Ketika iman bersemi dalam hati sesuai tuntunan syariat, niscaya hati ini rindu terbang ke jannah dan takut siksa neraka

Selasa, 22 Juli 2014

Manakah Yang Lebih Utama: Membaca Al-Qur’an dengan Tadabbur atau Memperbanyak Mengkhatamkan Al-Qur’an Tanpa Adanya Tadabbur?

Pada bulan Ramadhan dapat kita saksikan umat Islam bersemangat dalam memperbanyak amalan-amalan shalih dengan semangat yang tidak kita jumpai semisalnya pada bulan-bulan selain Ramadhan. Di antara amalan yang paling banyak dikerjakan padanya adalah membaca Al Qur`an.

Namun tentunya patut untuk diingat bahwa semangat tanpa didasari ilmu tidaklah membuahkan hasil yang optimal, bahkan bisa jadi tidak membuahkan apa-apa. Orang yang memiliki ilmu lah yang akan meraih hasil yang banyak dari kesempatan yang diberikan Allah kepadanya untuk beramal pada bulan Ramadhan ini dan pada bulan-bulan selainnya.
Maka berikut kami bawakan terjemahan dari beberapa perkataan ulama tentang perbandingan antara membaca Al Qur`an dengan tartil dan penghayatan, dengan bacaan Al Qur`an dengan cepat untuk memperbanyak mengkhatamkan Al Qur`an. Agar kita bisa memilih mana di antara keduanya yang lebih baik untuk kita amalkan.
Asy Syaikh Ahmad bin Yahya An Najmy – rahimahullah – pernah ditanya, “Manakah yang lebih afdhal, seseorang membaca Al Qur`an dan mengkhatamkannya beberapa kali, ataukah membacanya dengan perlahan beserta tafsirnya satu kali atau dua kali (khatam) di bulan Ramadhan?”
Maka beliau – rahimahullah – menjawab, “Demi Allah, apabila dia hanya mengkhatamkannya satu kali beserta tafsirnya dan memahami-(makna)nya, lebih baik daripada membacanya dengan cepat seperti itu. Abdullah bin Mas’ud ketika seseorang berkata padanya, “Aku telah membaca surat-surat mufasshal semalam.” Al Mufasshal panjangnya empat juz. Dari surat Qaf dan surat-surat yang setelahnya. Maka Abdullah berkata pada orang itu, “Kamu membacanya dengan cepat seperti membaca syair??!” (yaitu beliau mengingkarinya – pen).
Maka seharusnya seseorang membaca Al Qur`an dengan penuh perhatian. Sedangkan apabila dia telah mengerti (maknanya), misalnya sebelum ini dia pernah membaca tafsir dan jelas maknanya baginya, maka yang lebih baik untuknya dia membaca dengan perlahan dan penuh perhatian sambil mengingat kembali tafsir yang pernah dibacanya.”
Ibnul Qayyim – rahimahullah – telah membahas permasalahan ini dalam kitabnya Zadul Ma’ad. Beliau berkata, “Para ulama berselisih, manakah yang lebih afdhal? Antara tartil serta sedikitnya bacaan ataukah cepat dan banyaknya bacaan? Di sana ada dua pendapat:
Pendapat Pertama:
Adapun Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas – radhiallahu ‘anhuma – dan yang selain keduanya berpendapat bahwasanya membaca dengan tartil dan tadabbur disertai sedikitnya bacaan lebih afdhal dari bacaan yang cepat lagi banyak. Mereka berhujjah :
Bahwa yang diinginkan dari bacaan Al Qur`an adalah memahami maknanya, meresapinya, mengerti kandungannya, dan beramal dengannya. Adapun membaca dan menghafalnya hanya sebagai perantara yang mengantarkan kepada (pemahaman) makna-makna yang terkandung di dalamnya. Sebagaimana sebagian salaf berkata: Al Qur`an itu diturunkan untuk diamalkan. Maka mereka merealisasikan bacaan Al Qur`an dalam amalan. Oleh karena itu, Ahlul Qur`an adalah orang-orang yang beramal dengannya, beramal dengan apa yang terkandung padanya walaupun tidak menghafalnya. Sedangkan orang yang menghafalnya namun tidak memahaminya serta tidak beramal dengan apa yang terkandung di dalamnya, tidak termasuk ahlul Qur`an. Walaupun dia meluruskan bacaan huruf-hurufnya sebagaimana seseorang meluruskan anak panah.
Karena iman adalah amalan yang paling afdhal. Sedangkan memahami Al Qur`an dan menghayatinya, itulah yang dapat membuahkan keimanan. Adapun sekedar membaca tanpa pemahaman dan penghayatan, maka itu bisa dilakukan oleh orang baik ataupun jahat, orang beriman ataupun munafiq, sebagaimana Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
( ومثل المنافق الذي يقرأ القران كمثل الريحانة : ريحها طيب ، وطعمها مر)
“Dan permisalan orang munafiq yang membaca Al Qur’an adalah seperti Raihanah (sejenis tumbuhan) baunya harum namun rasanya pahit.”
Manusia dalam permasalahan ini ada empat tingkatan: ✔Orang yang memiliki (bacaan/hafalan) Al Qur`an dan keimanan. Merekalah sebaik-baik manusia. ✔Orang yang tidak memiliki (bacaan/hafalan) Al Qur`an dan tidak memiliki keimanan. ✔Orang yang diberikan Al Qur’an namun tidak diberikan keimanan. ✔Orang yang diberikan keimanan namun tidak diberikan Al Qur`an.
Sebagaimana orang yang diberi keimanan tanpa diberi hafalan Qur`an itu lebih afdhal dibandingkan orang yang diberikan hafalan Qur`an namun tidak diberi keimanan. Maka demikian pula, orang yang diberi penghayatan dan pemahaman dalam membaca (Al Qur`an), lebih afdhal dibandingkan banyak dan cepatnya bacaan (Al Qur`an) tanpa adanya penghayatan.
Ini adalah bimbingan Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dahulu beliau membaca surat dengan tartil sampai (seakan-akan) menjadi lebih panjang dari (surat) yang lebih panjang darinya. Dan juga beliau berdiri (shalat malam) dengan satu ayat sampai datangnya pagi.
Pendapat Kedua:
Adapun murid-murid Al Imam Asy Syafi’i – rahimahullah – (yaitu ulama yang bermadzhab Asy Syafi’i) berpendapat: memperbanyak bacaan lebih afdhal.
Mereka berhujjah : . Dengan hadits Ibnu Mas’ud – radhiallahu ‘anhu – dia berkata: Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda: “Barangsiapa yang membaca satu huruf dari Kitab Allah (Al Qur`an) maka dia mendapatkan dengannya satu kebaikan, dan kebaikan itu (diganjar) dengan sepuluh kali lipatnya. Dan aku tidak mengatakan “alif lam mim” terhitung satu huruf, akan tetapi “alif” satu huruf, “lam” satu huruf, dan “mim” satu huruf” diriwayatkan oleh At Tirmidzy dan beliau menshahihkannya. . Karena Utsman ibnu ‘Affan – radhiyallahu ‘anhu – membaca Al Qur`an (seluruhnya) dalam satu rakaat. Dan mereka juga menyebutkan atsar-atsar dari banyak salaf tentang memperbanyak bacaan Al Qur`an.
DAN YANG BENAR DALAM PERMASALAHAN INI ADALAH:
Bahwa pahala bacaan dengan tartil dan penghayatan itu lebih besar dan lebih tinggi dari sisi nilainya. Sedangkan pahala banyaknya bacaan itu lebih banyak dari sisi jumlahnya.
Adapun yang pertama (yaitu bacaan dengan tartil dan penghayatan): seperti orang yang bersedekah dengan sebuah permata yang amat indah, atau membebaskan seorang budak yang harganya sangat tinggi. Sedangkan yang kedua (yaitu bacaan cepat dan banyak) seperti orang yang bersedekah dengan dirham (uang perak) yang banyak, atau membebaskan beberapa orang budak yang berharga murah.
Diriwayatkan dalam Shahih Al Bukhari dari Qatadah, dia berkata, “Aku bertanya pada Anas tentang bacaan Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam –. Maka dia menjawab, “Dahulu beliau memanjangkan bacaannya” (yaitu pada tempat-tempat mad yang memang harus dipanjangkan – pent).
Dan berkata Syu’bah, “Telah menceritakan kepada kami Abu Jamrah bahwa dia berkata, “Aku berkata kepada Ibnu ‘Abbas, “Saya ini adalah orang yang cepat dalam membaca. Bahkan bisa saja aku membaca Al Qur`an sekali atau dua kali dalam semalam.”
Maka Ibnu ‘Abbas menasehatinya, “Kalau saja aku hanya membaca satu surat (dalam semalam) itu lebih aku senangi daripada melakukan hal yang kamu lakukan itu. Apabila kamu harus melakukannya (membaca cepat) maka bacalah dengan bacaan yang dapat didengarkan oleh kedua telingamu dan dimengerti oleh hatimu.”
Berkata Ibrohim, “Pernah ‘Alqamah membacakan (Al Qur`an) kepada Ibnu Mas’ud –dan ia adalah seorang yang merdu suaranya –. Ibnu Mas’ud pun mengarahkan, “Bacalah dengan tartil, – ayah dan ibuku menjadi tebusanmu. Karena tartil itu merupakan hiasan Al Qur`an.”
Ibnu Mas’ud pernah berkata, “Jangan kalian membaca Al Qur`an dengan cepat sebagaimana membaca syair. Dan jangan menghamburkannya seperti menghamburkan daqol (kurma yang jelek). Berhenti dan pahamilah keajaiban-keajaibannya, kemudian jadikan hati-hati kalian tergerak dengannya. Janganlah keinginan seseorang dari kalian itu hanya untuk mencapai akhir surat.”
Dan beliau pun juga berkata, “Apabila kamu mendengar Allah berfirman يَأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا maka pusatkan pendengaran kalian padanya. Bisa jadi itu suatu kebaikan yang kamu diperintahkan dengannya, atau suatu kejelekan yang kamu dihindarkan darinya.” ” 

[Lihat kitab Zaadul Ma’ad, 1/305-308]
(dari Al-Akh Abu Ahmad Abdul Mannan, salah seorang thalib di Daarul Hadits, Fuyush)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar