1. Pengertian Ikhtilath
Ikhtilath menurut bahasa adalah
bercampurnya sesuatu dengan sesuatu. (Lihat Lisānul ‘Arab 9/161-162). Adapun
menurut istilah adalah bercampur baur antara laki-laki dan perempuan yang tidak
ada hubungan mahram pada suatu tempat. (Lihat Al-Mufashal fī Ahkāmil Mar’ah:
3/421)
Ikthtilath adalah percampuran antara
laki-laki dan wanita. Ikhtilat adalah lawan dari infishal (terpisah). Pada
dasarnya, Islam telah mewajibkan pemisahan antara wanita dan laki-laki.
Pemisahan ini berlaku umum dalam kondisi apapun, baik dalam kehidupan umum
maupun khusus, kecuali ada dalil-dalil yang mengkhususkannya.
Sedangkan menurut pakar ilmu,
ikhtilath adalah pencampuran atau berdesak-desakan yang terjadi antara pria dan
wanita. Sebagaimana hal ini diutarakan oleh seorang tabiin (Hanzah bin Abu
Usaid Al Anshari) yang menceritakan kisah yang bersumber dari bapaknya, “Dia mendengar
Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda di saat beliau keluar dari masjid,
sedangkan para lelaki dan wanita berikhtilath (bercampur baur) di jalan. Maka
Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda, ‘Minggirlah kamu, karena
sesungguhnya kamu tidak berhak berjalan di tengah jalan, kamu wajib berjalan di
pinggir jalan’. Maka para wanita itu merapat di tembok/ dinding sampai baju
mereka terkait di tembok karena saking rapatnya.” (Riwayat Abu Daud)
Hadits tersebut mengisyaratkan bahwa
bercampur-baurnya (ikhtilath) antara laki-laki dan wanita di jalan itu adalah
dengan berdesak-desakan atau berjalan bersama-sama, makanya Nabi Shallallahu
‘alaihi Wasallam memerintahkan para wanita untuk berjalan di pinggir.
2. Kondisi-Kondisi Ikhtilath
Bercampurnya antara laki-laki dan
wanita ada tiga kriteria :
1. Ikhtilath antara laki-laki dan wanita yang masih mahram. Hukum dari ikhtilath ini boleh
2. Ikhtilathnya laki-laki dan perempuan asing (bukan mahram) untuk tujuan maksiat. Tentang hukumnya jelas sekali yakni haram.
3. Ikhtilathnya seorang wanita dengan laki-laki asing di tempat-tempat ramai; majelis-majelis ilmu, toko, pasar, dan lainnya. Model ikhtilath ini pun semestinya dihindari atau diminimalisir. Kecuali memang dalam keadaan yang sangat mendesak/darurat.
1. Ikhtilath antara laki-laki dan wanita yang masih mahram. Hukum dari ikhtilath ini boleh
2. Ikhtilathnya laki-laki dan perempuan asing (bukan mahram) untuk tujuan maksiat. Tentang hukumnya jelas sekali yakni haram.
3. Ikhtilathnya seorang wanita dengan laki-laki asing di tempat-tempat ramai; majelis-majelis ilmu, toko, pasar, dan lainnya. Model ikhtilath ini pun semestinya dihindari atau diminimalisir. Kecuali memang dalam keadaan yang sangat mendesak/darurat.
3. Hukum Ikhtilath
Pada hakekatnya, percampuran antara
laki-laki dan wanita bukan mahram adalah sesuatu yang sangat besar
pelarangannya. Namun kebanyakan manusia tidak menyadari atau bahkan
meremehkannya. Padahal dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam
telah mengatakan kepada para wanita untuk berjalan dipinggir jalan ketika
terjadi percampuran antara laki-laki dan wanita, “Minggirlah kamu, karena
sesungguhya kamu tidak berhak berjalan di tengah jalan , kamu wajib berjalandi
pinggir jalan.” (Riwayat Abu Daud)
Perintah beliau ditujukan kepada
para wanita yang berdesakan dengan para lelaki di jalan menunjukkan
terlarangnya ikhtilath. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam juga
mengatakan, “Sungguh jika seorang laki-laki berdesakan dengan seekor babi yang
berlumuran tanah dan lumpur lebih baik baginya daripada berdesak-desakan dengan
pundak wanita yang tidak halal baginya”. (Riwayat ath-Thabrani)
Pun dengan sabdanya yang lain,
“Sungguh jika kepada salah satu dari kalian ditusuk dengan besi lebih baik ketimbang
menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (Riwayat ath-Thabrani). Dari
hadits-hadits tersebut menunjukkan keharaman ikhtilath. Demikian pula dengan
hal-hal yang dapat menghantarkan seseorang ke dalam perbuatan ikhtilath masuk
ke dalam larangan ini.
Dalam Firman-Nya, Allah Subhanahu wa
Ta’ala mengatakan,
“ Katakanlah kepada laki-laki yang
beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannnya, dan memelihara kemaluannya’.
Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang mereka perbuat”. (An Nuur: 30)
Yang terpahami dari ayat tersebut,
bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala, memerintahkan untuk menahan pandangan
dari yang diharamkan. Memandang lawan jenis yang bukan mahrim saja di larang,
bagaimana halnya dengan menyentuh atau berdesak-desakan/ikhtilath dengan mereka
?? Tentunya sangat lebih tingkat pelarangannya.
Termasuk di dalam hal ini adalah
berkhalwat (berdua-duaan dengan wanita yang bukan mahram). Rasulullah telah
memperingatkannya dalam sebuah hadits, “ Tidaklah seorang pria berdua-duaan
dengan seorang wanita kecuali orang ketiganya adalah setan “. (Riwayat
at-Tirmidzi)
4. Kondisi-Kondisi yang
diperbolehkannya adanya ikhtilath
Berikut merupakan keadaan yang
membolehkan seseorang untuk ikhtilath. Namun perlu dicatat bahwa ikhtilath ini
hanya bersifat boleh. Yang berarti tindakan tersebut tidak harus dilakukan atau
tidak lebih disukai/tidak lebih utama untuk dikerjakan. Dan perlu diingat pula
ikhtilath ini dilakukan dalam rangka kebaikan dan memperoleh manfaat.
Apabila dengan ikhtilath yang
dilakukan dapat menimbulkan kerusakan dan fitnah yang lebih besar, maka tidak
boleh dilakukan, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menyukai kerusakan. Pun
dengan sebuah kaidah ushul fiqh yang popular yang mengatakan; “Mencegah
kerusakan lebih dikedepankan daripada mendatangkan kebaikan/manfaat.”
Berikut keadaaan-keadaan yang
membolehkan ikhtilath ;
a. Wanita mendatangi seorang alim
(ahli ilmu) untuk bertanya mengenai hukum syariat.
Hal ini sebagaimana sebuah riwayat
yang mengisahkan, Ada seorang Sahabiyyah Nabi mendatangi beliau dan menanyakan
tentang darah istihadhah. (Riwayat al-Bukhari)
b. Wanita yang shalat (menjadi
makmum) di belakang laki-laki dengan shaf tersendiri.
Sahabat Anas mengatakan, “ Nabi
Shallallahu ‘alaihi Wasallam shalat di rumah Ummu Sulaim, maka aku dan seorang
anak yatim berdiri di belakang beliau dan Ummu Sulaim di belakang kami.”
(Riwayat al-Bukhari)
c. Dua pria shalih atau lebih
menemui seorang wanita untuk hajat tertentu.
Di dalam sebuah riwayat disebutkan
Orang-orang Bani Hasyim menemui Asma binti ‘Umais (istri Abu Bakar). Kemudian
Abu Bakar masuk ke rumah, maka Abu Bakar tidak menyukai dan mengadu kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam seraya mengatakan, “Aku tidak melihat
sesuatu kebaikan.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda,
“Setelah hariku ini janganlah sekali-kali seorang pria menemui seorang wanita
yang ditinggal pergi suaminya kecuali bersamanya ada seorang atau dua orang
laki-laki.” (Riwayat Muslim)
d. Seorang pria berdiri bersama
seorang wanita di jalan yang biasanya dilewati orang banyak untuk menunaikan
kebutuhan wanita tersebut.
Hal ini didasarkan kepada sebuah
kisah yang diungkapkan oleh Anas, “ Bahwa ada seorang wanita yang akalnya
kurang genap berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam,” Wahai
Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki keperluan denganmu. Maka Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda, “ Wahai Ummu Fulan, carilah jalan mana
yang kamu sukai sehingga aku dapat memenuhi keperluanmu. Maka beliau dan wanita
tersebut menyendiri diri sebuah jalan hingga wanita tersebut menyelesaikan
keperluannya.” (Riwayat Muslim, Abu Daud). “Perkataan ‘menyendiri’ yang
terdapat di dalam hadits tersebut memiliki maksud, Rasulullah berdiri bersama
wanita tersebut di jalan yang banyak dilewati orang, agar beliau dapat
menunaikan keperluannya dalam keadaan sepi. Kondisi semacam ini tidaklah
dikatakan sebagai bentuk ikhtilath dengan wanita asing (bukan mahram), karena
hal ini terjadi di tempat yang orang-orang biasa lewat” seperti yang
diungkapkan oleh Imam An Nawawi di dalam kitabnya, syarh Muslim.
e. Wanita mengucapkan Salam kepada
pria.
Sebuah riwayat yang bersumber dari
Abu murrah (bekas budak Ummu Hani’ binti Abu Thalib) menuturkan bahwasanya dia
mendengar Ummu Hani’ berkata, “Saya pergi menemui Rsulullah Shallallahu ‘alaihi
Wasallam pada tahun Fathu Makkah, maka saya mendapati beliau sedang mandi dan
fathimah menutupinya dengan kain, lalu saya mengucapkan salam……..”(Riwayat
Muslim, an-Nasai, Ahmad)
f. Seorang wanita yang mendatagi
pria untuk suatu keperluan.
(Sebagaimana yang disebutkan di dalam hadits sebelumnya (point e))
g. Seorang pria mengucapkan salam
kepada wanita.
Sebuah riwayat yang berasal dari
Sahl mengatakan, “Maka apabila kami telah selesai shalat Jum’at, kami pulang
dan mampir ke rumah seorang wanita tua kemudian kami mengucapkan salam
kepadanya……” (Riwayat al-Bukhari)
Itulah kondisi-kondisi yang bisa
dikategorikan bukan sebagai bentuk ikhtilath. Namun, seperti diterangkan
sebelumnya apabila hal-hal tersebut dilakukan sehingga menimbulkan kerusakan
dan fitnah maka tidak boleh dilakukan. Sebaliknya, apabila aman dari fitnah dan
mafsadah maka boleh dilakukan.
5. Fenomena Aktual di Sekolah,
Universitas, Rumah Sakit dan Instansi-Instansi.
Ikhtilath di Sekolah, Universitas,
Rumah Sakit dan Instansi-Instansi sudah merupakan perkara yang biasa dan sudah
membudaya, dan hasil dari semua itu dianggap luar biasa. Karena luar biasanya,
maka banyak dari umat Islam terpengaruh dan bahkan sampai tergiur yang pada
akhirnya timbullah angan-angan untuk meraih yang mereka angan-angankan,
merekapun mulai mencoba yang pada akhirnya terasa semakin asyik sehingga
melahirkan keberanian dalam menerjang larangan-larangan Rabbnya, Na’uzu billah
min zalik. Sungguh telah cukup bagi kami untuk mencantumkan beberapa point dari
fatwa para ulama kita, tentang betapa bahaya dan ngerinya tentang perkara
ikhtilath ini:
- Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin
Baz rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang mengatakan boleh ikhtilath
disekolah-sekolah dan yang lainnya dengan alasan bahwa perintah berhijab hanya
khusus untuk isteri-isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka perbuatan
ini jauh dari petunjuk serta menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah yang telah
menunjukkan hukum hijab berlaku umum, sebagaimana firman-Nya: “Cara yang
demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (Fatawa An-Nazhar wal
Khalwah wal Ikhtilath, hal. 10).
- Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-Utsaimin rahimahullah berkata: “Sesungguhnya tidak boleh bagi setiap orang
laki-laki dan perempuan untuk belajar di sekolah-sekolah yang terjadi iktilath
didalamnya, disebabkan karena bahaya yang besar yang akan mengancam kesucian
dan akhlak mereka. Tidak ada keraguan bahwa orang yang bagaimana pun sucinya
dan mempunyai akhlak yang tinggi, bagaimana jika disamping tempat duduknya ada
perempuan, terlebih lagi bila perempuan itu cantik lalu menampakkan
kecantikannya maka sangatlah sedikit yang bisa selamat dari fitnah dan
kerusakan. Oleh karena itu segala yang membawa kepada kerusakan dan fitnah
adalah haram.” (Fatawa An-Nazhar wal Khalwah wal Ikhtilath, hal. 23).
- Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin
Baz rahimahullah berkata: “Adapun ikhtilath antara laki-laki dan perempuan di
tempat kerja atau instansi-instansi sedang mereka adalah kaum muslimin, maka
hukumnya haram dan wajib bagi yang memiliki wewenang di tempat tersebut untuk
memisahkan tempat (ruangan) antara laki-laki dan perempuan. Sebab ikhtilath
terdapat kerusakan yang tidak samar lagi bagi seorang pun.” (Fatawa Hai’ah
Kibaru Ulama: 2/613 dan Fatawa Ulama Baladi Haram, hal. 532).
- Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin
Al-Albani rahimahullah berkata: “Perempuan yang keluar dari rumahnya merupakan
perkara yang menyelisihi hukum asal. Dan masuknya mereka di rumah sakit yang di
dalamnya ada campur baur antara laki-laki dan perempuan merupakan ikhtilath
yang tidak diperbolehkan didalam Islam. Seandainya ada rumah sakit khusus untuk
wanita, para pekerjanya juga wanita, begitu pula pasien dan para perawatnya.
Seharusnya memang negeri-negeri Islam ada rumah sakit yang seperti itu, yang
mana para wanita secara khusus yang mengurusinya, baik dokter, direktur, para
pekerjanya dan yang semisalnya. Adapun apabila rumah sakitnya ada ikhtilath,
maka kami nasehatkan agar wanita muslimah yang beriman kepada Rabbnya agar
bertaqwa kepada Allah dan hendaknya ia tetap tinggal dirumahnya.” (Al-Hawi min
Fatawa Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 75).
- Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin
Baz rahimahullah berkata: “Bekerjanya perempuan ditempat yang terdapat
laki-laki di dalamnya adalah perkara yang sangat berbahaya. Dan diantara
penyebab terbesar adalah munculnya kerusakan yang disebabkan karena ikhtilath
yang mana hal itu merupakan jalan-jalan yang paling banyak menyebabkan
terjadinya perzinahan.” (Fatawa An-Nazhar wal Khalwah wal Ikhtilath, hal. 44).
6. Adakah Ibadah Dilaksanakan dengan
Berikhtilath?
-Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Jangan kalian melarang hamba-hamba Allah yang perempuan
(untuk menghadiri) masjid-masjid Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
- Al-Imam An-Nawawi rahimahullah
berkata: “Hadits ini menunjukkan bolehnya perempuan untuk ke masjid menghadairi
shalat berjama’ah, jika apabila memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan
oleh syari’at. Diantaranya tidak keluar dengan menggunakan wangi-wangian, tidak
berpakaian menyolok dan tidak berikhtilat.” (Syarh Shahih Muslim: 2/83).
- Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda: “Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang paling depan dan yang
sejelek-jelek shaf laki-laki adalah yang paling belakang dan sebaik-baik shaf
perempuan adalah yang paling belakang dan sejelek-jelek shaf perempuan adalah
yang paling depan.” (HR. Muslim: 1/326 no. 440, dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu).
- Al-Imam An-Nawawi berkata: “Adapun
shaf laki-laki umumnya yang paling baik selama-lamanya adalah shaf yang
pertama, yang paling jelek selama-lamanya adalah shaf yang terakhir. Adapun
shaf perempuan yang paling baik adalah yang paling belakang. Hal ini
dikarenakan agar keadaan shaf perempuan dan laki-laki saling menjauh sehingga
tidak terjadi ikhtilath dan saling memandang satu sama lainnya.” (Lihat Syarh
Shahih Muslim dan As-Sirājul Munīr fī Ahkāmis Shalati wal Imāmi wal Ma’mumīn,
hal. 231-232).
- Al-Imam Ash-Shan’any rahimahullah
berkata: “Dalam hadits ini menjelaskan sebab disunnahkannya shaf perempuan
berada di belakang shaf laki-laki supaya keadaan tempat perempuan dan laki-laki
dalam shalat berjauhan, sehingga tidak terjadi ikhtilath diantara mereka.”
(Lihat Subulus-Salām)
- Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah
berkata: “Penyebab kebaikan shaf perempuan berada di belakang shaf laki-laki
adalah karena supaya tidak terjadi ikhtilath diantara mereka.” (Nailul Authar:
3/189).
- Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Hal ini dikarenakan dekatnya shaf terdepan
wanita dari shaf terakhir lelaki sehingga merupakan shaf terjelek, dan jauhnya
shaf terakhir wanita dari shaf terdepan lelaki merupakan shaf yang terbaik.
Apabila pada ibadah shalat yang disyariatkan secara berjamaah, maka bagaimana
kiranya jika di luar ibadah? Kita mengetahui bersama, dalam keadaan dan suasana
ibadah tentunya seseorang lebih jauh dari perkara-perkara yang berhubungan
dengan syahwat. Maka bagaimana sekiranya ikhtilath itu terjadi di luar ibadah?
Sedangkan setan bergerak dalam tubuh Bani Adam begitu cepatnya mengikuti
peredaran darah. Bukankah sangat ditakutkan terjadinya fitnah dan kerusakan
besar karenanya?” (Lihat Fatawa An-Nazhar wal Khalwah wal Ikhtilath, hal. 45).
- Ummul Mukminin Àisyah radhiyallahu
‘anha berkata: “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat
subuh pada saat masih gelap maka para perempuan kaum mukminin kembali dan
mereka tidak dikenali karena masih gelap atau sebagian mereka tidak mengetahui
sebagian yang lain.” (HR. Bukhari)
Hadits ini serupa dengan hadits Ummu
Salamah, ia berkata: “Sesungguhnya para perempuan di zaman Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bila mereka salam dari shalat wajib, maka mereka
berdiri dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta orang-orang yang
shalat bersama beliau dari kalangan laki-laki tetap di tempat mereka selama
waktu yang diinginkan oleh Allah, bila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berdiri maka para lelaki berdiri pula.” (HR. Bukhari).
- Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah
berkata: “Dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang dibencinya ikhtilath
antara laki-laki dan perempuan dalam perjalanan dan hal ini lebih terlarang
lagi ketika ikhtilath terjadi pada suatu tempat.” (Lihat Nailul Authar: 2/315).
- Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah
berkata: “Jika dalam shalat berjama’ah terdapat laki-laki dan perempuan maka
disunnahkan bagi laki-laki untuk tidak meninggalkan tempat sampai perempuan
keluar meninggalkan jama’ah sebab kalau tidak, maka hal ini akan membawa pada
ikhtilath.” (Al-Mughny: 2/560).
- Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu
‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri pada Iedul
Fitri untuk shalat, maka beliau memulai dengan shalat kemudian berkhutbah.
Tatkala beliau selesai, beliau turun dan mendatangi para perempuan kemudian
memberikan peringatan kepada mereka.” (HR. Bukhari)
- Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah
berkata: “Perkataan: Kemudian beliau mendatangi para perempuan” Ini menunjukkan
bahwa tempat perempuan terpisah dengan tempat laki-laki, tidak dalam keadaan
ikhtilath.” (Lihat Fathul Bāry: 2/66).
- Al-Imam An-Nawawi rahimahullah
berkata: “Hadits ini menjelaskan bahwa perempuan-perempuan apabila menghadiri
shalat jama’ah yang mana jama’ah tersebut dihadiri pula oleh para laki-laki
maka perempuanj terpisah dengan dari tempat laki-laki, hal ini untuk
menghindari fitnah, saling memandang dan berbicara.” (Syarh Shahih Muslim:
2/535).
- Ummul Mukminin Àisyah radhiyallahu
‘anha berkata: “Saya meminta izin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam untuk berjihad, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabad:
“Jihad kalian (para perempuan) adalah berhaji.” (HR. Bukhari dari Àisyah
radhiyallahu ‘anha).
- Ibnu Baththal rahimahullah
berkata: “Hadits ini menunjukkan bahwa jihad tidak diwajibkan bagi perempuan,
hal ini disebabkan karena perempuan apabila berjihad maka tidak akan mampu
menjaga dirinya dan juga akan terjadi percampur bauran antara laki-laki dan
perempuan.” (Fathul Bary: 6/75-76)
7. Syubhat-Syubhat Seputar Ikhtilath
Diantara syubhat yang paling masyhur
adalah:
“Syari’at tentang perintah untuk
meninggalkan ikhtilath hanya cocok diterapkan di Negara Saudi Arabia adapun
Negara selain Saudi Arabia tidaklah cocok karena menyelisihi adat kebiasaan,
begitu pula syari’at atau suatu hukum akan mengalami perubahan seiring dengan
perubahan zaman dan situasi, lagi pula di dalam Islam ada kaidah tetap yaitu:
“Al-Qur’an berjalan diatas bimbingan-bimbingannya disesuaikan dengan zaman dan
kondisi. Dan hukum-hukumnya disesuaikan dengan kebiasaan dan adat istiadat.”
Jawaban atas syubhat ini:
Perlu diketahui bahwa qaidah
tersebut telah disebutkan oleh Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di
–rahimahullah- di dalam kitabnya “Al-Qawa’idul Hisān fii Tafsiril Qur’an pada
qaidah yang ke-21, kemudian beliau rahimahullah- memberikan penjelasan terhadap
qaidah tersebut. Dan ternyata apa yang dijelaskan oleh beliau rahimahullah-
sangat bertentangan dengan apa yang telah di nyatakan oleh shahib (pemilik)
syubhat ini, beliau –rahimahullah- berkata: “Ini adalah qaidah yang besar lagi
kokoh, qaidah yang agung lagi bermanfaat, maka sesungguhnya Allah memerintahkan
hamba-hamba-Nya dengan kebaikan. Dan perintah (Allah) itu adalah apa-apa yang
dikenal kebaikannya, menurut syari’at, akal dan menurut kebiasaan. Dan Allah
telah melarang mereka dari kemungkaran dan setiap larangan adalah apa-apa yang
tampak keburukannya menurut syari’at, akal maupun menurut kebiasaan. Dan Allah
telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin dengan perintah kepada kebaikan
dan larangan dari kemungkaran, dan Allah wasiatkan mereka dengan yang demikian
itu.” (Al-Qawa’idul Hisān fii Tafsiril Qur’an, hal. 41).
Qaidah tersebut memiliki keterkaitan
dengan qaidah: “Agama dibangun diatas maslahat (kebaikan), di dalamnya
mendatangkan kebaikan dan menolak mafsadah (kerusakan).”
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir
As-Sa’di –rahimahullah- berkata: “(Qaidah) Ini adalah pokok yang besar, qaidah
umum, yang masuk di dalamnya agama seluruhnya. Semuanya itu dibangun untuk
menghasilkan kemaslahatan dunia dan akhirat. Dan dibangun untuk menolak
kemudharatan dalam agama, dunia dan akhirat. Tidaklah Allah memerintahkan
sesuatu kecuali di dalamnya terdapat kemaslahatan yang tidak diliputi dengannya
pensifatan. Dan tidaklah Allah melarang sesuatu kecuali di dalamnya terdapat
mafsadah yang tidak di liputi dengannya pensifatan.” (Al-Qawā’idul Fiqhiyyah
līfahmin Nushūs Asy Syar’iyyah, hal. 17-18).
Maka jelaslah, bahwa apa yang Allah
–‘azza wa jalla- dan Rasul-Nya perintahkan baik itu perintah untuk meninggalkan
ikhtilath atau pun yang selainnya, merupakan hukum yang mencocoki akal dan
kebiasaan sebagaimana persaksian wanita berkebangsaan Prancis yang dia
berprofesi sebagai wartawan, ia menuturkan: “Saya mendapati wanita muslimah
Arab sangat dihormati dirumahnya dari pada wanita Eropa. Dan saya sangat yakin
bahwa seorang isteri dan ibu dari mereka sangat bahagia melebihi kebahagian
kami.” (Al-Mar’ah Baina Takrimil Islam wa Da’awi Tahrir, hal. 29).
Dan siapa yang menyatakan atau
memiliki anggapan bahwa hukum Islam tidak cocok untuk diterapkan di selain
negara Saudi Arabia maka dia telah menyelisihi realita dan telah membuat-buat
kedustaan, dan kalaulah apabila dimaksudkan dengan pernyataan tersebut untuk
menghina Negara Saudi Arabia maka di khawatirkan akan terjatuh kedalam
kehinaan.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-Utsaimin –rahimahullah- berkata: “Kalau seandainya celaan itu muncul dari
musuh-musuh Islam yang berusaha untuk menghancurkan negeri yang sekarang
menjadi benteng Islam, maka itu dianggap ringan dan tidak aneh. Tetapi apabila
muncul dari orang-orang yang mengaku muslim yang tertipu dengan kemajuan
teknologi negeri-negeri kafir sehingga mereka tertipu dengan akhlak yang
mengeluarkan mereka dari keutamaan menuju kehinaan, keadaan mereka ini
sebagaimana dinyatakan oleh Al-Imam Ibnu Qayyim –rahimahullah- di dalam Nuniyah-nya:
Mereka lari dari kebebasan tujuan hidup mereka
Menuju kebebasan mengikuti hawa nafsu dan syaithan.
Mereka menyangka negeri-negeri kafir itu maju disebabkan kebebasan ini.
Semua itu tidak lain karena kejahilan mereka terhadap syari’at Islam dan keindahan-keindahan yang terkandung di dalamnya.
Kita memohon kepada Allah agar memberikan hidayah kepada kita dan mereka semua menuju kebaikan dunia dan akhirat.” (Fiqh Nawazil: 3/369).
Mereka lari dari kebebasan tujuan hidup mereka
Menuju kebebasan mengikuti hawa nafsu dan syaithan.
Mereka menyangka negeri-negeri kafir itu maju disebabkan kebebasan ini.
Semua itu tidak lain karena kejahilan mereka terhadap syari’at Islam dan keindahan-keindahan yang terkandung di dalamnya.
Kita memohon kepada Allah agar memberikan hidayah kepada kita dan mereka semua menuju kebaikan dunia dan akhirat.” (Fiqh Nawazil: 3/369).
Dan apabila ada lagi yang memiliki
anggapan bahwa syari’at untuk menjauhi ikhtilath itu khusus hanya untuk Negara
Saudi Arabia maka semakin jelas ini adalah anggapan yang benar-benar salah,
karena syari’at Islam itu berlaku untuk semua umat.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-Utsaimin –rahimahullah- berkata: “Al-Qur’an Karim adalah sumber syari’at
Islam yang Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- diutus dengannya kepada manusia
seluruhnya, Allah –‘azza wa jalla- berfirman: “Maha Suci Allah yang telah
menurunkan Al-Furqan (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan
kepada seluruh alam.” (Al-Furqan: 1).
(“Ini adalah) Kitab yang Kami
turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya
yang terang benderang dengan izin Rabb mereka, (yaitu) menuju jalan Rabb Yang
Maha Terpuji. Allah yang memiliki segala apa yang di langit dan di bumi. Dan
celakalah bagi orang-orang yang kafir karena siksaan yang pedih.”
(Ibrāhīm: 1-2). (Ushūl fittafsīr, hal. 7).
(Ibrāhīm: 1-2). (Ushūl fittafsīr, hal. 7).
Syari’at Islam walaupun diturunkan
di Negara Saudi Arabia bukan berarti khusus untuk Negara Saudi Arab namun
syari’at tersebut tujuannya mencakup pula untuk semua Negara selain Saudi
Arabia, hal ini sesuai dengan qaidah tetap dalam Islam: “Letak pelajaran adalah
pada keumuman lafazh bukan pada kekhususan sebab.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Shālih Al-Utsaimīn
rahimahullah- berkata: “Jika turun ayat dengan sebab yang khusus dan lafazhnya
umum, maka hukum yang mencakup sebab turunnya ayat tersebut dan mencakup pula
semua perkara yang tercakup dalam makna lafazhnya. Karena Al-Quràn turun dengan
syari’at yang umum mencakup semua umat, sehingga letak pelajaran adalah pada
keumuman lafazh bukan pada kekhususan sebab.” (Ushūl fit Tafīr, hal. 13).
Maka siapa saja yang enggan dan
tidak mau mengambil pelajaran dari syari’at Allah atau berpaling darinya maka
hendaklah ia memperhatikan dan merenungi firman Allah ini:
“Dan bacakanlah kepada mereka orang
yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami, kemudian dia berlepas diri
dari ayat-ayat itu, lalu di ikuti oleh syaithan (sampai dia tergoda), maka
jadilah dia termasuk orang-orang sesat. Dan kalau Kami menhendaki, sesungguhnya
Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada
dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaanya seperti
anjing jika kamu menghalaunya diulurkan lidahnya dan jika kamu biarkan dia
mengulurkan lidahnya (juga). Demikianlah perumpamaan orang-orang yang
mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu
agar mereka berfikir. Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan
ayat-ayat Kami dan kepada diri sendirilah mereka berbuat zhalim.” (Al-A’rāf:
175-176).
Semoga Allah senantiasa melimpahkan
taufiq dan inayah-Nya kepada kita, sehingga kita mampu menapaki jalan kebenaran
dan menjauhkan diri dari setiap larangan-Nya.
Wallahu A’lam bish Shawab.
Sumber:
- Ikhtilath, Dosa yang dianggap
Biasa, Rubrik Islamika hal 25-27, Majalah Elfata volume 06 tahun 2006, url: http://one.indoskripsi.com/artikel-skripsi-tentang/ikhtilath-dosa-yang-dianggap-biasa
- Ikhtilath, Wabah yang Mengerikan Oleh Al-akh Abul Abbas Khidhr Al-Limbury, url:http://almuslimah.wordpress.com/2008/04/15/ikhtilath-wabah-yang-mengerikan/
- Syubhat Seputar ikhtilath Oleh Al-Akh Abul Abbas Khidhr Al-Limbury, url: http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=860
- Ikhtilath, Wabah yang Mengerikan Oleh Al-akh Abul Abbas Khidhr Al-Limbury, url:http://almuslimah.wordpress.com/2008/04/15/ikhtilath-wabah-yang-mengerikan/
- Syubhat Seputar ikhtilath Oleh Al-Akh Abul Abbas Khidhr Al-Limbury, url: http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=860
Tidak ada komentar:
Posting Komentar