( Bantahan Terhadap Syubhat 1)
Oleh : Ustadz Muhammad Umar As-Sewed
Dalam masalah penerapan sunnah sering dilontarkan syubhat-syubhat dari
ahlul bid’ah yang menyebabkan umat enggan dan tidak bersemangat untuk
mengamalkannya. Di antaranya syubhat-syubhat yang dipropagandakan oleh
para politikus yang berbaju da’i. Mereka selalu meremehkan masalah fiqih
dan hukum-hukum syari’at dan menganggapnya sebagai perkara remeh dan
sepele. Mereka menganggap pelajaran-pelajaran seperti tauhid uluhiyah,
fiqih syari’ah dan lain-lainnya sebagai kulit (qusyur) dan bukan inti
(lubab) dari ajaran agama ini. Atau mereka menganggapnya sebagai furu’
(cabang) dan bukan perkara ushul (pokok).
Perhatikan perkataan Abdurrahman Abdul Khaliq ketika mengkampanyekan
pentingnya mengenali situasi politik (shifatul ashr) dalam kasetnya
sebagai berikut: “Sayang sekali pada hari ini kita memiliki
syaikh-syaikh para ulama yang hanya mengerti qusyur (kulit Islam) yang
sudah lewat masanya…..”
Para ulama yang tidak mengetahui shifatul ashr dianggap sebagai
orang-orang yang jumud dan hanya mengerti qusyur atau kulit Islam saja.
Ini meru-pakan bentuk pelecehan dan meremeh-kan syariat Allah Azza wa
Jalla yang dibawa oleh para ulama tersebut.
Di tempat lain ia menyatakan bahwa para ulama dikatakan sebagai mumi
yang badannya hidup di zaman kita, sedangkan akal dan pikiran mereka ada
di masa lalu. Atau dengan istilah dia yang lain ‘cetakan lama’, ‘ulama
haid dan nifas’, dan seterusnya.
Ucapan-ucapan ini sama dengan ucapan seluruh ahlul bid’ah sejak dahulu,
apakah dari kalangan mu’tazilah ataupun yang lainnya. Seperti apa yang
diucapkan oleh ‘Amr bin Ubaid: “Ilmunya imam Syafi’i tidak keluar dari
celana dalam perempuan”. Atau istilah-istilah lain yang lebih mengerikan
dari ini.
Semua perkataan itu bertujuan sama, yaitu merendahkan ilmu-ilmu fiqih
seperti hukum haid, nifas, thaharah, mandi junub, dan segala hukum-hukum
yang berkaitan dengan fiqih. Mereka menganggap bahwa perkara itu sangat
rendah yang seharusnya kita lebih mementingkan perkara yang lebih
besar, yaitu wawasan politik, mengenal situasi politik (shifatul ‘ashr),
atau menurut istilah Ikhwanul Muslimin tsaqafah islamiyah, atau fiqhul
waqi’ menurut istilah sururiyyin, dan sistem kepartaian dan demokrasi
serta berbagai macam perkara yang mereka anggap bisa meme-nangkan mereka
dalam percaturan poli-tik dan mencapai puncak kekuasaan yang mereka
inginkan.
Para ulama membantah syubhat mereka ini dari beberapa sisi:
1. Jika pembagian tersebut bertujuan ha-nya untuk mementingkan yang
ushul dan meremehkan yang furu’, maka ini adalah pembagian yang batil.
Kita katakan kepada mereka: ”Tidak ada dalam agama ini perkara yang
remeh” seperti dikatakan oleh Imam Malik. Pada suatu saat Imam Malik
pernah di-tanya dengan satu pertanyaan, kemudian beliau menjawab: “Saya
tidak tahu”. Mendengar jawaban ini si penanya terhe-ran-heran dan
berkata: “Sesungguhnya ini adalah masalah yang sepele, dan aku bertanya
tentang hal ini semata-mata karena ingin memberi tahu kepada sang amir
(penguasa)”. Melihat hal ini, Imam Malik marah seraya berkata: “Kau
kata-kan ini masalah sepele dan remeh? Tidak ada dalam agama ini perkara
yang re-meh! Tidaklah kau mendengar ucapan Allah Azza wa Jalla:
إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلاً ثَقِيلاً. المزمل: 5
“Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat.” (al-Muzammil: 5)
Oleh
karena itu seluruh ilmu agama ini semuanya berat, khususnya karena akan
dipertanyakan pada hari kiamat (Tarti-bul Madariq, Qadli ‘Iyadl 1/184;
Lihat Dlarurarul Ihtimam bis Sunnatin Nabawiyyah, hal. 118)
Perhatikanlah ucapan Imam Malik di atas, bahwasanya perkara agama ini
semuanya penting dan berat karena akan dipertanggungjawabkan di hadapan
Allah kelak. Ucapan itu cukup sebagai bantahan terhadap syubhat dari
ahlul bid’ah yang membagi-bagi agama ini menjadi Qusyur wa Lubab (kulit
dan inti), kemudian mereka meremehkan perkara yang mereka anggap qusyur.
Demi-kian pula sebagian yang lain yang mem-bagi agama ini menjadi Ushul
wal Furu’ (Pokok dan Cabang), dan menganggap remeh masalah furu’ dengan
kalimat-kalimat yang banyak diucapkan seperti: “Inikan masalah furu’,
kenapa harus di-ajarkan?” atau kalimat: “Janganlah ka-lian disibukkan
dengan masalah furu’” dan lain-lainnya.
Ahlul bid’ah selalu sinis terhadap ahlus sunnah yang senantiasa
mengkaji, mempelajari, menulis masalah-masalah fiqih seperti
gerakan-gerakan shalat atau masalah-masalah fiqih lainnya dan
men-cemoohkan mereka dengan kalimat-kali-mat di atas.
2. Pembagian ini merupakan pembagian bid’ah yang tidak ada asalnya.
Dalam hal ini kita dengarkan ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahima-hullah: “Adapun pembagian agama ini dengan istilah masalah ushul
dan furu’ adalah pembagian yang tidak ada dasar-nya (tidak ada asalnya).
Pembagian itu tidak berasal dari para shahabat, para tabi’in maupun
yang mengikuti mereka dengan ihsan, dan tidak pula dari para imam kaum
muslimin. Istilah ini se-sungguhnya diambil dari kaum mu’ta-zilah dan
yang sejenis dengan mereka dari ahlul bid’ah. Kemudian istilah ter-sebut
dipakai oleh sebagian ahlu fiqih da-lam kitab-kitab mereka, padahal
pemba-gian ini sangat kontradiktif”. (Masail Maridiniyah, hal. 788; Lihat Dlaruratul Ihtimam, Syaikh Abdus Salam bin Bar-jas, hal. 111)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata ketika membicarakan pembagian agama
menjadi ushul dan furu’: “Semua pem-bagian yang tidak dapat dibuktikan
de-ngan al-Qur’an dan as-Sunnah serta prin-sip-prinsip syariat, hal itu
adalah pem-bagian yang batil dan harus dibuang. Ka-rena pembagian
seperti ini adalah salah satu dari dasar-dasar kesesatan umat”. (Mukhtashar ash-Shawaiqul Mursalah, 2/415)
3. Tidak ada definisi yang disepakati oleh mereka sendiri, manakah yang dimak-sud ushul dan mana yang dianggap furu’.
Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah diatas, pembagian ini sangat
kontradiktif. Ketika kita tanyakan kepada mereka apakah yang kalian
anggap se-bagai ushul ternyata mereka sendiri berselisih pendapat.
Sebagian mereka menganggap masalah keyakinan (aqidah) sebagai ushul dan
masalah amaliyah (ibadah) sebagai furu’. Kalau demikian apakah mereka
menganggap bahwa shalat sebagai furu’, padahal seluruh umat Islam
mengerti bahwa shalat adalah merupakan salah satu prinsip pokok ajaran
Islam?
Sebagian yang lain mengatakan bah-wa yang merupakan ushul adalah
perkara-perkara yang meyakinkan (muta-watir), sedangkan yang tidak
mutawatir dianggap sebagai perkara furu’ yang meragukan. Ini pun
terbantah karena masalah keyakinan itu berkaitan dengan ilmu, sehingga
berbeda-beda pada tiap orang. Bagi para ulama yang mengerti ilmu hadits,
mereka sangat yakin terha-dap seluruh hadits shahih, apakah ia
mutawatir ataupun tidak.
Sebagian yang lain menyatakan bah-wa perkara ushul adalah
perkara-perkara yang wajib, sedangkan perkara-perkara yang tidak wajib
dianggap furu’. Kalau begitu apakah boleh kita meremehkan perkara yang
tidak wajib?
Sebagian lagi menyatakan bahwa yang merupakan perkara ushul adalah
masalah yang disepakati oleh para ulama, sedangkan masalah furu’ adalah
masalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Bahkan sebagian lainnya
menyatakan bahwa seluruh perkara, baik aqidah, iba-dah, maupun hukum
adalah furu’, sedangkan intinya adalah bersikap baik terhadap sesama
manusia (akhlaq kema-nusiaan).
Ada pula yang menyatakan seperti apa yang banyak diucapkan akhir-akhir
ini bahwa masalah yang merupakan po-kok agama ini adalah berjuang
mencapai kekuasaan melalui sistem demokrasi, wa-laupun harus
mengorbankan prinsip aqi-dah, ibadah dan akhlaq, karena mereka anggap
sebagai furu’.
Akhirnya setiap aliran sesat yang ingin membuang atau meremehkan suatu masalah akan mengatakan masalah itu adalah furu’.
4. Jika pembagian ini dilakukan bertu-juan untuk meremehkan
perkara-per-kara yang mereka anggap sebagai fu-ru’, maka ini adalah
sebesar-besar kebatilan, karena Allah memerintah-kan kita untuk memeluk
agama ini secara keseluruhan.
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلاً تَتَّبِعُوا
خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ. البقرة: 208
“Hai
orang-orang yang beriman, masuk-lah kalian ke dalam Islam secara
keselu-ruhan, dan janganlah kalian turut lang-kah-langkah setan.
Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (al-Baqarah: 208)
Menafsirkan ayat di atas, Ibnu Abbas radhiallahu 'anhu berkata:
“As-Silmi adalah Islam, sedang-kan Kaaffah maknanya adalah
keselu-ruhan”. Berkata Mujahid: “Amalkanlah seluruh amalan dan seluruh
kebaikan”. Juga berkata Ibnu Katsir: “Allah meme-rintahkan kepada
hamba-hamba-Nya yang beriman dan yang membenarkan Rasulullah shalallahu
'alaihi wa sallam agar mengambil seluruh syariat-syariat Islam,
mengamalkan selu-ruh perintah-perintahnya dan mening-galkan seluruh yang
dilarangnya”.
Demikianlah para ulama menafsir-kan ayat di atas, yakni ambillah dari
sya-riat Islam ini secara keseluruhan. Jangan memilih-milih atau
mengambil sebagian dan meremehkan sebagian lainnya. Para ulama tidak
membedakan mana yang ushul dan mana yang furu’. Mereka tidak pula
membedakan mana yang Qusyur dan mana yang Lubab. Kita wajib
meng-ambilnya secara keseluruhan sebagai agama Allah yang mulia dan kita
wajib menghormatinya. Jika hal itu perkara wajib, maka kita harus
mengamalkannya. Dan jika hal itu adalah perkara yang mustahab, maka kita
dianjurkan untuk mengamalkannya. Kalaupun kita tidak mengamalkannya
(karena bukan wajib), kita tetap tidak boleh merendahkannya dan
menganggapnya sebagai perkara yang sepele dengan menyebutkan sebagai
perkara furu’, qusyur, juziyyat dan isti-lah-istilah yang lainnya.
4. Kerasnya para shahabat kepada orang-orang yang meremehkan sunnah, walaupun pada perkara-perkara yang dianggap furu’.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, ketika beliau berkata bahwa Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَمْنَعُوْا نِسَاءَكُمْ الْمَسَاجِدَ. (متفق عليه
“Janganlah kamu cegah perempuan-perempuan kalian (untuk) mendatangi masjid.” (HR. Bukhari Muslim)
Kemudian berkatalah anaknya: “Demi Allah, aku akan melarang mereka ke masjid”. Mendengar ucapan tersebut Ib-nu Umar marah dan memaki anaknya dengan caci makian yang tidak pernah diucapkan sebelumnya, seraya berkata: “Saya katakan ‘Rasulullah berkata’, ke-mudian kamu mengatakan: “Demi Allah akan saya larang?!”
Kemudian berkatalah anaknya: “Demi Allah, aku akan melarang mereka ke masjid”. Mendengar ucapan tersebut Ib-nu Umar marah dan memaki anaknya dengan caci makian yang tidak pernah diucapkan sebelumnya, seraya berkata: “Saya katakan ‘Rasulullah berkata’, ke-mudian kamu mengatakan: “Demi Allah akan saya larang?!”
Dalam riwayat lain dari Ibnu Umar bah-wasanya ia berkata: “Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
ائْذِنُوْا النِّسَاءَ بِاللَّيْلِ إِلَى الْمَسَاجِدَ
“Izinkanlah oleh kalian wanita-wanita pergi ke masjid”.
Maka berkatalah anaknya: “Kalau begitu mereka akan mengambilnya sebagai per-mainan”. Maka Ibnu Umar pun memukul dadanya seraya berkata: “Aku sampaikan kepadamu dari Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam, kamudian kamu mengatakan: “Tidak?!!”” Berkata Imam Nawawi (mengomen-tari riwayat di atas): “Padanya ada dalil untuk menghukum orang yang menen-tang sunnah dan yang membantah de-ngan akal pikirannya”.Wallahu a’lam.
Maka berkatalah anaknya: “Kalau begitu mereka akan mengambilnya sebagai per-mainan”. Maka Ibnu Umar pun memukul dadanya seraya berkata: “Aku sampaikan kepadamu dari Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam, kamudian kamu mengatakan: “Tidak?!!”” Berkata Imam Nawawi (mengomen-tari riwayat di atas): “Padanya ada dalil untuk menghukum orang yang menen-tang sunnah dan yang membantah de-ngan akal pikirannya”.Wallahu a’lam.
Sumber: http://muhammad-assewed.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar