Bismillah,
“Barang siapa yang mempunyai hajat kepada Allah atau kepada salah seorang dari bani adam/manusia, maka hendaklah ia berwudhu serta membaguskan wudhunya, kemudian sholat hajat dua rakaat. Setelah itu hendaknya ia menyanjung kepada Allah dan bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian ia mengucapkan doa (hajat) : Laa ilaa illallahul halimul kariim, subhaanallahi robbil ‘arsyil azhiim, alhamdulillaahi robbil ‘aalamiin, as-aluka muujibaati rohmatik, …dst..dst”
Hadits ini SANGAT DHA’IF
Dikeluarkan oleh Imam At Tirmidzi (1/477), Ibnu Majah (no. 1384) & Al Hakim (1/320), semuanya dari jalan Faa-id bin Abdurrahman dari Abdullah bin Abi Aufa, secara marfu’.
“Barang siapa yang mempunyai hajat kepada Allah atau kepada salah seorang dari bani adam/manusia, maka hendaklah ia berwudhu serta membaguskan wudhunya, kemudian sholat hajat dua rakaat. Setelah itu hendaknya ia menyanjung kepada Allah dan bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian ia mengucapkan doa (hajat) : Laa ilaa illallahul halimul kariim, subhaanallahi robbil ‘arsyil azhiim, alhamdulillaahi robbil ‘aalamiin, as-aluka muujibaati rohmatik, …dst..dst”
Hadits ini SANGAT DHA’IF
Dikeluarkan oleh Imam At Tirmidzi (1/477), Ibnu Majah (no. 1384) & Al Hakim (1/320), semuanya dari jalan Faa-id bin Abdurrahman dari Abdullah bin Abi Aufa, secara marfu’.
Imam Tirmidzi setelah
meriwayatkan hadits ini, ia berkata,”Hadits ini gharib/asing, di
isnadnya ada pembicaraan, karena Faa-id bin Abdurrahman itu telah di
lemahkan di dalam haditsnya.
Sanad hadits ini sangat dha’if
(Dha’ifun jiddan), Faa-id bin Abdurrahman Abdul Waruqaa’ telah di
lemahkan oleh sejumlah ulama hadits :
1.Berkata Imam Ahmad bin Hambal : “Matrukul Hadits”
2.Kata Imam Ibnu Ma’in : “Dha’if, bukan orang yang tsiqoh”.
3.Berkata Imam Abud Daud : “Bukan apa-apa (istilah untuk rawi lemah/dha’if)”
4.Berkata Imam an Nasaa-i : “Bukan orang/rawi yang tsiqoh, matrukul hadits”.
5.Berkata Ibnu Hibban : “Tidak boleh berhujjah dengannya”
6.Berkata Imam Bukhari : “Munkarul Hadits”
Faedah
: Maksud perkataan (jarh) Imam Bukhari diatas telah beliau jelaskan
sendiri dengan perkataannya yang masyhur, “Setiap rawi yang telah aku
katakan (jarh) sebagai munkarul hadits, maka tidak halal meriwayatkan
hadits darinya”. (Al Mizaan AdzDzahabi :1/6).
7.Berkata Imam Abu Hatim : “Hadits-haditsnya dari jalan Ibnu Abi Aufa batil-batil”.
8.Berkata Imam al Hakim : “Ia telah meriwayatkan dari Ibnu Abi Aufa hadits-hadits maudhu’ (palsu)”.
Adapun mengapa hadits ini di takhrij dan dikatakan sebagai hadits yang sangat lemah adalah :
Pertama,
Faa-id bin Abdurrahman telah di lemahkan oleh ulama-ulama dan
imam-imam ahli hadits, teristimewa jarh oleh Imam Bukhari yang
menunjukkan sangat lemahnya Faa-id.
Kedua,
Riwayat-riwayatnya dari jalan Ibnu Abi Aufa adalah bathil, bahkan
menurut Imam al Hakim adalah Maudhu’ (palsu). Sedangkan hadits ini
Faa-id riwayatkan dari jalannya (Ibnu Abi Aufa).
Dari dua alasan inilah, maka dapat di simpulkan bahwa hadits ini adalah “Sangat Lemah”. Wallahu a’lam.
Hadits ini adalah salah satu
hadits sholat sunnat hajat yang sangat masyhur sekali di kalangan kaum
muslimin. Dan termasuk salah satu dari “hadits-hadits dha’if” yang
terdapat dalam kitab “Pedoman Shalat” (hal :503) yang ditulis oleh Al
Ustadz Hasbi Ash Shiddiqi.
Selain
itu, ada lagi satu hadits yang di jadikan dasar oleh Syaikh Sayyid
Sabiq dalam kitabnya “Fiqih Sunnah” untuk menyunnatkan sholat hajat,
hadits tersebut adalah :
‘Dari Abi Darda’, ia berkata.
“Wahai manusia! Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang berwudhu
lalu ia sempurnakan, niscaya Allah akan memberikan apa saja yang ia
minta cepat atau lambat””.
Hadits ini di keluarkan oleh
Imam Ahmad (6/442-443) dengan sanad yang dha’if. Di sanadnya ada
seorang rawi yang majhul yaitu Maimun Abi Muhammad sebagaimana telah di
jelaskan oleh al Albani dalam kitabnya “Tamamul Minnah (hal 260), yang
mengambil keterangan dari para imam seperti ibnu Ma’in, Ibnu ‘Aidy,
Adz Dzahabi dan lain-lain, mereka semua mengatakan bahwa Maimun adalah
Majhul atau tidak dikenal.
Adapun pernyataan Sayyid Sabiq
bahwa sanad hadits diatas adalah shahih adalah merupakan “tasaahul”
beliau di dalam kitabnya tersebut.
[Disalin dari kitab : “Hadits-hadits Dha’if dan Maudhu’, jilid 1, halaman 40, oleh Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, penerbit Darul Qolam].
Namun ada hadits lain yang menjadi sandaran dalam shalat hajat :
عَنْ
عُثْمَانَ بْنِ حُنَيْفٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلاً ضَرِيْرَ
الْبَصَرِ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ:
اُدْعُ اللهَ أَنْ يُعَافِيْنِيْ، قَالَ: إِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ وَإِنْ
شِئْتَ صَبَرْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ. قَالَ: فَادْعُهُ، قَالَ: فَأَمَرَهُ
أَنْ يَتَوَضَّأَ فَيُحْسِنَ وُضُوْئَهُ وَيَدْعُوْهُ بِهَذَا الدُّعَاءِ:
اَلَّلهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ
نَبِيِّ الرَّحْمَةِ، إِنِّيْ أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّيْ فِيْ
حَاجَتِيْ هَذِهِ لِتَقْضَى لِيْ اَللَّهُمَّ فَشَفَعْهُ فِيْ. قَالَ:
فَفَعَلَ الرَّجُلُ فَبَرَأَ.
Dari Utsman bin Hunaif, bahwasanya ada
seorang laki-laki buta yang pernah datang kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Berdoalah kepada Allah agar Dia
menyembuhkanku!” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika
engkau menginginkan demikian, saya akan doakan, tetapi jika engkau mau
bersabar, itu lebih baik bagimu.” Lelaki itu menjawab, “Berdoalah!”
Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya supaya
berwudhu dengan sempurna dan shalat dua rakaat lalu berdoa dengan doa
ini, “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan
Nabi-Mu, Nabi rahmat. Sesungguhnya, saya menghadap denganmu kepada
Rabbku agar terpenuhi hajatku. Ya Allah, berilah syafaat kepadanya
untukku.” Dia berkata, “Lelaki itu kemudian mengerjakan (saran Nabi)
lantas dia menjadi sembuh.”
Takhrij hadits ini :
Shahih.
Diriwayatkan Ahmad dalam Musnad-nya, 4:138, Tirmidzi:3578, Ibnu
Majah:1384, Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya:1219, Ath-Thabrani dalam
Al-Mu’jamul Kabir, 3:2, dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak:1221.
Tirmidzi berkata, “Hadits ini
hasan shahih gharib.” Abu Ishaq berkata, “Hadits ini shahih.” Al-Hakim
berkata, “Sanadnya shahih,” dan hal ini disetujui oleh Adz-Dzahabi.
Syekh Al-Albani juga menilai bahwa hadits ini shahih, dalam buku beliau
At-Tawassul, hlm. 75–76.
Fikih Hadits :
1. Disyariatkannya shalat hajat.
Imam
Ibnu Majah membuat bab hadits ini dengan perkataannya, “Bab penjelasan
tentang shalat hajat.” Demikian juga, Imam Nawawi dalam Al-Adzkar, hlm.
157, dan Imam Al-Haitsami dalam Majma’ Zawaid, 2:565. Ini juga merupakan
pendapat Syekh Salim Al-Hilali dan Syekh Masyhur Hasan Salman ketika
(beliau berdua) ditanya oleh Al-Akh Abu Ubaidah.
2. Shalat hajat sebanyak dua rakaat.
Tidak
boleh melakukan shalat hajat untuk kepentingan yang tidak syar’i,
seperti: untuk belajar tenaga dalam, ilmu hitam, dan sejenisnya.
Sumber: http://abuayaz.blogspot.com/2010/05/adakah-shalat-hajat.html
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar