Pengertian Musafir (as-Safar) Secara
Umum:
As-Safar berarti penempuhan jarak.
As-Safar berarti keluar dari kampung halaman menuju satu tempat yang berjarak
jauh sehingga karenanya pelakunya diperbolehkan untuk mengqasarkan
(memendekkan) shalatnya.
(Rujuk: Ensiklopedi shalat Menurut
al-Qur’an dan as-Sunnah, oleh Sheikh Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani,
Terbitan Pustaka Imam asy-Syafi’i, m/s. 225)
Pengertian Ringkas shalat Secara
Qasar:
Memendekkan/mengurangkan bilangan
rakaat shalat bagi shalat fardhu yang empat rakaat menjadi dua rakaat. Iaitu
bagi shalat Zuhur, ‘Asar, dan ‘Isya’.
Mengqasarkan shalat Adalah Sedekah
Allah:
Allah (سبحانه
وتعالى) berfirman di dalam surah an-Nisa’ ayat 101 (maksudnya):
“Dan apabila kamu berpergian di muka
bumi, maka tidaklah mengapa kamu meng-Qasar shalatmu, jika kamu takut diserang
orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu musuh yang nyata bagimu.”
Dalam hal ini, terdapat suatu
riwayat dari Abu Ya’la bin Umayyah, dia menceritakan:
“Aku pernah berkata kepada ‘Umar bin
Khaththab: (Allah berfirman:) “maka tidaklah mengapa kamu meng-Qasar shalatmu,
jika kamu takut diserang orang-orang kafir”. (Namun sekarang) masyarakat
sekarang sudah berada dalam keadaan aman. ‘Umar berkata: “Aku juga pernah
merasa hairan sebagaimana engkau merasa hairan. Maka aku bertanya kepada
Rasulullah mengenai hal tersebut. Beliau
bersabda: “Ia suatu sedekah yang telah
disedekahkan oleh allah kepada kamu. Oleh itu, terimalah sedekah Allah.”
(Hadits Riwayat Muslim, Kitab shalat
orang-orang yang musafir, no. 686)
Hadits-Hadits Berkenaan Tuntutan Meng-Qasarkan
shalat Di Dalam Perjalanan:
1 – Ibnu ‘Umar ( رضي الله عنه ) berkata:
“Aku pernah menemani Rasulullah dalam perjalanannya dan beliau tidak pernah
mengerjakan shalat lebih dari dua rakaat (bagi setiap shalat). Demikian juga
dengan Abu Bakar, ‘Umar, dan ‘Usman r.anhum.
(Hadits Riwayat Muslim, Kitab shalat
orang-orang yang musafir, no. 689)
2 – Dari ‘Aisyah ( رضي الله عنه ), dia
menyatakan: “Ketika shalat pertama kali diwajibkan, Allah mewajibkan dua
rakaat-dua rakaat, sama ada ketika sedang tidak dalam perjalanan maupun ketika
dalam perjalanan. (Selepas hijrah Nabi ) shalat ketika safar
ditetapkan/dibiarkan (dua rakaat), dan shalat ketika tidak safar (dalam
perjalanan) ditambah (jumlah rakaatnya).
(Hadits Riwayat Muslim, Kitab shalat
orang-orang yang musafir, no. 1570)
Imam Ahmad rahimahullah di dalam
al-Musnadnya (6/241) menambahkan:
“Kecuali shalat Maghrib dan subuh”.
(Rujuk: Nota kaki no. 71, m/s. 550,
Ensiklopedi shalat Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, oleh Sheikh Dr. Sa’id bin
‘Ali bin Wahf al-Qahthani, Terbitan Pustaka Imam asy-Syafi’i)
3 – Dari Ibnu ‘Abbas ( رضي الله عنه ), dia
menyatakan:
“Allah telah mewajibkan shalat
melalui lisan Nabi Kalian ketika tidak
dalam perjalanan (musafir) adalah empat rakaat dan ketika dalam perjalanan dua
rakaat, serta ketika menghadapi rasa takut adalah satu rakaat.” (hadits Riwayat
Muslim, Kitab orang-orang yang musafir, no. 687)
Menurut Sheikh Dr. Sa’id bin ‘Ali
bin Wahf al-Qahthani, yang menaqalkan daripada Sheikh Abdul Aziz bin Bazz:
“Dasar shalat yang pertamanya adalah
dua rakaat, sebagaimana yang diwajibkan oleh Allah Ta’ala, kemudian setelah
hijrah, Allah (سبحانه وتعالى) menambahkannya dua
rakaat lagi bagi yang tidak dalam perjalanan menjadi empat rakaat, iaitu pada
shalat ‘Isya’, Zuhur, dan ‘Asar. Adapun shalat ketika dalam perjalanan, masih
tetap dua rakaat, iaitu bagi shalat ‘Isya’, Zuhur, dan ‘Asar (diqasarkan).
Dengan demikian, meng-Qasarkan shalat (di dalam perjalanan) adalah sunnah
mu’akkad karena tidak ada larangan untuk mengerjakan shalat secara lengkap,
iaitu empat rakaat.
(Rujuk: Ensiklopedi shalat Menurut
al-Qur’an dan as-Sunnah, oleh Sheikh Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani,
Terbitan Pustaka Imam asy-Syafi’i, m/s. 252)
Walau bagaimanapun, perlu dipahami
dan diketahui bahwa meng-Qasarkan shalat (memendekkannya menjadi dua rakaat) di
dalam perjalanan (musafir) adalah lebih baik dan utama daripada melaksanakannya
secara sempurna (tamam). Ini adalah berdasarkan kepada hadits berikut:
Daripada ‘Abdullah bin ‘Umar (رضي الله عنهما) dia menyatakan, Rasulullah telah bersabda:
“Sesungguhnya Allah suka jika
keringanan yang Dia berikan itu dimanfaatkan sebagaimana Dia tidak suka
kemaksiatan kepada-Nya dilakukan.”
(Hadits yang dinilai Hasan menurut
Sheikh Muhammad Nashiruddin al-Albani di dalam kitabnya, Irwaa’ul Ghaliil, 3/9,
no. 564)
Daripada Ibnu Mas’ud dan ‘Aisyah (رضي الله عنهما) :
“Sesungguhnya Allah sangat menyukai
rukhsah (keringanan) dari-Nya dimanfaatkan sebagaimana Dia menyukai pelbagai
kewajiban yang dari-Nya dikerjakan.”
(Hadits yang dinilai shahih menurut
Sheikh Muhammad Nashiruddin al-Albani di dalam kitabnya, Irwaa’ul Ghaliil)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
menyatakan (di dalam Majmuu’ al-Fataawaa, 24/9):
“Bahkan terdapat suatu pendapat dari
mazhabnya Abu Hanifah dan Imam Malik, bahwa hukum melaksanakan shalat secara
Qasar di dalam perjalanan (musafir) adalah suatu yang wajib.”
(Dirujuk dari nota kaki no. 80,
Ensiklopedi shalat Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, oleh Sheikh Dr. Sa’id bin
‘Ali bin Wahf al-Qahthani, Terbitan Pustaka Imam asy-Syafi’i, m/s. 252)
Persoalan Jarak Dalam Musafir:
Dari Abi Sa’id ( رضي الله عنه ), beliau
menyatakan:
“Sesungguhnya Rasulullah apabila bermusafir sejauh satu farsakh, maka
beliau mengqasarkan shalatnya.” (hadits Riwayat Sa’id bin Mansur)
Dari Anas ( رضي الله عنه ), bahwasanya
beliau menjawab semasa ditanya tentang shalat qasar di antara Basrah dan kufah:
“Dahulu Rasulullah jika berpergian
(musafir) sejauh tiga batu (satu farsakh) beliau shalat dua rakaat (qasar). (Diriwayatkan oleh
Muslim, ahmad, dan Abu Daud).
Menurut para ulama fiqh, satu
farsakh ialah tiga batu. Ini diambil mengikut jarak perkiraan Parsi.
(Dirujuk dari: Kertas Kerja Ust.
Rasul bin Dahri, shalat Qasar & Jama’, m/s. 6)
Menurut sebagian ulama, bahwa yang
dinamakan sebagai musafir itu tidaklah dihadkan dengan jarak-jarak yang
tertentu. Tetapi, dalam hal ini, adalah merujuk kepada ‘uruf (adat kebiasaan)
seseorang itu berada. Jika jarak perjalanan dianggap sebagai musafir (pergi
keluar kawasan dari tempat kebiasaan ke tempat yang di luar kebiasaan) oleh
sebuah masyarakat, maka dia boleh meng-Qasarkan shalatnya dan berbuka puasa.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah menyatakan:
“Dalil yang lebih tepat dan kuat
ialah pendapat ulama yang membolehkan qasar shalat dan berbuka puasa ketika
musafir dan tidak ada jarak perjalanan yang khusus. Inilah pendapat yang paling
shahih.” (Rujuk Kitab Majmuu’ al-Fataawaa, 24/106)
Inilah pendapat yang dipilih oleh
Ibnu Taimiyah. Alasannya, Allah dan Rasul tidak pernah menghadkan jarak
tertentu dalam bermusafir yang membolehkan shalat diqasarkan dan puasa
dibenarkan berbuka.
Imam Abu al-Qasim al-Kharqi
rahimahullah telah menyatakan dalam kitab al-Mughni:
“Aku tidak setuju dengan pendapat
yang diutarakan oleh kebanyakan ulama fiqh karena pendapat mereka itu tidak ada
hujjahnya (dalam menghadkan jarak musafir). Ini karena, terdapat riwayat dari
kata-kata para sahabat yang saling menyanggah. Sedangkan, tidak boleh berhujjah
menggunakan dalil yang saling berbeda.”
Pendapat yang dirojihkan sebagian
ulama yang dimaksud diatas adalah, tidak harus meng-Qasarkan shalat apabila
jarak kurang daripada tiga batu. 1 batu adalah 1748 meter. Manakala 3 batu
adalah 5541 meter (5.541 kilometer). Oleh itu, seseorang boleh meng-Qasarkan
shalat apabila mencapai had ini.
Menurut riwayat Ibn Abi Syaibah
rahimahullah dengan sanad shahih dari Ibnu ‘Umar ( رضي
الله عنه ). Pendapat ini dipersetujui oleh
Ibnu Hazm, katanya:
“Nabi telah keluar ke perkuburan Baqi’ (dengan jarak
kurang dari 3 batu) untuk mengebumikan jenazah dan keluar ke Fadaq untuk
membuang hajat. Tetapi beliau tidak
pernah meng-Qasarkan shalatnya.”
(Disalin dari buku Wudhu’ dan shalat
Menurut Sunnah dan Mazhab Syafi’ie, oleh Abu Ruwais asy-Syubrawi, Terbitan
Karya Bestari Sdn. Bhd.)
Disimpulkan dari beberapa pendapat,
bahwa pendapat yang paling rojih adalah tiada had tertentu yang membataskan
seseorang untuk dikategorikan sebagai musafir. Ia adalah bergantung kepada
‘uruf/kebiasaan seseorang itu sendiri iaitu dari mana dia berada (kawasan
kebiasaan dia berada/menetap) dan ke mana dia keluar (ke tempat yang di luar
kebiasaannya) tanpa dihadkan jaraknya.
(Disimpulkan dari perbahasan dalam
buku Fiqh Dan Musafir Penerbangan, Hafiz Firdaus Abdullah, Di bawah Tajuk
Mengqasar shalat Dalam Penerbangan, Terbitan Perniagaan Jahabersa, m/s.
161-204)
Bila shalat Qasar Segera Boleh
Dilakukan:
Dalam hal ini, Ibnu Mundzir rahimahullah
berkata (Dipetik dari: Ensiklopedi shalat Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, oleh
Sheikh Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, Terbitan Pustaka Imam
asy-Syafi’i, m/s. 259):
“Para ulama sepakat bahwa orang yang
hendak melakukan perjalanan boleh meng-Qasar shalat jika sudah keluar dari
seluruh rumah yang ada di kampung yang ditinggalkannya. (Majmuu’ Fataawaa Ibni
Bazz, 12/267)
Tempo (Lamanya) Musafir Yang
Dibolehkan shalat Qasar Tetap Dilaksanakan:
Berikut dibawakan fatwa Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah ketika menjawab pertanyaan “tentang seseorang yang
mengetahui bahwa dia akan bermukim dua bulan, apakah dia boleh mengqasarkan
shalat?”
Beliau menjawab:
“Di dalam masalah ini terdapat
perbedaan pendapat di kalangan ulama. Di antara mereka ada yang mewajibkan
untuk mengerjakan shalat secara lengkap, tetapi ada juga di antara mereka yang
mewajibkan qasar shalat. Yang benar adalah keduanya boleh berlaku. Barangsiapa
yang mau meng-Qasarkan shalatnya tidaklah dilarang, dan yang hendak
mengerjakannya secara lengkap pun tidak dilarang. Selain itu, mereka juga
berbeda pendapat berkenaan mana yang lebih afdhal di antara keduanya.
Barangsiapa yang masih menyimpan keraguan, maka mengerjakan shalat secara
sempurna adalah lebih baik sebagai langkah berhati-hati.
Sedangkan orang yang memahami sunnah
dan mengetahui Rasulullah tidak
mensyariatkan bagi orang yang di dalam perjalanan untuk mengerjakan shalat
melainkan dengan dua rakaat, dan tidak memberikan batasan perjalanan dengan
waktu dan tempat, serta tidak juga memberikan batasan masa tinggal dengan waktu
tertentu, tidak tiga, empat, dua belas, atau lima belas hari, maka dia boleh
meng-Qasar shalatnya, sebagaimana yang dikerjakan oleh kebanyakan ulama salaf.
Seorang tabi’in Masruq Bin Al-Ajda’
pernah bermukim beberapa tahun dengan tetap mengqasarkan shalatnya. Kaum
muslimin juga pernah bermukim di Nahawanda selama enam bulan dan mereka (tetap)
mengqasar shalat. Mereka meng-Qasarkan shalat dalam keadaan mengetahui bahwa
keperluan mereka tidak akan cukup empat hari atau lebih. Sebagaimana Nabi dan para Sahabat beliau setelah pembebasan
Kota Makkah (Fathul Makkah) selama di Makkah lebih kurang dua puluh hari beliau
meng-Qasarkan shalat. Mereka juga pernah bermukim di Makkah selama sepuluh hari
dan berbuka puasa di siang hari pada bulan Ramadhan.
Setelah membebaskan kota Makkah,
Nabi mengetahui bahwa beliau perlu
bermukim di sana lebih dari empat hari. Seandainya pembatasan tersebut tidak
mempunyai dasar (niat menetap/mastautin – pen.), berarti seorang musafir masih
tetap sebagai musafir yang boleh meng-Qasarkan shalat walaupun dia bermukim di
suatu tempat beberapa bulan. Wallahu a’lam.”
(Majmuu’ al-Fataawaa, 14/17-18).
(Dinukil dari footnote no. 114, Ensiklopedi shalat Menurut al-Qur’an dan
as-Sunnah, oleh Sheikh Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, Terbitan
Pustaka Imam asy-Syafi’i, m/s. 262)
Adakah shalat Sunnah Rawatib Ketika
Dalam Musafir?
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata:
“Kegigihan dan kesungguhan
Rasulullah dalam memelihara shalat
sunnah sebelum Subuh lebih besar daripada shalat sunnah yang lainnya sehingga
beliau tidak pernah meninggalkannya. Begitu pula shalat witr, sama ada ketika
dalam perjalanan mau pun ketika sedang di rumah… Tidak pernah dinukil bahwa
Rasulullah mengerjakan shalat sunnah
rawatib selain shalat sunnah sebelum subuh dan shalat witr dalam
perjalanannya.”
(Rujuk: Zaadul Ma’aad fii Hadyi
Khairil ‘Ibaad, 1/315)
Berdasarkan fatwa Imam Ibnul Qayyim,
ini menunjukkan bahwa dipahami hanya shalat sunnah rawatib subuh dan shalat
witr yang dituntut. Dan tiada sandaran bagi kesunnahan melakukan shalat sunnah
rawatib bagi shalat-shalat yang lain melainkan sebelum shalat subuh.
Bagaimana Dengan shalat-shalat
Sunnah Yang Lainnya?
Imam Nawawi rahimahullah berkata:
“Para ulama telah sepakat untuk
menetapkan sunnah (adanya) terhadap shalat-shalat sunnah mutlak (shalat-shalat
sunnah yang memiliki sebab untuk ia dilakukan) dalam perjalanan.”
(Syarhun Nawawi ‘alaa shahih Muslim,
5/205). (Rujuk: Ensiklopedi shalat Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, oleh Sheikh
Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, Terbitan Pustaka Imam asy-Syafi’i,
m/s. 269)
Shalat sunnah mutlak yang
dimaksudkan adalah separti shalat sunnah Thawaf, shalat Tahiyatul Masjid,
shalat sunnah wudhu’, shalat Dhuha, dan seumpamanya.
Shalat Di Belakang Imam Yang Mukim
Ketika Kita Bermusafir
Ibnu ‘Abbas rahimahullah (ketika
bermusafir), dia akan shalat empat rakaat jika shalat bersama imam (yang mukim)
dan dua rakaat (Qasar) jika shalat sendirian.
(Hadits Riwayat Muslim, Kitab shalat
orang-orang yang musafir, no. 17 (688))
Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah
menyebutkan:
“Kebanyakan dari mereka menyatakan
bahwa jika seorang musafir melakukan takbiratul ihram di belakang orang yang
bermukim/bermastautin sebelum salamnya, maka dia harus mengerjakan shalat
separti orang mukim, iaitu mengerjakan secara lengkap (empat rakaat)”.
(at-Tamhiid, 16/311-312)
“Mereka yang bermusafir ketika
menjadi makmum kepada imam yang mukim harus mengerjakan shalat separti yang dilakukan
imamnya (shalat sempurna/empat rakaat).
(Rujuk: Ensiklopedi shalat Menurut
al-Qur’an dan as-Sunnah, oleh Sheikh Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani,
Terbitan Pustaka Imam asy-Syafi’i, m/s. 271)
Pendapat ini adalah didasari kepada
hadits:
“Sesungguhnya imam itu dijadikan
untuk diikuti. Oleh karena itu, janganlah kalian menyelisihinya, jika dia
bertakbir, bertakbirlah kalian…” (hadits Riayat Muslim, Kitab ash-Solah, no.
414)
Shalat Di Belakang Imam Yang
Bermusafir (Imam Yang Meng-Qasarkan shalatnya)
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah
menyatakan:
“Para ulama telah sepakat bahwa jika
orang yang bermukim/bermastautin menjadi makmum kepada imam yang bermusafir
lalu musafir itu mengucapkan salam (setelah dua rakaat shalatnya secara Qasar –
pen.), maka orang yang bermukim harus menyempurnakan shalatnya (kepada empat
rakaat).”
(Rujuk: al-Mughni, 3/146. Lihat:
Nailul Authaar, asy-Syaukani, 2/403)
Jika seorang musafir mengimami
beberapa orang yang bermukim/bermastautin, lalu dia mengerjakan shalat itu
secara lengkap/tamam/sempurna, maka shalat mereka itu sempurna dan sah, hanya
saja bertentangan dengan yang afdhal (sunnahnya).
(Majmuu’ Fataawaa Ibni Baaz,
12/260). (Dinukil daripada: Ensiklopedi shalat Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah,
oleh Sheikh Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, Terbitan Pustaka Imam
asy-Syafi’i, m/s. 270-271)
Perbedaan Di Antara shalat Qasar
Dengan shalat Jama’
Qasar (memendekkan shalat fardhu
yang empat rakaat):
Qasar shalat itu tidak memiliki
sebab kecuali ketika dalam perjalanan (musafir) sahaja. Maka, rukhsah
meng-Qasarkan shalat itu adalah khusus ketika musafir sahaja, iaitu bagi shalat
yang empat rakat menjadi dua rakaat.
Jama’ (menggabungkan dua shalat
fardhu):
Jama’ shalat itu lebih luas daripada
qasar shalat. Oleh karena itu, jama’ memiliki beberapa sebab lain selain
perjalanan, sebagai contoh karena sakit, istihadhah, hujan, jalan berlumpur,
angin kencang udara dingin, kesukaran yang dihadapi berkaitan masa bagi salah
satu waktu shalat, dan seumpamanya.
Menjama’kan shalat ketika musafir
adalah dimakruhkan ketika mana tidak memiliki sebab, malah adalah lebih baik
tidak menjama’kan shalat ketika dalam bermusafir melainkan benar-benar
diperlukan atau memiliki maslahah.
(Rujuk: Ensiklopedi shalat Menurut
al-Qur’an dan as-Sunnah, oleh Sheikh Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani,
Terbitan Pustaka Imam asy-Syafi’i, m/s. 275-276)
Semoga bermanfaat, khususnya bagi
ana pribadi dan para pembaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar