Ketika iman bersemi dalam hati sesuai tuntunan syariat, niscaya hati ini rindu terbang ke jannah dan takut siksa neraka

Minggu, 02 September 2012

Pasang Surut Menegakkan Syari'ah Islamiyah


Nusantara, gugusan kepulauan di ujung selatan Asia berbatasan langsung dengan perairan Samudra Pasifik dan benua Australia. Di sebelah utara berbatasan dengan wilayah perairan Filipina dan perairan Malaysia serta Thailand. Di sebelah timur berbatasan dengan daratan Malaysia Timur dan di sebelah Barat berbatasan dengan laut Cina Selatan. Nusantara
terletak di wilayah perairan strategis yang menghubungkan Samudra Hindia dengan Samudra Pasifik dan juga sebagian besar wilayah darat atau lautnya terletak di sekitar garis khatulistiwa. Sehingga wilayah daratnya diliputi oleh hutan tropis yang luas serta kaya bahan baku yang dibutuhkan untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dunia. Wilayah lautnya tempat berkembang biak berbagai jenis ikan laut sehingga bertimbunlah di wilayah perairan kaya ini hasil laut yang tak terhingga. Tanah subur daratan Nusantara memberikan peluang besar bagi penduduknya untuk berswasembada pangan (yakni memenuhi sendiri kebutuhan pangan) bagi penduduknya. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, ditemukan pula di balik wilayah daratan dan lautan berbagai tambang penting dalam jumlah yang hampir tak terhingga. Wanitanya subur peranakannya sehingga banyak melahiran anak serta memberikan kemungkinan untuk cepatnya laju pertambahan penduduk. Sehingga sangat berpotensi tersedianya sumber daya manusia guna menjadi tenaga pengelola yang cukup bagi kemajuan bangsanya di masa depan. Bangsa yang menempati Nusantara adalah bangsa Indonesia dan mayoritasnya beragama Islam.
Masuknya Islam Ke Indonesia Dan Perkembangannya
Para pakar sejarah ramai berdebat tentang kapan mula pertama masuknya agama Islam ke Indonesia, dan siapa pula yang membawanya ke negeri ini. Menurut para ahli sejarah dari Barat, Islam masuk ke Indonesia melalui para pedagang dari Gujarat (India) pada abad-abad ke tiga belas masehi (lihat antara lain keterangan M. C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern, terbitan Gajah Mada University Press). Tetapi Prof. DR. Hamka rahimahullah beranggapan, bahwa menurut catatan sejarah pengembara Tiongkok menyatakan adanya rombongan orang-orang Arab pertama yang datang ke tanah Jawa pada tahun 674 masehi. Tentunya orang-orang Arab itu membawa serta agama keyakinannya yaitu Islam dan dengan sebab itu agama Islam mulai dikenal di Indonesia (Risalah Seminar Sejarah Masuknya Islam Ke Indonesia, hal. 77, Diterbitkan oleh Panitia Seminar Sejarah Masuknya Islam Ke Indonesia, Medan 1963). Ini berarti Islam dikenalkan pertama kali di Indonesia dalam masa para Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa sallam masih hidup dan di masa Salafus Shalih radliyallahu `anhum ajma`in. Tetapi ketika Dunia Islam mulai tersibukkan dengan aktifitas kematerian dan mulai longgar perhatiannya terhadap ilmu-ilmu agama, mendung kesesatan mulai menyelimuti Dunia Islam dan menyemburlah berbagai aliran sesat meminggirkan kebenaran, sehingga Ahlus Sunnah wal Jama'ah terasing di Dunia Islam.

Sejak itu Dunia Islam diliputi oleh berbagai bid'ah dalam perkara aqidah, bid'ah dalam perkara suluk (pendidikan budi pekerti), dan bid'ah dalam perkara ibadah maupun mu'amalah. Maka perkembangan agama Islam di Indonesia pun dilanda oleh berbagai badai kebid'ahan itu. Sehingga membuka peluang berjangkitnya penyakit sinkretisme (percampuran) Islam dengan agama-agama Hindu dan Budha serta animisme (sebagai agama asli penduduk Nusantara sebelum datangnya agama-agama Hindu, Budha dan Islam). Ummat Islam di Indonesia semakin merana setelah banyak Ulama'nya berangkat ke Makkah untuk menunaikan Hajji, dan kemudian bermukim di tanah suci. Sehingga yang tampil menggantikan mereka memimpin Ummat Islam adalah orang-orang bodoh ahli-ahli ‘Ibadah yang banyak dirasuki oleh berbagai pemahaman sesat tentang agama. Maka dalam suasana kekosongan ‘Ulama di Indonesia inilah berdatangannya orang-orang Arab dari Hadramaut (Yaman Selatan) untuk bermukim di Indonesia . Tentunya keIslaman mereka sudah pula diliputi oleh tiga kebid'ahan sebagaimana yang meliputi Ummat Islam di Nusantara, yaitu:

1). Bid'ah dalam bidang aqidah, yakni bid'ah Asy'ariah / Maturidiah, adalah pemahaman aqidah yang diwariskan oleh Abul Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi yang mengadopsi berbagai teori filsafat guna diterapkan dalam memahami aqidah Islamiyah, khususnya ketika membahas tentang sifat-sifat Allah Ta'ala. Tentunya teori-teori filsafat yang melahirkan Ilmu Kalam ini sangat rancu, kontradiktif dan membingungkan Ummat Islam yang berusaha mengenal Allah Ta'ala melalui ilmu ini.

2). Bid'ah dalam bidang suluk, yaitu bid'ah Tasawwuf, adalah teori-teori pendidikan jasmani dan rohani yang diadopsi dari berbagai teori-teori filsafat Yunani kuno. Juga mengadopsi teori-teori pendidikan kepasturan / kependetaan Nasrani, kebhiksuan Hindu – Budha, yang diolah dan diberi campuran dengan sebagian ajaran-ajaran Islam. Sinkretisme ini dikemas sedemikian rupa sehingga mengecohkan banyak kaum Muslimin untuk terjerumus dalam berbagai tindakan ghuluw (ekstrim, yakni melampaui batas ketentuan agama) dalam pemahaman dan pengamalan agama.

3). Bid'ah dalam bidang ibadah dan mu'amalah, yaitu bid'ah taqlid madzhab fiqih yang dalam hal ini di Indonesia ialah madzhab Syafi'ie. Dengan sebab bid'ah ini Ummat Islam ditimpa kejumudan serta kemalasan mempelajari ajaran-ajaran Islam secara ilmiah. Sehingga memberi peluang untuk munculnya pemimpin-pemimpin yang jahat dan bodoh jauh dari kualitas ilmiah tetapi dielu-elukan oleh Ummat Islam dan digelari sebagai Ulama' atau Wali Allah.

Tentunya dengan demikian Ummat Islam di Indonesia bersama dengan Ummat Islam di wilayah dunia lainnya merana karena jauh dari Ilmu tentang ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur'an dan Al-Hadits menurut pemahaman para Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam. Agama Islam telah terkontaminasi (tercemari) oleh berbagai bid'ah yang ditransfer dari berbagai ajaran agama atau ideologi lain sehingga keindahan sinar Islam tertutupi oleh berbagai bid'ah tersebut.

Dengan situasi dan kondisi Ummat Islam di Nusantara yang demikian inilah berdiri kerajaan-kerajaan Islam dari wilayah yang paling barat, yaitu Aceh, sampai ke wilayah paling timur yaitu Ternate dan Tidore di Maluku Utara bahkan sampai di wilayah Fak Fak Irian Jaya. Dan tentunya kerajaan-kerajaan tersebut lebih banyak menampung berbagai aspirasi keagamaan kaum adat yang amat cenderung kepada sinkretisme agama yang merupakan perpaduan antara Islam dengan Hindu, Budha dan Animisme. Sehingga kondisi kerajaan-kerajaan Islam dengan pemahaman agama yang demikian itu, amat rentan perpecahan dan diadu domba antar berbagai kerajaan itu serta antara berbagai komponen yang ada dalam masing-masing kerajaan tersebut. Kaum Imperialis Barat amat sigap memanfaatkan kondisi yang demikian ini untuk menjalankan politik devide et impera (dipecah-belah untuk dikuasai). Maka dalam kegelapan Ummat Islam dari cahaya ilmu-ilmu Syari'ah Islamiyah, karena terlalu dominannya bid'ah, syirik, dan kemaksiatan di masyarakat Islam di Nusantara, muncullah gerakan tajdid (pembaharuan) untuk bersinar kembalinya cahaya ilmu-ilmu Syari'ah Islam di kalangan Ummat Islam. Gerakan tajdid yang ada di Nusantara adalah merupakan kelanjutan gerakan tajdid yang terjadi di Nejed dan Hijaz yang dipimpin oleh As-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab beserta anak cucunya dan segenap murid beliau serta para pendukungnya rahimahumullahu ajma'in.

Gerakan Tajdid (Pembaharuan) Di Nusantara
Ummat Islam dengan berbagai kerajaannya remuk-redam akibat perpecahan di kalangan mereka disebabkan merajalelanya bid'ah, syirik dan berbagai pelanggaran terhadap Syari'ah Islamiyah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kosongnya bimbingan terhadap Ummat Islam berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan pemahaman Salafus Shalih adalah kondisi yang semakin memperparah keadaan. Sementara itu pemahaman Ummat Islam terhadap ajaran Islam telah terkontaminasi oleh berbagai ajaran khurafat (mistik) dari agama Hindu, Budha, dan animisme. Ummat Islam membutuhkan pelopor pengajaran dan pengamalan agama yang murni dan bersih dari segenap syirik, bid'ah dan segala penyimpangan yang lainnya. Maka gerakan tajdid yang merebak di Nejed dan Hejaz mulai mengimbas dalam kehidupan Ummat Islam di Nusantara ketika tentara Tauhid menguasai kota-kota suci di Hejaz, yaitu Makkah dan Madinah dan menguasai pula segenap jalur-jalur perjalanan Jama'ah Haji. Dengan demikian segenap prosesi pelaksanaan ibadah haji di bawah kepemimpinan para Ulama' Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Oleh sebab itulah imbas dakwah kepada Tauhid dan Sunnah menyebar ke seluruh dunia Islam termasuk ke Nusantara melalui forum pelaksanaan ibadah haji setiap tahunnya. Sehingga mulailah muncul tuntutan pembaharuan kehidupan Ummat Islam di Nusantara yang menurut catatan Prof. Dr. Hamka dimulai dari tahun 1788 di zaman pemerintahan Paku Buwono IV (yang lebih terkenal dengan Sunan Bagus) di tanah Jawa ketika datangnya para guru agama dari negeri Arab yang menyebarkan ajaran Islam berdasarkan Tauhid bersih dari syirik dan Ibadah bersih dari bid'ah. Para guru agama dari Arab ini menyebar di Solo, Jogyakarta, Cirebon , Banten, Madura dan kota-kota lainnya di Jawa. Ajaran mereka ini diterima oleh kalangan Ummat Islam secara luas termasuk Raja Paku Buwono IV, karena ajaran ini sangat anti penjajahan. Maka pemerintah Kolonial menjadi resah dengan semakin luasnya penyebaran pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama'ah ini sehingga Belanda mendesak Raja Paku Buwono IV agar menyerahkan orang-orang Arab itu ke pihaknya. Mulanya Sunan Bagus tidak mau menyerahkan mereka. Tetapi mengingat akibat-akibatnya bagi kerajaan Jawa, maka ahli-ahli kerajaan memberi advis kepada Sunan Bagus supaya orang-orang Arab penyebar pemahaman Salaf itu diserahkan saja kepada pemerintah Kolonial Belanda. Lantaran desakan itu semakin keras kepada Raja Sunan Bagus, maka para guru agama dari tanah Arab itu ditangkapi dan diserahkan kepada Belanda. Oleh Belanda orang-orang itu pun diusir kembali ke negerinya (Dari Perbendaharaan Lama, Prof. Dr. Hamka, hal. 264 – 265, penerbit Pustaka Pajias, cet. th. 1982). Sebelumnya di Aceh Raya sempat pula berkuasa seorang raja yang bergelar Sultan Iskandar Muda, yang dengan kekuasaannya menggalang para Ulama' dan Hulu Balang kerajaan untuk mengadakan pemurnian pemahaman Ummat Islam dari segenap kotoran syirik, bid'ah dan berbagai khurafat (cerita mistik) dan menegakkan pemahaman para Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa `aalihi wa sallam terhadap Al-Qur'an dan Al-Hadits. Sultan Iskandar Muda menuliskan wasiatnya yang penuh semangat tajdid ini dalam prasastinya, yang berbunyi:

WASIAT ISKANDAR MUDA KEPADA ZURRIATNYA
“……….dan lagi raja-raja hendaklah mengamalkan 8 perkara. Pertama hendaklah selalu ingat akan Allah dan meneguhi janji dengan sekalian Wazir-wazir dan menteri hulubalang dan sekalian pegawai dan sekalian rakyat. Kedua janganlah raja-raja menghinakan Alim Ulama dan yang ahli akal bijaksana. Ketiga, segala yang datang pada pihak musuh daripada seterunya janganlah sekali-kali raja percaya. Keempat, hendaklah raja memperbanyak alat senjata dan membeli kesangan rakyat dan wazir dan sipahi (yakni tentara), supaya jauhlah usuh raja, sebab ada yang menghalaukan dengan sayang. Kelima hendaklah raja menurun tangan, yakni murah. Hendaklah mengingat kesediaan rakyat, wazir dan alim – ulama dan sekalian sipahi dengan membalas jasanya masing-masing dengan tertib. Keenam, hendaklah raja menjalankan hukum dengan hukum Kitab Allah dan Sunnah Rasul. Yaitu seperti yang telah tetap di dalam Qanun Al-Asyi Darussalam. Pertama Al-Qur'an, kedua Al-Hadits, ketiga Ijma' , keempat Qiyas, maka keluar daripada itupun empat perkara. Pertama hukum, kedua adat, ketiga qanun, keempat resam……………”

Demikian kami nukilkan sebagian wasiat yang agung dari Sultan Iskandar Muda kepada bangsa Aceh dengan segenap penghulunya. Beliau memimpin kerajaan Aceh Raya pada tahun 1603 – 1637. (Dinukil dari buku Dari Perbendaharaan Lama, Prof. Dr. Hamka, hal. 278).

Tetapi sepeninggal Sultan Iskandar Muda, tidak ada pengganti yang sekualitas beliau, sehingga menurun kembali semangat tajdid di Aceh Raya dan kemudian hancurlah keagungan kerajaan Aceh Raya oleh berbagai tipu daya Belanda.
Kemudian di tahun 1801, artinya dua belas tahun sesudah diusirnya dari tanah Jawa oleh pemerintah kolonial Belanda para penganjur kepada pemahaman Salafus Shalih dari negeri Arab itu, para penganjur kepada pemahaman Salaf datang lagi ke Nusantara. Sekarang yang datang bukan lagi orang-orang Arab, melainkan anak-anak Indonesia sendiri, yaitu anak-anak Minangkabau (Sumatra Barat) di ranah Minang, dengan datangnya dari Mekkah tiga orang penduduk negeri yang telah menunaikan ibadah haji; yaitu: Haji Miskin dari negeri Pandai Sikat (Agam), Haji Muhammad Haris Tuanku Lintau dari negeri Luhak Tanah Datar, Haji Abdurrahman Piabang dari negeri Lubuk Lima Puluh Koto. Seruan pembaharuan ketiga tokoh tersebut disambut oleh delapan tokoh agama di ranah Minang yang kemudian terkenal dengan gelar Harimau Nan Salapan; yaitu: Tuanku Nan Renceh dari negeri Kamang, Tuanku Lubuk Aur dari negeri Candung, Tuanku Berapi dari negeri Bukit Candung, Tuanku Ladang Lawas dari negeri Banuhampu, Tuanku Padang Luar, dan Tuanku Galung dari negeri Sungai Puar, juga Tuanku Biaro serta Tuanku Kapao dari negeri yang sama. Dari delapan tokoh tersebut yang paling masyhur dalam gerakan pembaharuan ini ialah Tuanku Nan Renceh yang memimpin ribuan pasukan Paderi menaklukkan puluhan negeri-negeri adat untuk ditegakkan padanya Hukum Syari'ah Islamiyah sesuai dengan pemahaman Salafus Shalih. Bahkan Tuanku Nan Renceh lebih masyhur di kalangan rakyat Minang dari pada ketiga tokoh yang baru pulang dari Makkah itu. Kemudian bergabung pula dengan berbagai gerakan pembaharuan itu seorang tokoh yang juga baru pulang dari menunaikan ibadah haji di Makkah, yaitu malin (santri) yang muda belia bernama Muhammad Syahab bin Chatib Bayanuddin yang bergelar Petto Syarif dan kemudian memimpin negeri Bonjol sehingga terkenal dengan gelar Imam Bonjol.

Dengan demikian kaum adat yang menolak dan menentang gerakan Salafiyah ini semakin terpojok dan tersisihkan posisinya dari otoritas pengaturan masyarakat Minangkabau dan tersisih pula para raja yang cenderung dengan kemauan kaum adat tersebut. Sehingga mulailah muncul pikiran khianat pada mereka terhadap bangsa dan agamanya untuk dapat membalas dendam terhadap kaum Paderi yang semakin kuat posisinya di masyarakat. Mulailah diadakan perundingan kerjasama antara para Raja dan kaum adat dengan Pemerintah kolonial Belanda, sehingga kedua belah pihak bersepakat membentuk kekuatan bersama untuk menghancurkan kaum Paderi. Tentu kekuatan kolonial Belanda tidak akan mendukung kaum adat dan para raja-raja Minangkabau kecuali setelah mendapat kepastian akan menguasai ranah Minang kalau berhasil mengalahkan kaum Paderi. Maka meletuslah perang Paderi yang terkenal itu antara kekuatan kolonial Belanda yang didukung kaum adat dan para raja Minang, melawan kaum Paderi yang didukung mayoritas rakyat Minang. Perlawanan kaum Paderi terhadap kolonial Belanda demikian gigihnya sehingga perang terus berlangsung selama tiga puluh tujuh tahun terus menerus ketika pada akhirnya Belanda dapat menaklukkan kaum Paderi dengan penuh tipu muslihat dan kelicikan. Tokoh-tokoh Paderi dibunuh dan ditangkapi kemudian dibuang ke negeri-negeri pengasingan (lihat Perang Paderi Di Sumatera Barat oleh Muhamad Radjab, diterbitkan oleh Perpustakaan Perguruan Kementerian P. P. dan K. th. 1954). Dan untuk sementara gerakan dakwah Salafiyah yang sangat anti penjajahan itu dapat dipadamkan. Perjuangan penegakan Syari'ah Islamiyah pun mengalami masa surut setelah mengalami masa kejayaan dengan gerakan Salafiyah yang bendera gerakannya dibawa oleh kaum Paderi di ranah Minang.

Di masa kekosongan kedua ini muncullah gerakan yang menamakan dirinya dengan “Kaum Muda” yang kelihatannya sangat mirip dengan gerakan Salafiyah yang pernah dilancarkan oleh kaum Paderi. Gerakan baru ini adalah imbas dari gerakan Aqlaniyah (Rasionalisme) di Mesir sebagai upaya perlawanan terhadap dakwah Salafiyah di Nejed dan Hejaz . Dan karena gerakan Aqlaniyah ini memang sengaja dibentuk oleh gerakan Zionis (Yahudi) internasional untuk membendung laju penyebaran dakwah Salafiyah Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang dibangkitkan kembali oleh As-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, maka gerakan Mu'tazilah ekstrim ini berusaha menampilkan dirinya seolah-olah berpemahaman sama dengan pemahaman yang dianut oleh Ahlus Sunnah wal Jama'ah dengan menampilkan atribut-atribut agama persis seperti yang dipakai oleh gerakan dakwah Salafiyah, tetapi diberi makna masing-masing atribut agama itu sesuai dengan pemahaman Mu'tazilah. Yaitu: Anti Syirik, anti bid'ah, anti khurafat, memahami agama tidak boleh dikungkung oleh taqlid (membebek) kepada para Ulama' tetapi harus merujuk hanya kepada Al-Qur'an dan Al-Hadits, kembali kepada “Salaf” dalam memahami Al-Qur'an dan Al-Hadits dengan pengertian memahami keduanya melalui upaya “ijtihad” sendiri dalam rangka kebebasan berfikir. Yang demikian ini tentu bukanlah pemahaman Salafus Shalih, tetapi Salaf dalam arti pendahulu mereka dari para pendiri gerakan Mu'tazilah seperti Washil bin Atha', Abu Ali Al-Juba'i, Ibnu Abil Hadid dan lain-lainnya. Sedangkan As-Salafus Shalih adalah pendahulu kita. Mereka adalah orang-orang shalih dari para shahabat Nabi, para Tabi'in dan Tabiit Tabi'in serta para Imam Ahlul Hadits di segala zaman. Tetapi karena atribut-atribut gerakan yang dipakai oleh kalangan Mu'tazilah itu menyerupai atribut-atribut dakwah Salafiyah, maka banyak pula orang terkecoh dengan gerakan yang dibangkitkan oleh dua tokoh yang telah berbaiat sumpah setia kepada gerakan Fremassonry Zionis Yahudi, yaitu Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh. Keduanya kemudian mendidik murid-muridnya yang brilian seperti Muhammad Rasyid Ridla yang menerbitkan majalah Al-Manar di Mesir, juga Sa'ad Zaghlul yang mempelopori perjuangan Pan-Arabisme di arena demokrasi liberal. Majalah Al-Manar diterbitkan dalam bahasa Arab, ia beredar di seluruh Dunia Islam menyebarkan pikiran-pikiran Mu'tazilah yang tentunya sangat bertentangan dengan pemahaman Salafus Shalih Ahlus Sunnah wal Jama'ah.

Maka berdatanganlah ke Indonesia para tokoh gerakan Aqlaniyah Mu'tazilah seperti Ahmad As-Surkati dari Sudan (Afrika Barat), Abdul Aziz Ar-Rasyid dari Kuwait dan masih banyak lagi (lihat sebagai tambahan informasi kitab As-Syaikh Abdul Aziz Ar-Rasyid Siiratu Hayaatihi, Dr. Ya'qub Yusuf Al-Hajii, Markaz Al-Buhuts wad Dirasaat Al-Kuwaitiyah, cet. th. 1993). Mereka berdatangan ke Jawa dan kemudian ke Sumatra dan di kedua pulau tersebut masih tersisa orang-orang yang pernah mendapat pengaruh dakwah Salafiyah.
Merekalah yang menyambut datangnya dakwah Aqlaniyah Mu'tazilah karena menyangka bahwa gerakan dakwah tersebut adalah kelanjutan dari dakwah Salafiyah. Sehingga tersamarlah dakwah Salafiyah dengan dakwah Aqlaniyah Mu'tazilah dan kemudian yang mendapat julukan sebagai gerakan tajdid adalah gerakan dakwah Aqlaniyah Mu'tazilah ini. Berbeda dengan nasib yang dialami oleh para da'i (penyeru) kepada pemahaman Salafiyah dulu yang diusir oleh pemerintah kolonial Belanda kembali ke negeri Arab, sedangkan para da'i Aqlaniyah Mu'tazilah tersebut disambut dengan penuh kehangatan oleh pemerintah kolonial Belanda dan bahkan Ahmad As-Surkati menjalin hubungan persahabatan dengan ilmuwan Belanda bernama K. Gobee yang berkedudukan sebagai Kepala Adviseur Voor Islamistische Zaken (Kantor Penasehat Ahli Pemerintah Hindia Belanda Dalam Bidang KeIslaman). Para anggota staf ahli kantor tersebut adalah Dr. G. F. Pijper dan Ch. O. Van der Plas, keduanya bersahabat baik dengan Ahmad As-Surkati dan sangat mengagumi tokoh Aqlaniah Mu'tazilah tersebut. Tokoh tersebut juga bersahabat pena (surat-menyurat) dengan tokoh orientalis Belanda Prof. Dr. Snouck Hurgronje sehingga sempat Ahmad As-Surkati berniat pergi ke Eropa untuk menemuinya. Namun niat itu diurungkan setelah mendapat kabar meninggalnya Hurgronje pada th. 1936 (lihat buku Syeikh Ahmad As-Surkati Pembaharu & Pemurni Islam Di Indonesia, Prof. Dr. Bisri Affandi MA, Pustaka Al-Kautsar, cet. I th. 1999, hal. 30 – 32). Pemahaman Salafus Shalih Ahlus Sunnah wal Jamaah yang sempat tersebar di kalangan kaum Muslimin Nusantara akhirnya sangat terkontaminasi oleh pemahaman Aqlaniyah Mu'tazilah dan tentunya kerancuan pemahaman terhadap dakwah Salafiyah amat akut menimpa Ummat Islam. Dengan dasar pemikiran yang rancu inilah berdiri organisasi-organisasi pergerakan “kaum muda”, yaitu Muhammadiyah th. 1912, Al-Irsyad Al-Arabiyah th. 1915, Persatuan Islam (PERSIS) th. 1920. Tetapi Muhammadiyah dengan Majelis Tarjihnya dan PERSIS dengan Pondok-pondok Pesantrennya, kedua organisasi pergerakan “kaum Muda” tersebut lebih banyak menekuni studi bidang ilmu hadits sehingga lebih dekat pemahaman agamanya kepada As-Salafus Shalih. Sedangkan Al-Irsyad Al-Arabiyah lebih banyak menekuni bidang studi bahasa Arab, sehingga semakin kental pengaruh Mu'tazilah padanya, karena para pakar Bahasa Arab banyak dari kalangan tokoh-tokoh Mu'tazilah, seperti Az-Zamakhsyari, Al-Fakhrur Razi, Abul Ala' Al-Ma'arri, Al-Mutanabbi dan lain-lainnya. Juga tokoh-tokoh sastra Arab di abad ini, seperti Musthafa Shadiq Ar-Rifa'i, Al-Manfaluthi, Ahmad Syauqi Bek dan lain-lainnya adalah tokoh-tokoh yang amat kental pemikiran Mu'tazilahnya. Semua karya tulis mereka dikonsumsi oleh sebagian besar murid-murid sekolah Al-Irsyad Al-Arabiyah sehingga pengaruh pemikiran Mu'tazilah amat kuat dikalangan para alumni Al-Irsyad dan mereka lebih berani berkonfrontasi dengan pemahaman Ahlus Sunnah wal Jamaah dan mengelu-elukan pemikiran Aqlaniyah (Rasionalis). Sehingga Madrasah Al-Irsyad Al-Arabiyah sempat pula melahirkan tokoh-tokoh rasionalis tulen dengan berbagai afiliasi pemikirannya. Seperti Abu Laila Muhammad Barabba' (idiolog Komunis Marxis anggauta Polit Biro CC PKI dan mewakili PKI di Konstituante). Awodl Baharmoz, salah seorang tokoh inkarus Sunnah (mengingkari kedudukan hadits Nabi sebagai penafsiran yang sah bagi Al-Qur'an) dan dia adalah seorang sosialis tulen mantan staf ahli Sutan Syahrir dan tokoh nasional bagi Partai Sosialis Indonesia. Said Al-Hilabi seorang tokoh Darwinis (berpemahaman teori evolusi Darwin yang meyakini bahwa manusia itu berasal dari kera, bahkan dia meyakini bahwa Nabi Adam `alaihis salam yang dihadapkan oleh Allah Ta'ala kepada para Malaikat di awal penciptaannya adalah dalam bentuk kera), dan masih banyak tokoh lainnya. Di samping tentunya madrasah Al-Irsyad melahirkan pula tokoh-tokoh Islam seperti Al-Ustadz Said Abdullah Thalib (ahli fiqih berdomisili di Pekalongan), Al-Ustadz Umar Hubaisy (ahli fiqih berdomisili di Surabaya), Prof. Dr. HM. Rasyidi (seorang guru besar hukum Islam di Universitas Indonesia, berdomisili di Jakarta), Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi As-Siddiqi (seorang guru besar lmu fiqih di IAIN Yogyakarta) dan lain-lainnya. Meskipun demikian, tokoh-tokoh Islam alumni Madrasah Al-Irsyad tersebut masih terbawa sedikit banyaknya oleh pemikiran Mu'tazilah, seperti menolak untuk mempercayai hadits-hadits shahih yang memberitakan akan datangnya Imam Mahdi di akhir zaman, juga meyakini bahwa Nabi Isa telah wafat, serta mengagumi Ilmu Kalam dan ilmu Mantiq (yang nota bene ilmu-ilmu tersebut adalah polusi filsafat yang mengotori dan mengkaburkan pemahaman Ummat Islam terhadap agamanya). Maka perjuangan menegakkan Syari'ah Islamiyah di bumi Nusantara semakin compang-camping dengan berbagai penetrasi (perembesan) pola pikir Barat yang merasuki pemikiran kaum Muslimin melalui wabah pemikiran Aqlaniyah Mu'tazilah. Sementara itu kelompok lainnya yang menentang pemikiran Mu'tazilah tersebut mereka mengaku penganut pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama'ah tetapi sangat dikungkung oleh pemahaman Asy'ariyah dalam bidang aqidah, thariqat Sufiyah dalam bidang pendidikan rohani, serta taqlid buta kepada madzhab Syafi'i dalam bidang fiqih, ditambah lagi dengan penetrasi animisme dalam pemahaman mistik Sufiyah. Tentu semua itu sangat menghalangi Ummat Islam dalam memahami agamanya dengan benar. Demikianlah kondisi pemahaman keumuman kaum Muslimin di wilayah Nusantara menjelang diproklamirkannya Negara Kesatuan Republik Indonesia .

Perjuangan Penegakan Syari'ah Islamiyah Paska Proklamasi RI
Para tokoh nasional dari berbagai aliran pemikiran yang ikut mendirikan dan memproklamasikan NKRI berunding untuk menentukan bentuk negara Indonesia dalam lembaga yang bernama BPUPKI. Dan diproklamirkanlah kemerdekaan Indonesia pada tgl. 17 Agustus 1945 jam 10 pagi dengan disepakatinya Undang-Undang Dasar Negara sementara yang kemudian terkenal dengan UUD '45 dengan preambulnya menyatakan dasar negara Indonesia ialah: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya. Tujuh kata-kata tersebut termasuk dalam konsensus nasional para wakil berbagai komponen bangsa yang tergabung dalam tim sembilan dan konsensus tersebut terkenal dengan nama: Piagam Jakarta. Sedianya kesepakatan tersebut adalah sebagai pengakuan konstitusional terhadap hak asasi Ummat Islam yang mayoritas penduduk Indonesia dan pendiri negara kesatuan Republik Indonesia . Tetapi empat jam setelah proklamasi kemerdekaan RI bergeraklah upaya lobi terhadap tokoh-tokoh Islam untuk mencoret tujuh kata-kata tersebut karena adanya ancaman dari minoritas Kristen yang akan menggalang pemisahan wilayah Indonesia bagian timur dari Negara Kesatuan Republik Indonesia bila tujuh kata-kata tersebut tidak dicoret dari Preambul UUD ‘45. Maka dicoretlah tujuh kata-kata tersebut dan berganti dengan: Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan sejak itu hak asasi Ummat Islam dalam menjalankan agamanya selalu diopinikan bahwa mereka tidak mempunyai status konstitusional pada struktur konstitusi NKRI. Dan negara ini pun dikesankan sebagai negara netral agama dengan sebutan: ”Bukan negara Islam”, sebagai alasan klasik untuk menolak segala tuntutan Ummat Islam untuk mendapatkan legitimasi konstitusi dalam menegakkan Syari'ah Islamiyah di bumi Indonesia ini.

Ketika itu Ummat Islam diforsir perjuangannya menegakkan Syari'ah Islamiyah melalui dua jalur perjuangan. Yaitu:
Pertama, jalur perjuangan kemiliteran dengan tokoh-tokohnya : Karto Suwiryo di Jawa, Daud Bereuh di Aceh, Kahar Muzakkar di Sulawesi dan tokoh-tokoh lainnya dalam barisan Darul Islam / Tentara Islam Indonesia (DI / TII).
Kedua, perjuangan di jalur demokrasi parlementer dengan tokoh-tokohnya : Prawoto Mangkusasmito, Muhammad Natsir, Muhammad Room, Kasman Singodimejo, Syafruddin Prawira Negara, KH. Ahmad Syaikhu, KH. Ali Yafi dan lain-lainnya. Sementara itu pendidikan para kader-kader bangsa melalui pendidikan agama semakin lemah dan terkesan ditelantarkan karena tersibukkan oleh dua jalur perjuangan tersebut. Jalur perjuangan kemiliteran dapat dipatahkan oleh kalangan Islamo phobia pada tahun 1962 dengan tertangkap dan terbunuhnya Karto Suwiryo dan terbunuh pula Kahar Muzakkar pada th. 1965 serta kompromi Daud Bereuh menghentikan gerakan kemiliterannya pada th. 1962 karena janji Presiden Soekarno untuk menerapkan Syari'ah Islamiyah di Aceh khususnya. Meskipun kemudian ternyata janji politik tersebut hanyalah manuver pilitik belaka dan tidak pernah lagi dipenuhi. Adapun jalur perjuangan melalui jalur demokrasi parlementer mendapat pukulan berat ketika Presiden Soekarno memberangus perjuangan mereka dengan dekrit Presiden tgl. 5 Juli 1959 dan dimulainya masa Orde Lama (Orla) yang kiblat politiknya ke arah Komunisme. Terlebih lagi para tokoh Islam yang amat gigih memperjuangkan Islam di arena politik parlementer, membentuk perjuangan kemiliteran di Sumatra dengan mendirikan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Dan gerakan PRRI ini pun segera dapat dipatahkan oleh Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1961. Maka perjuangan menegakkan Syari'ah Islamiyah mengalami masa stagnasi (kemandekan) sosial politik di sepanjang masa Orde Lama yang amat didominasi oleh kalangan Komunis.

Perjuangan Menegakkan Syari'ah Islamiyah Di Masa Orde Baru
Dengan robohnya ORLA pada th. 1969 dan kemudian diikuti dengan dimulainya pemerintahan ORBA, muncullah harapan baru Ummat Islam untuk membangun kembali basis perjuangan penegakan Syari'ah Islamiyah di Indonesia. Harapan itu pun segera pupus demi menyaksikan kebijakan politik pemerintah ORBA yang amat membelenggu gerakan Ummat Islam dalam arena politik praktis. Pemerintah menerapkan kebijakan floating mass (masa mengambang) dalam bidang sosial politik, yaitu mencegah adanya pendukung fanatik bagi partai tertentu di tingkat grasroat (massa akar rumput atau rakyat jelata). Himpitan kebijakan floating mass ini terasa semakin keras bagi para pejuang Islam di arena politik praktis ketika segenap orpol dan ormas dilarang menggunakan atribut agama dan dilarang pula menggunakan asas agama. Maka mulailah tokoh-tokoh Ummat Islam memimpin Ummatnya untuk menggarap basis perjuangan yang jauh lebih strategis, yaitu pendidikan calon generasi penerus perjuangan. Basis perjuangan ini sebelumnya sempat terabaikan akibat kesibukan perjuangan di arena politik praktis, sehingga menimbulkan krisis kepemimpinan di kalangan Ummat Islam setelah meninggalnya beberapa tokoh nasional dan sulit tampilnya tokoh pengganti yang sekwalitas pendahulunya. Maka dimulailah upaya mendidik calon generasi penerus perjuangan, terutama pengiriman para pelajar ke luar negeri, berjalan demikian maraknya di masa pemberangusan perjuangan di arena politik praktis. Tokoh-tokoh partai Masyumi berkumpul mendirikan organisasi Dewan Dakwah Islamiyah sebagai wadah perjuangan pengganti arena politik praktis. Dr. Muhammad Natsir mantan ketua partai Masyumi, memimpin langsung ormas ini dan rajin membangun link-link (jalur-jalur lobi) internasional di Dunia Islam untuk menggalang solidaritas internasional terhadap upaya memecahkan segala problem Ummat Islam Indonesia . Bahkan Presiden Soeharto meminta jasa beliau memfasilitasi di bukanya hubungan diplomatik yang lebih akrab lagi antara Indenesia dengan Arab Saudi, karena Raja Faishal bin Abdul Aziz (Raja kerajaan Arab Saudi) amat menghormati Dr. Muhammad Natsir sebagai tokoh Islam Indonesia. Upaya Pak Natsir membuahkan hasil yang signifikan dengan semakin kuatnya hubungan diplomatik antara pemerintah Indonesia dengan kerajaan Arab Saudi serta meningkatnya hubungan ekonomi kedua negara dengan peningkatan yang sangat tajam, sehingga negara-negara telukpun mengikuti jejak pemerintah Arab Saudi dalam hubungannya dengan Indonesia. Akibatnya mengalirlah ratusan juta dolar Amerika Serikat setiap tahunnya dalam bentuk bantuan ekonomi dan pendidikan dari negara-negara kaya minyak tersebut bagi Indonesia.

Maka dibukalah pintu berbagai perguruan tinggi di Arab Saudi bagi para pelajar Indonesia untuk menyempurnakan pendidikan akademiknya dengan fasilitas bea siswa yang sangat menggiurkan. Ratusan sampai ribuan mahasiswa Indonesia mengenyam pendidikan tinggi dan menjadi sarjana S1, S2, dan S3 di berbagai perguruan tinggi tersebut. Sementara itu sebagaimana diketahui, pemerintah Arab Saudi secara formal telah menjadikan pemahaman Salafus Shalih Ahlus Sunnah wal Jamaah sebagai dasar kehidupan bernegara dan berbangsa yang tentunya menentang bid'ah dan syirik dan menegakkan ketauhidan dalam Aqidah dan As-Sunnah dalam Ibadah serta mu'amalah. Prinsip ini pun sedikit banyak terasa pengaruhnya pada para alumni perguruan-perguruan tinggi Arab Saudi, walaupun di berbagai perguruan tinggi tersebut banyak dirasuki pemikiran berbagai pergerakan takfiri (yakni pemahaman Khawarij yang mencap kafir orang-orang Islam yang berseberangan secara politis dengan berbagai pergerakan tersebut, terutama semangat mereka mengkafirkan dan berkonfrontasi melawan pemerintah-pemerintah Muslimin) yang dibawa oleh para dosen dari Mesir, Suriah, Yordaniya, dan Yaman; seperti: gerakan-gerakan Ikhwanul Muslimin (sebuah pergerakan politik yang didirikan oleh Hasan Al-Banna yang menampung berbagai aliran yang ada di kalangan Muslimin untuk disatukan dalam satu gerakan. Karena itu gerakan ini menghindari mengkaji tentang agama Islam secara kritis dan ilmiah karena dikuatirkan akan bubarnya koalisi berbagai aliran yang ikut bergabung dalam pergerakan ini), Hizbut Tahrir (satu pergerakan politik murni yang menjunjung tinggi pokok-pokok pikiran Mu'tazilah dan mengesampingkan segala perjuangan yang selain bertujuan akhir utuk berdirinya Khilafah Islamiyah), Juhaimaniyah (yaitu gerakan pemberontakan terhadap kerajaan Saudi Arabia yang meletus dengan menduduki Masjidil Haram di Makkah yang dipimpin oleh Juhaiman dan menampilkan isu telah datangnya Imam Mahdi yang bernama Muhammad bin Abdillah Al-Qahthani. Gerakan ini mengambil isu kesesatan tentang Imam Mahdi dan tentunya amat diingkari oleh para Ulama' Ahlus Sunnah wal Jama'ah), Sururiyah Quthbiyah (yaitu sebuah pergerakan yang dibangun pertama kali oleh Muhammad Zainal Abidin bin Nayef dengan menampilkan isu seruan bersikap adil terhadap para tokoh yang selama ini amat keras di kritik berbagai pemahaman sesatnya seperti Sayyid Quthub dan lain-lainnya), Haddadiyah (yaitu gerakan yang dibangun oleh Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah Al-Haddad yang menyerukan sikap antipati mutlak kepada Ahlul Bid'ah sehingga mengkatagorikan semua Ulama' terdahulu yang bersalah dicap sebagai Ahlul Bid'ah, seperti Ibnu Hajar Al-Asqalani, Al-Imam Al-Baihaqi dan lain-lainnya. Tentu gerakan ini amat ditentang oleh para Ulama' Ahlus Sunnah wal Jama'ah) dan masih banyak lagi pergerakan lainnya. Maka kembalinya ke tanah air para sarjana alumni berbagai perguruan di Arab Saudi tersebut, cukup kuat memberikan pengaruh perubahan yang signifikan dalam kehidupan beragama di Indonesia secara keseluruhan. Bersamaan dengan itu secara tradisional Ummat Islam Indonesia mengirimkan pula anak-anaknya untuk belajar di Universitas Al-Azhar Cairo Mesir serta berbagai perguruan tinggi yang lainnya di Mesir, sehingga berdatangan pula ke tanah air para sarjana ilmu-ilmu keIslaman tetapi dengan pengaruh ilmu kalam dan kegandrungan kepada berbagai studi kefilsafatan yang mengacu pada rasionalitas (Aqlaniyah Mu'tazilah). Banyak dari mereka juga membawa semangat berbagai pergerakan takfiri yang memang banyak berpusat di Mesir, seperti: Al-Jama'ah Al-Islamiyah pimpinan Dr. Umar Abdurrahman, Jama'atul Muslimin pimpinan Syukri Ahmad Musthafa yang kemudian terkenal di mass media dengan nama Jama'ah Takfir Wal Hijr, disamping tentunya sebelum berbagai pergerakan itu muncul yaitu Ikhwanul Muslimin yang menjadi cikal bakal munculnya berbagai pergerakan ekstrim tersebut.

Pada tahun 1979 meletus revolusi Iran yang dipimpin oleh Ayatullah Khumaini yang notabene sebagai tokoh Syi'ah Rafidhah Itsna ‘Asyariyah Imamiyah yang amat besar ambisinya untuk menjadikan Iran sebagai negara Syi'ah pertama di abad ini dan berambisi pula mengekspor pemahaman Syi'ah di seluruh dunia Islam. Maka berduyun-duyun pula para pemuda Islam menuju Iran untuk mempelajari dan kemudian memeluk pemahaman Syi'ah Imamiyah sehingga pada tahun delapan puluhan mulailah dikenal pemahaman Syi'ah Imamiyah di Indonesia yang banyak merasuki pemikiran para mahasiswa di berbagai perguruan tinggi dan bahkan para sarjananya pula.

Pada tahun 1983 tampil Prof. Dr. Munawir Syazali MA diangkat sebagai Menteri Agama dalam kabinet pembangunan IV. Langsung saja dia menggulirkan ide para pemuda Islam jenius untuk melanjutkan pendidikan akademiknya di berbagai perguruan tinggi Barat (Amerika Serikat, Canada, Eropa, dan Australia) dalam program pendidikan yang dinamakan “Islam Plus”. Program ini menjaring ratusan dan ribuan pemuda Islam jenius untuk dididik dengan pola pikir orientalis Barat yang amat materialistis dan minder dengan ke-Islamannya karena dianggap rendah bila tidak mencocoki selera pemikiran Barat. Maka berhembus pula di panggung perdebatan pemikiran Islam di Indonesia apa yang diistilahkan dengan Reaktualisasi - Kontekstualisasi Ajaran Islam. Yaitu mengoreksi ajaran-ajaran Islam yang dinilai tidak relevan lagi dengan kehidupan masa kini, seperti hukum waris yang dianggap tidak adil tehadap hak wanita, kepemimpinan pria atas wanita dianggap aturan agama yang mengesampingkan hak wanita dan lain-lainnya. Berbagai pemikiran tersebut sesungguhnya tumbuh dari mental rendah diri berhadapan dengan gemerlapnya budaya Barat sehingga menganggap bahwa Syari'ah Islamiyah tidak mungkin lagi diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di masa kini. Dan Syari'ah Islamiyah itu harus disesuaikan dengan keadaan masa kini dan bukannya keadaan yang harus ditundukkan dan disesuaikan dengan bimbingan Syari'ah Islamiyah.

Kemudian pada tahun delapan puluhan juga tampil seorang ilmuwan super jenius Prof. Dr. BJ. Habibie diangkat sebagai Menteri Riset Dan Teknologi (Menristek) dalam kabinet pembangunan IV merangkap sebagai ketua BPPT (Badan Pengkajian Dan Penerapan Teknologi). Tampilnya Habibie membangkitkan semangat Ummat Islam untuk merebut kesempatan mendapatkan pendidikan tinggi di negara-negara Barat dalam bidang ilmu-ilmu eksakta guna dipersiapkan menjadi teknokrat yang handal dalam memimpin pembangunan Indonesia untuk menjadi negara Super Power dunia di masa depan. Habibie amat besar memberi kesempatan bagi para pemuda Islam untuk meraih kesempatan tersebut. Presiden Soeharto tampak amat percaya dan mendukung segenap konsep pembangunan yang disarankan oleh Habibie, terlebih lagi penerapan konsep itu amat besar pengaruhnya dalam upaya mensukseskan pembangunan Indonesia, sehingga banyak memberikan kemajuan bagi ekonomi rakyat dan penyediaan sumber daya manusia yang profesional. Hubungan dekat Habibie dengan Presiden Soeharto berakibat pula pada perubahan sikap Presiden Soeharto terhadap Islam dan Ummat Islam. Soeharto merestui Habibie ikut membidani lahirnya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) dan bahkan Soeharto berkenan membuka konggres pertama pembentukan ICMI di Malang (Jatim) pada tanggal 6 Desember 1996. Soeharto dan segenap keluarga menunaikan ibadah Hajji ke tanah suci th.1991 dan bergantilah namanya menjadi Haji Muhammad Soeharto dan istrinya Hajjah Fathimah Soetinah. Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila yang dipimpin Soeharto mencanangkan pembangunan masjid di setiap kecamatan di seluruh Indonesia dan membiayai seribu da'i Islam untuk diterjunkan di wilayah penempatan para transmigran. Didirikannya Bank Mu'amalat sebagai bank Islam resmi yang pertama di Indonesia, diajukannya oleh pemerintah ke DPR RI rancangan undang-undang pendidikan nasional dan rancangan undang-undang peradilan agama dan kemudian kedua rancangan undang-undang tersebut disetujui menjadi undang-undang. Kedua Undang-undang tersebut dianggap oleh banyak pihak sebagai hadiah Presiden HM. Soeharto kepada Ummat Islam. Pemerintah ORBA sejak tahun sembilan puluhan semakin berani menampilkan keberpihakannya pada aspirasi Ummat Islam dan berani pula menampilkan atribut-atribut keIslaman setelah sebelum ini menampilkan sikap sekulernya bahkan amat mengambil jarak dengan Ummat Islam dan selalu menggembar-gemborkan bahwa bahaya Islam itu sederajat dengan bahaya Komunisme terhadap masa depan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ummat Islam merasakan masa bulan madunya dengan pemerintah ORBA, yaitu hubungan yang semakin akrab dan mesra antara Ummat Islam dengan Pemerintahnya. Kondisi yang demikian ini membangkitkan kembali harapan dan semangat Ummat Islam untuk memperjuangkan tegaknya Syari'ah Islamiyah di Bumi Nusantara di bawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia . Tetapi di sisi lain membangkitkan bara kemarahan kelompok Islamo Phobia (yakni kelompok anti Islam) dari kalangan orang-orang kafir (non Muslim) atau dari kalangan munafiqin (contohnya yaitu kalangan sarjana kelompok “Islam Plus” yang menganut paham Pluralisme dalam beragama, produk pendidikan Barat. Mereka menganggap bahwa tidak berhak satu agama pun yang memonopoli kebenaran, dan kebenaran itu milik semua).

Perjuangan Menegakkan Syari'ah Islamiyah Di Masa Orde Reformasi
Demi melihat semakin gencarnya gerakan perlawanan kalangan Islamo Phobia terhadap kebijakan pemerintah ORBA yang sedikit merespon aspirasi dan hak asasi Ummat Islam yang notabene mayoritas rakyat Indonesia, Presiden HM. Soeharto dalam sidang umum MPR RI th. 1997 menggolkan pencalonan Habibie sebagai Wakil Presiden dan dengan mudah pencalonan itu menjadi pengangkatan oleh MPR RI terhadap Habibie sebagai Wapres RI mendampingi Presiden HM. Soeharto memimpin NKRI untuk masa jabatan th. 1997 / 2002. Dan gerakan “Reformasi” pun semakin gencar untuk menyingkirkan Soeharto dari kekuasaan. Berbagai kekuatan Islamo Phobia bergabung menjadi satu barisan (terdiri dari kekuatan Kristen, Katolik, Sosialis-Komunis, group “Islam-Plus”, dan berbagai kekuatan sekuler kaki tangan imperialis Barat). Maka pada th. 1998 Presiden HM. Soeharto memutuskan mundur dari jabatannya dan menyerahkan jabatannya kepada Wapres Habibie sehingga sejak itu tampuk kekuasaan di tangan Presiden Habibie. Sehari setelah itu disusunlah dan diumumkan kabinet Reformasi Pembangunan dan diambil sumpahnya pada tgl. 23 Mei 1998. Usia kekuasaan Presiden Habibie hanya lima ratus hari, tetapi banyak memberi sumbangan bagi Ummat Islam. Antara lain ialah:

1). Diajukannya rancangan undang-undang otonomi daerah dan kemudian disetujui oleh DPR RI sebagai Undang-Undang Otonomi Daerah, yang sangat memberi peluang daerah-daerah yang mayoritas Muslimin untuk menetapkan Syari'ah Islamiyah sebagai hukum positif melalui perda (peraturan daerah) setempat.

2). Dicabutnya tap MPR RI berkenaan dengan P4 (Pedoman Penghayatan Dan Pengamalan Pancasila) dan Asas Tunggal Pancasila yang keduanya di masa ORBA sangat meresahkan Ummat Islam karena berfungsi sebagai buldoser deIslamisasi yang membuldoser aspirasi Ummat Islam dalam bidang sosial politik.

3). Diajukannya ke DPR RI rancangan undang-undang tentang Zakat, Infaq dan Shadaqah dan kemudian disahkannya menjadi Undang-Undang. Dengan lahirnya undang-undang tersebut, pemerintah Indonesia mengawasi pelaksanaan zakat, infaq dan shadaqah di kalangan Ummat Islam dan memberi status istimewa bagi para pembayar zakat, infaq dan shadaqah di hadapan kewajiban pembayaran pajak.

4). Pembebasan segenap tahanan politik para tokoh pergerakan Islam di masa ORBA sehingga membangkitkan semangat Ummat Islam untuk menghilangkan trauma ketakutan di masa ORBA dan kemudian untuk menyatakan cita-cita perjuangan menegakkan Syari'ah Islamiyah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Berbagai keputusan politik tersebut sangat besar kontribusinya bagi masa depan perjuangan Ummat Islam untuk menegakkan Syari'ah Islamiyah di dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tuntutan pelaksanaan Syari'ah Islamiyah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak lagi dianggap sebagai gerakan anti PANCASILA, bahkan tuntutan demikian telah dianggap sebagai aspirasi rakyat secara konstitusi.
Pemerintahan Habibie segera berakhir dengan gencarnya gerakan penjegalan politik kalangan elit politik yang serentak ingin meraih posisi penting di panggung politik kenegaraan berhubung dibukanya lebar-lebar peluang untuk itu. Dan setelah itu diguncanglah Indonesia oleh prahara politik para pecundang yang menduduki pucuk pimpinan pemerintahan Indonesia. Presiden separatis Indonesia Abdurrahman Wahid menciptakan instabilitas politik pemerintah Indonesia yang dahsyat selama kurang dua tahun masa pemerintahannya. Ummat Islam amat dipermalukan dengan berbagai tingkah laku Presiden yang selalu memakai atribut Kiyai Haji itu. Sejarah perjuangan Ummat Islam Indonesia untuk menegakkan Syari'ah Islamiyah tercoreng dengan tinta merah di hadapan berbagai komponen bangsa yang lainnya. Dan setelah itu ditampilkan pula Presiden Megawati Soekarno Putri memegang tampuk kekuasaan di negara dan bangsa yang terus-menerus dirundung malang ini. Tetapi derap langkah perjuangan menegakkan Syari'ah Islamiyah di Indonesia tak henti-hentinya terus berdebam di bumi Nusantara.

Kondisi Kerancuan Pola Pikir Di Dunia Islam
Sedikitnya ada lima gerakan aliran-aliran sesat yang mengacaukan pemahaman Ummat Islam terhadap agamanya di seluruh dunia sekarang ini; yaitu:

1). Khawarij, yaitu aliran sesat yang mempunyai ajaran pokok dalam dua prinsip:

a). Menganggap kafir seorang Muslim ketika dia terjatuh pada perbuatan maksiat (baik dosa besar maupun dosa kecil).

b). Memberontak kepada pemerintah Muslimin ketika melihat pelanggaran-pelanggaran Syari'ah Islamiyah pada pemerintah tersebut. Karena pemerintah itu dianggap telah kafir dengan berbagai pelanggarannya. Biasanya kelompok pergerakan yang beraliran demikian ini sering diistilahkan sebagai kelompok takfiri (yaitu kelompok yang suka mengkafirkan orang Islam).

2). Syi'ah, yaitu aliran sesat yang berusaha menampilkan diri sebagai pencinta Ahlul Baitin Nabi (yakni ahli keluarga Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dan sering disingkat dengan istilah Ahlul Bait). Tetapi kesesatan mereka ini bukanlah pada slogan “Kecintaan kepada Ahlul Bait”, melainkan kesesatan mereka itu ada pada beberapa prinsip ajaran mereka sebagai berikut ini:

a). Membatasi pengertian Ahlul Bait hanya pada Fathimah Az-Zahra' (putri Nabi Muhammad ), dan suaminya yaitu Ali Bin Abi Thalib radliyallahu `anhu, kedua anaknya yaitu Hasan dan Husain ibna Ali bin Abi Thalib, putra Husain bin Ali bin Abi Thalib yaitu Ali Zainal Abidin, putra Ali Zainal Abidin yaitu Muhammad Al-Baqir, putra Muhammad Al-Baqir yaitu Ja'far As-Shadiq, putranya yaitu Musa Al-Kadzim, dan putra Musa Al-Kadzim yaitu Ali Ar-Ridla dan seterusnya yang sering diistilahkan dengan Imam Dua Belas atau Imam yang Tujuh bagi Ismailiyah ketika memilih Imam Ismail bin Muhammad Al-Bagir sebagai Imam Mahdi. Pembatasan demikian tentunya mengakibatkan penyikapan yang keliru terhadap Ahlul Bait. Yaitu sikap ghuluw (melampaui batas dalam mengkultuskan para tokoh tersebut dan merendahkan para tokoh lainnya dari Ahlul Bait lainnya yan tidak mereka katagorikan sebagai Ahlul Bait). Padahal Ahlul Bait itu adalah segenap istri-istri Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam, segenap putra-putri beliau, Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan segenap anak turunannya, bahkan segenap Bani Hasyim yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjalan di atas ajaran-ajaran Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dan mati di atasnya.

b). Mengingkari rukun iman keenam (yakni mengingkari keimanan kepada taqdir baik dan buruknya). Pengingkaran tersebut demikian permanennya dengan adanya keyakinan di kalangan mereka, apa yang dinamakan keyakinan Al-Badaa' (yaitu keyakinan bahwa Allah menentukan segala kejadian yang akan terjadi, tetapi ketentuan itu akan berubah disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang terjadi. Karena Allah tidak mengetahui apa yang akan terjadi, maha suci Allah dari apa yang mereka sifatkan).

c). Mengingkari keimanan kepada sifat-sifat Allah yang maha mulia.

d). Meyakini bahwa Al-Qur'an itu adalah makhluk Allah dan bukan Kalamullah (omongan Allah Ta'ala). Akibat dari keyakinan ini mereka yakini pula bahwa Al-Qur'an telah dikurangi dan ditambah oleh tangan-tangan pengkhianat dan nanti di akhir zaman akan keluar Al-Qur'an asli yang dinamakan Mushaf Fathimah, yang akan dibawa oleh Imam Mahdi menurut keyakinan mereka. Dan masih banyak keyakinan kufur lainnya.

Kelompok dan aliran ini sering dinamakan juga Ar-Rafidhah, karena kelompok ini sangat anti para Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam, menolak untuk mendoakan kebaikan bagi para Shahabat tersebut bahkan mendoakan kutukan kepada mereka, terutama Abu Bakar As-Siddiq, Umar bin Al-Khatthab, Utsman bin Affan, ‘A'isyah Ummul Mu'minin, Abu Hurairah, Hafshah bintu Umar Ummul Mu'minin, Mu'awiyah bin Abi Sufyan radliyallahu `alaihim ajma'in. Dan para Shahabat yang lainnya yang terlibat langsung dalam penulisan Al-Qur'an dan periwayatan hadits Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam. Dengan demikian mudah dipahami bahwa hakikat kebencian mereka adalah dalam rangka meruntuhkan kepercayaan Ummat Islam terhadap Al-Qur'an dan Al-Hadits, karena para penulisnya dan para periwayatnya adalah orang-orang yang diopinikan sebagai pengkhianat Rasulullah dan Ahli Baitnya.

3). Mu'tazilah, yaitu aliran sesat yang sangat mengagungkan logika dan filsafat bahkan lebih dari pengagungan terhadap Al-Qur'an dan Al-Hadits. Aliran ini membuka pintu bagi arus penetrasi (perembesan) filsafat Yunani kuno yang atheis itu ke dalam pemahaman Ummat Islam terhadap agamanya. Dari aliran ini muncullah Ilmu Kalam, yaitu ilmu yang berusaha memahami sifat-sifat Allah Ta'ala dengan teori-teori filsafat yang notabene materialistis itu. Dari ilmu ini muncul berbagai kerancuan dan kebingungan Ummat Islam dalam memahami agamanya, dan bahkan banyak dari mereka terjatuh pada atheisme karenanya atau minimal apatis terhadap kewajiban mengenali Tuhannya dengan benar. Pihak imperialis Barat sangat berkepentingan untuk menumbuh suburkan aliran ini di Dunia Islam, karena aliran ini membangkitkan semangat mengagumi budaya Barat untuk menumbuh suburkan budaya nenek moyang Barat di kalangan Ummat Islam, yaitu Yunani Kuno yang materialis.

4). Tasawwuf, yaitu aliran sesat yang sangat mengagungkan perasaan dan khayalan dalam beragama. Melalui aliran ini terbukalah pintu sinkretisme (percampuran) antara Islam dengan berbagai agama yang lainnya. Seperti kependetaan Nasrani, bhiksuisme Budha, penyiksaan diri model Hindu, berbagai cerita khayal Animisme, pemujaan dan penyembahan api dari agama Zoroaster (agama Persia), dan masih banyak lagi sampah agama-agama Paganisme (keberhalaan) yang menjadi polusi terhadap kemurnian Islam.

5). Asy'ariyah / Maturidiyah, yaitu aliran sesat yang amat mengagungkan Ilmu Kalam dalam bertauhid dan mengagungkan Ilmu Mantiq dalam memahami fiqih serta membuka peluang sebesar-besarnya untuk kebebasan berfikir tentang upaya memahami Al-Qur'an dan Al-Hadits. Aliran ini memberi peluang untuk tumbuhnya keberanian interpertasi terhadap agama tanpa harus merujuk kepada riwayat-riwayat penafsiran para Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam terhadap Al-Qur'an dan Al-Hadits sebagai dua sumber hukum bagi Islam.

Lima aliran sesat tersebut yang membelenggu Dunia Islam dalam memahami agamanya, terus menerus menjadi batu sandungan yang cukup berat bagi perjuangan Ummat Islam dalam menegakkan Syari'ah Islamiyah di bumi Allah Ta'ala. Karena dengan berbagai aliran sesat itu Ummat Islam terus-menerus diperlemah kekuatannya di hadapan musuh-musuhnya dengan berbagai perpecahan intern. Dan semua fitnah aliran-aliran sesat itu merebak pula di kalangan Ummat Islam Indonesia .
Gerakan Tajdid Di Abad Ini
Setelah sekian lama berjalannya perjuangan tajdid As-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah (lahir pada th. 1115 H – dan meninggal pada th. 1206 H), tentu muncul gerakan tajdid dengan tokoh yang baru untuk memimpin gerakan tajdid di Dunia Islam di masa kini. Karena Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam telah menegaskan adanya estafet gerakan tajdid di Ummat ini terus berlangsung sampai hari kiamat. Beliau bersabda:
(tulis hadisnya di Sunan Abi Dawaud hadits ke 4291)
“Sesungguhnya Allah terus menerus membangkitkan untuk Ummat ini pada setiap seratus tahun orang yang akan memperbaharui semangat Ummat ini (untuk kembali) kepada agamanya.” (HR. Abu Dawud dalam Sunannya [hadits ke 4291], Al-Hakim dalam Mustadraknya jilid 4 hal. 422, Al-Khatib Al-Baghdadi dalam Tarikhnya jilid 2 hal. 61, Al-Baihaqi dalam Ma'rifatus Sunan wal Atsar jilid 1 hal. 137, dan lain-lainnya, SHAHIH).

Orang yang dibangkitkan oleh Allah Ta'ala untuk melakukan gerakan tajdid tersebut dinamakan Mujaddid. Dan gerakan tajdid tersebut menjalankan misi sebagaimana yang diterangkan oleh Rasululllah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dalam sabdanya sebagai berikut:
(tulis haditsnya di Sunan Al Baihaqi jilid 10 hal. 209)
“Misi penyebaran Ilmu agama ini akan diwarisi pada setiap generasi Ummat ini oleh orang-orang terpercaya dari setiap generasi itu, yang menjalankan misi perjuangan membersihkan agama ini dari berbagai penyimpangan orang-orang ekstrim yang melanggar batas agama (seperti Khawarij), dan membantah kedustaan orang-orang sesat (seperti kalangan pengagum ilmu-ilmu filsafat), serta meluruskan pengertian agama yang diselewengkan oleh orang-orang bodoh (seperti para muqallid atau orang yang membebek / bertaqlid kepada madzhab tertentu dalam fiqih).” (Hadits Hasan diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Baihaqi dalam As-Sunanul Kubra jilid 10 halaman 209, dan diriwayatkan pula oleh Al-Imam Al-Aajurri dalam kitab Asy-Syari'ah jilid 1 halaman 272 [Darul Wathan cet. th. 1997, tahqiq Dr. Abdullah Ad-Damiji] dan lain-lainnya).

Adapun Mujaddid di abad ini adalah dua Imam Ahlul Hadits, yaitu: Al-Imam Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dan Al-Imam Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahumallah. Kedua beliau telah wafat setelah melahirkan segenap Ulama' Ahli Hadits di seluruh Dunia Islam zaman ini sehingga menjadi sebab bangkitnya Da'wah Salafiyah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah sebagi kekuatan besar yang menggerakkan semangat kritik dan koreksi ilmiah terhadap berbagai penyimpangan pemahaman dan pengamalan agama di kalangan Ummat Islam. Dakwah Salafiyah juga sebagai satu satunya kekuatan besar di kalangan Ummat Islam yang mampu menghadang berbagai makar segenap kekuatan orang-orang kafir di dunia terhadap Islam dan Muslimin.

Dari kedua Mujaddid tersebut lahir para Ulama' Ahli Hadits yang memimpin Dakwah Salafiyah Ahlus Sunnah wal Jamaah di seluruh Dunia Islam, seperti As-Syaikh Abdul Muhsin Al-`Abbad hafidhahullah di kota Al-Madinah An-Nabawiyah, As-Syaikh Ahmad An-Najmi hafidhahullah, seorang Ulama' Ahli Hadits di Jizan Saudi Arabiyah, As-Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin rahimahullah di kota ‘Unaizah – Qashim Saudi Arabiyah, beliau adalah ahli fiqih di zaman ini yang selama hidup beliau sampai wafatnya telah banyak membimbing para ahli fiqih untuk mengoreksi ijtihad para Ulama' madzhab fiqih dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah sesuai pemahaman Salafus Shalih. As-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi'i rahimahullah, seorang Ulama' Ahli Hadits di Yaman yang selama hidupnya sampai wafatnya telah melahirkan para Ulama' / Thullabul Ilmi dan menjadi sebab perubahan besar di negeri Yaman secara keseluruhan, yaitu tampilnya Ahlus Sunnah wal Jama'ah sebagai kekuatan besar yang membuldoser aliran Syi'ah Zaidiyah di Yaman Utara dan aliran Tasawwuf di Yaman selatan. As-Syaikh Rabi' bin Hadi Al-Madkhali hafidhahullah, seorang Ulama' Ahli Hadits di kota Al-Madinah An-Nabawiyah kemudian pindah ke kota Makkah Al-Mukarramah, beliau adalah seorang Ulama' yang membangkitkan kembali di zaman ini penerapan Ilmu Jarh wat Ta'dil (yakni ilmu kritik dan oto kritik terhadap segenap tokoh yang mengajarkan ilmu agama ini). Sehingga tidak ada seorang tokohpun di Dunia Islam yang menyebarkan pemahaman sesat, kecuali mesti berhadapan dengan ketajaman kritikan ilmiah beliau.

Demikian pula pergerakan Islam yang terjadi di Indonesia , dengan munculnya kembali Dakwah Salafiyah khususnya sejak tahun 1990. Berbagai pergerakan itu mengalami pula koreksi total terhadap berbagai pola pikir yang menjadi pijakan beraneka ragam pergerakan yang mengharu biru perjuangan Ummat Islam untuk menegakkan Syari'ah Islamiyah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tentunya berbagai koreksi tersebut dilakukan dengan jalur-jalur ilmiah walaupun sempat juga menimbulkan keributan di kalangan kaum pergerakan dan kekesalan terhadap para da'i Salafi. Karena berbagai kritiknya terhadap berbagai pola pikir pergerakan Islam itu, dinilai oleh kaum pergerakan sebagai caci makian terhadap sesama Muslimin dan mengganggu ukhuwah Islamiyah. Kaum pergerakan sempat pula mengisolasi Dakwah Salafiyah Ahlus Sunnah wal Jama'ah dari kebanyakan masyarakat Muslimin dengan cara mengopinikan bahwa kalangan Salafiyyin Ahlus Sunnah wal Jama'ah itu eksklusif (menyendiri) dari kaum Muslimin dan acuh tak acuh terhadap segenap perjuangan kaum Muslimin. Gerakan pembentukan opini ini digalang demikian gencarnya karena memanfaatkan berbagai benturan yang terjadi di kalangan kaum Muslimin dengan para Salafiyyin akibat kesenjangan Ilmu agama antara kaum Muslimin pada umumnya dengan kalangan Salafiyyin tersebut. Bahkan diopinikan pula oleh kaum pergerakan bahwa gerakan Dakwah Salafiyah itu adalah kaki tangan zionis Yahudi yang sengaja dimunculkan di kalangan Ummat Islam untuk memecah belah persatuan Ummat Islam. Diopinikan pula oleh mereka bahwa Dakwah Salafiyah itu anti jihad dan hanya mementingkan belajar ilmu agama dan pembersihan Tauhid.

Tetapi Dakwah Salafiyah Ahlus Sunnah wal Jamaah terus mensosialisasikan ilmu dan amal dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya di segenap wilayah Indonesia . Semakin banyak pula kalangan Muslimin yang kemudian tertarik belajar dan beramal dengan pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama'ah ini. Bahkan berbagai penerbit buku-buku agama Islam semakin banyak pula menerbitkan buku-buku terjemahan bahasa Indonesia dari berbagai karya tulis para Ulama' Ahlul Hadits dulu dan sekarang. Berbagai halaqah ilmiah yang mengkaji kitab-kitab Ulama' Salaf semakin semarak di masjid-masjid, kampus-kampus, dan kampung-kampung. Ummat Islam pun semakin besar harapannya kepada Dakwah Salafiyah sebagai alternatif baru untuk memecahkan berbagai problem perjuangan menegakkan Syari'ah Islamiyah yang terus menerus dirundung perpecahan dan pertikaian diantara sesama pejuang. Isolasi kaum pergerakan terhadap Dakwah Salafiyah semakin tidak mampu membendung arus perubahan pada kaum Muslimin yang penasaran dengan konsepsi perjuangan Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Dan kaum pergerakan yang anti pati terhadap Dakwah Salafiyah semakin panik melihat semakin besarnya sambutan kaum Muslimin terhadap dakwah ini. Tentu kepanikan mereka itu karena mengerti bahwa bila kaum Muslimin semakin mengenal dan memahami pola pikir Da'wah Salafiyah ini, niscaya kaum Muslimin akan mengoreksi dengan tajam berbagai pergerakan Islam yang centang perenang dengan berbagai penyimpangan itu. Ummat Islam bila memahami pemahaman Salafus Shalih, maka mereka akan semakin cerdas dan kritis dalam memahami agamanya. Sehingga tidak mudah ditunggangi dan dieksploitir untuk kepentingan sesaat atau kepentingan pihak tertentu yang sedang memperjuangankan kepentingan pribadinya atau kelompoknya dan bukan kepentingan agama, bangsa dan negaranya.

P E N U T U P
Demikianlah pasang surut perjuangan menegakkan Syari'ah Islamiyah di Indonesia yang ternyata tidak bisa dilepaskan dengan berbagai perubahan yang terjadi di Dunia Islam secara keseluruhan. Syari'ah Islamiyah yang bisa ditegakkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia hanyalah bila Ummat Islam mau mengembangkan semangat dialog penuh persaudaraan di antara mereka dan mau membuka diri bagi upaya koreksi secara ilmiah terhadap berbagai pemahaman terhadap agamanya untuk dikembalikan kepada Al-Qur'an dan Al-Hadits dengan pemahaman para Salafus Shalih, para Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar As-Siddiq, Umar Al-Faruq, Utsman Dzun Nurain, dan Ali bin Abi Thalib radliyallahu `anhum ajma'in), para Imam Ahlul Hadits (seperti Imam Malik bin Anas, Imam Syafi'i, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Sufyan Ats-Tsauri dan lain-lainnya rahimahumullahu ajma'in). Kalaupun tidak semua Ummat Islam yang mau diajak berdialog dengan cara demikian, maka dialog harus dimulai dikembangkan di kalangan Ummat Islam yang telah membuka diri untuk itu. Semoga dengan dimulainya semangat dialog di kalangan tertentu itu, akan semakin luaslah masyarakat Muslimin yang bersedia membuka semangat dialog itu. Inilah jalan keluar dari berbagai kerugian dan kekalahan yang diderita Ummat Islam sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah dalam firman-Nya di Surat Al-Ashr ayat 1 – 3:

“Demi masa, sesungguhnya manusia dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal Shaleh, dan saling berwasiat kepada kebenaran dan saling berwasiat kepada kesabaran (yakni dialog untuk bantu membantu memahami dan mengimani kebenaran Islam, dan dialog untuk saling mengingatkan agar tetap sabar dalam menempuh jalan kebenaran walaupun menghadapi berbagai kendala dari musuh-musuh kebenaran).” (Al-Ashr: 1 – 3)

Dengan dialog yang demikian inilah Ummat Islam akan berangsur-angsur menyusun persatuan dan kesatuannya di atas ajaran Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan makna yang sesungguhnya. Dan yang demikian itulah persatuan dan kesatuan yang kokoh. Dan hanya dengan jalan yang demikian inilah kemenangan dari Allah akan turun, dan di saat itulah Syari'ah Islamiyah akan tegak penuh wibawa di bumi Indonesia . Wallahu A'lamu bis Shawab.

Penulis: Al Ustadz Ja'far Umar Thalib 

DAFTAR PUSTAKA:
1). Al-Qur'an Al-Karim.
2). As-Sunanul Kubra, Al-Imam Abu Bakar Ahmad bin Al-Husain bin Ali Al-Baihaqi, Darul Fikr, tanpa tahun.
3). Kitabus Syari'ah, Al Imam Abu Bakar Muhammad bin Al Husain Al Aajurri, Darul Wathan – Riyadl, cet. th. 1997, tahqiq Dr. Abdullah bin Umar bin Sulaiman Ad Damiji.
4). Sunan Abi Dawud, Al-Imam Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy'ats As-Sijistani Al-Azadi, Darur Rayyan Lit Turats, cet. th. 1988.
5). Ma'rifatus Sunan wal Atsar, Al-Imam Abu Bakar Ahmad bin Al-Husain bin Ali Al-Baihaqi, Darul Kutub Al Ilmiyah- Beirut / Libanon, cet. th. 1991.
6). Al-Mustadrak `alas Shahihain, Al-Imam Abu Abdillah Al-Hakim An-Nisaburi, Darul Fikr – Beirut / Libanon, cet. th. 1978.
7). Tarikh Baghdad, Al-Hafidh Abu Bakar Ahmad bin Ali Al-Chatib Al-Baghdadi, Darul Fikr – Beirut / Libanon, tanpa tahun.
8). As-Syaikh Abdul Aziz Ar-Rasyid Siratu Hayatihi, Dr. Ya'qub Yusuf Al Haji, Markaz Al-Buhuts wad Dirasat Al-Kuwaitiyah, cet. th. 1993.
9). Al-Muyassarah fil Aadab wal Madzahib wal Ahzabil Mu'ashirah, isyraf wa takhtith wa muraja'ah Dr. Mani' bin Hammad Al-Juhni, Darun Nadwah Al-‘Alamiyah Lit Tiba'ah wan Nashr wat Tauzi', cet. ketiga th. 1418 H.
10). Syaikh Ahmad Syurkati Pembaharu & Pemurni Islam Di Indonesia, Pustaka Al-Kautsar, cet. I, th. 1999.
11). Dari Perbendaharaan Lama, Prof. Dr. Hamka, Penerbit Pustaka Panjimas – Jakarta , cet. th. 1982.
12). Perang Paderi Di Sumatera Barat, Muhamad Rajab, Diterbitkan oleh Perpustakaan Perguruan Kementerian P. P. dan K, cet. th. 1954.
13). Piagam Jakarta 22 Juni 1945, H. Endang Saifuddin Anshari, Pustaka – Perpustakaan Salman ITB – Bandung , cet. th. 1401 H / 1981 M.
14). Risalah Seminar Masuknya Islam Ke Indonesia , Diterbitkan oleh Panitia Seminar Sejarah Masuknya Islam Ke Indonesia – Medan , cet. th.1963.
15). Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 – 1942, Dr. Deliar Noer, LP3ES – Jakarta , cet. kedelapan, th. 1996.
16). Partai Islam Di Pentas Nasional, Dr. Deliar Noer, Penerbit Mizan – Bandung , cet. II th. 1420 H / 2000 M.
17). Peranan Tgk. M. Daud Beureu – Eh Dalam Pergolakan Aceh, M. Nur El-Ibrahimy, Penerbit Media Da'wah – Jakarta , cet. th. 1422H / 2001 M.
18). Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S. M. Kartosoewirjo, Al-Chaidar, Penerbit Darul Falah – Jakarta , cet. th.1420 H / 1999 M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar