Secara
bahasa, dengan mem-fathah-kan huruf jim (dibaca ja); jarh artinya
adalah akibat atau bekas luka pada tubuh disebabkan oleh senjata. Kalau
di-dhammah-kan (dibaca ju) jurh dikatakan sebagai isim dari kata
kerjanya.
Adapula
yang mengatakan jurh berkaitan dengan jasmani yang diakibatkan oleh
senjata, sedangkan jarh adalah akibat perkataan, yang menimbulkan bekas
secara maknawi atau mengenai sisi kehormatan seseorang.
Secara
istilah, jarh adalah sifat atau keadaan seorang rawi yang menyebabkan
ditolak atau dilemahkan periwayatannya terhadap suatu hadits.
Adapun
ta’dil secara bahasa sama artinya dengan taswiyah, yaitu mengukur atau
menimbang sesuatu dengan yang lainnya. Secara istilah mempunyai
pengertian yang sebaliknya dari jarh.
Asy-Syaikh
‘Abdurrahman Al-Mu’allimi Al-Yamani rahimahullah mengatakan bahwa ilmu
al-jarh wat ta'dil ialah ilmu yang mempelajari tentang al-jarh dan
at-ta’dil terhadap seorang rawi melalui lafadz-lafadz penilaian yang
tertentu, sekaligus untuk mengetahui tingkatan lafadz-lafadz tersebut.
(1)
Kritikan
yang dilakukan para pakar ilmu hadits terhadap suatu hadits berkaitan
dengan dua hal penting, yaitu berkaitan dengan para rawi (yang
menyampaikan) hadits dan matan (redaksi) hadits tersebut. Sehingga dari
sini, jika kriteria rawi tidak sesuai dengan yang diharapkan maka
riwayatnya ditolak. Begitu pula jika redaksi hadits itu sendiri
menimbulkan sesuatu yang diragukan untuk diterima, inipun ditolak (2).
Mereka mengatakan: “Shahihnya isnad (mata rantai periwayatan suatu
hadits) belum tentu shahih matannya (redaksinya).” (Manhajun Naqdi
‘indal Muhadditsin hal 20-21).
Diantara landasan syariat yang dipertimbangkan dalam pelaksanaan al-jarh wat ta’dil ini adalah:
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
يآ
أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِنْ جآءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ
فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيْبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلَى
مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِيْنَ
“Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa
suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan
suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang
menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Al-Hujurat: 6)
Ayat
ini adalah dalil yang tegas tentang wajibnya tabayyun, tatsabbut
(meneliti kebenaran berita) dari seseorang yang fasik. Dan mafhum3 dari
ayat ini, semua berita dari orang yang tsiqah (terpercaya) diterima.
Kemudian
sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang dijadikan dasar (hukum)
tentang perlunya penilaian dhabith (kekuatan hafalan):
نَضَّرَ اللهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا شَيْئًا فَبَلَّغَهُ كَمَا سَمِعَ فَرُبَّ مُبَلِّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ
“Semoga
Allah mencerahkan wajah orang yang mendengar sesuatu dari kami,
kemudian dia menyampaikan (kepada orang lain) sebagaimana yang dia
dengar. Bisa jadi orang yang diberi kabar darinya lebih paham dari dia
(yang mendengar langsung).” (HR. At-Tirmidzi, Abu Dawud,
Ibnu Majah, Ahmad dan lainnya dari Jubair bin Muth’im, Zaid bin Tsabit,
Ibnu Mas’ud, Mu’adz bin Jabal dan lain-lain. Dikatakan oleh At-Tirmidzi:
“Hadits Hasan.”) (4)
Al-Imam
An-Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shahih Muslim (1/83) mengatakan:
“Jadi, al-jarh (kritik) terhadap para rawi yang menukilkan suatu berita
atau riwayat adalah boleh. Bahkan wajib, berdasarkan kesepakatan (para
ulama) karena adanya kebutuhan darurat yang memang mengharuskannya, demi
melindungi syariat yang mulia ini.”
Kemudian
beliau melanjutkan: “Wajib atas seorang kritikus untuk bertakwa kepada
Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam men-jarh (mengkritik) seseorang. Perlu
adanya tatsabbut (meneliti kebenaran berita), berhati-hati, tidak
bermudah-mudah dalam men-jarh orang yang (sebetulnya) selamat (bersih)
dari jarh (cacat). Atau merendahkan orang-orang yang tidak tampak
kekurangannya, karena kerusakan akibat jarh ini sangat besar. Dan dia
akan menggugurkan semua hadits atau riwayat dari rawi tersebut, yang
tentunya akan menggugurkan sunnah-sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam.” (5)
Adapun
pembahasan lebih lanjut tentang kedua perkara ini adalah dalam
kitab-kitab mushthalah hadits. Sedangkan dalam pembahasan ini, kita
melihat sisi lain dari penerapan al-jarh wat ta'dil ini dalam menjaga
kemurnian dan kelestarian syariat Islam yang mulia ini.
Kesempurnaan Syariat Islam
Allah
Subhanahu wa Ta'ala telah mengutus Rasul-Nya Muhammad Shallallahu
'alaihi wa sallam membawa risalah sekaligus menutup para Nabi dan Rasul.
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيْتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيْناً
“Pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al-Maidah: 3)
Dengan
demikian, siapapun yang menganggap bahwa manusia itu harus memahami
aqidah dan hukum-hukum agama mereka melalui ilmu lain yang bukan dari
Al-Qur‘an dan As-Sunnah berarti telah melakukan kedustaan besar. Bahkan
ini sama artinya dengan menganggap bahwa agama ini belum sempurna
kecuali dengan pendapat atau pemikiran yang dia lontarkan. Ini adalah
sebesar-besar kedzaliman terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala dan
Rasul-Nya.
Sehubungan
dengan hal ini, Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah menegaskan:
“Barangsiapa yang mengada-adakan satu bid’ah dalam Islam yang
dianggapnya baik, berarti dia menuduh bahwa Muhammad Shallallahu 'alaihi
wa sallam telah mengkhianati risalah. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيْتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيْناً
(Pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu),
sehingga apa yang dahulu tidak diakui sebagai agama, maka pada hari ini
juga bukan merupakan agama.” (Al-I’tisham 1/64 dalam Al-Luma’ hal. 8)
Al-Imam
Asy-Syaukani rahimahullah menerangkan pula: “Maka jika Allah Subhanahu
wa Ta'ala telah menyempurnakan agama-Nya sebelum Dia mencabut ruh
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, lantas apa artinya berbagai
pemikiran yang diada-adakan oleh penggagasnya?! Kalau pemikiran tersebut
memang bagian dari agama (ajaran Islam) –menurut keyakinan mereka–
berarti agama ini belum sempurna kecuali dengan adanya tambahan dari
pemikiran tersebut. Ini jelas menentang Al Qur`an. Kemudian, kalau
pemikiran tersebut bukan bagian dari agama ini –dan kenyataannya memang
demikian (ed)– apa gunanya mereka menyibukkan diri dengan sesuatu yang
bukan dari agama?! (Al-Qaulul Mufid hal. 38 dalam Al-Luma’ hal. 9)
Allah
Subhanahu wa Ta'ala telah mewajibkan kepada Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam untuk menyampaikan risalah ini dengan
sebenar-benarnya, sebagaimana firman-Nya:
يآ
أَيُّهاَ الرَّسُوْلُ بَلِّغْ مآ أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ
لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللهُ يَعْصِمُكَ مِنَ
النَّاسِ
“Hai
Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Rabbmu. Dan jika
tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak
menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.” (Al-Maidah: 67)
Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyampaikan amanah dengan
penyampaian sempurna, lafadz serta makna. Beliau tinggalkan untuk umat
ini kitab Allah (Al Qur`an) secara sempurna tanpa ada tambahan ataupun
pengurangan. Ummul Mukminin (ibunda orang-orang beriman) Shiddiqah bintu
Shiddiq ‘Aisyah radhiallahu 'anha mengatakan: “Siapa yang mengatakan
bahwa Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam menyembunyikan sebagian
dari apa yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, berarti dia
benar-benar telah membuat kedustaan besar terhadap Allah Subhanahu wa
Ta'ala. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menegaskan:
يآ أَيُّهاَ الرَّسُوْلُ بَلِّغْ مآ أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ
“Hai
Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Rabbmu. Dan jika
tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak
menyampaikan amanat-Nya).”(Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Bahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri menerangkan tentang kewajibannya ini:
إِنَّهُ
لَمْ يَكُنْ نَبِيٌّ قَبْلِي إِلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ
أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا
يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَإِنَّ أُمَّتَكُمْ هَذِهِ جُعِلَ عَافِيَتُهَا فِي
أَوَّلِهَا وَسَيُصِيْبُ آخِرَهَا بَلاَءٌ وَأُمُوْرٌ تُنْكِرُوْنَهاَ
“Sesungguhnya
tidak ada seorang Nabi pun sebelumku melainkan wajib atasnya untuk
menunjuki umatnya kepada kebaikan yang diketahuinya, dan memperingatkan
mereka dari kejahatan yang diketahuinya. Dan umat ini telah dijadikan
kebaikannya ada pada (generasi) awalnya. Adapun (generasi) akhirnya
(orang-orang yang datang belakangan) akan ditimpa bala` (ujian) dan
persoalan-persoalan yang kalian ingkari.” (Shahih, HR. Ahmad dan Muslim dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash radhiallahu 'anhuma)
Maka
tidak ada alasan bagi kita untuk memilah dan memilih sesuatu dari
syariat ini untuk diyakini atau diamalkan, sedangkan yang lain
ditinggalkan.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يآ
أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا ادْخُلُوْا فِي السِّلْمِ كآفَّةً وَلاَ
تَتَّبِعُوْا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِيْنٌ
“Hai
orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara
keseluruhan dan janganlah kalian turuti langkah-langkah setan.
Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kalian.” (Al-Baqarah: 208)
Asy-Syaikh
Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah dalam Tafsir-nya (hal. 94)
menerangkan makna فِي السِّلْمِ كآفَّةً (ke dalam Islam secara
keseluruhan) artinya: Seluruh syariat agama (Islam) ini. Jangan
meninggalkan sebagiannya dan jangan termasuk orang-orang yang menjadikan
hawa nafsunya sebagai ilah (yang ditaati, disembah, diibadahi dengan
semua jenis peribadatan-pen). (Yakni), kalau syariat itu cocok dengan
hawa nafsunya dia kerjakan, kalau tidak maka dia tinggalkan. Padahal,
yang wajib adalah menjadikan hawa nafsu itu tunduk mengikuti ajaran
syariat Islam yang mulia ini.”
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
إِنَّ
الَّذِيْنَ يَكْفُرُوْنَ بِاللهِ وَرُسُلِهِ وَيُرِيْدُوْنَ أَنْ
يُفَرِّقُوْا بَيْنَ اللهِ وَرُسُلِهِ وَيَقُوْلُوْنَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ
وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيْدُوْنَ أَنْ يَتَّخِذُوْا بَيْنَ ذَلِكَ
سَبِيْلاً أُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُوْنَ حَقًّا
“Sesungguhnya
orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud
memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan
mengatakan: ‘Kami beriman kepada sebagian dan kami kafir terhadap
sebagian (yang lain)’, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil
jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah
orang-orang yang kafir sebenar-benarnya.” (An-Nisa`: 150-151)
Kalimat
أُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُوْنَ حَقًّا (Merekalah orang-orang yang kafir
sebenar-benarnya) menegaskan kepada kita penekanan tentang sifat mereka,
sehingga jangan ada yang menyangka keadaan demikian, artinya mereka
berada di antara kekafiran dan keimanan.
Dakwah kepada As-Sunnah dan Tahdzir dari bid’ah
Salah
satu prinsip utama Ahlus Sunnah wal Jamaah para pengikut salaf ialah
dakwah (mengajak) kepada As-Sunnah An-Nabawiyyah. Ini adalah landasan
utama persatuan dan kesatuan serta sebab bersatunya kaum muslimin.
Bahkan sebagai perlindungan dan keselamatan di dunia dan akhirat.
As-Sunnah
adalah asas persatuan dan sumber kemuliaan, kekuatan dan kebaikan dunia
dan akhirat. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah teladan
dalam (menjalankan) agama ini. Demikian pula para sahabatnya radhiallahu
'anhum, di mana Allah dan Rasul-Nya telah memberikan tazkiyah (pujian)
kepada mereka. Bahkan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat
meninggalkan dunia ini dalam keadaan ridha kepada para shahabatnya.
Al-Haq
(kebenaran) dan hidayah serta bimbingan senantiasa ada bersama mereka,
di manapun mereka berada. Mereka tidak akan bersatu (sepakat) di atas
kebatilan. Berbeda dengan orang-orang selain mereka, dari berbagai
kelompok sempalan yang ada, karena mereka justru bersatu di atas
kebatilan dan kesesatan.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah telah menerangkan: “Tidak boleh ada
pembelaan (wala`, nushrah) terhadap tokoh tertentu secara umum dan
mutlak kecuali hanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Tidak pula kepada kelompok tertentu kecuali kepada para shahabat
radhiallahu 'anhum. Karena sesungguhnya Al-Huda senantiasa ada bersama
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di manapun beliau berada.
Begitu pula para shahabatnya.” (Minhajus Sunnah, 5/261)
Sejumlah
nash (dalil) syariat telah menguraikan anjuran dan dorongan untuk
mengikuti prinsip mulia ini. Prinsip yang menjadi acuan persatuan dan
kesepakatan di atas As-Sunnah dan jalan yang terang. Sehingga, tidak ada
hujjah melainkan milik orang yang menjadikan As-Sunnah sebagai hujjah,
dan tidak ada ‘ishmah (keterjagaan) dari penyimpangan kecuali bagi
mereka yang berpegang teguh dengan As-Sunnah dalam ilmu, amal,
pendalilan dan pemahaman serta ittiba’ (sikap mengikuti).
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
لَقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو
اللهَ وَالْيَوْمَ اْلآخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيْرًا
“Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab: 21)
Uswah
artinya teladan. Tidak ada teladan (yang baik) kecuali Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tidak ada ittiba’ kecuali (kepada)
beliau, dan tidak ada keselamatan kecuali berjalan di atas jalan yang
dilalui beliau.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ
“Katakanlah:
‘Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian.’ Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran: 31)
Sehingga
pengakuan cinta seseorang belum bisa diterima hingga dia membuktikan
dan melapangkan jalannya, yaitu dengan ittiba’ serta tetap berpegang
dengan As-Sunnah.
Ibnul
Qayyim rahimahullah menjelaskan: “Ketika semakin banyak orang-orang
yang mengaku cinta, mereka dituntut menunjukkan bukti nyata pengakuan
cintanya itu... Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِي
(Katakanlah: Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku)
Akhirnya semua mundur, kecuali orang-orang yang mengikuti al-habib
(Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) dalam setiap ucapan,
tindakan, dan akhlaknya.”
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَإِنْ تُطِيْعُوْهُ تَهْتَدُوا
“Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk.” (6)
Dalam
ayat ini dengan tegas dan sangat jelas Allah Subhanahu wa Ta'ala
menyatakan bahwa hidayah itu berkaitan langsung dengan ittiba’ kepada
Rasul-Nya. Dan tentunya, ghiwayah (kesesatan, penyelewengan) berkaitan
langsung dengan penyimpangan dari Sunnah Rasul-Nya.
Hal ini ditegaskan pula dalam hadits riwayat Al-Imam Muslim dari Jabir bin ‘Abdillah radhiallahu 'anhuma, katanya:
كَانَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ
عَيْناَهُ وَعَلاَ صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ حَتَّى كَأَنَّهُ مُنْذِرُ
جَيْشٍ يَقُوْلُ صَبَّحَكُمْ وَمَسَّاكُمْ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ
الْحَدِيْثِ كِتاَبُ اللهِ وَخَيْرَ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرَّ
الأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam jika berkhutbah matanya memerah, suaranya
meninggi, marahnya meningkat hingga seakan-akan beliau (sedang)
mengomando satu pasukan tentara. Beliau berkata: ‘Perhatikan esok pagi
dan petang kalian!’”
Beliau
berkata pula: ‘Kemudian sesudah itu (amma ba’du). Maka sesungguhnya
sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah (Al Qur`an), sebaik-baik
petunjuk adalah petunjuk Muhammad (Shallallahu 'alaihi wa sallam). Dan
seburuk-buruk perkara ialah yang diada-adakan dan setiap bidah adalah
sesat.”
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
أُوْصِيْكُمْ
بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كَثِيْرًا
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّيْنَ
الرَّاشِدِيْنَ تَمَسَّكُوا بِهاَ وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ
وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٌ
“Aku
wasiatkan kalian bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat, meskipun
kepada seorang budak Habsyi (Ethiopia). Sesungguhnya, siapa yang hidup
dari kalian sepeninggalku, niscaya dia akan melihat perselisihan yang
sangat banyak. Maka wajib atas kalian untuk berpegang dengan sunnahku
dan sunnah para khulafa`ur rasyidin yang terbimbing. Peganglah dan
gigitlah dia dengan geraham kalian. Dan jauhilah oleh kalian
perkara-perkara yang diada-adakan. Karena sesungguhnya setiap yang
diada-adakan adalah bid’ah dan sesungguhnya setiap bid’ah itu sesat.” (Shahih, HR. Abu Dawud dari Al-‘Irbadh bin Sariyah radhiallahu 'anhu)
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
ذَرُوْنِي
مَا تَرَكْتُكُمْ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ
سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ
بِشَيْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ
شَيْءٍ فَدَعُوْهُ
“Biarkanlah
aku dengan apa yang aku tinggalkan untuk kalian. Karena sesungguhnya
kebinasaan umat sebelum kalian adalah karena banyak bertanya dan
berselisih dengan Nabi mereka. Jika aku memerintahkan sesuatu kepada
kalian, kerjakanlah semampu kalian. Dan jika aku melarang kalian dari
sesuatu, maka tinggalkanlah!” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu)
Dari
sejumlah dalil ini jelaslah bagi kita tentang keagungan As Sunnah dan
kewajiban mengikuti As Sunnah. Adanya keselamatan bagi orang yang
menempuh jalan yang digariskannya dan menjauhi hal-hal yang
menyelisihinya. Pengertian seperti ini telah dipahami dengan tepat dan
dijaga oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan
para tabi’in. Mereka senantiasa menyampaikan hadits tentang anjuran
berpegang dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
men-tahdzir (menjelaskan akan bahaya) bid’ah, (melarang) bertetangga
dengan ahli bid’ah, orang-orang yang mengikuti hawa nafsu, dan
orang-orang yang berpegang kepada ra`yu (pendapat akal pikiran semata).
Perhatikan
sikap ‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu 'anhu ketika dia berkata:
“Hati-hatilah dan jauhilah oleh kalian orang-orang yang menggunakan
ra`yunya. Karena sesungguhnya mereka adalah musuh-musuh As-Sunnah.
Mereka dilemahkan oleh hadits-hadits, hingga tidak mampu menghafalnya.
Akhirnya mereka berbicara dengan ra`yu mereka, maka mereka tersesat dan
menyesatkan (orang lain).” (Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni
rahimahullah dalam Sunan dan Al-Lalikai rahimahullah dalam Syarhu Ushul
I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah)
Shahabat
yang mulia Ibnu Mas’ud radhiallahu 'anhu juga mengatakan: “Ikutilah
(ajaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) dan jangan membuat
bid’ah. Sesungguhnya kalian telah dicukupi (dalam masalah agama ini).
Dan setiap bid’ah itu sesat.” (Al-Ibanah, 1/327)
‘Umar
bin ‘Abdil ‘Aziz rahimahullah berkata: “As-Sunnah ialah yang telah
digariskan oleh orang yang tahu bahwa menyelisihinya adalah
penyimpangan. Mereka lebih mampu untuk berdebat daripada kalian.” (Al-Ibanah)
Jelaslah
bagi kita bagaimana manhaj salaful ummah dalam ilmu, amal, dan dakwah.
Yaitu senantiasa berpegang teguh kepada As-Sunnah, mengikuti jalannya,
dan mengajak manusia kepadanya serta men-tahdzir agar menjauhi
orang-orang yang menyelisihinya.
Agama
Islam adalah (ajaran agama yang berisi) perintah dan larangan. Perintah
terhadap semua kebaikan dan larangan dari semua kejahatan. Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّهُ
لَمْ يَكُنْ نَبِيٌّ قَبْلِي إِلا كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ
أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا
يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَإِنَّ أُمَّتَكُمْ هَذِهِ جُعِلَ عَافِيَتُهاَ فِيْ
أَوَّلِهاَ وَسَيُصِيْبُ آخِرَهاَ بَلاَءٌ وَأُمُوْرٌ تُنْكِرُوْنَهاَ
“Sesungguhnya
tidak ada seorang Nabipun sebelumku melainkan wajib atasnya untuk
menunjuki umatnya kepada kebaikan yang diketahuinya, dan memperingatkan
mereka dari kejahatan yang diketahuinya. Dan umat ini telah dijadikan
kebaikannya ada pada (generasi) awalnya. Adapun (generasi) akhirnya
(orang-orang yang datang belakangan) akan ditimpa bala` (ujian) dan
persoalan-persoalan yang kalian ingkari…” (Shahih, HR. Ahmad dan Muslim dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash radhiallahu 'anhuma)
Jadi,
dakwah (Islam) ini sempurna meliputi berbagai aspek. Dimulai dari yang
paling utama (tauhid) kemudian yang berikutnya. Namun demikian, bukan
berarti dakwah kepada tauhid harus menutup mata terhadap hal-hal lain
yang terkait dengannya, yang merupakan syarat sempurnanya tujuan dakwah.
Hal
ini ditegaskan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah
yang dinukil oleh Asy-Syaikh ‘Ubaid Al-Jabiri hafizhahullah: “Maka
ketahuilah wahai kaum muslimin, semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala memberi
hidayah kepada kita semua menuju urusan agama kita yang lurus, bahwa
perkara yang Allah Subhanahu wa Ta'ala perintahkan Rasul-Nya Shallallahu
'alaihi wa sallam mendakwahkannya dan umatnya termasuk di dalamnya,
mempunyai dua landasan utama, yang tidak mungkin lepas salah satu dari
yang lainnya. Keduanya ialah:
a.
Perintah beribadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala satu-satunya,
tidak ada sekutu bagi-Nya, dorongan terhadap hal ini dan mempunyai
sikap wala` yang didasari oleh perkara ini, sekaligus menyatakan
kafirnya orang-orang yang meninggalkan perkara ini.
b.
Peringatan tentang bahaya syirik dalam beribadah kepada Allah Subhanahu
wa Ta'ala, bersikap tegas dalam perkara ini dan menunjukkan sikap
permusuhan yang didasari kebencian terhadap masalah (syirik) ini serta
menyatakan kafirnya orang-orang yang melakukannya. (7)
Inilah
Al-Islam, yaitu istislam (tunduk, berserah diri) kepada Allah Subhanahu
wa Ta'ala dengan tauhid, menaati-Nya, dan berlepas diri dari semua
bentuk kesyirikan serta para pelakunya.
Sesungguhnya
siapapun yang mempelajari Kitab Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Sunnah
Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam, tentu melihat bahwa agama ini
dibangun di atas dua landasan utama ini, yaitu ta`shil dan tahdzir.
Ta`shil
yakni membentuk prinsip pokok tentang kebenaran (al-haq) sekaligus
menerangkannya. Adapun tahdzir, yaitu memperingatkan manusia agar
menjauhi berbagai bentuk kebatilan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu
wa Ta'ala:
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْ بِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لاَ انْفِصَامَ لَهاَ
“Karena
itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah,
maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat
yang tidak akan putus.” (Al-Baqarah: 256)
Di
sini, Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menyatakan bahwa tidaklah
seseorang menjadi muslim (sejati) yang berjalan di atas kemuliaan dan
jalan yang lurus sampai dia menghimpun kedua prinsip dasar ini. Yaitu
kafir (ingkar, menentang) terhadap berbagai bentuk kebatilan dan semua
yang diibadahi selain Allah Subhanahu wa Ta'ala, sekaligus beriman hanya
kepada Allah satu-satunya, tidak ada sekutu bagi-Nya, baik dalam
uluhiyah (peribadatan), rububiyah (perbuatan-perbuatan Allah Subhanahu
wa Ta'ala)8, maupun dalam masalah asma‘ wa shifat (nama dan sifat-sifat
Allah Subhanahu wa Ta'ala).
Bahkan,
seseorang tidak pula akan dikatakan sebagai muttabi’ (pengikut) Sunnah
atau tuntunan Al-Mushthafa (Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam)
hingga dia menambahkan adanya sikap hajr (meninggalkan) dan tahdzir
(memperingatkan bahaya) bid’ah dan ahli bid’ah serta membenci mereka.
Jadi,
tahdzir dari orang-orang yang mempunyai penyakit zaigh (cenderung
kepada kesesatan), bid’ah, dan hawa nafsu adalah salah satu prinsip
dasar dari ushul (prinsip pokok) ajaran Islam. Dan ini adalah sebagai
bentuk pemeliharaan bagi kemurnian syariat dan membentengi aqidah kaum
muslimin dari kerusakan.
Permasalahan ini sesungguhnya telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala melalui firman-Nya:
وَإِذَا
رَأَيْتَ الَّذِيْنَ يَخُوْضُوْنَ فِيْ آياَتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ
حَتَّى يَخُوْضُوْا فِيْ حَدِيْثٍ غَيْرِهِ وَإِمَّا يُنْسِيَنَّكَ
الشَّيْطَانُ فَلاَ تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ
الظَّالِمِيْنَ
“Dan
apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami,
maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang
lain. Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka
janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat
(akan larangan itu).” (Al-An’am: 68)9
Al-Imam
Asy Syaukani rahimahullah dalam Fathul Qadir (2/122) menerangkan: “Di
dalam ayat ini terkandung nasehat dan peringatan besar bagi mereka yang
mentolerir duduk bermajelis dengan ahli bid’ah, (yaitu) orang-orang yang
suka mengubah-ubah perkataan Allah Subhanahu wa Ta'ala, mempermainkan
Kitab-Nya dan sunnah Rasul-Nya, serta mengembalikannya kepada hawa nafsu
mereka yang menyesatkan dan bid’ah mereka yang rusak. Maka, jika dia
tidak (mampu) mengingkari atau mengubah keyakinan mereka, paling tidak
dia harus meninggalkan majelis mereka. Dan ini tentu lebih mudah.”
Kemudian firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
وَقَدْ
نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتاَبِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آياَتِ اللهِ
يُكْفَرُ بِهاَ وَيُسْتَهْزَأُ بِهاَ فَلاَ تَقْعُدُوْا مَعَهُمْ حَتَّى
يَخُوْضُوْا فِيْ حَدِيْثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ
“Dan
sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al Qur`an bahwa
apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan
(oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka,
sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya
(kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka.” (An-Nisa`: 140)
Al-Imam
Al-Qurthubi rahimahullah dalam Tafsir-nya (5/418) menerangkan tafsir
ayat ini yang maknanya: “Ayat ini menegaskan wajibnya menjauhi para
pelaku maksiat, apabila terlihat kemungkaran yang mereka kerjakan.
Sebab, orang yang tidak mau menjauhi mereka berarti dia ridha (senang)
dengan perbuatan maksiat itu. Sedangkan ridha kepada kekafiran berarti
kafir. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala ini: إِنَّكُمْ إِذًا
مِثْلُهُمْ {Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah
kamu serupa dengan mereka}. Maka siapapun yang duduk bersama pelaku
maksiat dan tidak mengingkari mereka, dosa mereka sama....dan apabila
dia tidak mampu mengingkarinya, hendaklah dia pergi meninggalkan majelis
tersebut agar tidak tergolong orang-orang yang disebutkan dalam ayat
yang mulia ini. Dan apabila telah jelas keharusan menjauhi pelaku
maksiat, maka menjauhi pelaku bid’ah itu jelas lebih diutamakan...”
Semakna
dengan ini adalah sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang
diriwayatkan Al-Imam Muslim rahimahullah dari ‘Ali bin Abi Thalib
radhiallahu 'anhu:
لَعَنَ
اللهُ مَنْ لَعَنَ وَالِدَهُ وَلَعَنَ اللهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللهِ
وَلَعَنَ اللهُ مَنْ آوَى مُحْدِثاً وَلَعَنَ اللهُ مَنْ غَيَّرَ مَنَارَ
الأَرْضِ
“(Semoga)
Allah melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya. (Semoga) Allah
melaknat orang yang menyembelih untuk sesuatu selain Allah. Dan (semoga)
Allah melaknat orang yang melindungi pelaku kejahatan. Dan (semoga)
Allah melaknat orang yang merubah patok batas tanah.”
Asy-Syaikh
‘Abdurrahman bin Hasan Alusy Syaikh rahimahullah menukil perkataan
Ibnul Atsir, mengatakan: “Kalau huruf dal dibaca dengan kasrah
(مُحْدِثاً), artinya pelaku kejahatan (jaani), kalau dibaca fathah
(مُحْدَثاً), artinya adalah perkara yang diada-adakan. Sehingga maknanya
dalam bentuk pertama, melindungi dan membela pelaku kejahatan itu dari
lawan yang menuntutnya. Adapun dalam bentuk kedua ini artinya ialah
ridha dan bersabar menjalankannya. Karena sesungguhnya kalau seseorang
ridha terhadap suatu bid’ah, menyetujui pelakunya dan tidak mengingkari,
berarti dia telah melindungi dan membelanya.” (Fathul Majid hal. 175-176)
Dan
kita tahu, bahwa bid’ah itu jauh lebih berbahaya daripada maksiat.
Karena seorang pelaku maksiat, ada kemungkinan mudah untuk bertaubat.
Bahkan terkadang, mereka melakukannya sembunyi-sembunyi karena tahu yang
dikerjakannya itu salah dan dosa. Sedangkan pelaku bid’ah, sangat sulit
diharapkan bertaubat, sebab mereka merasa yakin bahwa apa yang
dilakukannya itu benar dan merupakan ajaran agama. Oleh karena itulah
Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah mengatakan bahwa bid’ah itu lebih
dicintai iblis daripada maksiat.
Dari
sini, maka tidaklah pantas pula bagi seorang muslim yang beriman kepada
Allah Subhanahu wa Ta'ala dan hari kemudian, untuk menjadikan jumlah
mayoritas sebagai ukuran suatu kebenaran. Karena al-haq itu tidaklah
dinilai dari banyak sedikitnya pengikut. Akan tetapi al-haq dinilai dan
dikenal dari dalil-dalil syariat, ayat-ayat Al-Qur‘an, dan As-Sunnah.
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي اْلأَرْضِ يُضِلُّوْكَ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (Al-An’am: 116)
Al-Wala`wa Al-Bara`
Setiap
mukmin adalah wali Allah Subhanahu wa Ta'ala dan mereka adalah wali
bagi mukmin lainnya. Sedangkan orang-orang kafir adalah musuh Allah
Subhanahu wa Ta'ala dan musuh orang-orang yang beriman.
Allah
Subhanahu wa Ta'ala telah mewajibkan agar kaum mukminin berwala` kepada
sesama mukminin. Allah Subhanahu wa Ta'ala tegaskan pula bahwa sikap
wala` ini merupakan tuntutan atau konsekuensi dari keimanan. Bahkan dia
merupakan bagian dari makna kalimat syahadat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
(Tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah).
Inilah
ajaran (millah) Nabi Ibrahim 'alaihissalam dan orang-orang yang bersama
beliau. Allah Subhanahu wa Ta'ala juga memerintahkan kita untuk
mengikuti ajaran tersebut sebagaimana dalam firman-Nya:
قَدْ
كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِيْ إِبْرَاهِيْمَ وَالَّذِيْنَ مَعَهُ
إِذْ قَالُوْا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا
تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ كَفَرْناَ بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَناَ
وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضآءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوْا
بِاللهِ وَحْدَهُ
“Sesungguhnya
telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang
yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka:
‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian
sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) kalian dan telah nyata
antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya
sampai kalian beriman kepada Allah saja’.” (Al-Mumtahanah: 4)
Memang,
ayat ini adalah anjuran untuk bara` (benci) terhadap orang-orang kafir,
tetapi makna atau hukumnya berlaku umum. Artinya dapat pula diterapkan
kepada orang-orang yang fajir (jahat, durhaka) dan ahli bid’ah. Oleh
sebab itu para pendahulu kita yang saleh dari kalangan sahabat
terang-terangan menampakkan sikap bara` mereka terhadap bid’ah dan
ahlinya. Sebagaimana kita maklumi hal ini dari sikap Ibnu ‘Umar
radhiallahu 'anhuma yang mengatakan: “Sampaikan kepada mereka
(orang-orang Qadari10), bahwa Ibnu ‘Umar berlepas diri dari mereka, dan
mereka berlepas diri dariku.” Beliau ucapkan tiga kali.11
Prinsip
ini (al-wala‘ wal bara‘) merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
seseorang merasakan manisnya iman. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam:
ثَلاثٌ
مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلاَوَةَ اْلإِيْماَنِ مَنْ كَانَ
اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُماَ وَأَنْ يُحِبَّ
الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ ِللهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُوْدَ فِي
الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ كَماَ يَكْرَهُ أَنْ
يُقْذَفَ فِيْ النَّارِ
“Tiga
hal yang apabila ada pada seseorang, niscaya dia akan merasakan
manisnya iman. (Yaitu) seseorang yang Allah dan Rasul-Nya lebih ia
cintai daripada selain keduanya. Dia mencintai seseorang dan tidaklah
dia mencintainya melainkan karena Allah. Dan dia benci untuk kembali
kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkannya dari kekafiran itu,
sebagaimana dia benci untuk dilemparkan ke dalam api.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan: “...perlu diketahui bahwa
seorang mukmin wajib kamu cintai meskipun dia mendzalimi kamu. Dan
orang kafir harus kamu benci meskipun dia berbuat baik dan memberikan
sesuatu kepadamu. Karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala mengutus
para Rasul-Nya dan menurunkan Kitab-kitab-Nya agar agama (ibadah) ini
seluruhnya hanya diserahkan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, sehingga
cinta kepada wali-wali-Nya dan membenci musuh-musuh-Nya...
Kemudian,
apabila terkumpul pada diri seseorang kebaikan dan keburukan,
kedurhakaan dan ketaatan, sunnah dan bid’ah, maka dia berhak mendapatkan
wala` sebatas kebaikan yang ada padanya dan berhak menerima bara`
(kebencian) dan hukuman sebatas keburukan atau kejahatan yang ada
padanya. Seperti seseorang yang mencuri, harus dipotong tangannya
sebagai hukuman, namun juga dia tetap disantuni dengan menerima bagian
dari baitul mal (kas negara) untuk mencukupi kebutuhannya. Dan inilah
salah satu prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah yang berbeda dengan
orang-orang Khawarij, Mu’tazilah dan yang mengikuti mereka." (12)
Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Salah
satu hak yang harus ditunaikan dalam prinsip Al-Wala` wal Bara` ialah
amar ma’ruf nahi munkar yang juga penyempurna seluruh prinsip pokok
Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Amar
ma’ruf nahi munkar adalah salah satu wasilah utama yang Allah Subhanahu
wa Ta'ala perintahkan. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikannya
sebagai karakter para Nabi dan Rasul 'alaihimussalam, sebagai tanda bagi
hamba-hamba-Nya yang beriman, sekaligus sebagai bukti kebaikan dan
kesuksesan mereka di dunia dan akhirat.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْساَنِ وَإِيْتآءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشآءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ
“Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran
dan permusuhan.” (An-Nahl: 90)
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman tentang sifat Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam:
الَّذِيْنَ
يَتَّبِعُوْنَ الرَّسُوْلَ النَّبِيَّ الأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُوْنَهُ
مَكْتُوْباً عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَاْلإِنْجِيْلِ يَأْمُرُهُمْ
بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهاَهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ
الطَّيِّباَتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَباَئِثَ
“(Yaitu)
orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka
dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka. Yang
menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari
mengerjakan yang mungkar, dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik
dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.” (Al-A’raf: 157)
Ayat
ini menerangkan kesempurnaan risalah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi
wa sallam. Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan semua kebaikan
dan melarang semua kemungkaran melalui lisan beliau, menghalalkan yang
baik dan mengharamkan yang keji.
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mensifati umat ini sesuai dengan sifat Nabi-Nya, sebagaimana firman-Nya:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ
“Kalian
adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma’ruf, mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah..” (Ali ‘Imran: 110)
Dan firman-Nya:
وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِناَتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيآءُ بَعْضٍ يَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
“Dan
orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka
(adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh
(mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar.” (At-Taubah: 71)
Dalam
ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta'ala menerangkan bahwa umat ini adalah
umat terbaik, paling bermanfaat dan paling besar kebaikannya kepada
sesama manusia, karena mereka menyempurnakan urusan (kehidupan) manusia
dengan memerintahkan mereka kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran.
Mereka telah menjalankannya secara sempurna, bahkan menegakkannya dengan
jihad di jalan Allah dengan jiwa dan harta mereka. (13)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan: “Menganjurkan manusia
agar berpegang dan mengikuti As Sunnah serta mencegah jangan sampai
bid’ah muncul dan tersebar adalah amar ma’ruf nahi munkar. Bahkan ini
merupakan amalan saleh yang paling mulia, sehingga seharusnya
betul-betul dijalankan dengan penuh keikhlasan mengharapkan wajah Allah
Subhanahu wa Ta'ala.”(Minhajus Sunnah, 5/253)
Termasuk
amar ma’ruf nahi munkar adalah kritik terhadap berbagai kesalahan atau
penyimpangan dan menjelaskannya kepada manusia. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah rahimahullah menyatakan: “Dai yang mengajak kepada satu bid’ah
berhak menerima hukuman, menurut kesepakatan kaum muslimin. Hukuman itu
kadang berupa hukuman mati atau yang lebih ringan, sebagaimana para
salafus saleh membunuh Jahm bin Shafwan, Ja’d bin Dirham, Ghailan
Al-Qadari, dan lain-lain14. Seandainya dia dianggap tidak berhak dihukum
atau tidak mungkin dihukum seperti itu, maka menjadi sebuah keharusan
untuk diterangkan kebid’ahannya dan men-tahdzir manusia supaya
menjauhinya. Karena sesungguhnya hal ini termasuk amar ma’ruf nahi
munkar yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dan
Rasul-Nya.”(Majmu’ Fatawa 35/414, dinukil dari Mauqif Ahlis Sunnah 2/485)
Oleh
karena inilah menjadi wajib untuk menerangkan perihal orang-orang yang
keliru dalam hadits atau periwayatan, dalam hal pemikiran ataupun fatwa.
Bahkan juga mereka yang salah dalam masalah zuhud dan ibadah. (15)
Adapun
dalil atau acuan dalam masalah ini ialah dalil-dalil yang berkaitan
dengan prinsip amar ma’ruf nahi munkar. Sehingga tidak selayaknya bagi
setiap jamaah kaum muslimin untuk merasa sesak dan sempit dadanya
(menerima) kritikan atau sejenisnya. Karena hal ini adalah bagian dari
pelaksanaan sikap adil yang Allah Subhanahu wa Ta'ala perintahkan kepada
kita, sebagaimana dalam firman-Nya:
يآ
أَيُّهاَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ بِالْقِسْطِ
شُهَدآءَ ِللهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ
وَالأَقْرَبِيْنَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيْرًا فَاللهُ أَوْلَى
بِهِماَ فَلاَ تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوْا وَإِنْ تَلْوُوْا
أَوْ تُعْرِضُوْا فَإِنَّ اللهَ كَانَ بِماَ تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا
“Wahai
orang-orang yang beriman, jadilah kalian orang yang benar-benar penegak
keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap diri kalian
sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabat kalian. Jika ia kaya ataupun
miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kalian
mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika
kalian memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka
sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kalian
kerjaan.” (An-Nisa`: 135)
Al-Layy
(memutar balikkan kata-kata) sama dengan dusta, sedangkan i’radh
(enggan menjadi saksi) sama dengan kitman (menyembunyikan kesaksian),
demikian diterangkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Lantas
bagaimana mungkin dibenarkan bagi seorang mukmin pengakuannya (dia
beriman) jika diiringi sikap kitman, berlindung di balik kepalsuan sikap
politik? Apalagi dikatakan oleh Abu ‘Ali Ad-Daqqaq rahimahullah bahwa
orang yang diam terhadap suatu kemungkaran, adalah setan yang bisu. Dan
orang yang berbicara dengan suatu kebatilan adalah syaithan nathiq
(setan yang pintar ngomong, red). (16)
Tentunya,
tidak diragukan lagi, ghirah (kecemburuan) yang Allah Subhanahu wa
Ta'ala letakkan di dalam hati seorang mukmin terhadap apa yang
diharamkan Allah Subhanahu wa Ta'ala inilah yang sebenarnya menjadi
motivator baginya untuk menjalankan kewajibannya ini. Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ يَغاَرُ وَإِنَّ الْمُؤْمِنَ يَغاَرُ وَغَيْرَةُ اللهِ أَنْ يَأْتِيَ الْمُؤْمِنُ ماَ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ
“Sesungguhnya
Allah Subhanahu wa Ta'ala mempunyai sifat cemburu. Dan seorang mukmin
juga cemburu. Adapun cemburunya Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah ketika
seorang mukmin melanggar apa yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta'ala
terhadapnya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu)
Sehingga,
jika setiap kali seorang mukmin yang ingin memperbaiki satu kekeliruan
atau meluruskan suatu penyimpangan dicegah, dengan dalih bukan saatnya
‘karena orang-orang kafir tengah mengintai kelengahan kaum muslimin’,
lantas sampai kapan orang yang diperingatkan tersebut menyadari
kesalahannya dan sampai kapan orang yang sakit itu akan sembuh, lalu
menjadi kuat?
Bahkan,
bukanlah merupakan bentuk wala` terhadap kaum mukminin, kalau seseorang
membantu (17) saudaranya dalam kebatilan, padahal saudaranya itu
membutuhkan bimbingan secara syar’i. Anas bin Malik radhiallahu 'anhu
meriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
انْصُرْ
أَخاَكَ ظَالِماً أَوْ مَظْلُوْماً. قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ هَذَا
نَنْصُرُهُ مَظْلُوْماً، فَكَيْفَ نَنْصُرُهُ ظَالِماً؟ قَالَ: تَأْخُذُ
فَوْقَ يَدَيْهِ
“Tolonglah
saudaramu yang dzalim atau yang didzalimi (teraniaya).” Para shahabat
bertanya: “Wahai Rasulullah. Kami jelas akan menolong yang didzalimi,
lalu bagaimana kami menolong saudara kami yang dzalim?” Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Yakni kamu tahan tangannya agar
tidak berbuat dzalim.” (Shahih, HR. Al-Bukhari)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menerangkan pula bagaimana pentingnya amar ma’ruf nahi munkar:
مَثَلُ
الْقاَئِمِ عَلَى حُدُوْدِ اللهِ وَالْوَاقِعِ فِيْهاً كَمَثَلِ قَوْمٍ
اسْتَهَمُوْا عَلَى سَفِيْنَةٍ فَأَصاَبَ بَعْضُهُمْ أَعْلاَهاَ
وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهاَ فَكَانَ الَّذِيْنَ فِي أَسْفَلِهاَ إِذَا
اسْتَقَوْا مِنَ الْماَءِ مَرُّوْا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ فَقَالُوْا: لَوْ
أَنَّا خَرَقْناَ فِيْ نَصِيْبِناَ خَرْقاً وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَناَ.
فَإِنْ يَتْرُكُوْهُمْ وَماَ أَرَادُوْا هَلَكُوْا جَمِيْعًا، وَإِنْ
أَخَذُوْا عَلَى أَيْدِيْهِمْ نَجَوْا وَنَجَوْا جَمِيْعاً
“Perumpamaan
orang yang menjaga batas-batas hukum yang ditetapkan Allah dan orang
yang terjerumus ke dalamnya adalah seperti suatu kaum yang menumpang
sebuah kapal. Sebagian ada yang di sebelah atas, yang lain di bawah.
Kemudian yang berada di bawah, apabila ingin minum melintasi orang-orang
yang ada di atas mereka. Maka mereka (yang di bawah ini) berkata:
‘Kalau kita lubangi bagian kita di dasar (kapal) ini, tentulah kita
tidak akan mengganggu orang-orang yang di atas kita.’
Maka
seandainya orang-orang yang di atas membiarkan orang-orang yang di
bawah melakukan apa yang mereka inginkan, niscaya mereka akan binasa
(tenggelam) semuanya. Namun kalau mereka (yang di atas) menahan
(mencegah) orang-orang yang berada di bawah mereka, maka mereka selamat
dan selamatlah semuanya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari An-Nu’man bin Basyir radhiallahu 'anhu)
Dalam
hadits ini menegaskan kepada kita bahwa bahaya yang terjadi kalau
inkarul munkar (mencegah, menghalangi kemungkaran) ditinggalkan tidak
hanya menimpa pelakunya saja, tetapi seluruh kelompok masyarakat yang
diam terhadap kemungkaran tersebut. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah
mengingatkan kita bahwa azab-Nya tidak hanya menimpa orang yang dzalim
semata:
وَاتَّقُوْا فِتْنَةً لاَ تُصِيْبَنَّ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْكُمْ خاَصَّةً وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ شَدِيْدُ الْعِقاَبِ
“Dan
peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa
orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah
amat keras siksaan-Nya.” (Al-Anfal: 25)
Oleh
karena itu, menghadapi ahli bid’ah, menerangkan dan membongkar
kebatilan mereka (juga tokoh-tokohnya) merupakan upaya perlindungan
terhadap kaum muslimin, agar tidak dihancurkan oleh musuh-musuh Islam.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan bahwa musuh-musuh Allah
ada dua: dari kalangan kuffar (orang-orang kafir) dan munafikin. Dan
tentunya menghadapi yang kedua ini lebih sulit.
Beliau
mengatakan pula: “Apabila suatu kelompok bukan dari kalangan munafikin,
namun suka mendengarkan perkataan orang-orang munafikin, telah kabur
atas mereka urusan orang-orang munafikin tersebut. Sehingga dia mengira
ucapan mereka adalah benar, padahal menyelisihi sunnah. Akhirnya mereka
menjadi corong yang menyuarakan dan mengajak kepada bid’ah (yang dianut)
orang-orang munafikin tadi. Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu
wa Ta'ala:
لَوْ
خَرَجُوْا فِيْكُمْ ماَ زَادُوْكُمْ إِلاَّ خَباَلاً وَلأَوْضَعُوْا
خِلاَلَكُمْ يَبْغُوْنَكُمُ الْفِتْنَةَ وَفِيْكُمْ سَمَّاعُوْنَ لَهُمْ
“Jika
mereka berangkat bersama-sama kamu, niscaya mereka tidak menambah kamu
selain dari kerusakan belaka dan tentu mereka akan bergegas maju ke muka
di celah-celah barisanmu, untuk mengadakan kekacauan di antaramu;
sedang di antara kamu ada orang-orang yang amat suka mendengarkan
perkataan mereka..” (At Taubah: 47)
Maka
harus diterangkan keadaan orang-orang tersebut. Fitnah yang ditimbulkan
mereka lebih hebat, karena pada diri mereka ada iman yang mendorong
kita wajib bersikap loyal (wala`) kepada mereka. Sementara mereka telah
terjerumus ke dalam bid’ah kaum munafikin yang merusak agama ini.
Sehingga, mesti ada tahdzir dari bid’ah tersebut, meskipun hal itu
mengharuskan penyebutan mereka dan ta’yin (menerangkan nama
tokoh-tokohnya). Bahkan kalaupun mereka tidak mengambil bid’ah itu dari
kaum munafikin, namun muncul dari pendapat sendiri yang mereka anggap
bahwa hal itu adalah petunjuk, kebaikan bahkan merupakan agama, tetap
wajib untuk menerangkan keadaan (kesesatan) mereka.”(Majmu’ Fatawa, 28/233)
Para
ulama menganggap bahwa berjihad menghadapi orang-orang seperti ini
lebih utama. Yahya bin Yahya, guru Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim
rahimahumullah, mengatakan: “Membela As-Sunnah lebih utama daripada
jihad.” Demikian pula Al-Humaidi, guru Al-Imam Al-Bukhari yang lain
mengatakan: “Demi Allah, memerangi orang-orang ini (ahli bid’ah) yang
menolak hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam jauh lebih aku
sukai daripada memerangi orang-orang kafir sebanyak mereka.”
Sehingga
dikatakan oleh Ibnu Hubairah berkaitan dengan hadits Abu Sa’id
Al-Khudri radhiallahu 'anhu tentang (memerangi) orang-orang Khawarij:
“Hadits ini menerangkan bahwa memerangi Khawarij lebih utama daripada
memerangi kaum musyrikin. Hikmahnya ialah bahwa memerangi mereka
merupakan bentuk penjagaan terhadap modal pokok Islam. Sedangkan
memerangi kaum musyrikin (ibaratnya seperti) mencari keuntungan.
Tentunya, memelihara modal pokok jauh lebih utama.”(Fathul Bari 12/301 dalam Sittud Durar hal. 119-120)
Namun, ada yang perlu diperhatikan dalam masalah ini. Yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
ادْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجاَدِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah
(manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (An-Nahl: 125)
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
اذْهَباَ إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى. فَقُوْلاَ لَهُ قَوْلاً لَيِّناً لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
“Pergilah
kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas;
maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah
lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (Thaha: 43-44)
Juga sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dari hadits ‘Aisyah radhiallahu 'anha:
إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُوْنُ فِيْ شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ
“Sesungguhnya kelemahlembutan itu, tidaklah dia berada pada sesuatu melainkan tentu menghiasinya.” (Shahih, HR.
Muslim)
Jelas
di sini betapa pentingnya sikap lemah lembut. Dan sebelum itu semua,
yang utama adalah ilmu. Sehingga setiap orang yang mau menjalankan amar
ma’ruf nahi munkar harus tahu mana yang ma’ruf dan mana yang munkar.
Jangan sampai dia justru mengingkari sesuatu yang ternyata merupakan
perkara yang ma’ruf (kebaikan) atau sebaliknya. (Lihat Majmu’ Fatawa, 28/136)
Namun
perlu juga kita pahami di sini, bahwa kelembutan bukan berarti kita
harus diam terhadap kemungkaran dan kebid’ahan. Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz
bin Baz rahimahullah menyatakan: “Tidak diragukan bahwa syariat Islam
ini adalah syariat yang sempurna, datang membawa tahdzir terhadap
berbagai sikap ghuluw (melampaui batas) dalam urusan agama.
Memerintahkan dakwah ke jalan yang haq dengan hikmah, nasehat yang baik,
dan debat dengan cara yang lebih baik. Akan tetapi ternyata syariat ini
sama sekali tidak melupakan sikap keras dan tegas yang diletakkan pada
tempatnya, di mana lemah lembut dan debat tidak lagi berguna.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
يآ أَيُّهاَ النَّبِيُّ جاَهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُناَفِقِيْنَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ
“Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka..” (At-Taubah: 73, At-Tahrim: 9)
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
يآ أَيُّهاَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا قاَتِلُوا الَّذِيْنَ يَلُوْنَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ وَلْيَجِدُوْا فِيْكُمْ غِلْظَةً
“Hai
orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar
kalian itu, dan hendaklah mereka mendapati sikap keras dalam diri
kalian.” (At-Taubah: 123)
Sikap
keras ini, jika memang dibutuhkan harus dilaksanakan walaupun terhadap
sesama muslim. Tidakkah kita lihat bagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala
membolehkan berperang dalam masalah ini, sebagaimana firman-Nya:
وَإِنْ
طَائِفَتاَنِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ اقْتَتَلُوْا فَأَصْلِحُوْا
بَيْنَهُماَ فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُماَ عَلَى اْلأُخْرَى فَقاَتِلُوْا
الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيْءَ إِلَى أَمْرِ اللهِ
“Dan
jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka
damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu
berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang
berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah
Allah.” (Al-Hujurat: 9)
Bahkan
terkadang seorang mukmin akan lebih keras dan tegas mengingkari
kemungkaran yang ada pada saudaranya daripada terhadap musuhnya (orang
kafir). Kita lihat bagaimana lembutnya Nabiyullah Musa 'alaihissalam
mengajak Fir’aun kepada tauhid, tetapi keras terhadap saudaranya Harun
'alaihissalam di mana Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman tentang hal
itu:
وَأَلْقَى اْلأَلْوَاحَ وَأَخَذَ بِرَأْسِ أَخِيْهِ يَجُرُّهُ إِلَيْهِ
“Dan Musapun melemparkan luh-luh (Taurat) itu dan memegang (rambut) kepala saudaranya (Harun) sambil menarik ke arahnya.” (Al-A’raf: 150)
Apakah
ada orang yang membantah Nabi Musa 'alaihissalam dan menganggapnya
tidak mempunyai sikap wala` terhadap saudaranya Nabi Harun
'alaihissalam, beliau berlemah lembut kepada musuhnya seorang thaghut
besar, tapi kaku dan kasar terhadap saudaranya sendiri?
Kita lihat bagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berbuat terhadap sebagian para shahabatnya.
Di
dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari Jabir bin ’Abdillah dia
mengisahkan bahwa Mu’adz radhiallahu 'anhu biasa shalat bersama
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian dia mendatangi
kaumnya dan shalat bersama mereka (sebagai imam) dan membaca surat
Al-Baqarah. Ada seseorang yang memendekkan shalat (kemudian pergi).
Berita ini sampai kepada Mu’adz radhiallahu 'anhu lalu dia mencap orang
itu munafik. Laki-laki itu mengetahui perbuatan Mu’adz. Lalu diapun
datang menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mengadu: “Ya
Rasulullah, kami suatu kaum yang bekerja sendiri untuk mengairi tanaman
kami. Dan Mu’adz shalat bersama kami tadi malam lalu membaca surat
Al-Baqarah. Kemudian saya shalat sendiri lebih ringkas. Lantas dia
menuduh saya munafik.”
Mendengar ini, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
ياَ مُعاَذُ أَفَتَّانٌ أَنْتَ؟ (ثَلاثًا) اقْرَأْ {وَالشَّمْسِ وَضُحاَهاَ} وَ{سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ اْلأَعْلَى} وَنَحْوَهاَ
“Hai
Mu’adz, apakah kamu ingin menimbulkan fitnah?” (Beliau katakan tiga
kali) “Bacalah {وَالشَّمْسِ وَضُحاَهاَ},atau {سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ
اْلأَعْلَى} atau yang seperti itu.”
Padahal kita tahu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berkata kepada Mu’adz, bahwa beliau mencintai Mu’adz. (18)
Padahal kita tahu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berkata kepada Mu’adz, bahwa beliau mencintai Mu’adz. (18)
Kita
bandingkan bagaimana sikap lembut beliau kepada seorang Arab badui yang
kencing di masjid (19). Dan bagaimana tegasnya beliau terhadap Usamah
bin Zaid bin Haritsah radhiallahu 'anhuma, hibbi (kesayangan) Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam putra hibbi Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam yang membunuh seseorang yang telah mengucapkan
syahadat, dan beliau berkata kepadanya:
يَا
أُسَامَةُ، أَقَتَلْتَهُ بَعْدَ ماَ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ؟
قُلْتُ: كَانَ مُتَعَوِّذًا. فَماَ زَالَ يُكَرِّرُهاَ حَتَّى تَمَنَّيْتُ
أَنِّي لَمْ أَكُنْ أَسْلَمْتُ قَبْلَ ذَلِكَ الْيَوْمِ
“Hai
Usamah, apakah kamu membunuhnya setelah dia mengucapkan kalimat (tidak
ada sesembahan yang haq kecuali Allah)?” Saya berkata: “Dia hanya
cari-cari perlindungan.” Beliau tetap mengulangi pertanyaannya, sampai
saya berharap seandainya saya belum masuk Islam sebelum kejadian itu.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Usamah bin Zaid radhiallahu 'anhuma)
Ini
terus dijaga Usamah bin Zaid radhiallahu 'anhuma sampai ketika terjadi
fitnah pembunuhan terhadap Dzun Nurain (pemilik dua cahaya) ‘Utsman bin
‘Affan radhiallahu 'anhu,, beliau tidak ikut campur di dalamnya. Al-Imam
Adz-Dzahabi rahimahullah berkata: “Usamah mengambil faedah dari
kejadiannya bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika
beliau mengatakan: كَيْفَ بِلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ يَا أُساَمَةُ
“Bagaimana dengan kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (Tidak ada sesembahan
yang haq kecuali Allah), hai Usamah?” Kemudian dia menahan tangannya dan
tetap di rumahnya.” (As-Siyar, 2/500 dinukil dari Sittu Durar)
Lihat
pula bagaimana para qudwah (teladan) kita, para shahabat Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam menyikapi kerabat mereka sendiri yang
menyimpang dari tuntunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam
satu permasalahan yang sebagian kita mungkin menganggapnya masalah
furu’. Inilah Ibnu ‘Umar radhiallahu 'anhuma. Al-Imam Muslim
rahimahullah meriwayatkan dalam Shahih-nya:
أَنَّ
عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ قاَلَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ لاَ تَمْنَعُوْا نِساَءَكُمُ الْمَساَجِدَ
إِذَا اسْتَأْذَنَّكُمْ إِلَيْهاَ. قاَلَ: فَقَالَ بِلاَلُ بْنُ عَبْدِ
اللهِ بْنِ عُمَرَ: وَاللهِ لَنَمْنَعُهُنَّ. قاَلَ: فَأَقْبَلَ عَلَيْهِ
عَبْدُ اللهِ فَسَبَّهُ سَبًّا سَيِّئاً ماَ سَمِعْتُهُ سَبَّهُ مِثْلَهُ
قَطُّ وَقاَلَ: أُخْبِرُكَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَتَقُوْلُ وَاللهِ لَنَمْنَعُهُنَّ؟
Bahwasanya
‘Abdullah bin ‘Umar Radiyallahu 'anhu berkata: “Saya mendengar
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ‘Janganlah kamu
melarang wanita (isteri) kalian ke masjid jika mereka minta izin kalian
untuk ke sana.’ Tiba-tiba berkatalah Bilal bin ‘Abdillah bin ‘Umar:
‘Demi Allah. Sungguh kami pasti melarang mereka.’ Kata rawi: Maka
‘Abdullah menoleh kepadanya dan mencercanya dengan cercaan yang sangat
buruk yang belum pernah aku dengar sebelumnya. Kemudian dia berkata:
‘Aku sampaikan kepadamu hadits dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam tapi kamu justeru mengatakan: Demi Allah, sungguh kami pasti
melarang mereka?”
Demikianlah
sebagian sikap tegas para salafus shalih terhadap orang-orang yang
melecehkan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meskipun itu
muncul dari kerabat mereka sendiri. Inilah salah satu bukti pelaksanaan
firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
لاَ
تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ يُوآدُّوْنَ
مَنْ حآدَّ اللهَ وَرَسُوْلَهُ وَلَوْ كَانُوا آبآءَهُمْ أَوْ أَبْنآءَهُمْ
أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيْرَتَهُمْ
“Kamu
tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari
akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah
dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak
atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka..” (Al-Mujadilah: 22)
Dari
semua keterangan ini, makin jelaslah bagi kita kritik yang dilancarkan
Ahlus Sunnah wal Jamaah terhadap berbagai pemikiran yang berkembang di
tengah-tengah kaum muslimin bukanlah tanpa dasar. Semua ini adalah
sebagai bukti kecintaan mereka terhadap saudara mereka sesama muslim.
Mereka ingin diri mereka sendiri selamat dari murka Allah Subhanahu wa
Ta'ala, maka merekapun ingin saudara mereka selamat. Semoga Allah
Subhanahu wa Ta'ala memberikan taufik kepada kita untuk kembali kepada
syariat-Nya yang mulia ini.
Amin.
Penulis: Al Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar
Footnote :
1. Mukaddimah kitab Al-Jarh wat Ta'dil Ibni Abi Hatim .
2. Namun perlu dipahami, bahkan diyakini bahwa semua hadits yang tsabit (shahih) dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak akan bertentangan dengan Kalamullah (Al Qur`an), karena keduanya adalah wahyu yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sebagaimana ditegaskan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam ayat 3-4 surat An-Najm. Demikian juga, tidak akan bertentangan dengan akal yang sehat. Wallahu a’lam.
3. Mafhum mukhalafah (pengertian balik) makna ayat ini.
4. Dinukil secara ringkas dari Dhawabith Al-Jarh wat Ta'dil (hal 10-16).
5. Jika seorang kritikus secara serampangan mengkritik, akan habis tertolak semua hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal ini menyebabkan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak lagi menjadi sumber syariat Islam yang mulia ini. Dan hal seperti inilah sebetulnya yang diinginkan oleh musuh-musuh Islam seperti antara lain kaum Rafidhah (Syi’ah). Wallahu a’lam, pen.
6. Al-Quran surat An-Nuur ayat 54.
7. Dari pengantar Asy-Syaikh ‘Ubaid Al-Jabiri hafizhahullah terhadap kitab Usus Manhaj Salaf fi da’wati ilallahi karya Asy-Syaikh Fawwaz As-Suhaimi, (hal 7-8).
8. Seperti penciptaan, pengaturan dan sebagainya. Wallahu a’lam.
9. Lihat Sallus Suyuf wal Asinnah (hal 141-142).
10. Yang menolak adanya takdir dan berkeyakinan bahwa semua kejadian di alam ini terjadi begitu saja tanpa campur tangan kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Wallahu a’lam.
11. Dikeluarkan oleh Al-Imam Muslim rahimahullah dalam Shahih-nya, Al-Lalikai rahimahullah dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah 2/588, ‘Abdullah bin Al-Imam Ahmad rahimahullah dalam As-Sunnah (2/420), dan Al-Imam Al-Ajurri rahimahullah dalam Asy-Syari’ah (205).
12. Majmu’ Fatawa (28/209).
13. Majmu’ Fatawa (28/123).
14. Sebelumnya, Amirul Mukminin ‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu 'anhu telah menghukum Shabigh At-Tamimi yang menanyakan hal-hal mutasyabihat dari Al Qur`an. Beliau memukul kepala Shabigh hingga bercucuran darah, kemudian memerintahkan kaum muslimin menjauhinya selama satu tahun. Dikisahkan setelah itu Shabigh berubah lebih baik. Wallahu a’lam.
15. Majmu’ Al-Fatawa (28/234).
16. Sittud Durar hal. 109.
17. Yakni, membiarkannya tetap tenggelam dalam kejahatan, kemaksiatan kebid’ahan. Wallahu a’lam.
18. Dalam hadits yang dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya (1301).
19. Shahih, HR. Ahmad (12515) dan Muslim (429) dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu.
1. Mukaddimah kitab Al-Jarh wat Ta'dil Ibni Abi Hatim .
2. Namun perlu dipahami, bahkan diyakini bahwa semua hadits yang tsabit (shahih) dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak akan bertentangan dengan Kalamullah (Al Qur`an), karena keduanya adalah wahyu yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sebagaimana ditegaskan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam ayat 3-4 surat An-Najm. Demikian juga, tidak akan bertentangan dengan akal yang sehat. Wallahu a’lam.
3. Mafhum mukhalafah (pengertian balik) makna ayat ini.
4. Dinukil secara ringkas dari Dhawabith Al-Jarh wat Ta'dil (hal 10-16).
5. Jika seorang kritikus secara serampangan mengkritik, akan habis tertolak semua hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal ini menyebabkan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak lagi menjadi sumber syariat Islam yang mulia ini. Dan hal seperti inilah sebetulnya yang diinginkan oleh musuh-musuh Islam seperti antara lain kaum Rafidhah (Syi’ah). Wallahu a’lam, pen.
6. Al-Quran surat An-Nuur ayat 54.
7. Dari pengantar Asy-Syaikh ‘Ubaid Al-Jabiri hafizhahullah terhadap kitab Usus Manhaj Salaf fi da’wati ilallahi karya Asy-Syaikh Fawwaz As-Suhaimi, (hal 7-8).
8. Seperti penciptaan, pengaturan dan sebagainya. Wallahu a’lam.
9. Lihat Sallus Suyuf wal Asinnah (hal 141-142).
10. Yang menolak adanya takdir dan berkeyakinan bahwa semua kejadian di alam ini terjadi begitu saja tanpa campur tangan kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Wallahu a’lam.
11. Dikeluarkan oleh Al-Imam Muslim rahimahullah dalam Shahih-nya, Al-Lalikai rahimahullah dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah 2/588, ‘Abdullah bin Al-Imam Ahmad rahimahullah dalam As-Sunnah (2/420), dan Al-Imam Al-Ajurri rahimahullah dalam Asy-Syari’ah (205).
12. Majmu’ Fatawa (28/209).
13. Majmu’ Fatawa (28/123).
14. Sebelumnya, Amirul Mukminin ‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu 'anhu telah menghukum Shabigh At-Tamimi yang menanyakan hal-hal mutasyabihat dari Al Qur`an. Beliau memukul kepala Shabigh hingga bercucuran darah, kemudian memerintahkan kaum muslimin menjauhinya selama satu tahun. Dikisahkan setelah itu Shabigh berubah lebih baik. Wallahu a’lam.
15. Majmu’ Al-Fatawa (28/234).
16. Sittud Durar hal. 109.
17. Yakni, membiarkannya tetap tenggelam dalam kejahatan, kemaksiatan kebid’ahan. Wallahu a’lam.
18. Dalam hadits yang dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya (1301).
19. Shahih, HR. Ahmad (12515) dan Muslim (429) dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu.
Sumber : asysyariah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar