Berikut
ini terdapat beberapa tulisan/ pernyataan dari sebagian saudara kita
yang mempertanyakan tentang keharusan berilmu sebelum beramal dan
berdakwah.
Akan
kami kutipkan pernyataan tersebut, kemudian setelah itu akan disebutkan
tanggapan dan penjelasannya, bi idznillah. Semoga Allah Subhaanahu Wa
Ta’ala memberikan taufiq kepada kita semua :
BERILMU SEBELUM BERAMAL
(a) Beramal itu memerlukan ilmu, dan ini sudah jelas dipahami semua orang.
(b) Berilmu itu berarti “mempunyai ilmu”, TETAPI pengertiannya BUKAN BERATI “menumpuk-numpuk ilmu”.
(c)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh orangtua untuk
menyuruh anaknya kalau sudah 7 tahun untuk SHOLAT. Seberapa BANYAK ILMU
ketika anak itu disuruh untuk Sholat?
(d)
Abu Bakar RA masuk Islam, kemudian Abu Bakar RA langsung terjun da’wah
dan besoknya 5 orang masuk Islam di hadapan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Seberapa BANYAK ILMU Abu Bakar RA ketika masuk Islam
dan langsung terjun da’wah saat itu?
(e)
Seorang ayah menyuruh anak-anaknya puasa di bulan Ramadhan. Seberapa
BANYAK ILMU PUASA ketika menyuruh anak-anaknya untuk puasa di bulan
Ramadhan?
- Apakah ayah itu harus hafal seluruh dalil-dalil perihal puasa, kemudian menyuruh anaknya puasa di bulan ramadhan?
- Apakah anak-anaknya itu harus hafal dahulu dalil puasa, kemudian puasa di bulan ramadhan?
(f)
Artinya “BERILMU SEBELUM BERAMAL”, itu memang benar adanya. TETAPI
ummat Islam harus bisa memahami pemahaman yang benar, jangan akhirnya
harus banyak dahulu dalil, kemudian terjun da’wah. Nanti akhirnya banyak
dahulu dalil, baru menyuruh anaknya untuk sholat dan puasa. Akhirnya
anak-anaknya banyak yang tidak sholat dan puasa, KARENA orangtuanya
harus harus BANYAK ILMU DAHULU baru menyuruh sholat.
(g)
sama halnya dengan Ummat Islam, karena HARUS BANYAK ILMU DAHULU UNTUK
DA”WAH, maka akhirnya ummat Islam banyak yang TIDAK SHOLAT, TIDAK PUASA,
dikarenakan ummat Islam meninggalkan dari da’wah itu sendiri.
(h)
KESALAHAN MEMAHAMI, MAKA AKAN BERDAMPAK PADA KEKERDILAN BERPIKIR DAN
BERAMAL. Dan ini yang banyak terjadi di kalangan Ummat Islam sekarang
ini.
Pikirkan!
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh orangtua untuk menyuruh anaknya
kalau sudah 7 tahun untuk SHOLAT. Seberapa BANYAK ILMU ketika anak itu
disuruh untuk Sholat?kalau menunggu tahu betul dan hapal dalil-dalilnya
sholat maka Insya Alloh umur 7 tahun belum sholat..
------ akhir kutipan --------
TANGGAPAN DAN PENJELASAN:
Telah
kita maklumi bersama bahwa sebelum seorang mengamalkan suatu amal
ibadah, ia harus berilmu terlebih dahulu. Sebelum ia berdakwah, ia harus
berilmu terlebih dahulu.
Al-Imam
al-Bukhari menuliskan bab khusus dalam Shahihnya : Ilmu (Didahulukan)
sebelum Perkataan dan Perbuatan. Beliau berdalil dengan ayat :
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
“Maka
ketahuilah (berilmulah), bahwasanya tidak ada yang sesembahan yang haq
kecuali Allah dan mohonkanlah ampunan untukmu dan untuk kaum beriman
laki-laki maupun wanita”. (Q.S Muhammad: 19).
Dalam
ayat ini, Allah perintahkan untuk berilmu terlebih dahulu, kemudian
berakidah bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah, dan
beristighfar (beramal atau berucap). Itu menunjukkan bahwa ilmu adalah
pondasi sebelum seorang berakidah, berucap dan berbuat.
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala juga berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Janganlah
engkau berkata terhadap apa yang engkau tidak berilmu. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan, dan hati semua itu akan dimintai
pertanggungjawabannya” (Q.S al-Israa’: 36).
Dakwah (mengajak orang ke jalan Allah) juga harus didasarkan pada ilmu.
Seseorang
ketika akan berdakwah, ia harus mendasarkan dakwahnya pada ilmu.
Berdakwah dengan dilandasi ilmu adalah sikap dan perbuatan para pengikut
Nabi. Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي…
“Katakanlah:
Ini adalah jalanku. Aku berdakwah (mengajak manusia) menuju Allah, di
atas bashirah. (Ini dilakukan oleh ) aku dan orang-orang yang mengikuti
aku…” (Q.S Yusuf ayat 108)
Apa
yang dimaksud dengan bashirah? Padahal dakwah harus didasarkan pada
bashirah. Makna bashirah adalah pengetahuan (ilmu) yang membedakan
antara al-haq dengan al-batil. Definisi itu dijelaskan oleh al-Imam
al-Baghowy (salah seorang Ulama bermadzhab Syafii) dalam tafsirnya
(4/284)).
Syaikh Ibn Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa
al-bashirah mengandung 3 hal:
Berilmu ttg materi yang akan disampaikan/ didakwahkan berdasarkan dalil-dalil al Quran dan Sunnah Nabi.
Berilmu ttg keadaan orang-orang yang didakwahi.
Berilmu ttg cara yang terbaik utk mendakwahi orang-orang tsb.
Karena
itu landasan untuk beramal atau berdakwah tidak boleh sekedar
ikut-ikutan (taklid: hanya berdasarkan katanya….katanya….), tapi harus
ittiba’ (mengikuti dalil). Dalil yang dijadikan acuan adalah al-Quran
dan Sunnah Nabi yang shahih, dengan pemahaman para Sahabat Nabi.
Dalam
sebagian hadits,Nabi menyebutkan keadaan orang yang diadzab di alam
kubur adalah orang-orang munafik atau kafir yang mendasarkan akidahnya
pada katanya dan katanya (hanya sekedar ikut-ikutan tanpa dalil).
وَأَمَّا
الْكَافِرُ أَوْ الْمُنَافِقُ فَيَقُولُ لَا أَدْرِي كُنْتُ أَقُولُ مَا
يَقُولُ النَّاسُ فَيُقَالُ لَا دَرَيْتَ وَلَا تَلَيْتَ ثُمَّ يُضْرَبُ
بِمِطْرَقَةٍ مِنْ حَدِيدٍ ضَرْبَةً بَيْنَ أُذُنَيْهِ فَيَصِيحُ صَيْحَةً
يَسْمَعُهَا مَنْ يَلِيهِ إِلَّا الثَّقَلَيْنِ
“Sedangkan
orang kafir atau munafiq mereka mengatakan: “Saya tidak mengetahui
(tidak berilmu). Saya katakan seperti yang diucapkan orang-orang”. Maka
dikatakan kepadanya (orang itu): Engkau tidak (mau) mengetahui dan
engkau tidak (mau) membaca. Kemudian ia dipukul dengan palu dari besi
sekali pukul di antara kedua telinganya, maka ia berteriak dengan
teriakan yang didengar makhluk di sekelilingnya kecuali Jin dan manusia” (H.R al-Bukhari no 1252 dari Anas bin Malik)
Hadits
ini memberikan pelajaran kepada kita untuk cermat dan semangat dalam
mempelajari ilmu Dien. Karena sangat banyak sekali yang beredar di
tengah-tengah masyarakat kita hal-hal yang sekedar katanya dan katanya,
padahal hal itu tidak berdasar dalil al-Quran maupun hadits Nabi yang
shahih. Padahal, jika kita melandaskan pengamalan Dien kita hanya
berdasarkan katanya orang-orang awam, maka kita terancam mendapatkan
adzab kubur seperti yang disebutkan dalam hadits di atas, karena kita
tidak tergerak untuk mencari tahu dalilnya, dan belajar ilmu Dien secara
benar. Merasa cukup dengan pengetahuan yang dimiliki padahal
pengetahuannya hanya berdasarkan asumsi dan persangkaan saja.
Merasa
diri sudah berilmu tentang itu padahal belum.Salah satu bentuk
ketidakpedulian terhadap ilmu adalah ketidakpedulian terhadap penelitian
status keshahihan hadits. Padahal itu adalah salah satu bentuk bashirah
dalam berdakwah. Seseorang dikatakan memiliki bashirah dalam dakwah
jika ia menyampaikan hadits-hadits yang jelas berasal dari Nabi, dan
tidak menyampaikan hadits-hadits palsu atau lemah yang dianggap
kebanyakan orang berasal dari Nabi. Memisahkan mana hadits yang bisa
dijadikan hujjah dan mana yang tidak adalah bagian dari memisahkan
al-haq dengan yang batil, dan itulah bashirah yang . merupakan salah
satu syarat dalam berdakwah, seperti dalam surat Yusuf ayat 108 di atas.
Lalu, sampai batas mana ilmu yang kita miliki kita dakwahkan kepada orang lain?
Sebatas
yang kita tahu ilmunya, itulah yang kita sampaikan. Jangan memaksakan
diri menyampaikan hal-hal yang kita sendiri belum tahu ilmunya.
Sahabat Nabi Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu menyatakan:
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ مَنْ عَلِمَ شَيْئًا فَلْيَقُلْ بِهِ وَمَنْ لَمْ
يَعْلَمْ فَلْيَقُلْ اللَّهُ أَعْلَمُ فَإِنَّ مِنْ الْعِلْمِ أَنْ يَقُولَ
لِمَا لَا يَعْلَمُ اللَّهُ أَعْلَمُ
“Wahai
sekalian manusia, barangsiapa yang mengetahui (berilmu) tentang
sesuatu, maka ucapkanlah (sampaikan) sesuai ilmunya. Barangsiapa yang
tidak mengetahui sesuatu, maka katakanlah : Allaahu A’lam (Allah yang
Paling/ Lebih Tahu). Karena sesungguhnya termasuk bagian dari ilmu
adalah seseorang mengatakan Allahu A’lam dalam hal-hal yang tidak
diketahuinya”. (riwayat al-Bukhari dan Muslim)
Bukanlah
sebuah keharusan kita mengetahui dalil secara lengkap dengan tepat
persis lafadznya kata per kata. Bukanlah sebuah keharusan setiap kali
kita mengajak orang untuk mengamalkan sesuatu, kemudian kita sampaikan
lafadz haditsnya diriwayatkan oleh siapa dari Sahabat siapa. Itu bukan
keharusan. Jika itu dilakukan, itu adalah tambahan kebaikan dan
kesempurnaan, tapi bukan keharusan.
Cukup
seseorang yang melarang saudaranya sesama muslim laki-laki yang memakai
sutera atau emas menyatakan: Wahai saudaraku, janganlah memakai itu.
Bukankah Nabi kita telah melarangnya dalam hadits-hadits yang shahih?
Ucapan demikian sudah termasuk menyertakan dalil. Tidak harus dia tahu
dan hafal persis lafadz haditsnya. Tapi yang jelas ia tahu dengan yakin –
karena pernah mendengar dari majelis ilmu atau sumber lain yang berasal
dari Ahlul Ilmi- bahwa itu memang berasal dari hadits yang shahih.
Maka, dalam hal ini ia telah berdakwah sesuai dengan dalil.
Tidak
sedikit para Sahabat Nabi ketika melarang dari suatu hal mereka sekedar
menyatakan: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam melarang dari hal
itu. Atau, para Sahabat menyatakan: termasuk Sunnah adalah begini dan
begini...Kadangkala sebagian Sahabat menyatakan : Hal itu dilakukan oleh
orang yang lebih baik dari aku (maksudnya Rasulullah shollallahu alaihi
wasallam), atau dengan kalimat yang semakna dengan itu. Itu semua
adalah bentuk penyampaian dalil. Walaupun banyak pula penyampaian dari
Sahabat Nabi yang meriwayatkan persis secara lafadz kata per kata.
Dalam
kondisi tertentu, dalam berdakwah cukup bagi kita untuk menyampaikan
fatwa Ulama’ saja, karena fatwa Ulama Ahlussunnah adalah berisi ilmu.
Allah perintahkan kepada kita untuk bertanya kepada para Ulama’ dalam
permasalahan agama jika kita tidak tahu.
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada Ulama jika kalian tidak mengetahui “. (Q.S anNahl ayat 43 dan al-Anbiyaa’ ayat 7).
Allah
perintahkan kepada kita untuk bertanya kepada Ulama dalam hal-hal yang
tidak kita ketahui. Jawaban para Ulama itu berupa fatwa-fatwa.
Kadangkala mereka sertakan dalil. Kadangkala dengan keadaan tertentu,
mereka jawab secara ringkas, tanpa menyertakan dalil. Bukan karena
mereka tidak tahu, tapi justru tidak disertakannya dalil itu sebagai
bentuk kasih sayang kepada kita. Karena jika disebutkan semua dalil,
kita yang lemah ilmu itu justru sulit menyimpulkan keterkaitan antar
dalil itu. Karena kelemahan kita, kadangkala suatu dalil yang memang
menunjukkan suatu hal, kita anggap tidak ada hubungannya sama sekali.
Inilah
bedanya jika kita ikuti ucapan orang awam yang katanya dan katanya
–seperti disebutkan contoh taklid di atas- dengan kalau kita beramal
dengan fatwa Ulama’. Dalam kondisi kita belum sempat atau belum mampu
mencari dalilnya secara langsung, fatwa Ulama bisa dijadikan patokan.
Fatwa Ulama juga menjadi pedoman dalam memahami dan menerapkan dalil.
Hal
yang salah adalah jika seseorang memanfaatkan ketergelinciran seorang
Ulama dalam sebagian fatwanya padahal jelas bertentangan dengan dalil
shahih –karena belum sampainya hujjah kepada beliau-, dan berbeda dengan
penjelasan Ulama Ahlussunnah yang lain yang berhujjah dengan hujjah
yang kuat dan benar.
Kadangkala, kita hanya perlu memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar tanpa harus menyertakan dalil.
Karena
itu, seorang ayah yang memerintahkan anaknya usia tamyiz 7 tahun untuk
sholat, tidaklah mesti menyajikan dalil-dalil yang detail dalam
perintahnya. Karena dalam hadits Nabi, kewajiban sang ayah adalah
sekedar ‘memerintahkan’, tidak harus menyertakan dalil.
Tentunya
perintah ini harus diiringi dengan adab dan teladan yang baik serta
pengarahan bagaimana tata cara sholat yang benar. Tentunya hal itu harus
dilandasi dgn ilmu, bukannya tanpa ilmu sama sekali.
Nabi shollallahu alaihi wasallam bersabda:
مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ
“Perintahkan
anak-anak kalian untuk sholat pada saat usia mereka 7 tahun, dan
pukullah mereka (jika meninggalkan sholat) pada saat usia 10 tahun”. (H.R Abu Dawud)
Sedangkan
untuk menyuruh anak berpuasa, bisa melalui latihan berpuasa saat mereka
masih belum baligh, dan barulah mereka berkewajiban menunaikan puasa
saat sudah mencapai usia baligh (sekitar 15 tahun atau sebelum itu jika
telah terpenuhi syarat-syarat baligh).
Menuntut
ilmu bukanlah sekedar mengumpulkan riwayat dan hafalan atau tulisan.
Bukan itu tujuannya. Menuntut ilmu bertujuan untuk membuahkan amal
sholih, meningkatkan taqwa dan perasaan takut kepada Allah. Semoga Allah
memberikan taufiq kepada kita.
Menuntut
ilmu bertujuan –dengan niat ikhlas karena Allah- untuk menghilangkan
kebodohan dalam diri kita sendiri kemudian setelah itu menghilangkan
kebodohan (ketidaktahuan) pada saudara kita yang lain melalui ta’lim,
dakwah, dan penyampaian (tabligh).
Sebagian
orang meremehkan diadakannya majelis ilmu dan ta’lim, dianggap tidak
berkontribusi banyak dan kurang manfaatnya bagi kaum muslimin. Padahal
melalui majelis ilmu di masjid-masjidlah lahir para Ulama besar,
bertaubat serta mendapat hidayah sekian banyak orang, tercetak
generasi-generasi yang berakidah Islam dengan benar. Tidak ada yang bisa
menghitung demikian banyak dan besar manfaatnya majelis-majelis ilmu
itu secara pasti selain Allah.
Melalui majelis ilmu-lah terkumpul dua hal utama: menuntut ilmu dan dakwah (tabligh).
Majelis ilmu adalah Sunnahnya Nabi dan para Sahabatnya. Melalui majelis ilmu itulah kemudian berkembang dakwah Islam.
Abu
Bakr as-Shiddiq radhiyallahu anhu segera bersemangat untuk mendakwahkan
Islam kepada orang-orang yang dikenalnya. Sehingga melalui beliau masuk
Islamlah beberapa Sahabat Nabi seperti Utsman bin Affan, Abdurrahman
bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, az-Zubair bin al-Awwam, dan Abu Ubaidah
bin al-Jarrah.
Hal yang dilakukan oleh Abu Bakr as-Shiddiq radhiyallahu anhu adalah:
Mendakwahkan kepada orang –orang dekat dan yang sudah dikenal.
Mendakwahkan tauhid (Laa Ilaaha Illallah)/ akidah sehingga mereka mau masuk Islam.
Hal
ini bertentangan dengan yang dilakukan sebagian orang yang meniatkan
safar untuk berdakwah ke luar kota, mengajak orang-orang yang tidak
dikenal. Dengan alasan, kalau menyampaikan kepada orang yang belum
dikenal akan lebih mudah dan tidak malu. Sedangkan orang-orang terdekat
dan yang dikenal serta bisa menerima dakwah masih butuh dengan
dakwahnya, tapi lebih sering ia tinggalkan untuk tujuan dakwah ke tempat
yang lebih jauh dan berpindah-pindah. Selain itu, mereka hanya
mengajarkan fadhilah-fadhilah amal saja. Tidak menjelaskan tentang
akidah dan fiqh Islam dengan alasan itu banyak khilafiyah di dalamnya
dan bisa memecah belah kaum muslimin.
Padahal,
yang didakwahkan Abu Bakr as-Shiddiq adalah masalah akidah. Akibat dari
dakwah Abu Bakr itulah kemudian Sahabat-Sahabat yang diajaknya itu
menjadi masuk Islam dan meninggalkan kesyirikan. Berbeda dengan
sekelompok orang-orang tersebut yang justru meninggalkan pembicaraan
tentang tauhid Uluhiyyah dan kesyirikan karena khawatir memecah belah
kaum muslimin. Belum lagi tentang masalah fiqh, mereka juga tidak
membahasnya. Padahal dengan pembahasan fiqh yang didasarkan pada dalil
yang shahih seseorang bisa sholat dan beribadah dengan cara yang benar.
Mereka hanya mengajak orang untuk sholat, tapi tidak mendetailkan
bagaimana tata cara sholat yang benar. Sekali lagi pembahasan itu
ditinggalkan/ diabaikan dengan alasan khawatir memecah belah umat.
Tidaklah
umat bisa bersatu kecuali dengan cara bersatunya para Sahabat Nabi.
Mereka hanya bisa dipersatukan di atas tauhid dan Sunnah Nabi
shollallahu alaihi wasallam. Konsekuensi dari menyampaikan tauhid adalah
memperingatkan dari bahaya kesyirikan. Konsukensi dari menyampaikan
Sunnah Nabi adalah memperingatkan dari bahaya kebid’ahan. Dua sisi yang
tidak bisa terpisahkan.
Selain
itu, safar untuk tujuan dakwah (menyampaikan ilmu) di masa Nabi tidak
dilakukan oleh setiap Sahabat Nabi. Tapi Sahabat-Sahabat pilihan yang
telah kokoh keilmuannya. Tidak setiap orang yang baru kenal Islam, atau
baru semangat untuk belajar Islam langsung diarahkan untuk berdakwah
secara khusus dengan melakukan safar 3 hari, 7 hari, atau 40 hari, dan
semisalnya.
Nabi
mengutus Muadz ke Yaman untuk berdakwah karena beliaulah (Muadz) yang
paling mengenal halal dan haram di kalangan umat Nabi. Karena itu,
sebagai penyampai dakwah ke luar, bukanlah setiap orang bisa. Tapi hanya
orang yang berilmu.
Orang
yang baru kenal Islam atau baru semangat untuk kembali mempelajari
Islam, harusnya lebih banyak diarahkan untuk mempelajari ilmu yang benar
(bukan sekedar fadhilah-fadhilah amal saja). Bukannya diarahkan untuk
safar dengan tujuan utama berdakwah. Kalaulah diarahkan untuk safar,
mestinya tujuan utamanya adalah untuk menuntut ilmu, bukan dakwahnya.
Sebagaimana
yang dilakukan oleh para Sahabat Nabi di masa dulu. Mereka melakukan
perjalanan lintas kota bahkan negara untuk mendengar satu atau beberapa
hadits saja. Tujuan utama adalah menuntut ilmu.
Tentu
saja sekali lagi ditekankan, setiap orang yang telah berilmu dituntut
beramal dan berdakwah sesuai ilmunya. Sesuai kadarnya. Namun, untuk
tujuan utama berdakwah hingga melakukan safar, tidaklah yang
melakukannya kecuali orang yang benar-benar kokoh keilmuannya.
Sebagaimana hal itu dilakukan oleh para Sahabat Nabi.
Sedangkan
untuk menuntut ilmu dengan safar, sebelumnya telah dilakukan Nabiyullah
Musa ‘alaihissalam atas perintah Allah untuk melakukan safar dalam
rangka menuntut ilmu ke Khidhr. Seperti yang dikisahkan dalam Surat
al-Kahfi ayat 60-82.
Karena itu, jika ada sekelompok orang yang bertujuan menyampaikan dakwah (tabligh), namun :
- Tidak menguatkan pondasi ilmu sebelumnya
- Tidak membahas akidah dalam tablighnya
- Tidak membahas fiqh dalam tablighnya
- Hanya membahas fadhilah-fadhilah amal atau adab-adab saja.
- Tidak perhatian terhadap keshahihan atau kelemahan hadits.
- Menganjurkan setiap orang untuk keluar berdakwah, meski mereka masih sangat butuh dengan ilmu yang benar.
Maka
ketahuilah bahwa apa yang dilakukan itu pada hakekatnya bukanlah
tabligh (penyampaian ilmu), akan tetapi justru tabliid (pembodohan).
Semoga Allah Subhaanahu Wa Ta’ala senantiasa melimpahkan rahmat, hidayah, dan ampunanNya kepada seluruh kaum muslimin.....
Sumber : WA al-I'tishom - Probolinggo
Oleh : Al Ustadz Abu Utsman Kharisman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar