Ketika iman bersemi dalam hati sesuai tuntunan syariat, niscaya hati ini rindu terbang ke jannah dan takut siksa neraka

Kamis, 14 Juli 2011

Adzan dan Iqomat (bagian dua)

(ditulis oleh: Al-Ustadz AbuIshaq Muslim Al-Atsari)


Lafadz-lafadz Adzan dan Iqamat

Al-Imam Muhammad bin YahyaAdz-Dzuhli t berkata: “Riwayat yang paling shahih (tentang lafadz-lafadz adzanyang dimimpikan oleh Abdullah bin Zaid z, pen.) adalah riwayat Muhammad binIshaq, yang mendengarkan dari Muhammad bin Ibrahim ibnul Harits At-Taimi, dariMuhammad bin Abdullah bin Zaid bin Abdi Rabbihi, yang mendengarkan dariayahnya, Abdullah bin Zaid, karena Muhammad telah mendengarkan langsung daribapaknya yakni Abdullah.”

Riwayat ini dikeluarkan oleh Al-ImamAhmad t (3/43), Ashabus Sunan kecuali An-Nasa’i t, dan selainnya. At-Tirmidzi tmenukilkan penshahihan Al-Imam Al-Bukhari t terhadap riwayat ini di dalamAl-Ilal. Dishahihkan pula oleh Ibnu Khuzaimah t, beliau menyatakan hadits inishahih dan pasti dari sisi penukilan, para perawinya bukan orang-orang yangmelakukan tadlis (penyebutan secara samar) dalam periwayatannya. (Ats-Tsamar,1/115)

Dalam hadits tersebut, Abdullah binZaid z berkata: Ketika Rasulullah n memerintahkan untuk menggunakan loncengsebagai tanda bagi orang-orang untuk berkumpul guna mengerjakan shalatberjamaah, ada seseorang mengelilingiku dengan membawa lonceng di tangannyadalam keadaan aku tidur saat itu. Aku berkata, “Wahai hamba Allah, apakahengkau menjual lonceng?”

“Apa yang hendak kau perbuat denganlonceng?” tanyanya.

“Kami ingin memanggil orang-orangberkumpul untuk shalat dengan membunyikan lonceng,” jawabku.

“Maukah aku tunjukkan kepadamu apayang lebih baik daripada itu?” tanyanya.

Aku katakan, “Tentu aku mau.”

Orang itu berkata, ”Engkaumengatakan:

اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، اللهُأَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ

أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُاللهِ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ

حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ، حَيَّ عَلَىالصَّلاَةِ

حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ، حَيَّ عَلَىالْفَلاَحِ

اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ

Allah Maha Besar, Allah Maha Besar.Allah Maha Besar, Allah Maha Besar

Aku bersaksi bahwa tidak adasesembahan yang benar kecuali Allah. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahanyang benar kecuali Allah.

Aku bersaksi bahwa Muhammad adalahutusan Allah. Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.

Marilah mengerjakan shalat. Marilahmengerjakan shalat.

Marilah (menuju) kepada kemenangan.Marilah (menuju) kepada kemenangan.

Allah Maha Besar, Allah Maha Besar.Tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah.1

Kemudian ia mundur dariku ke tempatyang tidak seberapa jauh, setelahnya ia berkata, ”Jika engkau iqamat untukshalat, engkau katakan:

اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ

حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ، حَيَّ عَلَىالْفَلاَحِ

قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ، قَدْقَامَتِ الصَّلاَةُ

اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ

Di pagi harinya, aku menemuiRasulullah n untuk mengabarkan mimpiku. Beliau bersabda:

إِنَّهَا لَرُؤْيَا حَقٌّ إِنْ شَاءَاللهُ، فَقُمْ مَعَ بِلاَلٍ فَأَلْقِ عَلَيْهِ مَا رَأَيْتَ فَلْيُؤَذِّنْ بِهِ،فَإِنَّهُ أَنْدَى صَوْتًا مِنْكَ

“Mimpimu itu adalah mimpi yangbenar, insya Allah. Bangkitlah engkau bersama Bilal, sampaikanlah kepadanya apayang kau dapatkan dalam mimpimu agar dia mengumandangkan adzan tersebut, karenadia lebih lantang suaranya darimu.”

Aku bangkit bersama Bilal. Mulailahkusampaikan padanya adzan yang kudengar, lalu ia mengumandangkannya. Umar ibnulKhaththab z mendengar adzan tersebut dari rumahnya. Ia pun keluar denganmenyeret rida’ (selendang)nya, seraya berkata, “Demi Dzat yang mengutusmudengan haq, wahai Rasulullah! Sungguh aku telah bermimpi persis seperti apayang dimimpikan Abdullah bin Zaid.”

“Hanya milik Allah-lah segalapujian,” jawab beliau3.

Dari hadits di atas, kita ketahuibahwa lafadz adzan itu digandakan4 sedangkan iqamat diganjilkan, kecualilafadz:

قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ، قَدْقَامَتِ الصَّلاَةُ.

Yang lebih menguatkan hal ini adalahhadits Anas bin Malik z, ia berkata:

أُمِرَ بِلاَلٌ أَنْ يَشْفَعَالْأَذَانَ وَأَنْ يُوْتِرَ الْإِقَامَةَ إِلاَّ الْإِقاَمَةَ

“Bilal diperintah untuk menggandakanlafadz adzan dan mengganjilkan iqamat kecuali lafadz iqamat5.” (HR. Al-Bukharino. 605 dan Muslim no. 836)


Disyariatkannya Tarji’ dalam AdzanAbu Mahdzurah

Rasulullah n juga pernah mengajarkanlafadz yang sedikit berbeda yang dikenal di kalangan ahli fiqih dengan sebutanadzan Abu Mahdzurah z. Lafadznya sebagai berikut:

اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ

أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُاللهِ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ

أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُاللهِ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ

حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ، حَيَّ عَلَىالصَّلاَةِ

حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ، حَيَّ عَلَىالْفَلاَحِ

اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ

Hadits ini diriwayatkan oleh Al-ImamMuslim t dalam kitab Shahihnya no. 840.

Di awal lafadz adzan ini, kita lihatucapan takbir hanya dua kali, tidak empat kali sebagaimana hadits Abdullah binZaid z yang telah lewat. Namun yang rajih (kuat) dalam hal ini adalah lafadztakbir diucapkan empat kali:

اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، اللهُأَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ

dengan beberapa alasan yangmenguatkan:

1. Hadits ini diriwayatkan pula olehselain Al-Imam Muslim t dengan empat kali takbir di awalnya. Yang paling jelasadalah riwayat An-Nasa’i t dalam Sunannya (no. 631) dari jalur syaikhnya, Ishaqbin Ibrahim, semisal riwayat Muslim. Dan Ishaq bin Ibrahim ini merupakan salahsatu syaikh Al-Imam Muslim dalam hadits ini juga6.

2. Abu Dawud t7 dan selainnya meriwayatkanhadits ini dari jalur Hammam dari Amir Al-Ahwal, dari Makhul, dari AbuMahdzurah z yang menyebutkan lafadz adzan yang diajarkan Rasulullah n kepadanyaada 19 kalimat8, sedangkan iqamat ada 17 kalimat. Lafadz adzan sebagaimanaberikut ini:

اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، اللهُأَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ

أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُاللهِ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ

أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُاللهِ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ

حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ، حَيَّ عَلَىالصَّلاَةِ

حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ، حَيَّ عَلَىالْفَلاَحِ

اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ

Adapun lafadz iqamat:

اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ،اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّاللهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ الله

أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُاللهِ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ

حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ، حَيَّ عَلَىالصَّلاَةِ

حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ، حَيَّ عَلَىالْفَلاَحِ

قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ، قَدْقَامَتِ الصَّلاَةُ

اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ، لاَإِلهَ إِلاَّ اللهُ.

3. Al-Qadhi Iyadh t berkata ketikamensyarah hadits di atas, “Dalam sebagian jalur-jalur riwayat Al-Farisi,disebutkan adzan itu dengan empat kali takbir (di awal).” (Al-Ikmal, 2/244)

Dengan tiga perkara di atas menjadijelaslah bahwa riwayat yang menyebutkan dua kali takbir di awal adzan teranggapmarjuh (lemah), sehingga yang rajih dari hadits Abu Mahdzurah z adalah empatkali takbir di awal. Ibnul Qaththan t berkata, “Yang shahih dalam hal iniadalah takbir diucapkan sebanyak empat kali. Dengan demikian sesuai biladikatakan adzan itu sembilan belas kalimat, di mana hal ini telah diikat denganhadits itu sendiri.” Beliau juga menyatakan, telah datang dalam sebagianriwayat Al-Imam Muslim t dengan penyebutan takbir empat kali. Sehingga inilahyang sepantasnya dalam Ash-Shahih.

Al-Hafizh Ibnu Hajar t berkata menguatkanperkara ini, “Sungguh Abu Nu’aim telah meriwayatkan dalam Al-Mustakhraj,demikian pula Al-Baihaqi, dari jalan Ishaq bin Ibrahim, dari Mu’adz bin Hisyamdengan sanadnya. Disebutkan dalam hadits tersebut pernyataan empat kali takbir.Al-Baihaqi menyatakan setelah membawakan hadits tersebut, “Hadits inidikeluarkan oleh Muslim dari jalan Ishaq. Demikian juga oleh Abu ‘Awanah dalamMustakhrajnya dari jalan Ali ibnul Madini, dari Mu’adz.” (At-Talkhis, 1/323).

Akan tetapi, adzan dengan dua kalitakbir tersebut telah didukung beberapa syawahid (pendukung) yang menunjukkanada asalnya dalam As-Sunnah9. Wallahu a’lam.

Dari hadits Abu Mahdzurah di ataskita dapat mengambil tiga faedah:

1. Tarji’ disyariatkan dalam adzan,yaitu muadzin mengucapkan syahadatain untuk pertama kali dengan suara rendahyang hanya didengar oleh orang-orang di sekitarnya. Setelah itu ia mengulangilagi syahadatain tersebut dengan suara yang keras/lantang. Tarji’ ini hanyadalam adzan, tidak ada dalam iqamat. Pensyariatan tarji’ ini merupakan mazhabMalik, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan jumhur ulama. (Al-Minhaj, 4/303. Subulus Salam2/48,49)

2. Selain mengganjilkan lafadziqamat, dibolehkan pula mentatsniyahnya, yaitu mengucapkan lafadz-lafadznyasebanyak dua kali. Ini merupakan keragaman iqamat shalat, sehingga kedua-duanyabisa diamalkan karena keduanya merupakan Sunnah Nabi n, di mana beliau yangmentaqrir (menetapkan kebenaran) mimpi Abdullah bin Zaid z yang di dalamnyaterdapat lafadz iqamat secara ganjil kecuali قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ, قَدْقَامَتِ الصَّلاَةُ . Beliau n pula yang mengajarkan lafadz adzan berikut iqamatkepada Abu Mahdzurah z serta memerintahkannya untuk mengumandangkan adzan diMakkah.

3. Beragamnya lafadz adzan. Ada yang19 kalimat sebagaimana hadits Abu Mahdzurah dengan tarji’ dan empat takbir yangawal yang diriwayatkan oleh Al-Jama’ah. Ada yang 17 kalimat sebagaimana haditsAbu Mahdzurah dengan tarji’ dan dua takbir di awalnya dalam riwayat Al-ImamMuslim. Ada yang 15 kalimat sebagaimana hadits Abdullah bin Zaid ibnu ‘AbdiRabbihi. Ini menunjukkan adanya tanawwu’at (berbagai macam lafadz) dalam adzan,sehingga boleh diamalkan salah satu di antaranya. Al-Imam Ahmad dan Ishaqmemandang bolehnya tarji’ dan tidak. Kedua hal itu merupakan sunnah.(Al-Majmu’, 3/102)

Wajib Urutan dalam Melafadzkan Adzan

Ibnu Qudamah t berkata, “Tidak sahadzan kecuali dengan berurutan. Karena bila tidak berurutan lafadznya niscayatujuan yang hendak dicapai dengan adzan tidak akan diperoleh, yaitu sebagaipemberitahuan. Juga, bila tidak berurutan niscaya tidak akan diketahui bahwaitu adalah adzan. Di samping pula adzan memang disyariatkan dengan berurutan,dan Nabi n mengajari Abu Mahdzurah secara berurutan.” (Al-Mughni, kitabushShalah, fashl La Yashihhul Adzan illa Murattaban)

Ibnu Hazm t berkata, “Tidak bolehterbalik dalam melafadzkan adzan ataupun iqamat. Tidak boleh mengedepankankalimat yang semestinya diakhirkan. Siapa yang melakukan hal ini berarti iatidak melakukan adzan dan iqamat, berarti pula ia shalat tanpa adzan dan tanpaiqamat.”

Ibnu Hazm t juga menyebutkan bahwaRasulullah n mengajarkan adzan dan iqamat secara berurutan, kalimat yangpertama kemudian yang berikutnya. Beliau n memerintahkan kepada orang yangbeliau ajarkan untuk mengucapkan seperti apa yang beliau sampaikan. Setelahmengucapkan lafadz yang awal, baru yang berikutnya, demikian sampai keduanyaselesai. Bila demikian keadaannya, maka tidak halal bagi seorang punmenyelisihi perkara Nabi n dalam mengedepankan apa yang beliau akhirkan danmengakhirkan apa yang beliau kedepankan.” (Al-Muhalla, 2/194,195) Wallahuta’ala a’lam bish-shawab.

(insya Allah, bersambung)

1 Ini merupakan adzan orang-orangKufah, dan merupakan pendapat Abu Hanifah, Sufyan Ats-Tsauri, dan Ahmad dalamsatu riwayat sebagaimana hikayat Al-Khiraqi. (Al-Majmu’ 3/102)

2 Artinya: Telah tegak shalat, telahtegak shalat.

3 Hadits ini hasan sebagaimana dalamAl-Irwa’ no. 246.

4 Kecuali takbir yang awal sejumlahempat kali dan tahlil di akhir adzan hanya sekali.

5 Yaitu lafadz: قَدْ قَامَتِالصَّلاَةُ، قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ

6 Syaikhnya yang lain adalah AbuGhassan Al-Misma’i Malik bin Abdil Wahid.

7 Dalam Sunannya no. 502

8 Adzan ini merupakan adzan pendudukMakkah. Al-Imam Asy-Syafi’i t berpendapat demikian sebagaimana kata At-Tirmidzit dalam Sunannya (1/124). Pendapat ini yang dipilih Ibnu Hazm t (Al-Muhalla2/185).

9 Penduduk Madinah menggunakan adzandengan dua kali takbir di awal, yang merupakan pendapat Al-Imam Malik t dalamAl-Mudawwanah (1/57), berdalilkan hadits Abu Mahdzurah z yang menyebutkan duakali takbir di awal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar