariat Dzat Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui
maslahat hamba-Nya. Allahu a’lam bish shawab. (abdurrahman)
Sumber: tashfiyah.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar