Ketika iman bersemi dalam hati sesuai tuntunan syariat, niscaya hati ini rindu terbang ke jannah dan takut siksa neraka

Minggu, 17 Juni 2012

KEMBALI KEPADA AGAMA SOLUSI PROBLEMATIKA UMAT


Wahai saudara-saudaraku yang dimuliakan Allah Subhanahu wata’ala, sudah sepatutnya kita banyak bersyukur kepada Allah, atas limpahan rahmat dan lindungan-Nya yang dianugerahkan kepada agama ini. Sehingga sampai hari ini, Allah masih menjaganya dari berbagai makar musuh-musuh Islam, yang ingin memadamkan cahaya agama-Nya.

Namun jangan lupa bahwa tidak ada yang bisa menjamin diri kita selamat dari fitnah dalam menempuh sirathal mustaqim ini, kecuali dengan mempelajari ilmu agama dan mengamalkannya. Fitnah penyimpangan dari jalan yang lurus ini merupakan gejala yang amat berbahaya. Sehingga bisa merusak sendi-sendi kehidupan manusia itu sendiri. Akibatnya manusia jauh dari kebenaran dan menganggap, bahwa jalan kembali kepada Dien ini hanya akan menghambat laju perkembangan modernisasi (baca : tidak sesuai dengan perkembangan zaman). Na’udzubillah. Model opini seperti inilah yang akan mengakibatkan lemahnya kaum muslimin di hadapan musuh-musuh mereka sehingga barisan mereka tercerai-berai.

Telah diriwayatkan dalam hadits shohih bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : “Sebentar lagi akan muncul umat-umat yang berkerumun (memperebutkan) kalian seperti berkerumunnya orang-orang yang makan pada piringnya. Maka seseorang bertanya : “Apakah karena kami sedikit pada waktu itu? Rasulullah menjawab : “Bahkan jumlah kalian banyak, akan tetapi kalian seperti buih ombak di lautan. Dan sungguh-sungguh Allah akan mencabut rasa gentar di hati musuh-musuh kalian, kemudian Allah benar-benar akan melemparkan wahn ke dalam hati-hati kalian,” Maka seseorang berkata : “Wahai Rasulullah, apakah wahn itu?” Rasulullah menjawab : “Cinta dunia dan benci pada kematian.” (Dishohihkan oleh Syeikh Al Albani dalam Ash shahihah 958).

Riwayat ini menceritakan keadaan umat Islam yang memprihatinkan sepeninggal Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam. Bukti kebenaran hadits ini semakin jelas, sejak munculnya fitnah besar. Yaitu sejak terbunuhnya khalifah Utsman bin ‘Affan radliyallahu’anhu, yang menyebabkan terpecahnya kalimat persatuan pada kaum muslimin dan tercerai-berainya barisan mereka. Sehingga kaum muslimin digambarkan bagai buih di lautan, diombang-ambing kesana kemari dan tidak memiliki kewibawaan lagi dihadapan musuh-musuh Islam. Dewasa ini percikan fitnah yang dahsyat itupun telah menimpa hati-hati kaum muslimin.

Dalam hadits di atas, Rasulullah juga memberikan gambaran tentang keadaan umat ini setelah Beliau wafat. Yaitu kabar kelemahan dan keterpurukan umat ini dihadapan musuh-musuh dikarenakan penyakit wahn yang melanda mereka. Penyakit ini jelas tidak dapat diobati Kecuali dengan kembalinya umat  ini kepada pemahaman yang benar terhadap Al Qur’an dan As Sunnah, melalui bimbingan para ulama yang mengikuti jejak salafush sholeh (para pendahulu yang sholih).






Maka upaya untuk mengembalikan ‘izzah (kemuliaan kaum muslimin) adalah dengan mempelajari ilmu agama ini dan mengamalkannya. Sehingga umat ini dapat kembali kepada Dien dan terlepas dari berbagai macam problematika yang melanda.





Al Allamah Al Muhaqqiq Asy Syaikh Abdurrahman bin Yahya Al Mu’allimi Al Yamani mengatakan : “Telah banyak orang yang berilmu tentang Islam menetapkan, bahwa setiap kelemahan dan kehinaan serta berbagai bentuk kemunduran lainnya yang menimpa kaum muslimin ini, hanya dikarenakan jauhnya mereka dari pemahaman Islam yang benar. Saya berpendapat bahwa (seluruhnya itu) kembali kepada tiga perkara :


1.    Tercampurnya perkara yang tidak termasuk Dien dengan perkara Dien.


2.    Lemahnya keyakinan terhadap perkara Dien.


3.    Tidak mau beramal dengan hukum-hukum Dien


Oleh sebab itu, berilmu tentang adab-adab Nabawiyah As-Shahihah di dalam perkara ibadah dan mu’amalah –seperti mukim (bertempat tinggal), safar, bergaul, bersatu, bergerak, diam, bangun, tidur, makan, minum, berbicara, dan perkara-perkara lain yang terdapat pada manusia ketika hidupnya, dan beramal sesuai dengan kemampuan- adalah satu-satunya obat bagi problem itu. Sesungguhnya perkara-perkara adab tersebut adalah perkara yang mudah bagi jiwa. Maka apabila manusia beramal dengan perkara-perkara mudah dari adab-adab tersebut dan meninggalkan perkara yang menyelisihinya, Insya Allah dia  senantiasa mempunyai keinginan untuk menambah amalannya.





 Akhirnya, tidak ada sedetik pun waktunya kecuali akan menjadi tauladan yang baik bagi orang lain dalam perkara itu. Dia mengambil petunjuk yang lurus dan berperilaku dengan akhlak yang agung. Hati akan bercahaya dan dada akan lapang, jiwa akan tenang, keyakinan akan kokoh, dan amal akan menjadi baik. Apabila telah banyak orang yang berjalan di atas jalan ini, maka segala problematika itu, insya Allah akan sirna. (Muqaddimah Fadlullahis Shamad 1/17)





Asy Syaikh Al Albani rahimahullah menjelaskan bahwa jalan satu-satunya untuk terlepas dari keadaan muslimin yang menyedihkan ini adalah dengan kembali kepada Dien yang metodenya adalah dengan At Tashfiyah wat Tarbiyah (pembersihan pemikiran dan pendidikan). Beliau mengatakan : “Agar kita dapat memberikan dalil yang menunjukkan benarnya pendapat yang kita pegangi dalam manhaj (jalan) ini (yaitu) kita kembali kepada kitab Allah Al karim. Didalamnya ada satu ayat yang menunjukkan kesalahan orang-orang yang menyelisihi kita pada perkara yang sudah kita yakini, yaitu bahwa Al Bidayah (langkah pertama untuk kembali kepada Dien) adalah dengan melakukan At Tashfiyah dan At Tarbiyah.” Allah Ta’ala berfirman :


  


 “Jika kamu menolong Allah, maka Allah akan menolong kamu.” (Muhammad : 7).





Inilah ayat yang dimaksudkan. Di sini para mufassirin (Ahli Tafsir) menerangkan bahwa makna Nashrullah (menolong Allah) adalah beramal dengan hukum-hukum Allah Subhanahu wata’ala. Allah Ta’ala berfirman :


 


"(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat". (Al Baqarah : 3) (lihat Tafsir Ibnu Katsir 7/293)





Maka, apabila pertolongan Allah tidak akan turun kecuali dengan menegakkan hukum-hukum-Nya, bagaimana kita dapat masuk ke dalam jihad. Yakni perang di medan tempur yang kita berharap pertolongan Allah turun di sana. Sedangkan kita tidak menolong Allah sesuai dengan yang telah disepakati oleh mufassirin. Bagaimana kita akan berjihad sedang akidah kita bobrok? Bagaimana kita bisa mendapat pertolongan dalam berjihad sedang akhlak kita rusak?





Jadi, sebelum berjihad hendaklah kita berusaha untuk membekali diri dengan ilmu terlebih dahulu. Sehingga dengan demikian kita dapat menegakkan hukum-hukum Allah yang bisa menyebabkan turunnya pertolongan Allah. Sesungguhnya saya mengetahui bahwa manhaj (jalan) kita dalam melakukan Tashfiyah dan Tarbiyah tidak luput dari pertentangan. Ada orang yang mengatakan : “Sesungguhnya perkara Tashfiyah dan Tarbiyah membutuhkan masa panjang !” Akan tetapi saya (Syaikh) katakan, bukan itu yang penting dalam perkara ini. Yang penting bahwa kita memulai dengan mengenal dien kita dan setelah itu, tidak menjadi soal apakah jalannya akan panjang atau pendek. Sesungguhnya perkataanku ini saya hadapkan kepada para da’i muslimin, para ulama dan para pembimbing. Saya mengajak mereka agar berjalan di atas ilmu yang sempurna tentang Islam yang shahih dari berbagai penyimpangan. Agar mereka dapat memerangi berbagai macam kelalaian dan kelengahan serta berbagai perselisihan dan pertentangan. Allah Ta’ala berfirman :


  


“Dan janganlah kamu berselisih yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu.” (Al Anfal : 46)





Apabila kita telah menghilangkan perselisihan dan kelalaian ini, dan kita telah menempati Shahwah Islamiyah (Kemajuan Islam) yang bersatu dan bersepakat, berarti kita mulai mengarah untuk merealisasikan kekuatan materi. (Allah berfirman) :





“Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah.” (Al Anfal : 60)


Merealisasikan kekuatan materi adalah suatu perkara yang harus dilaksanakan misalnya dengan membangun perekonomian yang baik dan lainnya. Tetapi sebelum itu semua, haruslah kembali kepada Dien yang benar, suluk (akhlak) dan seluruh perkara yang berkaitan dengan syari’at dengan meneladani Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam. Oleh karena itu, saya ulangi kembali perkataanku : “Tidak ada jalan untuk terlepas dari kenyataan yang menyedihkan yang menimpa umat ini melainkan (kembali) kepada Al Kitab dan As Sunnah, dan melakukan At Tashfiyah wa Tarbiyah dalam rangka kembali kepada keduanya. Untuk itu kita dituntut untuk mengetahui ilmu hadits yang dapat membedakan antara yang shohih dan yang dhoif, agar kita tidak membangun hukum-hukum yang salah, sebagaimana yang telah terjadi di kalangan muslimin akibat banyaknya mereka berpegang kepada hadits dhaif (lemah)....(Hayatul Al Albani wa Aatsaruhu 1/389-391 karya Ibrahim As Syaibani).





Beliau (Asy Syaikh Al Albani) rahimahullah menyatakan lagi : “……Dan saya memandang bahwa problematika (keterpurukan dan kelemahan kaum muslimin di segala bidang) semacam ini, telah disebutkan dan digambarkan oleh Rasulullah dalam sebagian hadits-hadits shohih darinya. Dan beliau shallallahu’alaihi wasallam menjelaskan jalan keluar sekaligus obat penawar (terhadap segala problem yang dihadapi umat Islam tersebut). Diantara hadits-hadits itu adalah sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam yang berbunyi :





إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِيْنَةِ, وَ أَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ, وَ رَضِيْتُمْ بِالزَّرْعِ, وَ تَرَكْتُمُ الْجِهَادَ, سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ  لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُ إِلَى دِيْنِكُمْ


“Apabila kalian telah melakukan jual beli dengan sistim ‘iinah. Dan kalian telah mengambil ekor-ekor sapi. Juga kalian ridha dengan sawah ladang kalian serta kalian meninggalkan jihad. Maka Allah akan menimpakan kehinaan kepada kalian. Dan tidak akan dicabut kehinaan tersebut hingga kalian kembali kepada agama kalian.”   (Ash Shahihah 11)





Kami mendapati dalam hadits ini adanya penyebutan penyakit yang melanda kaum muslimin. Maka Rasulullah menyebutkan dua macam penyakit tersebut sebagai contoh -bukan suatu pembatasan- (sebagai berikut) :


1.     Sebagian besar umat islam terperosok dalam perkara-perkara yang diharamkan dengan melakukan tipu daya (muslihat) sedangkan mereka mengetahuinya. Hal ini terkandung dalam sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam : (Apabila kalian telah melakukan jual beli dengan sistim ‘iinah). Maka (defenisi) ‘iinah –sebagaimana yang dikenal di dalam kitab-kitab fiqih- adalah : satu sistim jual beli yang diisyaratkan oleh hadits ini tentang keharamannya. Walaupun sebagian ulama- terlebih lagi selain mereka- membolehkan sistim jual beli ini. Gambarannya seperti ; Seorang membeli sebuah barang dari penjual, misalkan sebuah mobil; dia membelinya dengan harga yang dibayar secara angsuran dan dengan tempo yang ditentukan. Kemudian pembeli ini kembali menjual mobil tersebut kepada penjual pertama tadi dengan harga yang lebih kecil dari harga yang dia beli sebelumnya. Namun dia menjualnya dengan harga kontan. Kemudian penjual pertama tadi –yang bertukar menjadi pembeli sekarang- membayar harga tersebut kontan dengan nilai nominal yang lebih kecil dari transaksi pembelian yang pertama secara angsuran dan hutang. Misalkan ; mobil ini dibeli dengan harga 10 ribu lira secara berkala (pembayarannya). Lalu pembeli menjualnya kembali dengan harga 8 ribu secara tunai kepada penjual yang pertama tadi. Maka (penjual pertama tersebut) memiliki hutang sebesar 2 ribu. (pembeli tadi mendapat dua keuntungan, pertama mobil miliknya kembali seperti semula dan mendapatkan tambahan sebesar 2 ribu, pent)





Maka tambahan ini (kata syaikh) adalah riba. Dan wajib atas setiap muslim –yang mendengar ayat-ayat Allah Azza wa Jalla dan hadits-hadits Nabi shallallahu’alaihi wasallam yang menerangkan tentang haramnya riba- agar jangan menganggap halal jenis jual beli seperti ini selama di sana masih ada bentuk tambahan yang harus dibayar. Karena tambahan ini adalah riba yang nampak jelas. Akan tetapi sebagian manusia memandang kebolehan perkara tersebut. Karena (menurut mereka) perkara tersebut diletakkan dalam bab jual beli. Dan mereka berdalilkan dengan keumuman (nash-nash) yang menunjukkan bolehnya jual beli seperti itu. Seperti ayat yang telah dikenal :





 “Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Al Baqarah : 275), mereka mengatakan : “ini kan (namanya) jual beli, maka tidak apa-apa adanya penambahan atau pengurangan!”





Kemudian beliau melanjutkan : “Dan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam adalah sebagai pemberi keterangan bagi manusia, sebagaimana firman Rabb kita Tabaraka wata’ala : 





“Dan kami telah menurunkan pemberi peringatan, agar menjelaskan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.” (An Nahl : 44)





Demikian pula Rasulullah digambarkan oleh Rabb kita Tabaraka wata’ala dengan firman-Nya :





 “…..dengan kaum mukminin dia adalah penyantun dan penyayang. “ (At Taubah : 128). Maka diantara kelembutan dan kasih sayang beliau shallallahu’alaihi wasallam kepada kita, beliau memperingatkan tentang tipu daya syetan terhadap anak adam. Dan memperingatkan kita agar jangan terperosok ke dalam jeratan-jeratannya, sebagaimana yang disebutkan dalam banyak hadits.





Kemudian lanjut beliau : “Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam menasehati kita di dalam hadits tersebut agar tidak terjerumus di dalam tipu muslihat ini, yaitu menghalalkan apa yang diharamkan Allah. Maka yang demikian itu lebih berbahaya daripada seorang muslim yang terjatuh dalam keharaman dalam keadaan dia mengetahui keharamannya. Dan masih diharapkan suatu hari dirinya akan kembali bertaubat kepada Rabbnya. Karena dia berada di atas pengetahuan bahwa apa yang dia lakukan itu adalah haram.”





2.     Sabda Rasulullah : (Dan kalian mengambil ekor-ekor sapi dan ridha kepada sawah ladang kalian),  maksudnya ; Kalian sibuk mencari harta dunia dan mencari rezeki dengan alasan bahwa Allah Azza wa Jalla memerintahkan untuk mengais rezeki. Maka kaum muslimin berlebihan-lebihan dalam hal itu dan melalaikan diri mereka dari apa yang Allah perintahkan kepada mereka berupa kewajiban-kewajiban. Dan mereka melupakan diri mereka dengan menggarap sawah dan ladang mereka dan yang semisalnya dari berbagai jenis mata pencaharian. Mereka lupa diri atas apa-apa yang Allah wajibkan. Dan Beliau shallallahu’alaihi wasallam memberikan contoh (kewajiban tersebut) yang dilalaikan adalah seperti jihad fi sabilillah. (Dan masih banyak lagi kewajiban-kewajiban yang dilalaikan oleh sebagian besar kaum muslimin disebabkan terlalu berlebihan dalam mencari penghidupan di dunia ini, pent).


     


Lalu beliau (Syaikh) katakan : “(Bahwa) hadits di atas merupakan tanda-tanda kenabian sebagaimana yang kalian lihat. Dan sungguh kehinaan tersebut telah menimpa kita, seperti yang dapat disaksikan. Maka (sudah saatnya) wajib bagi kita untuk mengambil obat penawar dari hadits ini setelah digambarkan tentang penyakit yang menimpa (umat) dan dan apa saja yang ditimbulkan dari penyakit ini berupa kehinaan. Dan sungguh kita telah digerogoti oleh penyakit-penyakit tersebut sehingga menghantarkan kita kepada kondisi yang lemah. Oleh karena itu wajib bagi kita untuk merealisasikan resep obat penyembuh yang telah diwasiatkan oleh Rasulullah, dimana Beliau shallallahu’alaihi wasallam menjelaskan bahwa apabila kita kembali kepada agama Allah, maka Allah Azza wa Jalla akan mengangkat kehinaan tersebut dari kita.” (At Tashfiyah wat Tarbiyah karya Asy Syakh Muhammad Nashiruddin Al Albani hal 6-11, cet Maktabah Islamiyah)         





Dengan adanya beberapa keterangan di atas, maka kita mengetahui dengan yakin bahwa cara yang benar untuk keluar dari berbagai macam cobaan dan problem yang menimpa kaum muslimin adalah kembali kepada Dien dengan mengikuti Dakwah Salafush Sholih yang mengajak kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah di atas pemahaman shahabat ridlwanullahu ‘alaihim ajma’in.





Akhirnya, kita memohon kepada Allah agar mengokohkan pijakan kaki kita di atas agama ini dan menganugerahkan kepada kita keistiqomahan dalam menjalani agama ini, serta semoga Allah menganugerahkan kembali ‘izzah kaum muslimin di hadapan musuh-musuh-Nya. Wallahul Muwafiq ilaa sawaais sabil


Penulis: Al Ustadz Abu Abdirrahman Abdul Aziz As Salafy

Tidak ada komentar:

Posting Komentar