Ketika iman bersemi dalam hati sesuai tuntunan syariat, niscaya hati ini rindu terbang ke jannah dan takut siksa neraka

Minggu, 26 Januari 2014

Faidah-Faidah Fiqhiyah dari Kitab Umdatul Ahkam (Hadits ke Empat)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قال : « إذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ فِي أَنْفِهِ مَاءً , ثُمَّ لِيَنْتَثِرْ , وَمَنْ اسْتَجْمَرَ فَلْيُوتِرْ , وَإِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلْيَغْسِلْ يَدَيْهِ قَبْلَ أَنْ يُدْخِلَهُمَا فِي الإِنَاءِ ثَلاثاً ، فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لا يَدْرِي أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ » . وَفِي لَفْظٍ لِمُسْلِمٍ : « فَلْيَسْتَنْشِقْ بِمِنْخَرَيْهِ مِنَ الْمَاءِ » وَفِي لَفْظٍ : « مَنْ تَوَضَّأَ فَلْيَسْتَنْشِقْ »


“Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika salah
seorang dari kalian berwudhu hendaklah dengan memasukkan air ke dalam hidung, kemudian keluarkanlah. Barangsiapa beristinja’ dengan batu hendaklah dengan bilangan ganjil. Dan jika salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya, hendaklah membasuh kedua telapak tangannya sebelum memasukkannya dalam bejana air wudhunya sebanyak 3 kali, sebab salah seorang dari kalian tidak tahu ke mana tangannya bermalam.”.” [HR. Al Bukhari dan Muslim, namun lafadz ini lebih mendekati lafadz Al Bukhary]


Dalam riwayat muslim: “hendaklah dia menghirup air dengan kedua lubang hidungnya.”

Dalam riwayat lain: “Apabila salah seorang dari kalian berwudhu hendaklah dia istinsyaq (menghirup air).”


Faedah yang terdapat dalam Hadits:

1. Istinsyaq (menghirup air dengan kedua lubang hidungnya) dan istintsar (mengeluarkan air tersebut dari hidung) merupakan kewajiban dalam berwudhu. Ini adalah pendapat yang kuat dan terpilih, karena lafadz hadits ini secara jelas menunjukan kewajibannya. Hukum asal lafadz perintah adalah menunjukan suatu kewajiban. Ini adalah pendapat Abu Tsaur, Dawud Adz Dzahiry, Imam Ahmad dalam salah satu riwayatnya, dan pendapat yang dipilih oleh Ibnu Hazem, Ibnul Mundzir, Syekh Al Albany dan Syekhuna ‘Abdurrahman Al ‘Adeny.


(*) Catatan: Yang dimaksud dengan kewajiban dalam bab wudhu disini adalah rukun wudhu, sehingga barangsiapa yang meninggalkannya maka tidaklah sah wudhunya.


(*) Masalah:Apakah hukum berkumur-kumur dalam wudhu?


Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Jumhur (kebanyakan) ulama berpendapat bahwa berkumur-kumur dalam wudhu adalah sunnah, karena tidak terdapat satu hadits pun yang shahih yang menunjukan kewajibannya. Semua hadits-hadits yang berlafadz perintah berkumur-kumur semuanya dha’if (lemah). Diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh Ad Daruquthny dari hadits Laqith bin Shabirah:


« إِذَا تَوَضَّأْتَ فَمَضْمِضْ »

“Apabila kamu berwudhu maka berkumur-kumurlah”


Ini adalah hadits yang lemah, dalam sanadnya Abu ‘Ashim telah bersendirian dalam periwayatannya sehingga menyelisihi empat perowi, yang mana mereka meriwayatkan tanpa menyebutkan lafadz ini. Sehingga pendapat yang kuat dalam masalah ini, bahwa berkumur-kumur adalah sunnah dalam wudhu.


Catatan: Adapun yang mengatakan bahwa mulut bagian dari wajah, sehingga berkumur-kumur masuk dalam keumuman ayat wudhu:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ  الآية


“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mendirikan shalat maka basuhlah wajah-wajah kalian…” [QS. Al Maidah: 6].


Kita jawab: bahwa yang diperintahkan oleh Alloh ta’ala dalam ayat ini adalah membasuh wajah. Definisi wajah dalam bahasa Arab adalah apa yang tampak ketika berhadapan, sedangkan bagian dalam mulut tidak tampak ketika berhadapan, sehingga tidak bisa dimasukan dalam katagori wajah. Wallohu a’lam.


2. Bolehnya seseorang beristijmar yaitu beristinja dengan batu, namun apakah dalam beristijmar paling sedikit harus dengan tiga batu ataukah boleh dengan satu atau dua batu?


(*) Jumhur ulama berpendapat mengganjilkan batu dalam beristijmar adalah sunnah, berdalil dengan hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

« وَمَنِ اسْتَجْمَرَ فَلْيُوتِرْ مَنْ فَعَلَ فَقَدْ أَحْسَنَ وَمَنْ لاَ فَلاَ حَرَجَ »

“Barangsiapa yang beristinja dengan batu hendaklah dia melakukannya dengan ganjil, barangsiapa yang melakukannya maka dia telah berbuat baik dan barangsiapa yang tidak melakukannya maka tidak ada dosa baginya.” [HR. Ahmad dan Abu Dawud, didha’ifkan oleh Ibnu Hajar dan Syekh Al Albany]


Jumhur berkata: hadits ini telah memalingkan dzahir lafadz perintah dalam hadits kepada sunnah. Boleh bagi seseorang beristijmar dengan satu batu ataupun dengan dua batu, yang penting bisa bersih dengannya.


(*) Adapun Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad dan Ishaq berpendapat bahwa dalam istijmar paling sedikit harus dengan tiga batu, tidak boleh kurang dari tiga batu. Dalil mereka adalah hadits Salman, beliau berkata:


« لَقَدْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ لِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِىَ بِالْيَمِينِ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِىَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِرَجِيعٍ أَوْ بِعَظْمٍ »


“Sungguh dia (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) telah melarang kami untuk menghadap kiblat saat buang air besar, buang air kecil, beristinja’ dengan tangan kanan, beristinja’ dengan batu kurang dari tiga buah, atau beristinja’ dengan kotoran hewan atau tulang.” [HR. Muslim]


Dan juga hadits Jabir, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

« إِذَا اسْتَجْمَرَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَجْمِرْ ثَلَاثًا ».

“Jika kalian melakukan istijmar (bersuci dengan mengunakan batu) maka lakukanlah tiga kali.” [HR. Ahmad, dishahikan oleh Syekh Al Albany dalam Ash Shahihah no 2312].


Dua hadits ini, menunjukan dengan jelas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan dalam beristijmar paling sedikit dengan tiga batu dan melarang beristijmar kurang dari tiga batu.


Sehingga pendapat yang kuat dan terpilih dari dua pendapat diatas adalah pendapat kedua, yang mengatakan wajibnya istijmar paling sedikit dengan tiga batu dan tidak boleh kurang dari itu. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syekh Al Albany, Syekh Al ‘Utsaimin, dan juga Syekhuna ‘Abdurrahman Al ‘Adeny.


Berkata Syekh Al Albany_rahimahullah: “Tidak boleh beristijmar kurang dari tiga batu, meskipun bisa bersih dengan dua batu saja. Yang wajib harus dengan tiga batu.” [lihat kitab Adh Dho’ifah 1/3].


Catatan: Adapun dalil yang dipakai jumhur adalah hadits yang lemah karena dalam sanadnya ada dua perowi yang majhul, sehingga tidak bisa dijadikan dalil untuk memalingkan dari hukum wajib dalam masalah ini kepada hukum sunnah.


Masalah: Apakah hukum mengganjilkan bilangan dalam istijmar apabila lebih dari tiga, misalnya dengan empat batu sudah bersih, apakah harus diganjilkan menjadi lima?


Pendapat jumhur ulama dalam masalah ini seperti apa yang telah lewat, bahwa hal ini adalah mustahab. Dalil mereka seperti masalah diatas.


Namun sebagian ulama seperti Ibnu Hazem menyatakan bahwa hal ini adalah wajib. Dalil yang menunjukan wajibnya hal tersebut adalah hadits jabir yang telah lewat. Hukum asal lafadz perintah menunjukan suatu kewajiban. Tidaklah berubah menjadi hukum sunnah kecuali dengan dalil yang shahih yang memalingkannya kepada hukum sunnah.


Sebagaimana yang telah lewat hadits yang dipakai jumhur untuk memalingkan kepada hukum sunnah adalah hadits yang lemah. Sehingga – wallahu a‘lam – pendapat yang kuat adalah pendapat kedua, ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syekhuna ‘Abdurrahman Al ‘Adeny.


Maka barangsiapa yang telah beristijmar dengan empat batu, dan sudah bersih dengannya, maka wajib untuk menggajilkannya menjadi lima.


3. Istijmar bisa dilakukan dengan segala sesuatu yang bisa membersihkan  dan menghilangkan najis pada qubul (kemaluan) atau dubur, seperti kayu, kertas, tisu atau yang lainnya. Ini adalah pendapat jumhur ulama. Adapun sesuatu yang tidak bisa menghilangkan najis seperti kaca atau yang semisalnya maka tidak bisa digunakan untuk beristijmar. Karena kaca memiliki lapisan yang licin sehingga najis tidak bisa melekat padanya dan juga tidak bisa meresap.


Catatan: – Berkata Ibnu Qudamah_rahimahullah: “Sesuatu yang dipakai untuk beristijmar harus bisa membersihkan, karena disyaratkan dalam istijmar dengan sesuatu yang bisa membersihkan.


 Adapun sesuatu yang licin seperti kaca, dan juga arang yang lembek, atau yang semisalnya dari sesuatu yang tidak bisa membersihkan atau menghilangkan (najis) maka tidak sah beristijmar dengannya. Karena yang menjadi tujuan istijmar dengannya tidak tercapai. [Al Mughni 1/213].


- Tidak boleh kita beristijmar dengan tulang ataupun kotoran hewan.
Dalil dalam masalah ini adalah hadits Jabir, beliau berkata:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُتَمَسَّحَ بِعَظْمٍ أَوْ بِبَعْرٍ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang untuk mengusap (saat bersuci) dengan tulang atau kotoran hewan.” [HR. Muslim]


Dan juga hadits Salman yang telah lewat diatas. Dua hadits ini menunjukan larangan untuk beristinja dengan tulang dan kotoran hewan. Ini adalah pendapat jumhur ulama dan dipilih oleh Syekhuna ‘Abdurrahman Al ‘Adeny.


4. Disyariatkan mencuci tangan ketika bangun tidur sebanyak tiga kali.


Masalah: Apakah hal ini hukumnya wajib atau sunnah?


Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Jumhur ulama mengatakan sunnah, karena hukum asal tangan kita adalah suci. Adapun Imam Ahmad, Ishaq dan juga Adz Dzahiriyah mengatakan bahwa hal ini adalah wajib. Karena dzahir hadits berlafadz perintah, sedangkan lafadz perintah menunjukan suatu kewajiban. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Hazem, Ash Shan’any, Syekh Al ‘Utsaimin dan juga Syekhuna Abdurrahman Al ‘Adeny. Ini adalah pendapat yang kuat dan terpilih. Wallahu a’lam.


Masalah: Apakah hukum ini khusus ketika bangun tidur malam saja ataukah mencakup tidur siang juga?

Pendapat yang kuat dan terpilih dalam masalah ini; bahwa hukum tersebut khusus ketika bangun tidur malam saja. Karena hakekat lafadz “Baitutah” dalam hadits menunjukan tidur malam. Dan hal ini diperkuat lagi dengan hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Abu ‘Awanah dengan sanad yang shahih dengan lafadz:

إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ مِنَ اللَّيْلِ

“Apabila salah seorang dari kalian bangun malam …”

Ini adalah pendapat jumhur ulama dan dipilih oleh Syekh Al Bassam dan juga Syekhuna ‘Abdurrahman Al ‘Adeny.


Wallahu a’lam wal muwaffiq ila ash shawab.

[✏ ditulis oleh Abu 'Ubaidah Iqbal bin Damiri Al Jawy_11 Muharram 1435/15 Nov 2013_di darul Hadits Al Fiyusy_Harasahallah

Sumber : WhatsApp Salafy Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar