Makna Politik
Politik, dalam bahasa arab disebut dengan siyasah. Dalam
kamus Lisanul Arab karya Ibnu Manzhur (juz 6 hal. 429) disebutkan bahwa kata
siyasah bermakna mengurus sesuatu dengan kiat-kiat yang membuatnya baik.
Politik itu sendiri, menurut Al-Imam Ibnul Qayyim
rahimahullahu terbagi menjadi dua macam:
1. Politik yang diwarnai kezaliman. Maka ini diharamkan
dalam syariat Islam.
2. Politik yang diwarnai keadilan. Maka ini bagian dari
syariat Islam. (Lihat Ath-Thuruq Al-Hukmiyyah fis Siyasah Asy-Syar’iyyah, hal.
4)
Politik, bila dilihat dari sisinya yang buruk (politik yang
diwarnai kezaliman) semata, akan melahirkan trauma politik pada seseorang.
Ujung-ujungnya berkesimpulan bahwa politik itu kejam dan politikus tak lain
hanyalah ahli tipu muslihat yang kental dengan sifat makar, dusta, dan licik.
Sebenarnya bila dilihat dari segala sisinya, ada pula politik yang syar’i
(politik yang diwarnai keadilan). Bahkan ia merupakan salah satu cabang dan
pintu dari syariat Islam yang mulia ini, sebagaimana dikatakan Al-Imam Ibnul
Qayyim rahimahullahu dalam kitabnya yang monumental I’lamul Muwaqqi’in, juz 4
hal. 452. Dalam khazanah ilmu-ilmu Islam, politik yang syar’i disebut dengan
as-siyasah asy-syar’iyyah.
Para pembaca yang semoga dirahmati Allah Subhanahu wa
Ta’ala, lantas apakah keterangan di atas merupakan legitimasi bagi politik
praktis yang ‘diimani’ partai politik (parpol) Islam sekarang ini? Untuk
mengetahui jawabannya simaklah penjelasan berikut ini.
Fatamorgana Politik Praktis
Politik praktis merupakan cara berpolitik ala barat (baca:
musuh-musuh Islam) dalam menentukan kepala negara/pemerintahan serta anggota
lembaga legislatif (baca: politik untuk mencapai kekuasaan), yang dijejalkan di
negeri-negeri muslim. Sistem tersebut tidaklah diciptakan dan dijejalkan di
negeri-negeri muslim melainkan untuk mem-fait accompli kekuatan umat Islam
yakni agar mereka tidak punya pilihan di negerinya sendiri (seakan-akan tidak
bisa menghindarinya), sekaligus memalingkan mereka dari mendalami agamanya
(tafaqquh fiddin) dengan berbagai kesibukan politik. Sehingga tidaklah satu
negeri muslim pun yang menganut sistem tersebut, melainkan kekuatan dan
keilmuan umat Islamnya benar-benar terpantau dengan jelas oleh musuh-musuhnya.
Mungkinkah sistem yang diciptakan barat (baca: musuh-musuh
Islam) dengan sekian pelanggarannya tersebut dapat mengantarkan umat Islam
kepada kejayaannya? Spontan, orang yang berakal akan menjawab: “Tidak mungkin!”
Tak ubahnya fatamorgana, dari jauh seakan air yang
menyejukkan, namun setelah didekati ternyata pemandangan semu belaka.
Tengoklah kelompok Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir, pimpinan
Hasan Al-Banna. “Perjuangan” bertahun-tahun harus berakhir di tiang gantungan,
penjara, atau tembak mati. Demikian pula FIS (sebuah partai “Islam” di
Aljazair) yang berhasil menang pada putaran pertama pemilu tahun 1412 H. Impian
pun lenyap manakala militer melakukan kudeta dengan alasan ‘negeri dalam
kondisi darurat’. FIS pun meradang, genderang “jihad” melawan penguasa ditabuh.
Pertempuran bersenjata pun terjadi, dan akhirnya pertumpahan darahlah
kesudahannya.1 Lagi-lagi umat Islam sebagai tumbalnya. Agama mereka terlantar,
dakwah pun semakin hari semakin tergerus oleh ‘kejamnya’ kehidupan berpolitik
mereka.2
Lebih dari itu, konsekuensinya sangat berat khususnya bagi
seorang muslim yang berteguh diri di atas Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengapa demikian? Karena asasnya adalah
demokrasi yang ‘menuhankan’ suara rakyat (mayoritas). Kendaraannya adalah
kampanye dengan segala pelanggaran syar’i dan etikanya. Panoramanya adalah
ikhtilath (campur-baur laki perempuan). Ciri khasnya adalah persaingan ketat,
bahkan perseteruan tak sehat dengan obral janji yang (nampak) menggiurkan.
Taruhannya adalah menjual prinsip al-wala’ wal bara’.3 Wallahul Musta’an.
Para pembaca yang semoga dirahmati Allah Subhanahu wa
Ta’ala, untuk mengetahui lebih rinci tentang jalan yang mengantarkan kepada
kejayaan umat Islam, silakan buka kembali Majalah Asy Syariah edisi Polemik
Menuju Negara Islam (No. 16/II/1426 H/2005). Adapun rincian bahasan seputar
partai politik Islam, maka dapat anda ikuti pada Kajian Utama Majalah Asy
Syariah edisi kali ini, insya Allah.
Apa Itu As-Siyasah Asy-Syar’iyyah (Politik yang Syar’i)?
Setelah mengikuti bahasan di atas, dapatlah disimpulkan
bahwa as-siyasah asy-syar’iyyah adalah bagian dari syariat Islam. Sedangkan
politik praktis, tak lain adalah ciptaan barat (baca: musuh-musuh Islam) yang
tidak ada kaitannya dengan as-siyasah asy-syar’iyyah dan sudah barang tentu
bukan dari Islam.
Bila demikian, apa definisi as-siyasah asy-syar’iyyah
menurut terminologi syariat? Menurut terminologi syariat, as-siyasah
asy-syar’iyyah bermakna pengaturan urusan pemerintahan kaum muslimin secara
menyeluruh dengan kiat-kiat yang dapat mewujudkan kebaikan (maslahat) serta
mencegah terjadinya keburukan (mafsadah), dengan tetap menjaga batasan-batasan
syar’i dan prinsip-prinsipnya secara umum -meskipun tidak secara nash- serta
perkataan para imam ahli ijtihad. (As-Siyasah Asy-Syar’iyyah karya Abdul Wahhab
Khallaf, hal. 15. Dinukil dari Madarikun Nazhar fis Siyasah hal. 126-127)
Dari sini, diketahui bahwa as-siyasah asy-syar’iyyah
disamping berpegang dengan dalil yang tegas, juga berpijak pada maslahah
mursalah, yaitu suatu maslahat di mana tidak didapati dalil secara tegas baik
yang memerintahkan maupun yang melarang. Tentunya, yang menentukan sebagai
maslahat adalah para imam ahli ijtihad, bukan sembarang orang. Demikianlah
penjelasan Ibnu ‘Aqil, Ibnul Qayyim, Ibnu Nujaim, dan yang lainnya
rahimahumullah dari para pakar di bidang ini. (Lihat Madarikun Nazhar fis
Siyasah hal. 128-129)
Mengenai rincian as-siyasah asy-syar’iyyah, sesungguhnya
telah dijelaskan para ulama Islam dalam banyak karya tulisnya. Di antaranya;
Al-Imam Al-Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sulthaniyyah wal Wilayat Ad-Diniyyah,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam As-Siyasah Asy-Syar’iyyah (yang terhimpun
dalam Majmu’ Fatawa, juz 28), Al-Imam Ibnul Qayyim dalam Ath-Thuruq
Al-Hukmiyyah fis Siyasah Asy-Syar’iyyah, dan selainnya.
Mengenal Lebih Jauh As-Siyasah Asy-Syar’iyyah (Politik yang
Syar’i)
Para pembaca yang semoga dirahmati Allahl, mengingat
as-siyasah asy-syar’iyyah amat terkait dengan pengaturan urusan pemerintahan,
maka tentunya ada dua pihak yang saling terkait dengannya; pihak pengatur dalam
hal ini adalah para penguasa (ulil amri) dan pihak yang diatur dalam hal ini
adalah rakyat. As-siyasah asy-syar’iyyah yang dijalankan para penguasa tersebut
tak akan berjalan dengan baik tanpa adanya sambutan ketaatan dari rakyat. Maka
dari itu, adanya gayung bersambut antara para penguasa dan rakyatnya dalam hal
penerapan as-siyasah asy-syar’iyyah merupakan keharusan. Karena dengan itulah
terwujud kehidupan yang tenteram, aman, dan sentosa. Sebagaimana yang terjadi
pada masyarakat sahabat di bawah kepemimpinan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan juga masyarakat tabi’in serta tabi’ut tabi’in di bawah kepemimpinan
para penguasanya.
Di antara dasar pijakan as-siyasah asy-syar’iyyah adalah
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ
أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ
أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللهَ كَانَ
سَمِيعًا بَصِيرًا. يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ
وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ
وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
“Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanah
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kalian) apabila menetapkan hukum
di antara manusia supaya kalian menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kalian. Sesungguhnya Allah adalah
Maha mendengar lagi Maha Melihat. Wahai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kalian. Kemudian jika
kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah
(Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya) jika kalian benar-benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik
akibatnya.” (An-Nisa’: 58-59)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata: “Menurut
para ulama, ayat pertama (dari dua ayat di atas) turun berkaitan dengan para
penguasa (ulil amri), agar mereka menyampaikan amanah kepada yang berhak
menerimanya. Dan apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya
menetapkannya dengan adil. Sedangkan ayat kedua turun berkaitan dengan rakyat
baik dari kalangan militer maupun selainnya, agar mereka senantiasa taat kepada
para penguasanya dalam hal pembagian jatah, keputusan, komando pertempuran, dan
lain sebagainya. Kecuali jika mereka memerintahkan kepada kemaksiatan, maka
tidak boleh menaati makhluk (para penguasa tersebut) dalam rangka bermaksiat
kepada Al-Khaliq (Allah Subhanahu wa Ta’ala). Jika terjadi perbedaan pendapat
antara para penguasa dengan rakyatnya dalam suatu perkara, hendaknya semua
pihak merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Namun jika sang penguasa tidak mau menempuh jalan tersebut, maka
perintahnya yang tergolong ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap wajib ditaati. Karena ketaatan
kepada para penguasa dalam perkara ketaatan tersebut merupakan bagian dari
ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Demikian pula hak mereka (para penguasa), tetap harus dipenuhi (oleh
rakyatnya), sebagaimana yang diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى
الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا
اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan
dan takwa, dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat do
Penulis : Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar