Ketika iman bersemi dalam hati sesuai tuntunan syariat, niscaya hati ini rindu terbang ke jannah dan takut siksa neraka

Minggu, 15 Januari 2012

Demi Suara, Apapun Dilakukan


Menjelang pemilu, berbagai wilayah di Republik Indonesia ini diwarnai berbagai atribut partai. Mereka –para peserta pesta demokrasi– berlomba memajang anggota partainya untuk dipilih rakyat. Mereka berlomba meraup suara sebanyak mungkin agar bisa meloloskan anggota partainya menduduki kursi jabatan yang diperebutkan.

Di antara peserta pesta demokrasi itu, terdapat partai-partai yang mengusung nama Islam.
Mereka masih berkeyakinan bahwa sentimen agama masih menjadi komoditas yang laik jual. Meskipun senyatanya, kesantunan beragama terkadang tidak melekat dalam pergaulan mereka. Tak sedikit yang berlaga sehingga saling menyerang, baku tikai hanya karena beda partai. Tak sedikit pula yang membujuk rayu masyarakat dengan uang, kaos, atau fasilitas lainnya dengan maksud masyarakat memilihnya. Ini yang sering dimunculkan sebagai isu-isu untuk meruntuhkan partai lawan.
Seperti apa wajah partai Islam sekarang? Atau, sebelum pertanyaan ini disodorkan, perlu dipertanyakan terlebih dulu: Adakah partai Islam itu? Partai-partai “Islam” (dalam tanda kutip) cukup variatif. Baik dari sisi konstituen (para pendukung) maupun dari sisi visi yang menjadi dasar perjuangan mereka.
Di antaranya ada yang secara tegas menyatakan diri sebagai partai berazas Islam, berjuang untuk menegakkan hukum Islam ke dalam perundang-undangan Indonesia. Dalam sejarah kepartaian setelah Indonesia merdeka, partai yang memiliki garis perjuangan seperti itu bisa ditemukan pada Partai Masyumi.
Bagaimana dengan partai-partai “Islam” masa pascareformasi? Sungguh, partai-partai yang ada sekarang masih sulit untuk disejajarkan dengan Partai Masyumi yang dulu. Walau dengan tingkat “soliditas” yang tinggi dan “handal”, toh dalam pentas sejarah kepartaian, Masyumi masih bisa dijegal kalangan nasionalis sekuler dan kalangan komunis. Perjuangan untuk menegakkan syariat Islam melalui sistem demokrasi kepartaian pun kandas. Presiden Soekarno saat itu menekan Masyumi untuk bubar melalui Keputusan Presiden No. 200/1960. Maka, tidak kurang dari sebulan setelah Keputusan Presiden tersebut, pada tanggal 13 September 1960 Partai Masyumi menyatakan membubarkan diri. Pembubaran diri ini dilakukan setelah Presiden mengancam akan menjadikannya sebagai partai terlarang jika tidak mematuhinya. (Lihat Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965, hal. 414-415). Itulah klimaks memperjuangkan agama melalui alur demokrasi. Berupaya membangun dinding, tapi lupa membangun fondasi. Berupaya agar syariat Islam diberlakukan dalam perundangan, tapi lalai membekali umat dengan pemahaman Islam yang benar.
Bentuk lainnya, terdapat pula partai-partai yang secara tegas menyatakan bukan partai Islam, namun memiliki basis massa dan pengurus partai berasal dari tokoh-tokoh yang dianggap oleh sebagian kalangan sebagai tokoh Islam. Partai-partai ini oleh sebagian kalangan dianggap memiliki akar sejarah keislaman dan memiliki ikatan emosional yang kuat dengan ormas-ormas Islam.
Terlepas dari corak yang ada pada partai-partai “Islam” tersebut, tumbuh keyakinan pada sebagian kalangan bahwa terjun ke gelanggang politik, masuk dalam sistem demokrasi merupakan bentuk perjuangan menegakkan dakwah. Berjuang melalui partai-partai “Islam”, menyuarakan aspirasi umat adalah bagian dari dakwah. Bahkan telah terpatri pada benak sebagian kaum muslimin, bila tidak turut berjuang melalui partai, maka negara akan dipimpin dan dikuasai kaum kafir. Umat Islam akan menjadi kelompok marginal (terpinggirkan), tidak berada dalam arus lingkaran kekuasaan. Seakan-akan keselamatan kaum muslimin hanya bisa dicapai dengan merebut suara terbanyak pada pesta demokrasi. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
وَعَدَ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (An-Nur: 55)
Abul Fida Ismail Ibnu Katsir rahimahullahu menuturkan, inilah janji Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sungguh, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menjadikan umat-Nya sebagai khalifah di muka bumi. Maksudnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menjadikan umat-Nya sebagai pemimpin-pemimpin masyarakat dan penguasa mereka. Sungguh, benar-benar Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengganti rasa takut menjadi situasi yang penuh rasa aman dan (tegaknya) hukum. Allah Yang Mahasuci dan Mahatinggi telah membuktikan janji itu dan milik-Nya lah segala puji. Saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam belum meninggal dunia, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membukakan kemenangan kepada kaum muslimin dengan Fathu Makkah, Khaibar, Bahrain, dan seluruh Jazirah Arab serta bumi Yaman secara total. Jizyah (upeti) telah bisa diperoleh dari kalangan Majusi Hajar, sebagian pinggiran Syam. Para raja mengajukan deklarasi damai kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antaranya Raja Heraklius, Romawi, penguasa Mesir dan Iskandariyah yaitu Muqauqus, Raja Oman, Raja An-Najasyi di Habasyah yang memerintah setelah Ashimah rahimahullahu. Kemudian, kala beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat, Allah Subhanahu wa Ta’ala memilih pengganti beliau dengan Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Semasa pemerintahannya, Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu mengirim pasukan di bawah komando Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu ke Persia. Kemenangan pun diperoleh, Persia ditaklukkan dan sebagian tentaranya dibunuh. Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu pun mengutus pasukan di bawah pimpinan Abu Ubaidah radhiyallahu ‘anhu ke wilayah Syam. Juga mengirim sahabat Amr bin Al-’Ash radhiyallahu ‘anhu beserta pasukannya ke Mesir. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kemenangan kepada pasukan kaum muslimin di Syam, berhasil pula menguasai Bashrah, Damaskus, dan yang tersisa adalah sebagian negeri Hauran. Sepeninggal Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, muncul Umar Al-Faruq radhiyallahu ‘anhu. Beliau menegakkan pemerintahan secara paripurna, yang belum ada tandingannya dalam sejarah –setelah para nabi– dalam hal kekokohan, kekuatan, dan keadilannya yang sungguh sempurna. Dalam masa pemerintahannya, wilayah Syam dikuasai secara total, beberapa wilayah Mesir lainnya, dan sebagian besar wilayah Persia pun berhasil dikuasai. Begitu pula dengan kekaisaran Kisra, berhasil ditaklukkan dan direndahkan serendah-rendahnya. Raja Kisra lari hingga terusir. Nasib serupa pun menimpa Raja Romawi. Kerajaannya berhasil diruntuhkan, hingga terlepas kekuasaannya di negeri Syam dan dia lari menuju Konstantinopel. Kemudian saat masa Daulah Utsmaniyah, kekuasaan kaum muslimin semakin melebar dari Timur hingga belahan Barat bumi. Wilayah Maghribi berhasil dikuasai hingga batas ujung yaitu Andalusia, Qabras (Cyprus), negeri Qairawan dan Sabtah yang terletak sekitar Laut Atlantik. Dari arah timur hingga ke negeri Cina. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir saat menjelaskan ayat di atas, 3/366)
Demikianlah fakta sejarah. Lantaran kekokohan iman, kebersihan aqidah, ketulusan beramal shalih, Allah Subhanahu wa Ta’ala menampakkan janjinya. Kata Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu, pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala bisa diperoleh dengan mengikuti syariat-Nya dan bersabar (dalam menjalankannya). Sebagaimana firman-Nya:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (Muhammad: 7)
Ini sebagaimana tersebut dalam pernyataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma:
احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ، احْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ
“Jagalah (hukum-hukum) Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah (hukum-hukum) Allah niscaya akan engkau dapati Dia di depanmu.” (HR. At-Tirmidzi no. 2516, dishahihkan Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’, no. 7957)
Maka, barangsiapa menjaga Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menjaga agama-Nya, bersikap istiqamah, saling menasihati dan bersabar atasnya, kelak Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menolongnya, mengokohkannya atas musuh-musuhnya serta menjaganya dari tipu daya musuhnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَكَانَ حَقًّا عَلَيْنَا نَصْرُ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman.” (Ar-Rum: 47)
Nampak, betapa keberhasilan yang gilang-gemilang dari generasi utama umat ini karena ketaatan, ketundukan, dan ketulusan mereka dalam menetapi perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah generasi yang senantiasa ittiba’ (mengikuti) apa yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah kunci keberhasilan mereka. Dengan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala, mereka berhasil menguasai dan memimpin di berbagai belahan dunia. Ke sanalah mesti merujuk. Merekalah yang patut untuk diteladani. Bukan mengikuti langkah-langkah yang telah dicanangkan secara sistematik oleh orang-orang kafir, musuh-musuh Islam. Ketika menukil ayat:
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ. وَمَنْ يَتَوَلَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللهِ هُمُ الْغَالِبُونَ
“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.” (Al-Ma’idah: 55-56)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdillah Al-Imam menyatakan: “Perhatikan, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjanjikan kemenangan kepada orang-orang yang beriman atas musuh-musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala setelah menyebutkan kaidah (prinsip) keimanan, yaitu sikap wala’ (loyalitas) yang kokoh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan orang-orang yang beriman. Sikap wala’ (loyalitas) ini diiringi pula dengan sikap berlepas diri secara total dari musuh-musuh (Allah Subhanahu wa Ta’ala).” (Tanwir Azh-Zhulumat, hal. 49)
Maka, apa yang akan terjadi jika perjuangan menegakkan Islam tanpa mengindahkan prinsip-prinsip keimanan? Bahkan prinsip-prinsip tersebut dinjak-injak dan dicampakkan demi meraup suara pada pemilu. Wallahul Musta’an.
Bila ditelaah secara cermat, sejauh mana kerusakan yang ditimbulkan akibat mengikuti sistem demokrasi ini, bagaimana sikap para aktivis partai “Islam” setelah mereka berkubang di lumpur demokrasi, maka sudah bukan satu hal yang asing bila terdengar lontaran-lontaran pemikiran aneh dan ganjil dari para politisi partai “Islam”. Dari sekian banyak “Islam”, ada partai “Islam” yang memimpikan keadilan dan kesejahteraan masyarakat, menggeser haluan perjuangan partainya. Menjelang Pemilu 1999 misalnya, Dewan Syariah partai “Islam” ini, selaku lembaga yang bertugas membuat putusan agama untuk anggota dan simpatisan partai, mengeluarkan seruan kepada kader dan pendukungnya agar tak terjebak dalam kesibukan mencari pemilih. Sebab, partai ini didirikan bukan untuk mengejar kekuasaan, tapi guna kepentingan dakwah. Jelang Pemilu 2004, Dewan Syariah partai “Islam” ini mengeluarkan seruan, yang terpenting dilakukan aktivis kader partainya adalah mengajak orang sebanyak-banyaknya memilih partai “Islam” ini. Soal dakwah urusan kemudian. Partai “Islam” ini pun mengalami perubahan dari sebuah partai idealis menjadi pragmatis. Tak heran, bila kemudian muncul pernyataan dari Wakil Sekjen Partai tersebut, bahwa partainya siap menerima anggota non-muslim untuk dijadikan anggota DPR dari partai “Islam”-nya. Bahkan, dikatakannya, bahwa partainya siap berkoalisi dengan partai apapun dan lembaga manapun. Menghadapi Pemilu 2009 ini, Sekjen partai “Islam” ini, saat acara temu muka Tim Delapan partai “Islam” ini dengan sejumlah tokoh non-muslim Makassar, menyatakan bahwa untuk memenuhi target suara 20% dalam Pemilu 2009, partai “Islam” ini berhasrat merangkul semua suku maupun agama. Begitulah pergeseran perilaku politik partai yang didirikan para aktivis bercorak pemahaman Ikhwanul Muslimin.
Pergeseran perilaku politik telah mengubah sikap beragama. Idealisme memperjuangkan tegaknya syariat Islam, luntur tercelup kepentingan-kepentingan sesaat. Adagium (pepatah) dalam politik: “Tidak ada lawan atau kawan abadi, yang ada adalah kepentingan abadi” benar-benar diterapkan. Menukil pernyataan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdillah Al-Imam, satu dari sekian banyak kerusakan mengikuti pemilu yaitu tamyi’ al-wala’ wal bara’ (lunturnya sikap loyalitas terhadap al-haq dan ahlul haq, serta berlepas diri dari kebatilan dan pengusungnya). (Lihat Tanwir Azh-Zhulumat hal. 49)
Seorang kafir akan dijadikan teman seiring dalam perjuangan karena menunjukkan sikap loyalitas terhadap partai. Sedangkan seorang muslim yang taat, karena ketaatannya kepada syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala, ia tidak dihiraukannya. Bahkan, bisa jadi seorang muslim tadi disikapi sebagai lawan dengan tingkat permusuhan yang tajam lantaran mengkritisi cara perjuangan berpartai. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ. وَمَنْ يَتَوَلَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللهِ هُمُ الْغَالِبُونَ
“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.” (Al-Ma’idah: 55-56)
Firman-Nya:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengannya adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.” (Al-Fath: 29)
Selain itu, seseorang, partai atau jamaah yang terjerembab ke dalam kubangan lumpur demokrasi, maka jerat-jerat aturan perundangan akan mengikatnya. Dia harus tunduk dengan segala perundangan yang ada walau perundangan tersebut menyelisihi syariat. Peraturan yang mengharuskan setiap partai mengajukan calon legislatif dengan komposisi (keterwakilan) 30% harus wanita, tentu bukan semata aturan untuk partai peserta pemilu. Peraturan ini harus dilihat pula sebagai bentuk kemenangan para pejuang emansipasi wanita. Sedangkan agenda tersembunyi dari program emansipasi yaitu merobek hijab muslimah dan mengeluarkan kaum muslimah dari tradisi Islam. Bila kaum muslimah sudah duduk di kursi legislatif, maka koyaklah hijab mereka. Mereka akan bercampur dengan laki-laki yang bukan mahram, mendedahkan aurat, bebas berpandangan antarlawan jenis dan keluar rumah dengan sebab yang bukan darurat. Tak cuma itu, akibat mengikuti sistem demokrasi, maka saat kampanye berlangsung, para wanita turut membaur di antara peserta kampanye laki-laki. Di manakah letak pengamalan terhadap syariat? Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah yang dahulu.” (Al-Ahzab: 33)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya’.” (An-Nur: 31)
Pemilihan terhadap wanita untuk menduduki jabatan yang memiliki tanggung jawab dalam kepemimpinan umat, masuk dalam kategori hadits Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu:
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً
“Tidak akan beruntung satu kaum (bangsa) yang menyerahkan kepemimpinannya kepada seorang wanita.” (HR. Al-Bukhari no. 4425)
Apa yang dilakukan partai-partai “Islam” kala Megawati dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) maju mencalonkan diri menjadi Presiden? Partai-partai “Islam” nyaring menyuarakan penentangannya. Menjelang Pemilu 1999 kala itu diwarnai persaingan antara kalangan Islam dengan nasionalis sekuler. Partai-partai “Islam” berupaya menjegal Megawati untuk duduk di kursi RI-1. Mereka menggunakan banyak cara, termasuk mencari justifikasi (pembenaran) dari agama bahwa Islam melarang wanita menjadi kepala negara.
Setelah melebur dalam ‘poros tengah’, partai-partai “Islam” mengusung nama Gus Dur untuk dicalonkan menjadi Presiden. Upaya ‘poros tengah’ berhasil. Gus Dur menduduki kursi presiden. Namun, kala kinerja Gus Dur morat-marit, ‘poros tengah’ yang didukung partai-partai “Islam” menarik dukungannya kepada Gus Dur. Akhirnya, Gus Dur makzul, lengser dari kursi presiden. Penggantinya adalah Megawati. Posisi Megawati menguat karena mendapat dukungan partai-partai “Islam”.
Dulu, partai-partai “Islam” sekuat tenaga menjegal Megawati jadi presiden, tapi setelah itu berbalik mendukungnya. Dalil agama yang melarang wanita jadi kepala negara pun sirna. Tak terdengar lagi gaungnya. Nyata, pernyataan boleh tidaknya wanita jadi kepala negara hanya retorika politik. Para politisi, termasuk dari partai-partai “Islam”, telah melakukan politisasi agama guna memperoleh dukungan kalangan Islam. Agama akan dijunjung sedemikian rupa manakala menguntungkan para politisi atau partai. Namun ketika agama tidak bisa atau menghambat perolehan suara atau kedudukan partai dan politisi, maka agama itu pun dicampakkan.
Kasus yang nyaris sama terjadi pada sebuah partai “Islam”. Partai satu ini pernah dituding sebagai partai anti tahlilan dan yasinan. Melihat latar belakang pendidikan keagamaan para kader partai “Islam” ini, tudingan seperti itu tidak bisa secara mutlak disalahkan. Artinya, kalau para kader partai “Islam” ini mau jujur, praktik acara tahlilan dan yasinan bukan merupakan tradisi keagamaan yang dianut dan diyakini para kader partai “Islam” ini sebagai sesuatu yang benar. Tahlilan dan yasinan bukan materi yang diajarkan kepada kader-kader partai “Islam” ini di halaqah-halaqah tarbiyah mereka. Bahkan, kalau mereka mau jujur, justru ritual tahlilan dan yasinan dinilai (oleh para kader partai “Islam” ini) sebagai bid’ah.
Masalahnya, mengapa tudingan sebagai partai anti tahlilan dan yasinan dibantah? Jawaban untuk pertanyaan ini harus kembali kepada kebijakan petinggi partai. Sebagaimana seruan Dewan Syariah Partai, yang terpenting dilakukan kader adalah mengajak orang pilih partai “Islam” ini. Adapun dakwah, bisa dilakukan setelah itu. Target untuk menggapai perolehan suara sebanyak-banyaknya telah melunturkan idealisme keagamaan. Orientasi kekuasaan telah menjadikan lidah para kader kelu untuk menyuarakan kebenaran yang telah diyakininya. Bahkan yang ekstrem, untuk memupus partai “Islam” ini sebagai partai anti tahlilan dan yasinan, Ketua Majelis Syura sering memimpin tahlilan, yasinan, dan menghadiri peringatan Maulid Nabi. Ini disampaikan di hadapan para kader partai yang salah satu unsur lambangnya dua bulan sabit mengapit padi tersebut saat Mukernas 2008 di Makassar.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut karakteristik umat yang kelak memperoleh kemenangan dan kejayaan, di antaranya menegakkan amar ma’ruf dan mencegah kemungkaran. Firman-Nya:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali ‘Imran: 104)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan pula untuk menghapus kemungkaran. Kata Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, “Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإْنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيْمَانِ
“Barangsiapa melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangannya. Bila tidak mampu, (ubahlah) dengan lisannya. Bila tidak mampu, dengan hatinya. Yang demikian itu selemah-lemah iman.” (HR. Muslim no. 49)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan pula untuk berkata yang baik. Bila tak bisa, diam. Bukan lantas membuat pernyataan-pernyataan politis yang menghasung umat terjatuh pada praktik-praktik bid’ah. Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berbicaralah yang baik atau diam.” (HR. Muslim no. 34)
Demokrasi telah menggiring umat untuk terpaku pada perolehan suara, sementara ketentuan syariat ditanggalkan. Patutkah yang demikian ini dikategorikan memperjuangkan Islam dan kaum muslimin? Wallahu a’lam.

Penulis : Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar