HADITS KEDUABELAS
عَنْ
أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «إذَا أَتَيْتُمْ
الْغَائِطَ، فَلَا تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ بِغَائِطٍ وَلَا بَوْلٍ،
وَلَا تَسْتَدْبِرُوهَا، وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا».
قَالَ
أَبُو أَيُّوبَ: ” فَقَدِمْنَا الشَّامَ، فَوَجَدْنَا مَرَاحِيضَ قَدْ
بُنِيَتْ نَحْوَ الْكَعْبَةِ، فَنَنْحَرِفُ عَنْهَا، وَنَسْتَغْفِرُ
اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ”.
“dari
Abu Ayyub_radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Apabila kalian mendatangi tempat buang hajat, maka
janganlah kalian menghadap kiblat saat buang air besar atau buang air
kecil dan jangan pula membelakanginya, tetapi menghadaplah ke timur atau
ke barat.”
Abu
Ayyub berkata; “Saat kami mendatangi negeri Syam, kami mendapati WC
(disana) dibangun menghadap kiblat, lalu kami berpaling darinya dan
meminta ampun kepada Allah.” [HR. Al Bukhary – Muslim]
HADITS KETIGABELAS
عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا –
قَالَ: «رَقَيْتُ يَوْمًا عَلَى بَيْتِ حَفْصَةَ، فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ –
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَقْضِي حَاجَتَهُ مُسْتَقْبِلَ
الشَّامَ، مُسْتَدْبِرَ الْقِبْلَةِ».
“dari
Ibnu Umar_radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Suatu hari saya memanjat
rumah Hafshah. Maka saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
duduk untuk buang hajat dalam keadaan menghadap Syam dan membelakangi
kiblat.”
[HR. Al Bukhary – Muslim]
Faedah yang terdapat dalam Hadits:
1.
Larangan menghadap kiblat dan membelakanginya disaat buang hajat. Namun
para ulama berbeda pendapat dari sisi hukumnya menjadi delapan pendapat
sebagaimana disebutkan oleh Asy Syaukani dalam kitab Nail Al Authar,
namun kita sebutkan disini hanya empat pendapat yang terkuat dari sekian
pendapat yang ada;
Pendapat
pertama; hukumnya haram secara mutlak, baik buang hajatnya didalam WC
maupun di padang pasir atau yang semisalnya. Ini adalah pendapat Abu
Ayyub, Mujahid, An Nakha’i, Ats Tsauri, dan pendapat ini didukung dan
dipilih oleh Ibnu Hazem, Syaikhul Islam, Ibnul Qayyim dan Syaikh Al
Albani_rahimahumullah.
Diantara dalil-dalil mereka adalah:
a. Hadits Abu Ayyub diatas.
b. Hadits Abu Hurairah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda;
« إِذَا جَلَسَ أَحَدُكُمْ عَلَى حَاجَتِهِ فَلَا يَسْتَقْبِلْ الْقِبْلَةَ وَلَا يَسْتَدْبِرْهَا».
“Jika
salah seorang dari kalian duduk untuk memenuhi hajatnya, maka janganlah
dia menghadap kiblat dan jangan pula membelakanginya.” [HR. Muslim]
-
Sisi pendalilan mereka: bahwa hadits ini menunjukan secara mutlak
larangan menghadap kiblat dan membelakanginya disaat buang hajat.
Pendapat
kedua; Hukumnya boleh secara mutlak, baik buang hajatnya didalam WC
maupun di padang pasir atau yang semisalnya. Ini adalah pendapat ‘Urwah
bin Zubair, Rabi’ah dan Dawud Azh Zhahiri_rahimahumullah.
Diantara dalil-dalil mereka adalah:
a. Hadits Ibnu ‘Umar diatas.
b. Hadits Jabir, ia berkata;
«نَهَى
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَسْتَقْبِلَ
الْقِبْلَةَ بِبَوْلٍ، فَرَأَيْتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْبَضَ بِعَامٍ
يَسْتَقْبِلُهَا»
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang kami buang air kecil
menghadap kiblat. Namun saya melihat beliau setahun sebelum wafat,
beliau kencing menghadap kiblat.”
[HR. Ahmad dan Ashhab As Sunan, kecuali An Nasa'i. Hadits ini telah dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dan Syaikh Muqbil]
Sisi Pendalilan mereka: Hadits Jabir ini menghapus hukum larangan menghadap kiblat atau membelakanginya disaat buang hajat.
Pendapat
ketiga; Hukumnya haram apabila di tempat terbuka seperti padang pasir
atau yang semisalnya. Namun apabila didalam WC atau tempat tertutup maka
tidak mengapa. Ini adalah pendapat Imam Malik, Asy Syafi’i, Ahmad,
Ishaq dan yang lainnya. Dan dinisbahkan oleh Ibnu Hajar bahwa ini adalah
pendapat jumhur ulama. Pendapat ini didukung dan dipilih oleh Al
Bukhari, Ibnul Mundzir, Ibnu ‘Abdil Bar, Al Khathaabi dan Syaikh
Muqbil_rahimahumullah.
Dalil
mereka adalah: Hadits Ibnu ‘Umar menunjukan bolehnya menghadap kiblat
atau membelakanginya disaat buang hajat jika di WC atau tempat tertutup.
Adapun ditempat terbuka seperti padang pasir atau yang semisalnya maka
tidak boleh.
Pendapat
keempat; Hukumnya makruh, baik buang hajatnya didalam WC maupun di
padang pasir atau yang semisalnya. Ini adalah pendapat An Nakha’i, Ahmad
dan Abu Hanifah dalam salah satu riwayat mereka dan juga Abu Tsaur.
Pendapat ini dipilih oleh Syaikhuna Abdurrahman Al ‘Adeni_hafizhahullah.
Dalil
mereka adalah menggabungkan semua hadits-hadits yang berkenaan dengan
masalah ini. Mereka berkata:”Apabila terdapat dalil-dalil yang
kelihatannya saling bertentangan dalam satu masalah dalam keadaan semua
dalil tersebut adalah shahih; sebagian hadits menunjukan keharaman dan
sebagian yang lainnya menunjukan kehalalan atau boleh, maka selama
memungkinkan dalil-dalil tersebut dijamak (digabungkan) hukumnya, maka
langkah ini lebih diutamakan untuk ditempuh daripada menempuh langkah
nasikh dan mansukh (penghapusan hukum) salah satu dalil yang ada. Dengan
langkah ini, maka kita nyatakan bahwa larangan tersebut kita bawa
kepada hukum makruh, bukan haram, karena perbuatan Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam melakukan hal tersebut menunjukan bahwa hal tersebut
tidaklah haram untuk dilakukan, melainkan makruh saja.”
Kesimpulan:
Dari
empat pendapat yang telah kita paparkan diatas, yaitu tentang hukum
buang hajat menghadap kiblat atau membelakanginya, maka pendapat yang
terkuat dan yang kami pilih dalam masalah ini – wallahu a’lam – adalah
pendapat terakhir yang mengatakan bahwa hukum dalam masalah ini adalah
makruh. Alasan kita memilih pendapat ini adalah:
a.
Hukum asal suatu larangan adalah haram, namun telah datang dari hadits
Ibnu ‘Umar dan juga hadits Jabir diatas, memalingkan hukum dari haram
menjadi makruh. Karena perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam
dua hadits ini memberikan faedah bahwa hal itu tidak dilarang.
b.
Jika alasan dibedakannya hukum antara di WC dan padang pasir karena di
WC terhalangi oleh tembok, sehingga tidak menghadap kiblat atau
membelakanginya secara langsung disaat buang hajat, maka dijawab:
“bukankah orang yang buang hajat dipadang pasir atau yang semisalnya
juga terhalangi oleh gunung atau gedung-gedung atau pohon-pohon yang
berada antara dia dengan kiblat?!
c.
Adapun yang mengklaim bahwa perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
itu adalah khushushiyah untuk beliau, maka ini adalah pengklaiman tanpa
didasari dengan dalil. Karena hukum asal apa saja yang datang dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam adalah untuk dicontoh, sebagaimana firman
Allah ta’ala:
{لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي
رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ
وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا}
“Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” [QS. Al Ahzab: 21]
{وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا}
“Apa yang datang dari Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah” [QS. Al Hasyr: 7]
Masalah: Hukum buang hajat dengan menghadap Baitul Maqdis atau membelakanginya?
Pendapat
yang terpilih adalah boleh, tidak ada kemakruhan padanya. Ini adalah
pendapat jumhur ulama dan dipilih oleh Syaikhuna Abdurrahman Al
‘Adeni_hafizhahullah.
Adapun hadits Ma’qil bin Abi Ma’qil As Asady, ia berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَتَيْنِ بِبَوْلٍ أَوْ غَائِط
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kita menghadap dua kiblat (Makkah
dan Baitul Maqdis) pada saat buang air besar atau buang air kecil.”
[HR. Abu Dawud, didha'ifkan Syaikh Al Albani karena pada sanadnya terdapat perawi bernama Abu Zaid, dia perawi yang mungkar]
Masalah: Hukum Istinja setelah buang hajat dengan menghadap kiblat atau membelakanginya?
Tidak
ada dalil yang jelas menunjukan larangan hal ini. Ini adalah pendapat
jumhur ulama dan dipilih oleh Syaikhuna Abdurrahman Al
‘Adeni_hafizhahullah.
2.
Berkata Ibnu Hajar_rahimahullah: “Ibnu Umar_radhiyallahu ‘anhuma
tidaklah bermaksud ingin mengawasi (perbuatan) Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam disaat itu, tidaklah dia naik atap tersebut melainkan karena
kebetulan ada hajat yang darurat, hal ini sebagaimana yang ditunjukan
dalam suatu riwayat dengan lafadz “(kebetulan) aku menoleh sebentar”
yaitu riwayat Al Baihaqi dari jalan Nafi’ dari Ibnu ‘Umar. Ya, telah
tersepakati dari riwayat yang ada bahwa hal ini bukan kesengajaan,
sehingga karena tidak ingin kehilangan faedah, maka beliau menjaga hukum
syar’i ini (untuk disampaikan). [Fathul Bari 1/247]
Wallahu a’lam wal muwaffiq ila ash shawab
[✏ ditulis oleh Abu 'Ubaidah Iqbal bin Damiri Al Jawy_13 Shafar 1435/16 Des. 2013_di Daarul Hadits Al Fiyusy_Harasahallah ]
Sumber : WhatsApp Salafy Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar