Agama Syiah menganggap dirinya sebagai pecinta keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Mereka menampakkan diri seolah-olah hanya merekalah yang cinta kepada
ahlul bait. Setelah itu, mereka menuduh Ahlus Sunnah (Islam) sebagai
kelompok nawashib, yang bermakna membenci Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dan membenci keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebenarnya, kalau menilai secara adil, kita akan mengetahui bahwa Ahlus Sunnah sangat mencintai keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak membenci seorang pun dari mereka yang mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dalil-dalil tentang keutamaan ahlul bait sangat banyak disebutkan dalam
riwayat-riwayat Ahlus Sunnah, baik al- Qur’an maupun hadits-hadits
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wata’ala,
إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, wahai ahlul bait, dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya.” (al-Ahzab: 33)
Al-Qurthubi rahimahullah
menjelaskan ayat ini, “Yang tampak, ayat ini bersifat umum, mencakup
seluruh keluarga Nabi n, dari kalangan istri-istrinya dan yang lainnya.”
(Tafsir al-Qurtubi, 14/183)
Ahlus Sunnah juga meriwayatkan dari jalur Adi bin Tsabit, dari Zir, dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Demi Allah yang membelah biji-bijian dan yang menciptakan makhluk. Sesungguhnya janji Nabi yang ummi n kepadaku, bahwa tidak ada yang mencintaiku selain seorang mukmin, dan tidak ada yang membenciku selain seorang munafik.” (HR. Muslim no. 78)
Seandainya Ahlus Sunnah membenci Ali radhiyallahu ‘anhu, sudah tentu mereka tidak akan meriwayatkan hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan beliau radhiyallahu ‘anhu.
Akan tetapi, yang terjadi adalah sebaliknya. Hampir setiap kitab-kitab
hadits yang menjadi rujukan Ahlus Sunnah menyebutkan keutamaan keluarga
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam secara umum, dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu
secara khusus. Lantas bagaimana halnya dengan kaum Syiah? Jika kita
memerhatikan riwayatriwayat dalam versi agama Syiah, kita akan mendapati
sekian banyak riwayat yang justru melecehkan dan mendiskreditkan
keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antara yang menunjukkan hal tersebut adalah celaan mereka terhadap istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Telah disebutkan dalam Tafsir al-Qummi tatkala menjelaskan firman Allah Subhanahu wata’ala,
ضَرَبَ
اللَّهُ مَثَلًا لِّلَّذِينَ كَفَرُوا امْرَأَتَ نُوحٍ وَامْرَأَتَ لُوطٍ ۖ
كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا
“Allah
membuat istri Nuh dan istri Luth sebagai perumpamaan bagi orangorang
kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di
antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua
suaminya.” (at-Tahrim: 10)
Ali bin Ibrahim menjelaskan ayat ini, makna ‘Allah memberi perumpamaan’ yaitu perumpamaan terhadap keduanya— Aisyah dan Hafshah, dua istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia berkata, “Demi Allah, tidaklah yang dimaksud dengan ucapan ‘Keduanya telah berkhianat’ kecuali
perbuatan keji (zina). Pasti akan ditegakkan hukum had terhadap si
Fulanah ketika ia datang melalui jalan Bashrah, dan si Fulan
menyukainya….” tanpa ia menjelaskan siapa yang dimaksud ‘Fulan dan Fulanah’. Namun, perbuatan taqiyah ini disingkap oleh salah seorang Syaikh Syiah yang bernama al-Majlisi. Ia berkata, “Ucapannya ‘akan ditegakkan hukum had’, yang menegakkannya adalah al- Qaim saat raj’ah.” Dengan jelas Al-Majlisi menyebutkan dalam pasal tentang ghibah bahwa yang dimaksud adalah Aisyah Ummul Mukminin…. (Biharul Anwar, 22/241)
Yang dimaksud Raj’ah adalah
keyakinan kaum Syiah tentang kembalinya Ali ke dunia setelah kematian.
Syaikh al-Mufid berkata tentang keyakinan ini, “Siapa yang tinggi
tingkat keimanannya dan yang paling besar membuat kerusakan, mereka
semua akan kembali (ke dunia) setelah matinya.” (Awa’il al-Maqalat, hlm. 95)
Ibnul Atsir rahimahullah menyebutkan bahwa keyakinan ini berasal dari sebagian kaum Arab jahiliah. (an-Nihayah, 3/202) Bahkan, mereka mengafirkan sebagian kerabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, di antaranya adalah Abbas bin Abdil Muththalib radhiyallahu ‘anhu, paman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka berkata tentang firman Allah Subhanahu wata’ala,
وَمَن كَانَ فِي هَٰذِهِ أَعْمَىٰ فَهُوَ فِي الْآخِرَةِ أَعْمَىٰ
وَأَضَلُّ سَبِيلًا
“Dan barang siapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (al-Isra: 72)
Kata mereka, ayat ini turun tentang Abbas radhiyallahu ‘anhu. (Rijal al-Kisysyi, hlm. 53) Demikian pula anak beliau, Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Kitab al- Kafi mengisyaratkan tuduhan kekafiran terhadapnya dan menudingnya sebagai orang yang bodoh dan kurang akal. (Ushul al-Kafi, 1/247)
Disebutkan dalam kitab Rijal al- Kisysyi sebuah
doa, “Ya Allah, laknatlah dua anak fulan, dan butakanlah penglihatan
keduanya, sebagaimana Engkau telah membutakan hati keduanya. Butakanlah
matanya sebagai tanda akan kebutaan hatinya.” Syaikh mereka yang bernama
Husain al-Mushthafawi menerangkan doa ini, “Keduanya adalah Abdullah
dan Ubaidullah bin Abbas.” (Rijal al-Kisysyi, hlm. 53)
Bahkan, dengan tegas disebutkan oleh pengarang kitab al-Kafi beberapa
riwayat yang menerangkan bahwa barang siapa tidak beriman kepada imam
dua belas, dia kafir, meskipun dia berasal dari keturunan Ali dan
Fatimah. (al- Kafi, 1/372—374)
oleh: Al-Ustadz Abu Muawiyah Askari bin Jamal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar