Api perselisihan sepertinya harus segera dipadamkan dengan ilmu Al-Kitab dan As-Sunnah An-Nabawiyyah yang shohih (benar) datangnya Nabi Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam-, dengan bimbingan para ulama yang mu’tabar.
Sebelum kita jauh berbicara tentang hukumnya, maka ada baiknya kita jelaskan dulu arti kata “langgam”.
Jika kita kembali kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia, maka kita akan dapati makna dari kata “langgam” ini, sebagai berikut:
“lang·gam n 1 gaya; model; cara: – permainannya khas, sukar ditiru orang lain; 2 adat atau kebiasaan: – orang di daerah itu kalau berkata dng suara keras, tetapi hatinya baik dan suka berterus terang; 3 bentuk irama lagu (nyanyian): penyanyi lagu pop belum tentu dapat menyanyikan lagu –
Ini makna “langgam” dalam bahasa. Jika kita kembali kepada waqi’ (realita), maka langgam identiknya kembali kepada makna ketiga, yaitu langgam adalah bentuk irama lagu (nyanyian).
Dalam kasus qiro’ah dengan langgam Jawa, makna ketiga ini sangat tampak pada praktek dari Saudara Muhammad Yaser Arafat saat membaca Al-Qur’an dengan langgam Jawa. Irama lagu amat jelas dan terang dalam bacaannya.
Irama Muhammad Yaser Arafat tersebut dikenal oleh orang Jawa dengan irama dandanggulo yang merupakan irama tembang dan lagu Jawa atau Sunda. (http://id.wiktionary.org/wiki/dandanggula)
Membaca Al-Qur’an ala tembang Jawa dan Sunda atau tembang apa saja merupakan perkara yang terlarang dalam agama, sebab ia merupakan cara baru (bid’ah) dalam membaca Al-Qur’an yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, para sahabat dan salafush sholih.Menyanyi dan bertembang bukanlah pekerjaan orang-orang beriman dari kalangan salafush sholih. Itu hanyalah pekerjaan orang-orang yang memiliki jiwa yang rendah dari kalangan orang-orang fasiq dan munafik.
Al-Qur’an turun bukanlah nyanyian yang seenaknya saja bagi setiap orang membacanya menurut langgam dan irama yang ia sukai
Al-Imam Ibnul Kayyal Ad-Dimasyqiy (wafat 929) H) -rahimahullah-, seorang ulama Syafi’iyyah dari negeri Syam menulis kitab khusus dalam mengingkari bid’ahnya para qurro’ (para qori’) dalam membaca Al-Qur’an melalui kitabnya “Al-Anjum Az-Zawahir fi Tahrim Al-Qiro’ah bi Luhun Ahlil Fisq wal Kaba’ir” (Bintang-bintang Berbunga dalam Mengharamkan Qiro’ah dengan Alunan Orang-orang Fasiq dan Pelaku Dosa Besar).
Alunan orang-orang fasiq, dijelaskan oleh Ibnul Kayyal -rahimahullah- dengan ucapannya,
الأنغام المستعارة من الموسيقا
“(Ia) adalah irama-irama yang teradopsi dari musik. [Lihat Al-Anjum Az-Zawahir (hal. 23)]
Ulama masa kini dari Timur Tengah, Al-Allamah Bakr Abu Zaid -rahimahullah- menggolongkan qiro’ah (bacaan Al-Qur’an) dengan mengikuti irama dan nyanyian orang fasiq sebagian bid’ah tercela yang diada-adakan para qori’ di dalam sebuah kitab beliau yang berharga dengan judul “Bida’ Al-Qurro’ Al-Qodimah wa Al-Mu’ashiroh”, pada hal. 11, cet. Darul Faruq, 1410 H.
Sekarang kita perhatikan qiro’ah Saudara Muhammad Yaser Arafat yang membacakan ayat-ayat suci ala langgam Jawa yang merupakan alunan-alunan yang biasa dilantunkan oleh para dalang yang memainkan wayang, atau para pesinden dan pemain musik gamelan.
Qiro’ah (bacaan) Saudara Muhammad Yaser Arafat, iramanya mengingatkan kita dengan para dalang, wayang, gamelan, sinden dan berbagai warna musik dan irama ala Jawa atau Sunda; tidak mengingatkan kita dengan ulama dan orang-orang sholih.
Al-Qur’an Al-Karim adalah kalamullah yang disampaikan kepada malaikat termulia, kepada Nabi termulia, Nabi Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam-. Al-Qur’an tidaklah turun dengan irama dan nada nyanyian atau lagu dari biduan. Bahkan musik di dalam Islam telah diharamkan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shohihah!!
Allah -Ta’ala- berfirman,Perhatikan dengan seksama, Al-Qur’an turun dengan bahasa dan lisan Arab. Sementara itu bahasa Arab memiliki lahjah dan dialek yang tidak dimiliki oleh bahasa manapun. Al-Qur’an bukanlah nyanyian dan langgam yang dikarang dengan melodi dan tangga nada yang mengikuti ritme-ritme khusus yang mirip dengan lagu dan tembang karangan manusia, dan ia juga bukan pula syair yang mengikuti aturan ilmu syair (ilmu ‘arudh). Tapi ia adalah kalamullah yang suci, memiliki aturan baca yang telah diterangkan dalam “ilmu tajwid”.
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ [يوسف : 2
“Sesungguhnya kami menurunkannya berupa Al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya”. (QS. Yusuf : 2)
Orang yang menyuarakannya berusaha mengikuti cara penyebutan orang-orang Arab yang fasih dalam menyebutkan huruf perhuruf berdasarkan makhorijul huruf (tempat-tempat keluarnya huruf-huruf itu).
Di dalam ayat lain, Allah –Jalla wa ‘Alaa- berfirman,أي: مشتمل على النّذارة للكافرين والبشارة للمؤمنين. تفسير ابن كثير / دار طيبة – (7 / 279
وَهَذَا كِتَابٌ مُصَدِّقٌ لِسَانًا عَرَبِيًّا لِيُنْذِرَ الَّذِينَ ظَلَمُوا وَبُشْرَى لِلْمُحْسِنِينَ [الأحقاف : 12
“Dan sebelum Al Quran itu, telah ada Kitab Musa sebagai petunjuk dan rahmat. dan Ini (Al-Qur’an) adalah Kitab yang membenarkannya dalam bahasa Arab untuk memberi peringatan kepada orang-orang yang zalim dan memberi kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik”. (QS. Al-Ahqof : 12)
“Al-Qur’an mengandung nadzaroh (peringatan) bagi orang-orang kafir dan berita gembira bagi orang-orang yang beriman”. [Tafsir Ibni Katsir (7/279)]
Al-Qur’an merupakan nasihat dan dakwah bagi manusia. Nah, adakah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah mendakwahi kaumnya dengan membacakan Al-Qur’an dengan mengikuti irama-irama lagu padang pasir yang biasa dilantunkan oleh orang-orang Arab jahiliah?! Tentu tidak!!
Nyanyian –walau tanpa musik- merupakan perkara tercela di dalam agama. Nyanyian merupaka perkara yang melalaikan manusia.
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ [لقمان/6
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan”. (QS. Luqman : 6)
Lahwu hadits (perkataan yang tidak berguna) adalah nyanyian. Ibnu Mas’ud -radhiyallahu anhu- berkata saat melewati ayat ini berkata,
هُوَ الغِنَاءُ، وَالَّذِيْ لاَ إِلهَ إِلاَّ هُوَ، يرددها ثلاث مرات
“Dia adalah nyanyian. Demi (Allah) Yang tiada ilaah (sembahan) yang haq, melainkan Dia. (Beliau ulang-ulangi sebanyak 3 kali)”. [HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (no. 21130), dan lainnya. Hadits ini dinyatakan shohih oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Tahrim Alat Ath-Thorb, hal. 143]
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- juga telah mengharamkan musik dalam sebuah sabdanya,
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ يَأْتِيهِمْ يَعْنِي الْفَقِيرَ لِحَاجَةٍ فَيَقُولُونَ ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا فَيُبَيِّتُهُمْ اللَّهُ وَيَضَعُ الْعَلَمَ وَيَمْسَخُ آخَرِينَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Sungguh akan ada diantara umatku orang-orang yang akan menghalalkan zina, sutra, khomer dan musik. Sungguh akan ada orang-orang yang tinggal di puncak gunung, sedang mereka akan didatangi pengembala di waktu sore dengan membawa hewan-hewan ternak mereka. Merekapun didatangi oleh orang fakir demi kebutuhannya. Orang-orang itu pun berkata, “Kembalilah kepada kami esok hari”. Akhirnya, Allah membinasakan mereka di waktu malam, menimpakan gunung itu atas mereka serta mengubah yang lainnya menjadi kera dan babi sampai hari kiamat”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (no. 5590)]
Hadits mulia ini menunjukkan kepada kita bahwa para pencinta musik yang membolehkan musik adalah manusia terkutuk, tidak boleh bagi kita menyerupai kebiasaannya yang suka bernyanyi dan mendengar musik.
Jika kita membaca Al-Qur’an dengan irama dan langgam Jawa, maka kita telah serupa (tasyabbuh) dengan manusia terkutuk dari kalangan pencinta musik Jawa (semisal musik gamelan, wayang dan lainnya).
Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- telah mengancam,Al-Imam Abul Abbas Ahmad Al-Harroniy Ad-Dimasyqiy -rahimahullah- berkata, “Hadits ini serendah-rendahnya mengharuskan pengharaman tasyabbuh (menyerupai orang kafir atau fasiq)”. [Lihat Iqtidho’ Ash-Shiroth Al-Mustaqim (83)]
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk kaum tersebut” (HR. Abu Dawud (4031), Ahmad (5114), Ath-Thobroniy dalam Al-Ausath (8327), Ibnu Manshur dalam As-Sunan (2370). Di-hasan-kan oleh Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (4347)
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan para sahabat membaca Al-Qur’an sesuai dengan aturan tajwid berupa panjang-pendek, izh-har dan ikhfa’, idghom bi ghunnah atau bilaa ghunnah, dan lainnya diantara konsekuensi dan kaedah tartil Al-Qur’an, bukan berdasarkan ritme dan irama gamelan, anklung, ketoprak, rock, dangdut, hip hop dan lainnya.
Seorang dituntut untuk membaca Al-Qur’an dengan tartil dan tajwid, sesuai dengan pembawaan dan tabiatnya, tanpa mengikuti irama nyanyian dan lagu. Jadi, seorang pembaca Al-Qur’an tidaklah meniru, tidak pula membuat-buat suara yang bukan suaranya atau mengikuti suara lain, apalagi mengikuti suara irama dan ritme musik terkutuk.
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
صَوْتَانِ مَلْعُوْنَانِ في الدنيا و الآخرةِ : مِزْمَارٌ عند نعمةٍ وَرَنَّةٌ عند مصيبةٍ
“Dua suara yang terlaknat di dunia dan akhirat : seruling di kala senang dan suara sedih (ratapan) di kala ada musibah”. [HR Al-Bazzar dalam Al-Musnad sebagaimana dalam Kasyful Astaar (1/377/795). Hadits ini di-hasan-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Shohih Al-Jami’ (no. 3801)]
Hadits ini menunjukkan bahwa tak boleh bagi seorang hamba muslim meniup dan meniru suara seruling dan peniupnya. Telah berlalu bahwa terlarang bagi kita meniru orang fasiq dan kafir dalam perbuatan-perbuatannya yang tercela, semisal menyanyi dan bermain musik.
Membaca Al-Qur’an dengan tartil sesuai watak dan tabiat kita yang murni, tanpa dibuat-buat dan tanpa meniru para pemain gamelan, ketoprak, angklung, rock dan lainnya.
Andaikan seseorang membaca Al-Qur’an dengan suara medok seperti yang terjadi pada sebagian orang Jawa, tanpa ia buat-buat, bahkan ia berusaha meluruskan lisannya agar tak medok, namun ia tak bisa, maka tentunya seseorang seperti ini tidaklah tercela karena ia tak mampu membaca, selain dengan suara seperti itu. Allah tidaklah membebani suatu jiwa, melainkan apa yang ia mampui.
Adapun Saudara Muhammad Yaser Arafat, maka suaranya jelas sekali mengikuti para pesinden dan pemain musik gamelan.
Sikap dan qiro’ah seperti ini merupakan sikap takalluf (memaksakan diri), sedang takalluf merupakan perbuatan terlarang dan pelakunya didoakan kehancuran oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.Abul Hasan As-Sindiy -rahimahullah- berkata,
« هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُونَ ». قَالَهَا ثَلاَثًا.
“Semoga binasa orang-orang yang mutanaththi’un” (Beliau sabdakan 3 kali). [HR. Muslim (no. 2670)]
المتنطعون: المتكلفون في القول أو الفعل.
“Al-mutanaththi’un : orang-orang yang memaksakan diri dalam ucapan dan perbuatan”. [Lihat Al-Hasyiyah alal Musnad (no. 3655]
Terakhir, kami akan menjelaskan makna “melagukan Al-Qur’an”. Para ulama menjelaskan bahwa maknanya adalah memperindah suara dalam membaca Al-Qur’an dengan memperhatikan tajwid dan tartil-nya. (Lihat Al-Anjum Az-Zawahir (hal. 55-56) karya Ibnul Kayyal Asy-Syafi’iy)
Dari sini anda tahu bahwa memperindah suara bacaan Al-Qur’an, bukan dengan mengikuti suara para pemain musik dan biduan. Tapi seseorang membacanya dengan suara indah sesuai dengan kemampuan alami dan tabiat aslinya.
Dari Buraidah -radhiyallahu anhu- berkata,
مر النبي صلى الله عليه و سلم على أبي موسى ذات ليلة، وهو يقرأ، فقال : ((لقد أعطي من مزامير آل داود))، فلما أصبح ذكروا ذلك له، فقال : لو كنت أعلمتني لحبرت ذلك تحبيرا
“Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah melewati Abu Musa pada suatu malam, sedang ia membaca (Al-Qur’an). Lalu Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, “Sungguh ia (Abu Musa) telah diberi suara indah keluarga Nabi Dawud”.
Tatkala di pagi hari, mereka (yakni, para sahabat) menyebutkan hal itu kepada Abu Musa. Ia (Abu Musa) pun berkata,
“Andaikan kamu beritahu aku, maka sungguh aku akan memperindah bacaanku itu”. [HR. An-Nasa’iy dalam As-Sunan Al-Kubro (no. 8058). Sanad hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy -rahimahullah- dalam Ash-Shohihah, di bawah nomor hadits (3532)]
Memperindah bacaan Al-Qur’an adalah dengan memperdengarkan suara, melembutkannya dan membacanya dengan suara sedih.
Dari Abu Hurairah -radhiyallahu anhu- berkata, “Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالْقُرْآنِ وَزَادَ غَيْرُهُ يَجْهَرُ بِهِ
“Bukan termasuk golongan kami, orang yang tidak melagukan Al-Qur’an”. (Rawi) yang lainnya menambahkan, “…mengeraskannya”.
[HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (no. 7527), dan Muslim dalam Shohih-nya (no. 792)]
Al-Imam Abus Sa’adat Ibnul Atsir Al-Jazariy -rahimahullah- berkata,
((والتغني : تحزين القراءة ، وترقيقها ، ومنه قوله: «زينوا القرآن بأصواتكم»، وقيل : المراد به : رفع الصوت بها ، وقد جاء في بعض الروايات كذلك ، أي يجهر بها)) جامع الأصول – (2 / 458)
“Melagukannya: membacanya dengan sedih dan melembutkannya. Termasuk darinya, sabda beliau, “Hiasilah Al-Qur’an dengan suara kalian”.
Ada yang bilang, “Maksudnya adalah meninggikan suara bacaan. Sungguh telah datang dalam sebagian riwayat demikian: yaitu, “mengeraskannya”. [Lihat Jami’ Al-Ushul (2/458), dengan tahqiq Abdul Qodir Al-Arna’uth]
Sebagian ulama, ada yang memaknai kata “at-taghonni bil qur’an” dengan makna “mencukupkan diri” dengan Al-Qur’an. Namun makna-makna yang kami sebutkan tidaklah bertentangan antara satu dengan yang lainnya.
Karena itu, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolaniy -rahimahullah- dari kalangan Syafi’iyyah berkata dalam menyimpulkannya,
((والحاصل : أنه يمكن الجمع بين أكثر التأويلات المذكورة، وهو أنه يحسن به صوته جاهرا به مترنما على طريق التحزن، مستغنيا به عن غيره من الأخبار، طالبا به غنى النفس راجيا به غنى اليد)) فتح الباري- تعليق ابن باز – (9 / 72)
“Walhasil, mungkin saja untuk dipadukan antara tafsiran-tafsiran tersebut, yaitu bahwa “melagukannya” adalah memperindah suara dengannya sambil mengeraskannya, melantunkannya dengan cara bersedih, mencukupkan diri dengan Al-Qur’an dari selainnya berupa berita-berita, dalam rangka mencari dengannya kekayaan hati lagi mengharap dengannya kecukupan diri”
Agar perkara ini semakin jelas, maka ada baiknya kita nukilkan penjelasan Ibnul Qoyyim -rahimahullah- dalam menjelaskan bentuk-bentuk memperindah bacaan Al-Qur’an.
Al-Imam Ibnul Qoyyim -rahimahullah- menjelaskan bahwa memperindah bacaan (qiro’ah) memiliki dua bentuk :
Pertama : Melagukan dan memperindah bacaan Al-Qur’an sesuai tabiat asli dan alami manusia, tanpa ada takalluf (memaksakan diri), latihan dan belajar. Bahkan bila ia dibiarkan bersama tabiatnya, maka tabiat alaminya akan melahirkan keindahan tersendiri. Jenis ini boleh.
Jika seseorang membaca Al-Qur’an dengan bentuk alami ini, lalu ia menangis karena dikuasai oleh bacaannya, ataukah ia bahagia karena meresapi apa yang ia baca, maka golongan orang yang seperti ini adalah golongan terpuji.
Kedua: Qiro’ah (Bacaan) yang dibuat-buat dan tidak ada dalam tabiat asli seseorang. Bacaan ini tidaklah lahir, kecuali dengan takalluf (memaksakan diri), dibuat-buat dan melalui latihan, seperti orang mempelajari suara-suara nyanyian dengan berbagai ritme dan irama serta nada yang diciptakan. Jenis dan bentuk bacaan (qiro’ah) seperti inilah –kata Ibnul Qoyyim- yang dibenci oleh para salaf. Jenis inilah yang dilakukan oleh Qori’ Muhammad Yaser Arafat –hadahullah- dan orang-orang yang semisalnya. [Lihat Zadul Ma’ad (1/436)]
Renungan:
Jika saja kita membolehkan dan membebaskan manusia membaca Al-Qur’an sesuai dengan cara apa saja –walaupun itu bukan tabiat aslinya-, maka hal ini akan membuka banyak pintu kerusakan dan setiap orang akan berkreasi tanpa henti dan tanpa memperhatikan kaedah-kaedah ilmiah dalam agama. Setiap orang akan membaca Al-Qur’an sesuai irama (langgam) dan nyanyian daerahnya, sehingga muncullah nanti orang-orang membaca Al-Qur’an dengan langgam seriosa, langgam dangdut, langgam rock, langgam hip hop, langgam metal, dan lainnya.
Akhirnya, jadilah Al-Qur’an sebagai bahan dan kreasi permainan yang tidak lagi memiliki arti dan kedudukan yang tinggi.
Inilah yang ditakutkan dan dikhawatirkan oleh seorang Qori’ Indonesia yang ternama, KH. Muammar ZA dalam sebuah tanggapannya terhadap langgam Jawa yang dilantunkan oleh Muhammad Yaser Arafat. (Simak: https://www.youtube.com/watch?v=uxdjOkiT1UM).
Membaca Al-Qur’an dengan langgam dan irama Jawa telah membuka pintu kerusakan, sedang di dalam agama kita ada kaedah agung, yaitu kaedah saddu adz-dzari’ah (سد الذريعة) bahwa semua jalan yang mengantarkan kepada keburukan dan kerusakan, maka pintu menuju kepadanya wajib ditutup.
Cukuplah perkara yang menunjukkan besarnya kerusakan dan keburukan dari kejadian pembacaan Al-Qur’an dengan langgam Jawa yang dilakoni oleh Qori’ Muhammad Yaser Arafat, maka muncul polemik dan perselisihan baru yang membuat perpecahan, komentar miring dan aksi negatif sejak kejadian itu. Akhirnya, muncullah video yang melantunkan Al-Qur’an dengan langgam seriosa (lihat : https://www.google.co.id/webhp?sourceid=chrome-instant&ion=1&espv=2&ie=UTF-8#q=%D9%85%D8%B4%D9%89%D9%84%D9%84%D8%B4%D8%A9%20%D8%B3%D8%AB%D9%82%D9%87%D8%AE%D8%B3%D8%B4)
Muncul pula komentar miring dan miris, lagi mengada-ada serta rada mengolok atau menista Islam dari sebagian netizen di dunia maya, seperti yang dilakukan oleh Ade Armando (Lihat : http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/15/05/24/notuo4-sebut-allah-bukan-orang-arab-ade-armando-dilaporkan-ke-polisi)
Lantaran itu, kami menghimbau kepada seluruh pihak agar berhati-hati dalam bertindak. Agama ini bukanlah permainan. Al-Qur’an adalah kalamullah yang memiliki kedudukan yang tinggi. Janganlah membacanya dengan cara yang tidak pernah dicontohkan oleh para salaf (pendahulu kita) yang sholih. Agama ini dan kitab sucinya telah sempurna, tidak butuh kreasi dan rekonstruksi. Makna, lafazh dan cara bacanya telah dijelaskan oleh para ulama mutaqoddimin dalam kitab-kitab tafsir dan tajwid.
Ketinggian Al-Qur’an jangan direndahkan dengan membacanya dengan cara rendah dan langgam yang dipakai oleh para biduan dan pemain musik. Al-Qur’an adalah bacaan para sahabat dan para ulama yang tidak mengenal musik, tangga nada, ritme musik. Mereka telah membacanya dan mengajarkan kepada generasi setelahnya dengan ilmu tajwid yang mereka pelajari dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, seorang nabi yang telah menerima cara qiro’ah Al-Qur’an dari Jibril, malaikat utusan Allah -Subhanahu wa Ta’ala-.
Al-Qur’an sebagai syariat, memiliki sifat mudah (samhah); gampang dalam mempelajarinya, membacanya dan memahaminya, tidak sesusah mempelajari “ilmu musik” yang mengantarkan manusia kepada kelalaian.
Oleh : Al-Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah
(Pengasuh Pesantren Al-Ihsan Gowa)
url: http://dzulqarnain.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar