Pendebat
menetapkan adanya bid’ah hasanah dengan dalil, ucapan ‘Umar bin Khatthab radhiyallahu’anhu
نِعْمَ
الْبِدْعَة هَذِهِ
“Sebaik-baik
bid’ah adalah ini (tarawih berjamaah).” (HR. Bukhari)
Dalil
ini tidak bisa digunakan sebagai penetapan adanya bid’ah hasanah dikarenakan
beberapa alasan:
ALASAN
PERTAMA:
Anggaplah
kita terima dalalah (pendalilan) ucapan beliau seperti yang mereka maukan –
bahwa bid’ah itu ada yang baik, namun sesungguhnya, kita kaum muslimin
mempunyai satu pedoman; kita tidak boleh mempertentangkan sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam; dengan pendapat siapapun juga (selain beliau). Tidak
dibenarkan kita membenturkan sabda beliau dengan ucapan Abu Bakar, meskipun dia
adalah orang terbaik di umat ini sesudah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wa sallam atau dengan perkataan ‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu
ataupun yang lainnya.
Ibnu
‘Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan:
“Hampir-hampir
kalian ditimpa hujan batu dari langit. Aku katakan: Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam; bersabda demikian…demikian, (tapi) kalian mengatakan:
Kata Abu Bakr dan ‘Umar begini…begini….”
‘Umar
bin ‘Abdul ‘Aziz rahimahullah mengatakan:
“Tidak
ada pendapat seorangpun di atas suatu sunnah yang Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam menjalaninya.” (I’lamul Muwaqi’in 2/282)
Al-Imam
Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan:
“Kaum
muslimin telah sepakat bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak halal baginya untuk
meninggalkan sunnah itu karena pendapat (pemikiran) seseorang.” (I’lamul
Muwaqi’in 2/282)
Al-Imam
Ahmad bin Hanbal rahimahullah mengatakan:
“Barangsiapa
yang menolak hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berarti dia
(sedang) berada di tepi jurang kehancuran.” (Thobaqot Al Hanabilah 2/15, Al
Ibanah 1/260)
ALASAN
KEDUA:
Bahwasanya
Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu mengatakan: نِعْمَ الْبِدْعَة
هَذِهِ (sebaik-baik bid’ah adalah ini) ketika beliau mengumpulkan manusia
untuk mengerjakan shoat tarawih, padahal shalat tarawih berjamaah ini bukanlah
suatu bid’ah. Bahkan perbuatan tersebut termasuk sunnah dengan dalil yang
diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, Bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam; pada suatu malam shalat di masjid, kemudian orang-orang
mengikuti beliau. Kemudian keesokan harinya jumlah mereka semakin banyak.
Setelah itu malam berikutnya (ketiga atau keempat) mereka berkumpul (menunggu
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam;). Namun beliau tidak keluar. Pada
pagi harinya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sungguh
aku telah melihat apa yang kalian lakukan. Dan tidak ada yang menghalangiku
untuk keluar (shalat bersama kalian) kecuali kekhawatiran (kalau-kalau) nanti
(shalat ini) diwajibkan atas kalian.”
(HR. Al-Bukhari no. 1129)
Secara
tegas beliau menyatakan di sini alasan mengapa beliau meninggalkan shalat
tarawih berjamaah. Maka tatkala ‘Umar radhiallahu ‘anhu melihat alasan
ini (kekhawatiran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) sudah tidak
ada lagi, beliau menghidupkan kembali shalat tarawih berjamaah ini. Dengan
demikian, jelaslah bahwa tindakan khalifah ‘Umar radhiallahu ‘anhu ini
mempunyai landasan yang kuat yaitu perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam sendiri.
Hadits
Aisyah ini juga menunjukkan dengan jelas bahwa sejak zaman Rasulullah shallallahu’alaihi
wa sallam sholat tarawih berjamaah telah disunnahkan, tidak sebagaimana
yang dikatakan oleh pendebat.
ALASAN
KETIGA:
Jika
sudah jelas bahwa yang dikerjakan Umar radhiyallahu’anhu ini bukan
termasuk Bid’ah, maka apakah makna bid’ah dalam ucapan beliau tersebut?
Sesungguhnya
yang dimaksud bid’ah dalam ucapan Umar radhiyallahu’anhu adalah makna
bid’ah secara bahasa, bukan makna secara syar’i. Adapun bid’ah menurut
bahasa adalah “Apa-apa yang dikerjakan tanpa ada contoh sebelumnya.” (Lisanul
Arab 8/6)
Ketika
sholat tarawih dengan berjamaah ini tidak dikerjakan pada masa Abu Bakar dan
pada awal masa Umar, maka kata “bid’ah” pada ucapan Umar adalah menurut
bahasa. Maksudnya tidak ada contoh yang mendahuluinya.
Sedangkan
menurut syar’I jelas bukan, karena
sholat ini ada asalnya, yaitu dari apa yang telah dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi
wa sallam.
Berkata
Imam Asy Syatibi rahimahullah:
“Barangsiapa
yang menamakan bid’ah dengan ibarat ini, maka tidak ada masalah dalam hal
penamaan. Akan tetapi hal itu tidak dapat dijadikan dalil untuk mendukung
adanya bid’ah yang sedang kita bicarakan (bid’ah hasanah). Karena hal tersebut
merupakan pemindahan kalimat dari tempat yang semestinya.
Berikut
kami kemukakan sebagian pendapat para Imam sebagai bukti terhadap yang telah
kami sebutkan:
Berkata
Ibnu Katsir rahimahullah:
“Bid’ah
itu ada dua macam:
Pertama: adakalanya bid’ah itu secara syar’I sebagaimana sabda
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam:
“Sesungguhnya
setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.”
Kedua: adakalanya bid’ah itu secara lughoh, sebagaimana perkataan
‘Amirul Mukminin Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu tentang pengumpulan
mereka untuk melaksanakan sholat tarawih secara berjamaah dan dilakukan
demikian seterusnya, yakni:
نِعْمَ
الْبِدْعَة هَذِهِ
“Sebaik-baik
bid’ah adalah ini (tarawih berjamaah).” (HR. Bukhari) (Tafsir
Ibnu Katsir: surah Al Baqarah: 117)
Berkata
Ibnu Rajab rahimahullah:
“Adapun
sesuatu yang terjadi dari perkataan salaf tentang adanya sebagian bid’ah
hasanah, yang dimaksud adalah bid’ah secara lughoh bukan menurut syar’I,
seperti perkataan Umar radhiyallahu’anhu:
نِعْمَ
الْبِدْعَة هَذِهِ
“Sebaik-baik
bid’ah adalah ini (tarawih berjamaah).” (HR. Bukhari)
Maksudnya
adalah, perbuatan ini (sholat tarawih berjamaah secara terus menerus –ag) tidak
dilakukan sebelumnya, akan tetapi ada asal atau sumber syar’I yang perbuatan
itu kembali kepadanya.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, hadits 28)
Berkata
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah:
“Kebanyakan
orang, menggunakan perkataan Umar نِعْمَ الْبِدْعَة هَذِهِ
(sebaik-baik bid’ah adalah ini) sebagai dalil untuk mendukung adanya bid’ah
hasanah. Padahal bid’ah disni adalah penamaan/penyebutan secara lughowi
(bahasa), bukan penamaan/penyebutan secara syar’i. Karena, arti bid’ah menurut
bahasa mencakup semua yang dikerjakan tanpa adanya contoh yang mendahuluinya.
Adapun definisi bid’ah menurut syar’I adalah: Setiap apa-apa yang tidak ada
dalil syar’I yang menunjukkan atasnya.” (Iqtidho Shirathal Mustaqim,
hal. 276)
……..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar