Bagian ke-1
Dalam
mengarungi kehidupan dunia ini, sungguh sangat banyak nikmat yang kita
rasakan. Kenikmatan yang senantiasa datang silih berganti, tak peduli
entah siang atapun malam hari. Kita senantiasa dalam curahan nikmat
dari-Nya. Dan Allah ta’ala menegaskan di dalam Kitab-Nya, bahwa
bagaimanapun usaha seorang hamba untuk menghitung nikmat-Nya,
sekali-kali ia tidak akan mampu melakukannya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَآتَاكُمْ
مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ ۚ وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا
تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ
“Dan
Dia telah memberikan kepadamu segala apa yang kamu mohon kepada-Nya.
Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu
menghitungnya. Sungguh, manusia itu sangat dzalim dan sangat mengingkari
(nikmat Allah).” (QS. Ibrahim:34)
Dan
di antara nikmat Allah yang paling berharga, adalah ketika Allah Ta’ala
memberikan hidayah kepada kita untuk memeluk agama Islam yang mulia
ini. Allah Ta’ala memilihkan agama Islam sebagai agama bagi kita, karena
hanya agama ini yang diterima di sisi-Nya, demikian pula hanyalah
Islam, agama yang diridhai-Nya.
Ini
adalah sebuah nIkmat yang agung. Karena tidakkah setiap insan, Allah
berikan nikmat ini kepadanya. Cobalah tengok dunia luar, bagaimana
kebanyakan manusia berada dalam kesesatan ketika menempuh jalan
kepada-Nya, baik itu dalam bentuk sikap yang berlebihan dalam beragama,
ataupun sikap yang bermudah-mudahan dan meremehkan. Maka, di sinilah
kedudukan agama Islam, di tengah-tengah antara dua sikap yang
berseberangan.
SIKAP TENGAH AGAMA ISLAM
Senantiasa
dalam shalat sehari semalam, kita berdoa, memohon kepada-Nya untuk
memberikan kepada kita jalan yang lurus, jalan yang Dia ridhai. Bukan
jalannya orang-orang yang Ia murkai, dan bukan pula jalannya orang-orang
yang sesat. Yaitu jalannya kaum Yahudi yang Allah murkai, karena Allah
berikan ilmu kepada mereka, tapi mereka enggan untuk mengamalkannya. Dan
bukan pula jalannya kaum Nashara yang tersesat. Karena mereka beribadah
kepada Allah tanpa dasar ilmu. Lalu Allah tunjukkan kepada kita jalan
yang tengah, jalannya orang-orang yang beramal dengan ilmunya, itulah
jalan Islam yang lurus.
Diantara
contoh sikap tengah yang ada dalam agama islam, yaitu dalam mensikapi
Nabiyullah Isa ‘alaihis salam. Di satu sisi, orang-orang Nashara
bersikap ghuluw (berlebih-lebihan) kepadanya, bahkan sampai
mengangkatnya pada derajat Ilah. Dan di sisi yang lain ada kaum Yahudi,
yang mendustakan kenabiannya, dan bahkan berusaha untuk membunuhnya.
Maka
agama Islam berada di tengah-tengah antara dua sisi yang bertolak
belakang ini. Agama Islam memposisikan Nabi Isa ‘alaihis salam
sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi mereka Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam, yaitu meyakini bahwa Nabi Isa ‘alaihis salam adalah seorang
hamba dan untusan-Nya, dan kalimat-Nya yang Ia tiupkan pada Maryam.
Contoh
yang lainnya, dalam mensikapi wanita yang sedang haidh. Di satu sisi,
orang-orang Nashara yang bermudah-mudahan dalam hal ini, sehingga ketika
istri-istri mereka dalam keadaan haidh, mereka tidak perduli dan tetap
saja menggauilinya. Berbeda halnya dengan kaum Yahudi, yang mana mereka
tidak mau untuk duduk bersama istrinya yang haidh, makan bersamanya,
bahkan mereka mengeluarkannya dari rumah mereka ke tempat khusus, hingga
selesai dari haidhnya.
Maka
agama Islam bersikap tengah, dengan mengharamkan bagi suami untuk
menggauli istrinya yang haidh, akan tetapi dihalalkan untuk duduk
bersamanya, bahkan dihalalkan bagi suami untuk bersenang-senang dengan
istrinya ketika haidh, selama hal itu bukan pada kemaluannya.
Inilah
di antara sikap tengah agama Islam, di antara sikap berlebih-lebihan,
dan sikap bermudah-mudahan. Ini merupakan salah satu hikmah dari
hikmah-hikmah agama Islam.
Bersambung, insya Allah.
Abu Umair Abdulaziz bin Slamet al-Bantuly
Darul Hadits Fuyusy, Yaman.
Sumber : WA Salafy Lintas Negara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar